Proporsi Indeks Sosial Ekonomi dalam Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan 1

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

Definisi Bencana (2) (ISDR, 2004)

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

Fasilitasi Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

PENILAIAN RISIKO PPMK-DEPKES

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

Empowerment in disaster risk reduction

Imam A. Sadisun Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung (PMB ITB) KK Geologi Terapan - Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - ITB

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ARTIKEL STRATEGI PENANGANAN KEBENCANAAN DI KOTA SEMARANG (STUDI BANJIR DAN ROB) Penyusun : INNE SEPTIANA PERMATASARI D2A Dosen Pembimbing :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

PENDAHULUAN Latar Belakang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

Definisi dan Jenis Bencana

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

Metodologi Penentuan Komoditas Unggulan Prioritas

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Korban Bencana dan Kecelakaan. Pencarian. pertolongan. Evakuasi. Standar Peralatan.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

KEPUTUSAN NOMOR 54 TAHUN 2015 TENTANG KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KONTINJENSI BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Undang- bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

BAB I PENDAHULUAN. negara ini baik bencana geologi (gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.. UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini,

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional (UU RI No 24 Tahun 2007). penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

Definisi dan Jenis Bencana

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PERMEN-KP/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA.

BAB I PENDAHULUAN. berada di kawasan yang disebut cincin api, kondisi tersebut akan

Transkripsi:

Proporsi Indeks Sosial Ekonomi dalam Penentuan Indeks Kepekaan Lingkungan 1 Oleh: Yudi Wahyudin, M.Si. 2 Abstract Environmental sensitivity index (ESI) is an approach to value sensitivity degree of an area that probably impacted by an oil spill. This index will directive health and safety environment (HSE) to focus response to more sensitive area to be managed and mitigate by looking at an environmental sensitivity area mapping which resulted from measuring ESI. There are three components which defined the ESI value, such as Vulnerability Index (VI), Ecological Index (EI), and Socioeconomic Index (SI). Due to the impact of oil spill relatively high for human being, then the socio-economic index would be defined higher proportion than other indices. This article will simulate how the SI weight impacting ESI criteria from the regular basis and the impact for scalar. It will give three options simulations to review the regular state. Key words: ESI, vulnerability index, ecological index, socio-economic index. PENDAHULUAN Pada umumnya, risiko lingkungan dapat disebabkan oleh (1) bencana alam, (2) bencana akibat ulah manusia dan () kedaruratan kompleks. Risiko lingkungan akibat bencana alam diantaranya meliputi (i) bencana akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), (ii) bencana akibat hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), (iii) bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman), serta (iv) kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transporiasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia biasanya terkait dengan konflik antar manusia, diantaranya (i) akibat perebutan sumberdaya yang terbatas dan (ii) alasan ideologi, religius dan politik, sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah konflik. Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan tepadu. Risiko lingkungan laut akibat tumpahan minyak dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai risiko lingkungan akibat kegagalan teknologi. Kegagalan Teknologi merupakan kejadian bencana sebagai akibat kesalahan disain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Bencana jenis ini dapat menimbulkan korban jiwa, pencemaran udara, air dan tanah, serta kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya. Selain itu, bencana ini pada skala yang besar dapat mengancam kestabilan ekologi secara global. 1 Makalah disampaikan sebagai bahan komplemen pada Workshop Metodologi Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada Kamis, 07 Februari 201. 2 Peneliti pada Subprogram Kebijakan Ekonomi dan Kelautan PKSPL-IPB. Peserta Program Doktor Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. YDW 201.02 p.1 Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=221209

