II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

STUDI POPULASI DAN DISTRIBUSI KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) DI TALUN DESA SINDULANG KECAMATAN CIMANGGUNG SUMEDANG JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2 Keanekaragaman jenis kukang dan sebarannya di dunia (foto: Fitch-Snyder, Streicher, Wirdateti, & Winarti)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

Burung Kakaktua. Kakatua

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

HABITAT, POPULASI, DAN SEBARAN KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TALUN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, JAWA BARAT INDAH WINARTI

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812)

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris; Jaffe 2007). Kukang dikenal juga dengan sebutan pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari (nokturnal). Populasi kukang di alam saat ini diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh perusakan habitat dan penangkapan yang terus berlangsung tanpa memperdulikan umur dan jenis kelamin (Nekaris; Jaffe 2007). Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Kukang tergolong satwa pemakan segala. Seperti halnya dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan dan dedaunan. Namun kukang di habitat alami, juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier; Napier, 1967). Kukang adalah jenis primata dari sub ordo Strepsirrhini, dengan nama latin Nycticebus yang berarti kera malam (Navier; Navier,1985; Navarro; Montes, 2008). Memiliki cara berjalan yang lambat serta ciri khas pada bentuk wajah,

garis sepanjang punggung (strip) dan sepasang mata yang besar dan bulat sebagai adaptasi kehidupan malam (nokturnal) (Roos, 2003). Primata kecil ini berukuran antara 259 sampai 380 mm, dengan berat badan mencapai 2 kg. Masa hidup kukang bisa mencapai 20 tahun (Wirdateti; Suparno, 2006). Makanan utamanya jenis serangga, telur burung, serta anakan burung dan buah-buahan. Mereka juga mengkonsumsi beberapa bagian pohon serta nektar (Pambudi, 2008). Kukang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena berfungsi sebagai kontrol populasi serangga (Nandini, Kakati, Ved, 2009). Gigi kukang yang tajam memiliki racun yang sangat efektif untuk membunuh mangsanya (Swapna, 2008). Sama halnya dengan primata lainnya permasalahan yang dihadapi oleh kukang adalah hilangnya habitat karena tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi, degradasi dan fragmentasi) termasuk akibat pembalakan hutan dan juga faktor lain yaitu perburuan untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan, dan pada sebagian masyarakat, kukang juga dijadikan media/bahan untuk kepentingan klenik (Wiens, 2002). Klasifikasi kukang Sumatera (Nyctecebus coucang) berdasarkan Napier; Napier (1985) dan Rowe (1996) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Sub Kelas : Eutheria Ordo : Primata Sub Ordo : Prosimii/Strepsirrhini 7

Infra Ordo : Lemuriformes Super Famili : Loroidea Famili : Loridae Genus : Nycticebus Spesies : Nycticebus coucang Nama lokal : Kukang B. Kelas Umur Kukang Pembagian kelas umur kukang menurut Setchell dan Curtis (2003) serta Zhang (1994) adalah neonate, infant, juvenil, pradewasa, dewasa,dan senile (tua). 1. Neonate : baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu. 2. Infant : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun ditinggalkan sementara. 3. Juvenile : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama induk tetapi sudah bergerak sendiri. 4. Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya. 5. Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi permanen sudah komplit. 6. Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut muka, pigmentasi kulit, perilakunya menunjukkan tanda-tanda penurunan daya penglihatan, katarak, kurus, rambut yang tipis, kehilangan gigi, dan lain-lain. 8

C. Perilaku Kukang 1. Aktivitas Harian Kukang pernah teramati melakukan aktivitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktivitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens, 2002). Infant kukang teramati mulai aktif bergerak pada 0-53 menit setelah matahari terbenam. Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens, 2002; Wiens; Zitzmann, 2003a; Napier; Napier, 1985; Rowe, 1996). Sekitar 93,3+5,4% waktu N. coucang dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% diantaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens, 2002). Berdasarkan penelitian N. coucang di kandang, 90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktifitas makan (Glassman; Wells, 1984). 2. Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial Kukang membentuk kelompok spasial yang masih mempunyai hubungan keluarga, terdiri dari satu jantan, satu betina, serta hingga tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens, 2002). Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi N. coucang dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik individu lain), alternate click calls (suara cericit atau klikklik yang tajam dan jelas baik rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain dengan jarak tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk nafas mendengus secara berulang) dan contact sleep 9

