BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menindaklanjuti adanya laporan atau pengaduan tentang suatu perbuatan yang

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB 1 PENDAHULUAN. hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. matinya orang misalkan pembunuhan, aparat kepolisian sebagai penyidik yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

PERAN DOKTER AHLI FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PERKARA PIDANA SAMPAI PADA TINGKAT PENYIDIKAN. Skripsi


BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap 1

mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan : Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi ; b. keterangan ahli ; c. surat ; d. petunjuk ; e. keterangan terdakwa. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan : Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orangorang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para 2

penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut. 1) Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan 1) Prof. A. KarimNasution, S.H., Masalah Hukum pembuktian DalamKasusPidana, Jilid II, tanpa nama penerbit, 1975, hal.135. 3

bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan 4

tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami 5

peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam data kasus tindak pidana kesusilaan Polresta Pasuruan, menyebutkan pada tamggal 7 Juni 2010 terdapat tindak pidana persetubuhan terhadap wanita tidak berdaya yang dilakukan oleh pelaku yang berinisial MT berusia 50 tahun, yang dalam proses pembuktianya tidak menggunakan visum et repertum sebagai alat bukti, dimana penyidik menggunakan upaya lain dalam proses pembuktianya, karena dalam hal ini penyidik dapat mengggunakan upaya lain. 2) Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak. Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau 2) Data Unit PPA Polresta Pasuruan. 6

tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya 3). Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin 3) H.M.Soedjatmiko, IlmuKedokteranForensik,, 2001, hal.1. 7

korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut. 4) Peran visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan. Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut. Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau 4) Kasus Perkosaan Balita Mandek, KPPD (KelompokPerempuan Pro Demokrasi) MenyoalVisumDokter, JawaPos, Rabu 30 April 2008, hal. 30. 8

laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi. Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul PERAN VISUM ET REPERTUDALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN(Studi di Kepolisian Resort Pasuruan). B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut : 9

1. Bagaimanakah peran visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana perkosaan di Kepolisian Resort Kota Pasuruan? 2. Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban perkosaan? a. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunyai tujuan: 1) Untuk mengetahui optimalisasi visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan di Kepolisian resort Kota Pasuruan. 2) Untuk mengetahui upaya yang ditempuh penyidik apabila hasil visum et repertum tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban perkosaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu kasus perkosaan. D. Manfaat Penelitian : Memperhatikan tujuan penelitian yang ada, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat : 1) Bagi kalangan akademisi 10

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya yaitu ilmu kedokteran. Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil tersebut. Disamping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai penggunaan bantuan tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu perkara pidana. 2) Bagi masyarakat luas Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai peran visum et repertum dan penerapannya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat. 3) Bagi penulis Penelitian yang dilakukan dapat melatih dan mengasah kemampuan penulis dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori yang didapat dari bangku kuliah dengan penerapan teori dan peraturan yang terjadi di masyarakat. Hasil 11

penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penggunaan visum et repertum bagi kepentingan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana perkosaan. E. Metode Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian yang seobyektif mungkin. Untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi yang akurat dan data-data yang mendukung. Sehubungan dengan hal tersebut, metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam mengkaji permasalahan adalah yuridis sosiologis yang berarti penelitian terhadap permasalahan hukum akan dilakukan secara sosiologis atau memperhatikan aspek dan pranata-pranata sosial yang lainnya. Dalam hal ini metode pendekatan akan menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman pembahasan masalah, juga dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam praktek dan aspekaspek sosial yang berpengaruh. 5) Pendekatan yuridis dalam penelitian ini yaitu mengacu pada peraturan perundang-undangan dalam KUHAP yang mengatur penggunaan bantuan orang ahli dalam tahap penyidikan perkara pidana, dalam hal ini khususnya dokter sebagai pembuat visum et repertum. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan 5) Ronny HanitijoSoemitro, MetodologiPenelitianHukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.15. 12

untuk mengetahui peranan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana perkosaan berdasarkan ketentuan tersebut dalam kenyataannya di lapang. 2. Lokasi Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini diadakan penelitian di Kepolisian Resort Kota Pasuruan (Polresta Pasuruan) dengan pertimbangan di tempat tersebut pemeriksaan terhadap kasus perkosaan atau kejahatan kesusilaan lainnya sering menggunakan visum et repertum untuk mendapatkan bukti-bukti yang penting dan memerlukan keahlian khusus dalam pengungkapannya. Dari lokasi penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data-data dan temuan lainnya guna penyusunan skripsi ini. 3. Jenis dan Sumber Data Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan jenis data sebagai berikut : 1) Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapang melalui teknik wawancara dengan responden 6). Data jenis ini diperoleh dari sumber data yang merupakan responden penelitian yaitu penyidik di Polresta Malang khususnya yang bertugas di Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK). RPK yaitu suatu bagian ruang pemeriksaan di Polresta Pasuruan yang dipergunakan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana dengan pelaku anak-anak. 6) Ibid., hal.24. 13