Besarnya potensi kerugian sosial dan ekonomi inilah kemudian yang mendorong munculnya pemikiran untuk memberikan porsi bobot yang lebih besar terhadap indeks sosial sebagai penyusun indeks kepekaan lingkungan. Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan sebuah indeks yang dapat menentukan tingkat sensitifitas lingkungan, termasuk akibat adanya potensi tumpahan minyak. Indeks ini didesain dari adanya empat kerentanan, yaitu: fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kerentanan (vulnerability) sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. DEFINISI DAN KRITERIA Kerentanan fisik ( P physic V ) yang dimiliki masyarakat adalah berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berasa di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya. Kerentanan fisik ini bisa juga ditunjukkan oleh kekuatan bangunan struktur (rumah, jalan, jembatan) terhadap ancaman bencana. Kriterianya adalah semakin lemah struktur bangunan, maka ancaman kerusakan terhadap aspek fisik menjadi semakin tinggi. Kerentanan sosial ( V ) S social ditentukan oleh kondisi sosial masyarakat dimana juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bahaya alam akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya. Kerentanan sosial umumnya ditunjukkan oleh kondisi demografi (jenis kelamin, usia, kesehatan, gizi, perilaku masyarakat) terhadap ancaman bencana. Kriterianya adalah semakin kuat kondisi demografi suatu wilayah, maka ancaman terjadinya kerusakan dapat diminimalisasi. Kerentanan ekonomi ( V ) E economic tergantung dari kemampuan ekonomi (finansial) suatu individu atau masyarakat sehingga sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana. Kriterianya adalah bahwa semakin kuat kemampuan finansial masyarakat dan atau pemerintah, maka rentanitas terhadap ancaman bahaya dapat menjadi semakin kecil. Kerentanan lingkungan ( E V t ) environmen tergantung dari lingkungan hidup suatu masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya. Kerentanan lingkungan juga ditentukan oleh tingkat ketersediaan/kelangkaan sumberdaya (lahan, air, udara) serta kerusakan lingkungan yang terjadi. Kriteria ini dapat ditunjukkan oleh luasnya kawasan hutan alam, hutan lahan kering, hutan mangrove, rawa, dan semak belukar yang terdapat di suatu daerah. Kriterianya adalah bahwa suatu daerah yang memiliki luasan kawasan hutan alam, hutan lahan kering, hutan mangrove, rawa, dan semak belukar lebih kecil, cenderung berpotensi mendapatkan kerugian yang lebih besar. YDW 201.02 p.2 Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=221209

METODOLOGI INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGANN Secara matematis, tingkat kerentanaan (VL, vulnerability level) ) setidaknyaa dapat ditulis sebagai persamaan (1) berikut: VL = f ( P V S Indeks Kepekaan Lingkungan (Environmental Sensitivity Index, ESI) yang selama ini dikembangkan PKSPL-IPB, menyatakann bahwa tingkat sensitifitas lingkungan akibat dampak tumpahan minyak merupakan fungsi dari indeks kerentanan (VI), indeks ekologi (EI) dan indeks sosial ekonomi (SI) dan secaraa matematis dapat ditulis sebagai persamaan (2) berikut: ESI = physic, social V, E economic V, E environmen n tv )... (1) f ( VI, EI, SI )... (2) Dalam hal ini, PKSPL-IPB memandang bahwa masing-masing indeks (VI, EI, SI) memiliki kerentanan yang sama terhadap ancaman tumpahan minyak. Dengan demikian, bobot pada masing-masing indeks (VI, EI, SI) dianggap sama dalam penentuan indeks kepekaan lingkungan. Dengan demikian persamaan (2) secara matematis dapat ditentukan sebagai persamaan () berikut: ESI = VI. EI. SI... () Masing-masing indeks mempunyai nilai indeks antaraa 1 sampai dengan 5, sehingga pada akhirnya indeks kepekaan lingkungan (ESI) akan bernilai indeks antara 1 sampai dengan 125. Tabel 1 berikut ini menggambarkan kriteria pengkategorian indeks kepekaan lingkungan (ESI) yang dikembangkan PKSPL-IPB, sedangkan Gambar 1 menunjukkan skala indeks kepekaan lingkungannya. Tabel 1. Klafisikasi indeks kepekaan lingkungan menurut PKSPL-IPB Nomor 1 2 4 5 Nilai Indeks Kepekaan Lingkungan (ESI) 1 2 8 9 27 28 64 65 125 Kategori Tidak Sensitif Kurang Sensitif Moderat Sensitif Sangat Sensitif Sumber: PKSPL (1998) Warnaa Gambar 1. Skala indeks kepekaan lingkungan menurut PKSPL-IPB Seperti telah disebutkan di muka bahwa muncul pemikiran untuk memberikan porsi bobot yang lebih tinggi terhadap indeks sosial ekonomi (SI) daripadaa indeks kerentanan (VI) dan indeks ekologi (EI). Dengan demikian, introduksi porsi bobot ke dalam persamaan (2) secara matematis dapat merubah notasi persamaan menjadi persamaan (4) berikut: ESI = f ( VI, α ). g( EI ). h( ), β SI, γ... (4) YDW 201.02 p.