(tidur dengan berdampingan atau memeluk pinggang induk), serta ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh induk), juga suckle (aktivitas menyusui) (Wiens, 2002). Interaksi sosial kukang berkisar antara 0-7,7% (Wiens, 2002). Sedangkan aktivitas menyelisik individu lain dilakukan oleh kukang tidak lebih dari 6,7% dari masa aktifnya. Infant N. coucang lebih banyak menghabiskan waktunya guna berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40,8%) dapat dilhat dengan perbandingan aktivitas lainnya (26,5% berjalan, 6,1% siaga, 4,2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2% bergerak berpindah dengan cepat, dan 12,3% interaksi sosial termasuk click calling) (Wiens, 2002). 3. Infant Parking Infant parking merupakan perilaku meninggalkan infant saat induk pergi mencari makan (Napier; Napier, 1967; Nekaris; Bearder, 2007). Di penangkaran Infant parking pada kukang teramati pada hari ke dua setelah lahir (Zimmermann, 1989). Wiens (2002) dua kali mengamati Indikasi infant parking di alam saat menjumpai infant, masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119 g, sendirian di semak dan pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian infant yang teramati dari permukaan tanah adalah 2,2 m di semak dan 3,5 m di pohon. Semak dan pohon tersebut merupakan vegetasi untuk tidur pada siang hari. D. Habitat dan Sumber Pakan Odum mendefinisikan habitat merupakan tempat organisme tinggal dan hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukannya. Famili Lorisidae 10

memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris; Bearder, 2007). Kukang menyuka habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe, 1996; Nekaris; Shekelle, 2007). Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian ini terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi (MacKinnon; MacKinnon, 1987). Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas suatu satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Prowildlife, 2007). E. Vegetasi Pakan Pakan kukang secara umum adalah berupa tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan hewan). Sedangkan kukang Sumatera lebih menyukai getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) dan arthopoda (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). kukang Sumatera di Kabupaten Manjung Malaysia Barat menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakan (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). Infant kukang Sumatera memakan sumber pakan tumbuhan pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens; Zitzmann, 2003b). 11

F. Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur Dahan, ranting, pelepah palem, ataupun liana yang memungkinkan mereka bersembunyi dengan aman biasanya dipilih sebagai tempat tidur oleh kukang. Selain bagian vegetasi tersebut kukang tidak pernah menggunakan lubang pohon atau tempat tidur lainnya (Wiens, 2002). Kukang Sumatera di Manjung Malaysia Barat memilih tmpat tidurnya 73,7% pohon; 19,2% palem-paleman; 5,9% semak; 1,2% liana dengan tinggi di atas permukaan tanah 1,8-35 m. Setiap sepuluh hari N. coucang yang diamati Wiens (2002) menggunakan 7,4 vegetasi tidur yang berbeda. Vegetasi tidur yang digunakan kukang di Indonesia adalah jenis pohon dan epifit (Streicher, 2004). Posisi tidur kukang dari atas permukaan tanah berkisar 10-30 m. G. Status Konservasi Kukang Sumatera Tahun 1931 satwa liar di Indonesia dilindungi dengan Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14 Februari 1973, no. 66/Kpts/Um/2/1973, diperkuat oleh Peraturan Perundang-undangan no. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dan kukang termasuk dalam undang-undang tersebut. Namun kukang yang disebutkan dalam peraturan tersebut adalah Nycticebus coucang. Mengingat pembuatan aturan hukum dilakukan ketika belum adanya pemisahan spesies kukang menjadi lima, maka perlindungan tersebut ditujukan terhadap seluruh jenis kukang di Indonesia. Dari 25 satwa primata yang paling terancam punah 12

selama kurun waktu 2008-2010 ternyata kukang Sumatera termasuk di dalamnya (Mittermeier et al. 2009). Konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora dan Fauna) XIV di Den Haag Belanda pada tanggal 3-15 Juni 2007 menetapkan status kukang Sumatera dari Apendiks II menjadi Apendiks I (UNEP-WCMC, 2007). Kategori Apendiks I menguatkan perlindungan kukang, karena kukang Sumatera diakui sebagai satwa terancam punah dan perdagangan Internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan sama sekali. Menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources) (Nekaris; Shekelle, 2007) status Kukang Sumatera berubah menjadi semakin terancam, dan pada tahun 2008 berubah menjadi endangered atau hampir punah. 13