BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada tingkat SMA/MA, mata pelajaran IPA khususnya Fisika dipandang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan kajian kuikulum pada pelajaran IPA, materi kelistrikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembelajaran fisika di SMA secara umum adalah memberikan bekal. ilmu kepada siswa, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

Oleh: KOMAROSIDAH Guru SD Negeri Buahkapas Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di sekolah dimaksudkan untuk menanamkan. keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengembangkan keterampilan sikap

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. 1 Pembelajaran IPA secara

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN. yaitu 19 orang siswa mendapat nilai di bawah 65 atau 47,5%. Sedangkan nilai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia memperoleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak boleh ditinggalkan yaitu pengetahuan (cognitive, intelectual), keterampilan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. langkah-langkah observasi, perumusan masalah, pengujian hipotesis melalui

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. permasalahannya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Konsep dan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan paparan mengenai pendidikan tersebut maka guru. mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya.

BAB I PENDAHULUAN. Ruang lingkup IPA meliputi alam semesta secara keseluruhan baik

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2006:2) mengatakan bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. karena pembelajarannya mengandung unsur-unsur ilmiah yang menekankan

I. PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa alam dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep fisika.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berimplikasi pada semua guru yang memiliki tanggung jawab untuk. atas diantaranya adalah siswa harus memiliki kemampuan dalam

BAB II. Kajian Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemahaman terhadap informasi yang diterimanya dan pengalaman yang

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Keterbatasan alat-alat praktikum laboratorium yang dimiliki sekolah mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PREDICT- OBSERVE-EXPLAIN-WRITE (POEW) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA PADA SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 11 PALU

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik yang dapat memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan baik

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Argarani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran fisika merupakan salah satu cabang mata pelajaran IPAyang diselenggarakan sebagai sarana atau wahana untuk melatih siswa agar dapat menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai kemampuan mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta bekal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, siswa diharapkan dapat memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Selain siswa dapat menguasai konsep dan prinsip fisika serta memupuk sikap ilmiah, siswa juga diharapkan dapat mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis (Permendiknas, 2006). Tujuan di atas menekankan pada kompetensi ranah sikap, keterampilan kognitif, keterampilan psikomotorik, dan pengetahuan seperti yang dijelaskan dalam karakteristik kurikulum berbasis kompetensi kurikulum 2013 poin keempat dalam dokumen kurikulum 2013 (Depdikbud, 2012) Siswa dalam upaya menguasai konsep fisika, menumbuhkan sikap ilmiah, dan mengembangkan pengalamannya dapat diaktualisasikan dalam kegiatan ilmiah yaitu melakukan kegiatan inkuiri ilmiah. Sebagaimana Depdiknas (2007) yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA/sains sebaiknya dilakukan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek kecakapan hidup. Upaya ini harus menekankan pembelajaran yang berpusat pada 1

siswa, guru hanya berperan sebagai mediator, fasilitator, dan motivator, sedangkan siswa diberitahu melainkan mencari tahu. diharapkan lebih aktif dalam pembelajaran, yaitu tidak Dari paparan di atas, mata pelajaran fisika diselenggarakan agar siswa bisa lebih aktif dalam melatih keterampilan ranah kognitif, afektif, dan psikomotornya dengan cara mengaktualisasikannya melalui kegiatan inkuiri ilmiah berupa kegiatan eksperimen. Untuk mengetahui keterlaksanaan keterampilanyang harus dilatihkan tersebut pada pembelajaran fisika disekolah, dilakukan studi pendahuluan di salah satu SMA Negeri yang ada di kota Bandung. Observasi pertama dilakukan pada tanggal 18-22 November 2013 dan observasi kedua tanggal 12-14 Februari 2014. Dalam studi pendahuluan ini peneliti menyebarkan angket kepada 70 siswa, melakukan wawancara dengan guru fisika dan melakukan observasi kelas di sekolah tersebut. Instrumen-instrumen yang digunakan dalam studi pendahuluan tersebut dapat dilihat dalam lampiran D7. Dari studi pendahuluan ini diperoleh data tentang respons siswa terkait mata pelajaran fisika, pencapaian hasil belajar siswa, permasalahan-permasalahan terkait pembelajaran fisika, dan kondisi pembelajaran fisika di kelas. Pada observasi pertama peneliti melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran fisika dan melihat hasil ulangan harian siswa. Dari hasil wawancara dengan guru mengenai pelaksanaan pembelajaran fisika di kelas diantaranya adalah penyampaian pembelajaran masih bersifat informatif atau siswa hanya menerima informasi dari guru tanpa memahaminya lebih lanjut. Pembelajaran yang bersifat informatif ini biasanya disampaikan melalui metode ceramah sehingga siswa tidak terlalu aktif dalam berinteraksi dengan guru, sehingga pembelajaran yang diharapkan siswa lebih aktif seperti yang tertuang dalam kurikulum 2013 belum berjalan sebagaimana mestinya. Selain penyampaian pembelajaran yang bersifat informatif, upaya untuk menumbuhkan sikap ilmiah siswa belum dilakukan sebagaimana mestinya di sekolah, ini dikarenakan belum dilatihkannya sikap ilmiah kepada siswa, terlihat 2

