2.1 Definisi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara omentum, usus dan dinding perut. (Diaz, 2008) Perlengketan ini dapat berupa jaringan ikat tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh darah dan jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ (Binda, 2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi pasca inflamasi atau pasca operasi yang merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009) Adhesi dapat terjadi dalam beberapa jam pasca operasi dan berperan dalam menyebabkan obstruksi usus halus pada 60%-70% kasus obstruksi secara keseluruhan. ( Di Saverio, 2013; Hayanga,2005) Ileus adalah keadaan dari gerakan dan pasase usus yang normal tidak terjadi. Ileus timbul saat udara dan cairan sekresi tidak dapat keluar kearah anal karena berbagai sebab baik karena faktor intrinsik maupun ekstrinsik (mechanical obstruction) atau paralisis (non mechanical obstruction atau pseudo ileus). (Moran, 2007; Hayanga,2005; Wilson, 1999) Obstruksi usus halus mempunyai gambaran klinis nyeri kolik pada abdomen, muntah, distensi, dan obstipasi.(hayanga,2005) Kombinasi dari gejala klinis tersebut sangat bervariasi, tergantung pada level dan derajat obstruksi. Pada pasien dengan sumbatan letak tinggi akan mempunyai gejala mual dan muntah yang lebih dominan dibandingkan pada pasien yang memiliki sumbatan yang lebih ke distal. Kadang pada pasien sumbatan usus halus tidak dijumpai adanya distensi. (Moran, 2007)
2.2 Klasifikasi Obstruksi usus halus dapat diklasifikasikan berdasarkan total dan parsial. Menurut klinisnya dini dan lanjut (>30 hari setelah pembedahan). Menurut sebabnya ileus mekanikal dan ileus fungsional (paralitik) dan ileus karena gangguan vaskularisasi. (Fevabg, 2004; Maung,2012) Ileus obstruksi parsial terjadi apabila lumen usus menyempit tapi masih dapat sebagian isi usus masih dapat lewat ke arah distal. Ileus obstruksi total terjadi akibat lumen usus tersumbat total sehingga tidak ada isi usus yang dapat lewat ke arah distal. Ileus obstruksi total menyebabkan peningkatan risiko gangguan vaskular atau strangulasi dan bila ini terjadi maka membutuhkan penanganan operatif segera. (Moran,2007; Maung,2012) 2.3 Faktor Risiko Faktor risiko yang paling berperan terhadap terjadinya obstruksi usus halus akibat adhesi adalah teknik operasi dan luasnya jaringan peritonium yang mengalami kerusakan. Teknik operasi laparaskopi dan operasi terbuka mempunyai peranan yang penting terhadap morbiditas adhesi. Pada penelitian retrospektif 446.331 kasus operasi abdomen didapatkan data kejadian adhesi 7,1% pada operasi cholesistekstomi terbuka dibandingkan 0.2% dengan teknik laparaskopi. Pada total histerektomi didapatkan 15,6% kejadian adhesi dibandingkan 0.0% pada prosedur laparaskopi. Kejadian adhesi tidak bermakna pada tindakan operasi appendektomi, baik secara terbuka ataupun laparaskopi. (Dubuisson, 2010; Swank,2003; Kamel,2010)
Faktor risiko lainnya adalah usia lebih muda dari 60 tahun, peritonitis, tindakan operasi emergensi, luka tusuk, luka tembak, tindakan laparatomi dalam lima tahun belakang, mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami adhesi.(di Saverio, 2013) Hampir seluruhnya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi terjadi pada usus halus dan jarang sekali terjadi pada usus besar. Diperkirakan setiap tahunnya kasus ileus obstruksi yang disebabkan adhesi pascaoperasi ± 1 % dari seluruh kasus rawat inap, 3% dari kasus emergensi, dan 4% dari seluruh kasus laparotomi eksplorasi. Ileus obstruksi yang disebabkan adhesi juga menyebabkan gangguan produktivitas dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk operasi adhesiolisis. Penelitian Ray tahun 1998 di Amerika Serikat memperlihatkan adhesiolisis menghabiskan 1.3 milyar US dollar setiap tahunnya.