SIMULASI PEMBOBOTAN INDEKS Porsi yang ditentukan KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) adalah bahwa bobot untuk indeks kerentanan dan indeks ekologi masing-masing sebesar 0,0 ( α = β = 0.), sedangkan bobot untuk indeks sosial ekonomi ditentukan sebesar 0,40 ( γ = 0.4). Penentuan porsi dari KLH ini menjadi faktor kendala dalam menentukan kriteria klasifikasi tingkat sensitifitas lingkungan akibat tumpahan minyak. Beberapa kemungkinan penyelesaian dengan faktor kendala yang ada diantaranya adalah: (1) Introduksi bobot ke dalam fungsi ESI tanpa merubah kriteria tetapi merubah persamaan (Option #1). (2) Introduksi bobot ke dalam fungsi ESI dengan merubah keseluruhan kriteria dan persamaan (Option #2). () Introduksi bobot ke dalam fungsi ESI dengan merubah sebagian kriteria dan persamaan (Option #). A. Option #1 A.1. Option #1-1 Persamaan (4) merupakan persamaan perkalian, sehingga diperlukan justifikasi perumusan yang sesuai agar tidak merubah kriteria penentuan tingkat sensifitas, sehingga introduksi bobot dilakukan melalui proses sebagai berikut: ESI = f ( VI, α ). g( EI, β ). h( SI, γ ) ( α = β = 0.) ( γ = 0.4) 1 ESI 125 α β γ ESI = VI. EI. α. β. γ α. β. γ α. β. γ ( ) ( ) ( SI ) ESI 0. 0. 0.4 O1 1 =... (5) ( )( )( ) ( VI ). ( )( )( ) ( EI ). ( )( )( ) ( SI ) 0. 0. 0.4 0. 0. 0.4 0. 0. 0.4 Tabel 2 berikut adalah hasil simulasi perhitungan nilai indeks sebelum dibobot (kriteria sama) dengan perhitungan nilai indeks setelah dibobot (kriteria sama). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan kriteria yang sama, introduksi pembobotan tidak merubah klasifikasi/kategori tingkat sensitifitas. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks yang sama antara kolom (4) yang menggambarkan nilai indeks dari hasil perhitungan dengan kolom (9) yang menggambarkan nilai indeks hasil perhitungan yang telah dibobot. YDW 201.02 p.4