belum terlaksananya kegiatan eksperimen di sekolah. Belum terlaksananya kegiatan inkuiri ilmiah atau kegiatan eksperimen ini akan sulit untuk melatihkan keterampilan afektif dan psikomotor. Hal ini dikarenakan kegiatan praktikum merupakan strategi yang direkomendasikan untuk pengajaran sains, karena kegiatan praktikum mencakup pada pemecahan masalah, pengajaran berbasis penyelidikan, kegiatan berbasis laboratorium dan pengajaran berbasis proyek. Selain wawancara, pada observasi pertama ini peneliti juga melihat pencapaian ranah kognitif dari hasil ulangan harian dan sebaran angket ke siswa, kemampuan kognitif siswa jika dilihat dari nilai ulangan harian siswa rata-rata masih di bawah 60 atau masih dibawah KKM yaitu di bawah nilai 70.Rendahnya nilai ulangan harian ini juga juga diperkuat dengan angket yang menyatakan 53% dari 70 siswa masih kurang dalam memahami materi fisika dan 69% dari 70 siswa menyatakan belum mampu menerapkan materi fisika dalam kehidupan seharihari. Pada observasi kedua, peneliti melakukan pengamatan langsung untuk mengetahui apakah aspek yang harus dilatihkan dalam mata pelajaran fisika sudah terlaksana sebagaimana mestinya dalam pembelajaran.aspekyang dilatihkan ini berdasarkan pada tujuan diselenggarakannya mata pelajaran fisika yang bersesuaian dengan tujuan yang dicanangkan oleh Benjamin S. Bloom (1956) dan David Krathwohl (1964) (dalam Anderson, 2001)yaitu memiliki tiga kemampuan (kompetensi) diantaranyaranah kognitif, afektif, dan psikomotor.pada observasi kedua, peneliti mengamati ranah afektif dan psikomotor. Dari banyak level yang dilatihkan pada ranah afektif dan psikomotor, hanya beberapa level saja yang terlaksana, ada beberapa level yang tidak dilatihkan kepada siswa, terlihat pada saat pengamatan di lapangan yaitu pada saat kegiatan praktikum. Dari 5 level yang harus dilatihkan kepada siswa hanya 1 dari 5 level saja siswa sudah terampil melakukannya. Level yang diamati dalam ranah afektif adalah yang mencakup level menerima (melihat atau memperhatikan, mendengar, dan menulis). Dari hasil 3