(di Saverio, 2013) Penelitian retrospektif Menzies dan Ellis tahun 1990 terhadap 80 kasus ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi terjadi paling sering (57%) dalam waktu 1 tahun setelah tindakan operasi yang pertama, diikuti 21.25% terjadi dalam waktu 1-5 tahun, 21.25% terjadi dalam waktu lebih dari 10 tahun dan paling sedikit terjadi dalam waktu 1 bulan sebanyak 0.5%. Penelitian ini juga menyebutkan 75% dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi tersebut awalnya menjalani pembedahan di daerah abdomen dibawah kolon transverum, diantaranya apendektomi, kolektomi, dan operasi ginekologis.(ikechebelu,2010)
2.4 Etiologi dan Patogenesis terjadinya Adhesi Peritoneal Trauma jaringan selama operasi, proses inflammasi, sisa darah, bakteri dan jaringan nekrotik memang akan memicu sel-sel mesotel memproduksi eksudat yang kaya fibrin dan menyebabkan terbentuknya adhesi fibrinous. Akan tetapi cepatnya pembentukan adhesi fibrinous dalam waktu beberapa jam setelah ini karena peritoneum memiliki daya penyembuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan penyembuhan luka biasa.(cheong,2001; Koninckx,2010) Fibrin-fibrin ini dapat diabsorpsi secara komplit, sehingga rongga peritoneal menjadi bersih kembali atau dapat diorganisasi dengan tumbuhnya fibroblast yang membentuk adhesi fibrous yang menetap. Adhesi fibrous dapat terjadi karena 3 situasi sebagai hasil dari pembedahan abdomen yaitu:(binda,2009) 1. Aposisi dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan. Keadaan ini sudah dibuktikan pada percobaan binatang tikus yang dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan ternyata meningkatkan adhesi sampai 80%. 2. Keadaan iskemia jaringan. Hal ini dapat terjadi karena proses patologis intraabdomen, atau karena penjahitan ataupun devaskularisasi. 3. Adanya benda asing dalam rongga peritoneal,misalnya benang, bedak pada sarung tangan, bubuk antibiotika dan material sintetik lainnya. Inti dari patofisiologi adhesi pascaoperasi adalah keseimbangan dinamis antara pembentukan fibrin dan fibrinolisis. Dengan kadar PAA yang menurun maka kadar plasminogen menjadi plasmin akan menurun, sehingga mengakibatkan aktivitas fibrinolitik menurun.(schoman,2009)
Fibrin dapat terbentuk dalam waktu 10 menit dan organisasi dimulai dengan migrasi dari fibroblast dalam waktu 3 hari pertama. Fibroblast akan membentuk prekollagen lalu selanjutnya menjadi serabut kollagen serta akhirnya membentuk serabut elastik. Pembentukan adhesi yang komplit selesai dalam waktu 10 hari. (Liakakos,2001; Pismensky,2011) 2.5 Diagnosis Diagnosis dari ileus berdasarkan adanya tanda-tanda dan gejala klasik dari ileus lalu dikonfirmasikan dengan pencitraan yaitu foto polos abdomen atau dilakukan CT-Scan. Untuk lebih dapat melihat antara sumbatan total atau parsial dapat dilihat dari pemeriksaan water soluble follow through. Etiologi dapat ditemukan dengan anamnesis yang seksama disertai pencitraan radiologis. (Salamah,2006; Choi,2001) 2.5.1 Anamnesis dan Gejala Klinis Ileus Obstruksi Adhesi Pascaoperasi Gambaran klinis ileus obstruksi adhesi pascaoperasi tidak berbeda dengan gambaran ileus oleh sebab lain yaitu nyeri perut, kembung tidak dapat buang air besar (BAB), mual dan muntah. Biasanya nyeri perut dan kembung mendahului mual dan muntah beberapa jam sebelumnya. (Kamel, 2010, Moran,2007) Namun demikian pada pasien dengan sumbatan yang lebih proximal terkadang gejala kembung tidak dijumpai, dan gejala mual muntah akan lebih dominan. (Moran,2007) Semakin proksimal obstruksinya maka gejala mual dan muntah lebih awal dirasakan dan makin hebat. Untuk obstruksi usus halus, rasa nyeri dirasakan tidak terlokalisir, intermittent dengan interval rasa nyeri antara 30 detik sampai 2 menit,
