BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar 17% kematian anak usia di bawah 5 tahun karena pneumonia. Diperkirakan 9 juta kematian anak pada tahun 2007, sekitar 20% atau 1,8 juta kematian anak tersebut disebabkan karena pneumonia (Qazi dkk., 2008). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (Rahajoe dkk., 2013). Angka kejadian pneumonia di Amerika bervariasi berdasarkan kelompok usia. Anak usia di bawah 5 tahun sekitar 30 45 kejadian dari 1000 anak, untuk anak usia 5 9 tahun kejadiannya 16 20 dari 1000 anak, demikian dengan kelompok anak-anak dan remaja dengan angka kejadian yang sama 16 20 dari 1000 anak (Alak dkk., 2010; Ostapchuk dkk., 2004). Pada tahun 2006, pneumonia bersama dengan influenza termasuk ke dalam 8 penyakit utama yang menyebabkan kematian di Amerika Serikat. Tingkat kematian pada pasien rawat jalan kurang dari 5% sedangkan pada pasien rawat inap rata-rata 12% dan sekitar 40% pasien membutuhkan perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Biaya perawatan yang dibutuhkan untuk pasien dengan pneumonia pada tahun 2005 kira-kira sebesar $40 milyar (Alldredge dkk., 2012). 1
Pneumonia di Amerika terjadi sepanjang tahun, dengan agen penyebab yang bervariasi dan relatif berbeda tergantung pada musim. Pneumonia terjadi pada segala kelompok usia tetapi manifestasi klinis yang paling parah terjadi pada kelompok usia paling muda, lansia dan dengan penyakit kronis (DiPiro dkk., 2008). Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di negara berkembang termasuk di Indonesia. Kejadian pneumonia pada anak usia dibawah 5 tahun di negara maju adalah 2 4 kasus/ 100 anak/ tahun, sedangkan di negara berkembang 10 20 kasus/ 100 anak/ tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang (Pudjiadi dkk., 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia pada tahun 2007, pneumonia adalah penyebab kematian balita kedua tertinggi setelah diare seperti yang terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Penyebab Kematian Balita di Indonesia Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 (Kementerian Kesehatan RI, 2010). 2
Menurut Survei Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2001, sekitar 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem pernafasan, terutama pneumonia (Rahajoe dkk., 2013). Pada tahun 2010 pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit yaitu sebanyak 17.311 pasien rawat inap dengan 7,6% atau sebanyak 1.315 pasien meninggal karena pneumonia. Penemuan penderita pneumonia pada balita di Indonesia pada tahun 2011, sebanyak 168.019 penderita pneumonia balita usia dibawah 1 tahun dengan 10.770 balita menderita pneumonia berat dan sebanyak 312.014 penderita pneumonia balita usia 1 4 tahun dengan pneumonia berat sebanyak 10.797 balita (Kementerian Kesehatan, 2012). Berdasarkan survei pada tahun 2005, sebesar 23,6% kematian balita di Jawa Tengah disebabkan karena pneumonia. Pada tahun 2009 cakupan penemuan penderita pneumonia mencapai 26,7%. Jumlah balita di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak 4.423.370, dengan jumlah pneumonia sebanyak 69.619 balita (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2010). Rumah Sakit Dr.R.Soetrasno Rembang merupakan salah satu rumah sakit rujukan tingkat kabupaten di Jawa Tengah bagian timur. Pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap. Berdasarkan data tahun 2012 yang diperoleh dari bagian rekam medis RS Dr.R.Soetrasno Rembang, tercatat pasien yang dirawat inap karena pneumonia sebanyak 377 pasien, sebanyak 213 diantaranya (56,5%) merupakan pasien anak di bawah usia 14 tahun. Evaluasi penggunaan antibiotik pada anak dengan pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang belum pernah 3
dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat rasionalitas penggunaan antibiotik pada anak dengan pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang. Community-Acquired Pneumonia (CAP) berhubungan dengan pneumonia yang diperoleh dari luar rumah sakit atau perawatan jangka panjang pada sistem perawatan kesehatan tanpa adanya paparan baru penyebab pneumonia (Alldredge dkk., 2012). Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus, jamur dan bakteri. Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab tersering Community-Acquired Pneumonia (CAP) bakterial pada semua kelompok umur. Virus lebih sering ditemukan pada anak usia kurang dari 5 tahun. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae, lebih sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya merupakan penyebab tersering yang ditemukan pada anak usia lebih dari 10 tahun (Ostapchuk dkk., 2004; Pudjiadi dkk., 2010). Mycobacterium tuberculosis juga dapat menyebabkan Community-Acquired Pneumonia (CAP) pada anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi. Pada umumnya koinfeksi dua atau lebih mikroba dapat terjadi, dan sebesar 41% terjadi pada pasien rawat inap (Ostapchuk dkk., 2004). Meskipun antibiotik berperan penting dalam mengurangi kematian anak karena pneumonia, namun informasi tentang penggunaan antibiotik pada anak terbatas. Pada awal tahun 1990, hanya 19% anak-anak dengan pneumonia yang menerima antibiotik. Di beberapa negara, anak dengan pneumonia yang mendapatkan antibiotik kurang dari 10%, berarti 9 dari setiap 10 anak melawan infeksi tanpa bantuan. Saat ini, beberapa negara mulai meningkatkan penggunaan antibiotik pada anak dengan pneumonia. Mesir telah meningkatkan penggunaan 4