pengamatan terlihat pada saat guru menyampaikan petunjuk ke setiap kelompok praktikum tidak semua memperhatikan dan mendengarkan apa yang disampaikan guru. Pada saat presentasi untuk melaporkan hasil percobaan, siswa kurang memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh temannya yang sedang presentasi sehingga berpengaruh pada level selanjutnya yaitu level merespons (bertanya, menjawab, dan menanggapi), dikarenakan tidak memperhatikan presentasi kelompok lain. Pada saat bertanya pun kelompok yang presentasi agak sulit memahami pertanyaannya sehingga jawaban yang diberikan pun kurang sesuai dengan apayang ditanyakan, sehingga suasana kelas menjadi ribut karena saling menanggapi satu sama lain, yang bertanya dan menjawab terlihat adalah orang yang sama. Siswa yang bukan presentasi tidak terlihat ada yang menulis atau merangkum kembali hasil presentasi kelompok lain. Sehingga level menerima ini tidak terlaksana seperti yang diharapkan. Pada level menilai (kerjasama, kejujuran, dan bertanggung jawab) terlihat pada saat praktikum adalah belum jelasnya pembagian tugas sehingga nilai kerjasamanya masih kurang.beberapa siswa terlihat tidak serius melakukan percobaan sehingga nilai tanggung jawabnya masih terlihat kurang. Sehingga level nilai ini tidak terlaksana seperti yang diharapkan. Pada level mengorganisasi (membagi tugas, melaporkan, dan menyimpulkan) dari hasil pengamatan belum terlihatnya pemberian tugas yang jelas, sehingga beberapa siswa di salah satu kelompok terlihat tidak beraktivitas, ada yang menulis saja, berebutan melakukan percobaan dan sebagainya. Pada saat pelaporan dan presentasi di depan kelas, beberapa kelompok belum mampu meyimpulkan hasil percobaan dengan baik terlihat pada tujuan dan kesimpulan hasil percobaan yang belum sesuai. Pada levelmengkarakterisasi yang merupakan perbuatan yang konsisten dilakukan yang menjadi ciri-ciri pelakunya diantaranya terbuka dan hati-hati. Kebanyakan siswa hati-hati dalam bekerja hanya saja masih belum terbuka dalam 4

menyampaikan sesuatu. Sehingga level mengkarakterisasi ini tidak terlaksana seperti yang diharapkan. Dalam ranah psikomotor, keterampilan di beberapa levelyang terlihat pada saat observasi diantaranya adalah siswa belum terampil melakukannya.dari limalevel yang dilatihkan hanya satu level yang siswa terampil melakukannya. Level yang siswa terampil melakukannya dalam ranah psikomotor ini adalah level peniruan, manipulasi, ketepatan, artikulasi, dan pengalamiahan. Pada level peniruan, siswa belum sepenuhnya mampu meniru menggunakan alat percobaan, sehingga ada beberapa alat yang belum tepat penggunaannya contohnya pada kelompok yang praktikum tekanan hidrostatis siswa menutupi lubang tabung untuk melihat pancaran air tiap lubang menggunakan double tip yang menempel kuat seharusnya menggunakan solatip yang tidak menempel kuat, ini juga menyangkut pada tahap artikulasi siswa yang kurang dalam menggunakan alat sesuai ketentuannya dan tidak diberikannya langkah-langkah percobaan, siswa disuruh membuat langkah-langkah percobaannya masing-masing, sedangkan setiap kelompok memiliki percobaan yang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sedikit sukar. Pada level ketepatan, beberapa kelompok ada yang salah dalam menggunakan satuan.pada level artikulasi, terlihat pada hasil percobaan siswa yang belum ditulis dengan rapih. Sedangkan pada level pengalamiahan atau gerakan yang dilakukan secara rutin tanpa harus memikirkan terlebih dahulu diantaranya merapihkan, membersihkan, meletakkan, menyimpan, mengambil, pada tahap ini terlihat siswa sudah biasa melakukannya pada saat praktikum, hanya sebagian siswa saja yang tidak melakukannya dengan baik dan benar. Selain itu, pada saat observasi kedua peneliti mengamati beberapa siswa didalam kelompok diskusi yang aktif, terlihat siswa yang aktif ini masih kurang berbobot dalam menjawab, dan menanggapi pertanyaan diskusi.sedangkan siswa yang memiliki kemampuan lebih masih terlihat tertutup dan kurang berbagi dengan siswa yang lainnya.siswa yang memiliki kemampuan lebih ini diharapkan natinya dapat dibimbing, dan dijadikan tutor sebaya di kelompoknya sehingga 5