Tabel 2. Simulasi nilai indeks sebelum dan sesudah pembobotan pada option #1-1 VI EI SI ESI Kriteria VI EI (0.) SI (0.4) ESI (0.) O-1 Kriteria 4 (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 5 5 5 125.00 Sangat Sensitif 4.54 4.54 6.06 125.00 Sangat Sensitif 2 4 24.00 Moderat 1.82 2.7 4.85 24.00 Moderat 1 5 15.00 Sensitif 0.91 2.7 6.06 15.00 Sensitif 4 5 60.00 Kurang Sensitif 2.7.6 6.06 60.00 Kurang Sensitif 1 1 1 1.00 Tidak Sensitif 0.91 0.91 1.21 1.00 Tidak Sensitif 1 1 2 2.00 Kurang Sensitif 0.91 0.91 2.42 2.00 Kurang Sensitif 1 1.00 Kurang Sensitif 0.91 0.91.6.00 Kurang Sensitif 1 1 4 4.00 Kurang Sensitif 0.91 0.91 4.85 4.00 Kurang Sensitif 1 1 5 5.00 Kurang Sensitif 0.91 0.91 6.06 5.00 Kurang Sensitif Sumber: Hasil simulasi (Februari, 201). A.2. Option #1-2 Persamaan (4) merupakan persamaan perkalian, dan bilamana introduksi bobot dilakukan secara langsung, maka kriteria tingkat sensitifitas harus dirubah, berikut adalah proses dan simulasinya: ESI = f ( VI, α ). g( EI, β ). h( SI, γ ) ( α = β = 0.) ( γ = 0.4) ESI = α ( VI )* β ( EI )* γ ( SI ) ESI O ( 0.VI )* ( 0.EI )* ( 0. 4SI ) 1 2 =... (6) Tabel berikut adalah hasil simulasi perhitungan nilai indeks sebelum dibobot dengan perhitungan nilai indeks setelah dibobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan pembobotan harus merubah kriteria. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks yang tidak sama antara kolom (4) yang menggambarkan nilai indeks dari hasil perhitungan dengan kolom (9) yang menggambarkan nilai indeks hasil perhitungan yang telah dibobot. Tabel juga menjelaskan bahwa perubahan nilai indeks seperti ditunjukkan pada kolom (4) dan kolom (9) secara keseluruhan tidak mempengaruhi kriteria setelah dilakukan penyesuaian, seperti yang dapat dilihat pada kolom (5) dan kolom (10). Tabel. Simulasi nilai indeks sebelum dan sesudah pembobotan pada option #1-2 VI EI SI ESI Kriteria 5 VI EI SI ESI (0.) (0.) (0.4) O1-2 Kriteria *) (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 5 5 5 125.00 Sangat Sensitif 1.50 1.50 2.00 4.50 Sangat Sensitif 2 4 24.00 Moderat 0.60 0.90 1.60 0.86 Moderat 2 5 0.00 Sensitif 0.60 0.90 2.00 1.08 Sensitif 1 2 6.00 Kurang Sensitif 0.0 0.60 1.20 0.22 Kurang Sensitif 1 1 1 1.00 Tidak Sensitif 0.0 0.0 0.40 0.04 Tidak Sensitif 1 1 2 2.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 0.80 0.07 Kurang Sensitif Kriteria dan skala sesuai dengan Tabel 1. 4 Ibid. 5 Kriteria dan skala sesuai dengan Tabel 1. YDW 201.02 p.5

VI EI SI ESI Kriteria 5 VI EI SI (0.) (0.) (0.4) ESI O1-2 Kriteria *) (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1 1.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 1.20 0.11 Kurang Sensitif 1 1 4 4.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 1.60 0.14 Kurang Sensitif 1 1 5 5.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 2.00 0.18 Kurang Sensitif 2 2 1 4.00 Kurang Sensitif 0.60 0.60 0.40 0.14 Kurang Sensitif 2 2 2 8.00 Kurang Sensitif 0.60 0.60 0.80 0.29 Kurang Sensitif 2 2 12.00 Moderat 0.60 0.60 1.20 0.4 Moderat 2 2 4 16.00 Moderat 0.60 0.60 1.60 0.58 Moderat 2 2 5 20.00 Moderat 0.60 0.60 2.00 0.72 Moderat 1 9.00 Moderat 0.90 0.90 0.40 0.2 Moderat 2 18.00 Moderat 0.90 0.90 0.80 0.65 Moderat 27.00 Moderat 0.90 0.90 1.20 0.97 Moderat 4 6.00 Sensitif 0.90 0.90 1.60 1.0 Sensitif 5 45.00 Sensitif 0.90 0.90 2.00 1.62 Sensitif Sumber: Hasil simulasi (Februari, 201). Keterangan *) Nomor Nilai Indeks Kepekaan Lingkungan (ESI) Kategori 1 0.04 Tidak Sensitif 2 0.041 0.29 Kurang Sensitif 0.291 0.97 Moderat 4 0.971 2.0 Sensitif 5 2.1 4.50 Sangat Sensitif B. Option #2 Persamaan (4) dijadikan sebagai persamaan pertambahan dan bilamana introduksi bobot dilakukan, maka kriteria tingkat sensitifitas sudah pasti harus dirubah, berikut adalah proses dan simulasinya: ESI = f ( VI, α ). g( EI, β ). h( SI, γ ) ( α = β = 0.) ( γ = 0.4) ESI = α ( VI ) + β ( EI ) + γ ( SI ) ESI O ( 0.VI ) + ( 0.EI ) ( 0. 4SI ) =... (7) 2 + Tabel 4 berikut adalah hasil simulasi perhitungan nilai indeks sebelum dibobot dengan perhitungan nilai indeks setelah dibobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan pembobotan harus merubah kriteria. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks yang tidak sama antara kolom (4) yang menggambarkan nilai indeks dari hasil perhitungan dengan kolom (9) yang menggambarkan nilai indeks hasil perhitungan yang telah dibobot. Tabel 4. Simulasi nilai indeks sebelum dan sesudah pembobotan pada option #2 VI EI SI ESI Kriteria 6 VI EI SI ESI (0.) (0.) (0.4) O2 Kriteria *) (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 5 5 5 125.00 Sangat Sensitif 1.50 1.50 2.00 5.00 Sangat Sensitif 2 4 24.00 Moderat 0.60 0.90 1.60.10 Sensitif 2 5 0.00 Sensitif 0.60 0.90 2.00.50 Sensitif 1 2 6.00 Kurang Sensitif 0.0 0.60 1.20 2.10 Moderat 1 1 1 1.00 Tidak Sensitif 0.0 0.0 0.40 1.00 Tidak Sensitif 6 Kriteria dan skala sesuai dengan Tabel 1. YDW 201.02 p.6