antibiotik dari 25% menjadi 75% dalam waktu delapan tahun dari tahun 1992 2000, sedangkan penggunaan antibiotik di Kolumbia meningkat dari 5% menjadi 30% hanya dalam waktu empat tahun (dari tahun 1986 1990) (Wardlaw dkk., 2006). Keputusan pemberian antibiotik pada anak didasarkan pada kondisi klinis dan faktor epidemiologi. Terapi antibiotik harus segera dimulai pada anak yang diduga menderita Community-Acquired Pneumonia (CAP) karena bakteri (Ostapchuk dkk., 2004). Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotik yang dimulai secara empiris dengan menggunakan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri penyebab penyakit diketahui, antibiotik diganti dengan antibiotik berspektrum sempit yang sesuai (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan selama 48 72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah munculnya kuman-kuman kebal antibiotik (resisten). Resistensi dijumpai pada Pneumococcus semakin meningkat sepuluh tahun terakhir, khususnya terhadap penisilin. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisiten khususnya terhadap derivat penisilin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Dalam menangani infeksi berat pada anak seperti pneumonia, terdapat beberapa masalah 5
yang perlu mendapat perhatian, antara lain pengobatan awal yang diberikan hanya secara empiris, maka kemungkinan dilakukan penggantian antibiotik sangat besar, pemberian obat lebih dari 1 jenis (multiple drug therapy) akan menimbulkan masalah peningkatan biaya pengobatan, mempertinggi risiko terjadinya efek samping dan memudahkan proses resistensi atau pemberian obat kadang-kadang mengalami hambatan karena pembuluh darah untuk pemberian obat secara parenteral sulit dicari atau karena adanya inkomptabilitas antar obat (Soedarmo dkk., 2012). B. Rumusan Masalah Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan antibiotik pada anak penderita pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang? 2. Bagaimanakah outcome dari penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional pada pasien anak penderita pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang? C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien dengan pneumonia sudah pernah dilakukan, namun belum banyak penelitian serupa yang dilakukan khusus untuk pasien anak. Beberapa penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien dengan pneumonia dapat dilihat pada tabel 1. 6
Tabel 1. Penelitian Evaluasi dan Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibioik pada Pneumonia. Peneliti Judul Hasil penelitian Ahmad Subhan, 2007 Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pneumonia Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2004 November 2006. (Retrospektif) Selama periode data penelitian diketahui kejadian pneumonia sebanyak 62 kasus, sebanyak 49 pasien (79%) kategori inklusi, sebanyak 13 pasien (21%) kategori eksklusi. Metode pengobatan antibiotik diketahui 83,7% (41 pasien) dalam bentuk tunggal, 16,3% (8 pasien dalam bentuk kombinasi. Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan adalah Golongan sefalosporin I, II dan III: sefadroksil, sefprozil, sefrtriakson, sefiksim, seftazidim; Golongan kuinolon: levofloksasin, ofloksasin, siprofloksasin, pefloksasin, gatifloksasin; Golongan makrolida: azitromisin Golongan linkosamid: klindamisin. Berdasarkan penilaian antibiotik diketahui: sebanyak 83,7% (41 pasien) mendapatkan antibiotik sesuai dengan standar pedoman terapi pneumonia penelitian, sebanyak 16,3% (8 pasien) mendapatkan antibiotik tidak sesuai dengan standar pedoman terapi pneumonia penelitian. Keberhasilan terapi diketahui: sebanyak 57,1% (28 pasien) saat Keluar Rumah Sakit (KRS) dinyatakan sembuh dengan perbaikan parameter klinis, sebanyak 40,8% (20 pasien) dinyatakan belum sembuh dan sebanyak 2% (1 pasien) dinyatakan meninggal dunia. Lama waktu perawatan diketahui sebanyak 44,9% pasien dirawat < 1 minggu, sebanyak 20,4% pasien dirawat < 2 minggu, sebanyak 10,2% pasien dirawat selama 2 minggu, sebanyak 1% pasien dirawat selama < 3 minggu dan sebanyak 1% pasien dirawat selama 3 minggu. Khairuddin, 2009 Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pneumonia yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2008. (Retrospektif) Penggunaan antibiotik pada 94 pasien pneumonia, ketepatan indikasi pemberian antibiotik adalah 100% rasional. Ketepatan jenis antibiotik pada pasien pneumonia adalah 100% rasional. Ketepatan dosis dan frekuensi pemberian antibiotik 1,06% tidak rasional, sedangkan 98,93% adalah rasional. Ketepatan cara/rute pemberian antibiotik adalah 100% rasional. Ketepatan lama pemberian antibiotik ada perbedaan antara pengelolaan pneumonia dengan text book farmakologi. 7
Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada pneumonia juga sudah pernah dilakukan di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta (Lestari, 2013), hanya saja pada penelitian sebelumnya evaluasi dilakukan secara prospektif terhadap pasien dewasa. Penelitian Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Terhadap Outcome pada Pasien Anak Penderita Pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal rancangan penelitian, sampel, tempat penelitian, dan periode penelitian. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai penggunaan antibiotik pada anak dengan pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang. 2. Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk menggunakan antibiotik pada anak dengan pneumonia secara lebih rasional dan dapat menyusun Standar Pelayanan Medis pneumonia terutama pada anak guna meningkatkan therapeutic outcome. 3. Sebagai bahan bagi farmasis untuk lebih meningkatkan perannya dalam melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan antibiotik pada pneumonia anak. 8
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang. 2. Untuk mengetahui outcome dari penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional pada pasien anak penderita pneumonia di RS Dr.R.Soetrasno Rembang. 9