semakin lama semakin nyeri. Untuk obstruksi usus besar, interval rasa nyeri dan durasi nyeri lebih panjang dibandingkan obstruksi usus halus. (Kamel,2010) Riwayat penyakit sebelumnya ditanyakan untuk menegakkan diagnosis, misalnya riwayat konstipasi kronis, perubahan bowel habit, riwayat keganasan dan penatalaksanaan untuk keganasan tersebut (pembedahan, kemoterapi,radioterapi ), serta riwayat penyakit Crohn s. Bila ada kecurigaan ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi, riwayat operasi sebelumnya harus ditanyakan, berapa kali dan berapa lama intervalnya dari keluhan.(kamel,2010) 2.5.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus dilakukan dan harus meliputi tanda-tanda vital dan status hidrasi, pemeriksaan abdomen, pemeriksaan kearah pintu-pintu hernia dan pemeriksaan colok dubur. Adanya luka operasi sebelumnya juga harus diperhatikan.(kamel,2010) Pada ileus obstruksi, pemeriksaan abdomen sangat memegang peranan. Pada inspeksi dapat terlihat kontur usus dan gerakan usus yang terlihat dari luar (visible peristaltic). Pada auskultasi bising usus akan meningkat dan biasanya akan terdengar suara tinggi (metallic sound) dan menyerupai suara tetes air yang jatuh ke dalam penampungan yang besar. Pada palpasi dapat dijumpai tanda-tanda rangsang peritoneal seperti nyeri lepas dan muscular rigidity.(kamel,2010) Pemeriksaan colok dubur juga harus dilakukan untuk menilai total atau tidaknya suatu obstruksi dengan menilai kollaps tidaknya ampulla rekti. Bila pasien telah mengalami peritonitis maka akan ditemukan nyeri tekan pada pemeriksaan ini.(kamel,2010)
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang 1. Labotarorium Data laboratorium tidak dapat membantu diagnostik tetapi dapat membantu dalam menentukan kondisi dari pasien dan memandu resusitasi. Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis, disertai elektrolit darah, kadar ureum dan kreatinin serta urinalisis harus dilakukan untuk menilai status hidrasi dan menyingkirkan sepsis. Jumlah leukosit dapat memberikan gambaran tentang kondisi usus. Pada usus halus yang tidak mengalami komplikasi jumlah leukosit akan tetap normal atau sedikit meningkat, namun jumlah leukosit yang mengalami peningkatan (>15.000) atau jumlah leukosit yang sangat sedikit (<4000) merupakan suatu kondisi yang harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya iskemik pada usus. Jumlah leukosit yang sangat tinggi lebih dari 18.000 telah terbukti mempunyai korelasi adanya usus yang telah mengalami ganggrenous. (Moran,2007) Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Tanaka pada tahun 2011 dengan melihat beberapa parameter laboratorium pemeriksaan darah yaitu laktat, leukosit, amylase, dan C-reaktif protein untuk mendeteksi terjadinya strangulasi usus akibat sumbatan usus halus. Dari penelitian ini didapatkan bahwa satu-satunya parameter pemeriksaan laboratorium yang bermakna terhadap viabilitas usus adalah pemeriksaan laktat dalam darah. (Tanaka,2011)