VI EI SI ESI Kriteria 6 VI EI SI (0.) (0.) (0.4) ESI O2 Kriteria *) (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1 1 2 2.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 0.80 1.40 Kurang Sensitif 1 1.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 1.20 1.80 Kurang Sensitif 1 1 4 4.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 1.60 2.20 Moderat 1 1 5 5.00 Kurang Sensitif 0.0 0.0 2.00 2.60 Moderat 2 2 1 4.00 Kurang Sensitif 0.60 0.60 0.40 1.60 Kurang Sensitif 2 2 2 8.00 Kurang Sensitif 0.60 0.60 0.80 2.00 Kurang Sensitif 2 2 12.00 Moderat 0.60 0.60 1.20 2.40 Moderat 2 2 4 16.00 Moderat 0.60 0.60 1.60 2.80 Moderat 2 2 5 20.00 Moderat 0.60 0.60 2.00.20 Sensitif 1 9.00 Moderat 0.90 0.90 0.40 2.20 Moderat 2 18.00 Moderat 0.90 0.90 0.80 2.60 Moderat 27.00 Moderat 0.90 0.90 1.20.00 Moderat 4 6.00 Sensitif 0.90 0.90 1.60.40 Sensitif 5 45.00 Sensitif 0.90 0.90 2.00.80 Sensitif Sumber: Hasil simulasi (Februari, 201). Keterangan *) Nomor Nilai Indeks Kepekaan Lingkungan (ESI) Kategori 1 1 Tidak Sensitif 2 1.1 2 Kurang Sensitif 2.1 Moderat 4.1 4 Sensitif 5 4.1 5 Sangat Sensitif C. Option # Persamaan (4) diintroduksi bobot dengan porsi indeks kerentanan dan indeks ekologi masing-masing sebesar 0,0 ( α = β = 0.), sedangkan bobot untuk indeks sosial ekonomi ditentukan sebesar 0,40 ( γ = 0.4), maka dengan tetap teorama yang sama dan sedikit merubah persamaan, maka kriteria tingkat sensitifitas akan berubah sesuai dengan bobot pembeda pada indeks sosial ekonomi, berikut adalah proses dan simulasinya: ESI = f ( VI, α ). g( EI, β ). h( SI, γ ) γ 0. α = β = = 1 γ = 0. ESI = α VI * β EI * γ SI ( α = β = 0.) ( = 0.4) ( ) ( ) ( ) 0.4 0. 4 = 4 ESI O = ( VI )*( EI )* SI... (8) Tabel 5 berikut adalah hasil simulasi perhitungan nilai indeks sebelum dibobot dengan perhitungan nilai indeks setelah dibobot yang ditunjukkan dari nilai indeks pada kolom (4) yang merupakan nilai indeks sebelum dibobot dengan nilai indeks pada kolom (9) yang menggambarkan nilai indeks hasil perhitungan yang telah dibobot. Kriteria pada kolom (5) dan (10) menunjukkan perbedaan, sehingga penggunaan porsi bobot pada SI secara langsung akan merubah nilai ESI dengan tetap menggunakan atau tidak merubah skala dan kriteria yang sudah dikembangkan. Tabel 5. Simulasi nilai indeks sebelum dan sesudah pembobotan pada option # YDW 201.02 p.7