dapat memberikan arahan kepada teman-teman di kelompoknya. Selain itu juga level karakteristik (keterbukaan) pada siswa bisa dimaksimalkan, siswa yang berkemampuan lebih akan lebih terbuka dan yakin membantu membimbing teman-temannya setelah diberi arahan oleh guru. Dari observasi yang terlihat di lapangan, banyak sekali level-level yang dilatihkan kepada siswa di tiap ranah hasil belajar yang tidak terlaksana sepenuhnya, hanya beberapa level saja yang terlihat masih rendah seperti yang terlihat pada observasi yang kedua. Level-levelyang dimaksud adalah tiga kemampuan (kompetensi) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain banyaknya level yang belum dilatihkan, masih jarangnya guru menggunakan model pembelajaran yang tepat, sehingga pembelajaran yang bersifat informatif pun masih sering dilakukan pada setiap pembelajaran. Tidak terlaksananya beberapa level yang dilatihkan pada ranah hasil belajardan kurangnya guru melatihkan keterampilan ranah afektif dan psikomotor serta rata-rata nilai ulangan harian siswa yang masih di bawah 60 sehingga menunjukkan hasil belajar siswa masih rendah. Untuk melatihkan level-levelpada ranah hasil belajar ini dapat dilatihkan dengan kegiatan inkuiri. Inkuiri merupakan komponen paling dasar bagi guru sains untuk melatihkan level tersebut kepada siswa. Inkuiri yang dilakukan oleh siswa ini didefinisikan oleh National Science Education Standards (NAS, 1995, hlm. 23) (dalam Wenning, 2005, hlm. 3) sebagai aktivitas siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang ide ilmiah sama dengan pemahaman bagaimana ilmuwan belajar alam dunia. Seorang guru Fisika harus mempunyai pemahaman sifat dasar hirarkis dan hubungan dari jenis kebiasaan pedagogis dan proses-proses inkuiri yang komprehensif jika mereka mengajarkanfisikasecara efektif menggunakan inkuiri (Wenning, 2005, hlm. 4). Pemahaman tentang pengajaran inkuiri yang kurang mendalam akan menjadi kendala bagi guru Fisika pada saat mengajar dengan menggunakan pendekatan yang terbaru atau berubah menyesuaikan dengan sistem pendidikan Fisika yang 6

dipakai sekarang ini (Wenning, 2011, hlm. 8). Agar pengajaran inkuiri ini dapat dipahami dan dilaksanakan dengan mudah serta sejalan dengan sistem pendidikan Fisika sekarang ini, peneliti pendidikan mengembangkan model bersifat instruksional untuk membantu para praktisi memahami pentingnya dari dan hubungan antara aktivitas yang berhubungan dengan pengajaran (Wenning, 2011, hlm. 9). Model pengajaran inkuiri dikembangkan oleh Carl J. Wenning menjadi Levels of Inquiry yang menjelaskan secara lengkap urutan pembelajaran yang berkaitan (Wenning, 2005a, 2011, hlm. 9). Pengajaran inkuiri pada Levels of Inquiry dibagi secara hirarki menjadi beberapa level, dimulai level terendah hingga ke yang tertinggi, setiap levelnya memiliki tahapan-tahapan yang akan mempermudah guru dalam mengajarkan Fisika secara efektif menggunakan inkuiri. Dengan demikian untuk mempermudah melatihkan level pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor kepada siswa melalui kegiatan inkuiri, peneliti menggunakan Levels of Inquiry untuk mengajarkan materi fisika pada penelitian ini. Di tiap levelnya terdapat tahapan-tahapan yang akan mempermudah untuk melatihkan level-level di ketiga ranah tersebut. Selain itu, siswa yang memiliki kemampuan lebih yang cenderung tertutup dan kurang berbagi dengan siswa lain tentunya dapat dibimbing agar bisa lebih terbuka dan berbagi dengan siswa lain sehingga bisa dijadikan tutor di dalam kelompok. Sebagaimana menurut Benard (1990), tutor adalah seorang siswa yang berkompeten dengan diberikan pelatihan minimal dan bimbingan guru, membantu satu atau lebih siswa ditingkat kelas yang sama dalam belajar mengenai keterampilan atau konsep. Proses pemilihan tutor ini dimulai dari menyeleksi tutor berdasarkan prestasi belajar, sikap, dan karakter siswa yang mudah untuk diarahkan dan mengarahkan, memberikan pelatihan dan bimbingan, dan mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan oleh tutor. Yang akan dijadikan tutor ini adalah teman sebayanya agar bisa efektif berinteraksi dalam kelompoknya seperti di beberapa studi penelitian mengenai tutor sebaya yang telah dilakukan oleh DePaulo dkk(dalam Gertner dan Riessman, 7