2. Pencitraan Ileus Obstruksi Foto toraks tegak dikombinasikan dengan foto abdomen tegak dan datar dapat menjadi alat bantu diagnostik pasien yang dicurigai ileus obstruksi. Foto toraks tegak dapat membantu untuk mendeteksi kondisi di luar abdomen yang dapat menyerupai ileus obstruksi, misalnya proses pneumonia. Adanya udara bebas intraabdomen yang mengindikasikan adanya perforasi organ berongga dan dapat terlihat pada foto toraks tegak. (Maung,2012) Gambar 2.1 : Foto polos abdomen supine dan erek dengan dijumpainya dilatasi usus, gambaran herring bone dan multiple air fluid level disertai mukosa yang edema, tidak dijumpainya udara pada kolon. Semua pasien yang dicurigai ileus obstruksi harus diperiksa foto polos abdomen. Pasien dengan foto polos yang tidak mendukung ileus obstruksi letak tinggi atau total perlu dilakukan diperiksa CT-Scan. CT-scan memberikan informasi lebih jelas dibandingkan foto polos. Ct-Scan dapat memberikan informasi adanya tanda-tanda strangulasi. Tanda-tanda pada CT scan yang mengindikasikan adanya strangulasi merupakan indikasi mutlak untuk pembedahan.(di Saverio,2013; Maung,2012)
Pemeriksaan water soluble follow through merupakan pemeriksaan yang dapat meberikan informasi tentang sumbatan usus halus parsial atau total. Bila dijumpai adanya gambaran kontras pada saekum kurang dari 24 jam menunjukkan sumbatan parsial dan bila tidak terdapat gambaran kontras setelah 24 jam menunjukkan adanya sumbatan total.(hayanga, 2005; Di Saverio,2013) Pemeriksaan water soluble follow through selain bermanfaat sebagai diagnostik juga berperan sebagai terapeutik. Water soluble kontras dengan osmolaritas yang lebih tinggi dapat menarik cairan sehingga mengurangi edem pada usus. Selain itu water soluble kontras juga dapat menurunkan waktu kontak atau sebagai pelicin dalam pasase isi usus sehingga meningkatkan motalitas usus dan mempermudah isi usus melewati celah yang sempit. (Choi, 2002; Salamah, 2006; Srinivasa, 2009; Maung, 2012)
DIAGNOSIS SUMBATAN USUS HALUS AKUT Evaluasi Awal Pemeriksaan Fisik Leukosit,Laktat,Elektrolit,BUN:Cr Riwayat Operasi Curiga Sumbatan Usus Halus X-Ray Abdomen Supine - Erek dan atau dengan kontras water soluble Multiple air-fluid level Distensi usus halus Tidak dijumpai gas pada kolon USG Abdomen (Keterbatasan nilai) Peristaltik/Distensi Diferensiasi lipatan mukosa didaerah transisional Cairan bebas (iskemia) CT scan abdomen dengan kontras water soluble Multiple air-fluid level Distensi usus halus Tidak dijumpai gas pada kolon MRI Abdomen (Keterbatasan nilai) Terbatas hanya pada pasien yang kontraindikasi terhadap CT atau kontras iodin Kontras water-soluble followthrough Pasien dirawat secara konservatif untuk menyingkirkan sumbatan total usus halus dan memprediksi perlunya tindakan pembedahan Diagram 2.1. Diagnosis sumbatan akut usus halus berdasarkan Bologna Guideline 2013
2.6 Penatalaksanaan Ileus Obstruksi karena Adhesi Pascaoperasi Sebagian besar ileus obstruksi adhesi pascaoperasi adalah obstruksi usus halus, dan penatalaksanaanya tidak berbeda dengan ileus obstruksi usus yang lain. Penatalaksanaan awal dari pasien dengan obstruksi usus halus harus ditujukan pada resusitasi cairan yang agresif, dekompresi usus yang mengalami obstruksi dan mencegah aspirasi. Koreksi elektrolit harus dilakukan sesegera mungkin.(di Saverio,2013; Maung,2012) Langkah awal yang paling penting adalah resusitasi cairan yang agresif karena pasien dengan obstruksi usus halus sering banyak kehilangan cairan dan elektrolit, khususnya kalium. Resusitasi dilakukan dengan cairan kristaloid seperti NaCl 0.9% atau Ringer Laktat dan keberhasilan resusitasi dapat dimonitor dengan produksi urine, minimal 0.5cc/kg/jam. Diharapkan setelah resusitasi secara klinis hemodinamik pasien stabil dan fungsi renal dapat kembali ke normal. (Di Saverio,2013) Dekompresi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) mutlak harus dilakukan dalam manajemen ileus obstruksi yang disebabkan adhesi pasca operasi. NGT juga mencegah distensi intestinal karena tertelannya udara dan mencegah aspirasi selama pasien muntah. Secara simptomatis, dekompresi membantu meringankan distensi abdomen dan dapat meningkatkan ventilasi pada pasien dengan gangguan respirasi. (Di Saverio,2013; Maung,2012)