VI EI SI ESI Kriteria 7 VI EI SI ESI (0.) (0.) (0.4) O Kriteria 8 (1) (2) () (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 5 5 5 125.00 Sangat Sensitif 5.00 5.00 6.67 166.67 Sangat Sensitif 2 4 24.00 Moderat 2.00.00 5. 2.00 Sensitif 2 5 0.00 Sensitif 2.00.00 6.67 40.00 Sensitif 1 2 6.00 Kurang Sensitif 1.00 2.00 4.00 8.00 Kurang Sensitif 1 1 1 1.00 Tidak Sensitif 1.00 1.00 1. 1. Kurang Sensitif 1 1 2 2.00 Kurang Sensitif 1.00 1.00 2.67 2.67 Kurang Sensitif 1 1.00 Kurang Sensitif 1.00 1.00 4.00 4.00 Kurang Sensitif 1 1 4 4.00 Kurang Sensitif 1.00 1.00 5. 5. Kurang Sensitif 1 1 5 5.00 Kurang Sensitif 1.00 1.00 6.67 6.67 Kurang Sensitif 2 2 1 4.00 Kurang Sensitif 2.00 2.00 1. 5. Kurang Sensitif 2 2 2 8.00 Kurang Sensitif 2.00 2.00 2.67 10.67 Moderat 2 2 12.00 Moderat 2.00 2.00 4.00 16.00 Moderat 2 2 4 16.00 Moderat 2.00 2.00 5. 21. Moderat 2 2 5 20.00 Moderat 2.00 2.00 6.67 26.67 Moderat 1 9.00 Moderat.00.00 1. 12.00 Moderat 2 18.00 Moderat.00.00 2.67 24.00 Moderat 27.00 Moderat.00.00 4.00 6.00 Sensitif 4 6.00 Sensitif.00.00 5. 48.00 Sensitif 5 45.00 Sensitif.00.00 6.67 60.00 Sensitif Sumber: Hasil simulasi (Februari, 201). Setelah dilakukan simulasi terhadap pembobotan berdasarkan porsi kerentanan sosial ekonomi yang diberikanan porsi lebih besar, maka terdapat justifikasi kriteria sensitifitas untuk opsi 2 dan, sehingga disarankan untuk memilih satu diantara dua opsi tersebut. Namun demikian, dikarenakan metodologi ESI yang selama ini dikembangkan menganut pendekatan distribusi seimbang antar komponen pembentuk ESI, maka opsi akan lebih tepat digunakan sebagai opsi terbaik. PENUTUP Penetapan kepekaan suatu wilayah dengan menggunakan pendekatan ESI sangat diperlukan agar manajemen dapat memberikan prioritas utama bagi penanggulangan/mitigasi suatu area bilamana terjadi tumpahan minyak. Penempatan indeks sosial-ekonomi dengan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan indeks kerentanan dan indeks ekologi didasarkan atas dampak akhir dari adanya tumpahan yang pada gilirannya bermuara pada kerugian sosial-ekonomi-ekologi. 7 Kriteria dan skala sesuai dengan Tabel 1. 8 Sesuai dengan kriteria dan skala pada Tabel 1, kecuali untuk kriteria sangat sensitif dinyatakan bilamana hasil perhitungan nilai ESI nya lebih dari 64. YDW 201.02 p.8

BAHAN BACAAN PKSPL-IPB. 1998. Indeks Kepekaan Lingkungan Selat Bali. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. http://webra.cas.sc.edu/hvri/products/sovi.aspx http://www.jedc.org/forms/vulnerability%20index.pdf http://www.natureserve.org/prodservices/climatechange/ccvi.jsp http://www.fao.org/sd/eidirect/eire0049.htm http://www.vulnerabilityindex.net/ http://www.geog.ox.ac.uk/news/events/ccamts/appendix06.pdf http://www.natureserve.org/prodservices/climatechange/pdfs/guidelines_natureservecli matechangevulnerabilityindex_r2.1_apr2011.pdf YDW 201.02 p.9