1993; Tim Penyelenggara Tutorial UPI, 2009) menyebutkan bahwa keefektifan dapat terjadi dengan adanya kesamaan usia dan tingkat prestasi dari tutor dan tutee (siswa yang bukan tutor).sehingga siswa yang dijadikan tutor sebaya ini bisa berbagi dan mengarahkan siswa yang lainnya di dalam kelompok diskusi. Dengan demikian, untuk mengefektifkan siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam melakukan kegiatan inkuiri dengan siswa lain, peneliti mencoba memasukkan peran tutor sebaya kedalam model Levels of Inquiry. Model ini kemudian dinamakan dengan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya. Dengan adanya model ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang masih rendah. Dari uraian di atas, maka penelitian ini diberi judul Penerapan Model Levels of InquiryBerbantuan Tutor Sebaya Untuk MeningkatkanHasil Belajar Siswa. B. Identifikasi Masalah Masalah yang diidentifikasi pada penelitian ini adalah pembelajaran yang masih bersifat informatif, nilai ulangan siswa yang masih rendah, dan belum dilatihkannya beberapa level pada ranah afektif dan psikomotor dalam pembelajaran. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada penelitian meliputi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor.kognitif merujuk pada taksonomi Bloom revisi oleh Anderson (2001)yaitu level mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Penelitian ini hanya dibatasi sampai C4 disesuaikan dengan Standar Kompetensi (SK) yaitu menganalisis.pada ranah afektif diantaranyalevelmenerima (A1), merespon (A2), menilai (A3), mengorganisasi (A4), mengkarakterisasi (A5).Level padaranah psikomotor diantaranya levelmemanipulasi (P2), mempresisi (P3), mengartikulasi (P4),danmenaturalisasi (P5). C. Rumusan Masalah 8

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan masalah penelitian adalah Bagaimanakah penerapan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran fisika? dengan pertanyaan penelitian: 1. Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa kelas X IPA dalam ranah kognitif setelah diterapkan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya? 2. Bagaimanakah profil hasil belajar siswa kelas X IPA dalam ranah afektif setelah diterapkan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya? 3. Bagaimanakah profil hasil belajar siswa kelas X IPA dalam ranah untuk psikomotor setelah diterapkan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya? D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentangpeningkatan hasil belajar siswa pada ranah kognitif, dan profil hasil belajar siswa pada ranah afektif, dan psikomotor kelas X IPA setelah diberikan model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian model Levels of Inquiryberbantuan tutor sebayaini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perbaikan kualitas pembelajaran. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan positif dan menjadi alternatif model pembelajaran fisika sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. F. Struktur Organisasi Adapun rincian tentang urutan penulisan dari setiap bab sebagai berikut. 1. Bab I: Pendahuluan 9

Bab I berisi uraian tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari skripsi berisi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi. 2. Bab II:Kajian Pustaka. Bab II meupakan kajian pustaka yang berisi teori yang sedang dikaji diantaranya adalah pembelajaran inkuiri, Levels of Inquiryyang terdiri dari Tahapan dalam modellevels of Inquirydansiklus belajar Levels of Inquiry. Selain itu terdapat teori tentangtutor sebaya, modellevels of Inquiry berbantuan tutor sebaya yang terdiri dari tahapan dalam Levels of Inquiryberbantuan tutor sebaya, hasil belajar, hubungan Levels Of Inquiryberbantuan tutor sebaya dengan hasil belajar siswa, dan kelebihan dan kekurangan Levels of Inquiry berbantuan tutor sebaya. 3. Bab III: Metode Penelitian Bab III berisi penjabaran yang rinci mengenai model penelitian, termasuk beberapa komponen lainnya yaitu lokasi, populasi, dan sampel penelitian, desain penelitian, metode penelitian, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data, dan analisis data. 4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV terdiri atas dua hal utama yaitu analisis data dan pembahasan data. 5. Bab V Kesimpulan dan Saran 6. Daftar Pustaka 10