2.7 Penatalaksanaan Non-Operatif Ileus Obstruksi Adhesi Pascaoperasi Penatalaksanaan non-operatif ditujukan untuk pasien dengan ileus obstruksi usus halus baik total maupun parsial dengan klinis tanpa tanda-tanda peritonitis dan atau strangulata. Indikator klinis, yang meliputi demam, leukositosis, takikardia, nyeri yang terus menerus, asidosis metabolik, dan sistemik inflamasi respon sindrom (SIRS), menunjukkan telah terjadinya iskemia usus pada 40% hingga 50% kasus. Pencitraan akan lebih menentukan apakah pasien membutuhkan tindakan operasi segera pada 70%-96% kasus.(shou- Chuan,2003, Di Saverio, 2013) Manajemen awal pasien dengan obstruksi total usus halus masih kontroversial. Meskipun pada obstruksi total akan membutuhkan reseksi usus hingga 31%, namun manajemen non operatif masih berhasil pada 41% hingga 73% pasien. Sementara angka keberhasilan terapi non operatif secara keseluruhan mencapai 65-81%, terutama pada pasien dengan parsial obstruksi.(maung, 2012) Pasien yang diterapi non-operatif memerlukan observasi ketat selama 24-48 jam. Adanya tanda dan gejala seperti demam, takikardia, leukositosis, nyeri tekan terlokalisir, nyeri abdomen yang terus menerus dan peritonitis mengindikasikan adanya obstruksi dengan komplikasi. Bila terdapat 3 dari gejala berikut ini: nyeri berkelanjutan, takikardia, leukositosis, tanda rangsang peritonitis dan demam memiliki angka prediktif 82% untuk ileus obstruksi strangulata sementara bila terdapat 4 dari gejala diatas memiliki angka prediktif mendekati 100%. (Isaksson,2011)
Bila pada foto abdomen ulang ternyata terdapat udara bebas intraabdomen atau tanda-tanda dari obstruksi closed-loop maka pasien harus segera diterapi operatif. Bila pada CT-Scan terdapat bukti iskhemia, strangulata atau gangguan vaskular maka pasien juga harus segera diterapi operatif. (Di Saverio,2013; Isaksson, 2011) Bila setelah 72 jam ternyata tidak ada perbaikan dengan terapi nonoperatif maka sebaiknya dilakukan terapi operatif segera karena dengan memperpanjang terapi non-operatif akan meningkatkan lama rawat inap di rumah sakit, meningkatkan biaya dan meningkatkan risiko morbiditas perioperatif. (Di Saverio,2013; Isaksson, 2011) 2.9 Prognosis Ileus Obstruksi Adhesi Pasca Operasi Studi oleh Fevang dkk tahun 2002 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada kelompok ileus obstruksi total yang diterapi non-operatif hanya sebesar 6%. Ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna. Kemungkinan akan terjadi ileus obstruksi adhesi pascaoperasi berulang pada 12 % pasien yang diberi terapi non-operatif dan 8-32% pada pasien setelah tindakan operatif. (Moran,2007; Wilson,1999) Hasil penelitian Fevang et al tahun 2004 mengatakan bahwa satu tahun setelah tindakan operasi dalam kasus sumbatan usus halus akibat adhesi akan mempunyai risiko untuk terjadi sumbatan ulang sebesar 7%, dalam 10 tahun akan mempunyai risiko 18% dan akan tetap meningkat hingga 29% pada 25 tahun pasca operasi yang pertama. Tidak ada pasien yang mengalami kejadian obstruksi berulang setelah 25 tahun pasca sumbatan usus halus akibat adhesi.