2) Data Sekunder Data sekunder yaitu data tidak langsung yang diperoleh melalui studi kepustakaan. 7) Sumber data dalam hal ini yaitu sebagai berikut : a) Dokumen-dokumen resmi, arsip-arsip yang terdapat di lokasi penelitian (Polresta Pasuruan). b) Literatur, perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, artikel-artikel dalam media cetak serta media massa lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kegiatan sebagai berikut : 1) Wawancara atau interview yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Dalam proses interview terdapat dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau penanya atau disebut interviewersedang pihak yang lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan atau responden. 8) Pada penelitian yang dilakukan ini, penulis atau peneliti berkedudukan sebagai interviewer dan responden adalah penyidik di Polresta Malang, khususnya yang bertugas di RPK yang pernah menangani kasus tindak pidana perkosaan. 7) Ibid. 8) Ibid., hal.71. 14

Teknik wawancara yang dipakai bersifat bebas terpimpin yaitu wawancara dilakukan dengan menggunakan interview guide yang berupa catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga dalam hal ini masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika interview dilakukan. 9) 2) Studi kepustakaan yaitu mendapatkan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari peraturan perundangundangan, teori-teori atau tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat. 10) 3) Studi dokumentasi, yaitu studi terhadap dokumen-dokumen resmi serta arsiparsip yang terkait dengan permasalahan yang diangkat. 11) Dalam hal ini dokumen atau arsip seperti surat permohonan pembuatan visum et repertum, visum et repertum korban pemerkosaan, serta arsip lainnya yang terkait dengan permasalahan yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Polresta Pasuruan. 5. Teknik analisis data : Data penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu berusaha menganalisa data dengan menguraikan dan memaparkan secara jelas dan apa adanya mengenai obyek yang diteliti. Data-data dan informasi yang diperoleh 9) Ibid., hal.73. 10) SoerjonoSoekanto, Pengantar Penelitian Hukum, PenerbitUniversitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal.21 11) Ibid., hal. 22. 15

dari obyek penelitian dikaji dan dianalisa, dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat. 12) Dari hal ini selanjutnya penulis dapat menarik kesimpulan mengenai peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam membantu aparat Kepolisian mengungkap suatu tindak pidana perkosaan. 5. Sistematika Penulisan Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang tertuang dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini selanjutnya dibagi dengan sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan yang diangkat, permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian dan manfaat penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika penulisan skripsi. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Didalamnya berisi materi mengenai tinjauan hukum pidana yang bersifat formil dan materiil, pengertian, kewenangan dan tugas penyidikan, pengaturan tindak pidana perkosaan dalam peraturan perundang-undangan, pengertian, jenis, dan bentuk umum visum et repertum, dasar hukum visum et 12) Ronny HanitijoSoemitro, MetodologiPenelitianHukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982., h.93. 16

repertum sebagai alat bukti, serta peranan visum et repertum dalam proses penanganan perkara pidana dan dasar hukum penggunaannya oleh penyidik. BABIII: OPTIMALISASI VISUM ET REPERTUMDALAM MENGUNGKAPTINDAK PIDANA PERKOSAAN Pada bab pembahasan ini dipaparkan data-data yang telah diperoleh dari penelitian lapang, didalamnya meliputi pembahasan mengenai prosedur penyidik dalam memperoleh visum et repertum untuk kasus perkosaan, penggunaan visum et repertum oleh penyidik yang meliputi pembahasan mengenai hal-hal yang termuat dalam visum et repertum yang dapat membantu penyidik dalam mengungkap suatu kasus perkosaan, kedudukan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti dalam pemeriksaan suatu kasus pemerkosaan, serta upaya yang dilakukan penyidik apabila visum et repertum yang diperoleh tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban. BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup, berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 17