ANALISIS NILAI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU

dokumen-dokumen yang mirip
V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

III. METODA PENELITIAN

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

III. METODOLOGI KAJIAN

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

III METODE PENELITIAN

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU OLEH: DEBBY VEMIANCY PATTIMAHU NRP P

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

STATUS KEBERLANJUTAN IKAN LOMPA (THRYSSA BAELAMA) PADA KAWASAN SASI NEGERI HARUKU KABUPATEN MALUKU TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Lokasi

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

ANALISIS KELAYAKAN DAN KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN WISATA CETACEAN WATCHING DI KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR.

STATUS KEBERLANJUTAN USAHA GARAM RAKYAT DI KECAMATAN LABAKKANG KABUPATEN PANGKEP

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN LAHAN BEKAS PENAMBANGAN BATUBARA UNTUK USAHA BUDIDAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN DI PESISIR KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN YULISTA NOVELIYANA

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

III. METODOLOGI PENELITIAN

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Pengukuran Indeks Keberlanjutan Industri Gula

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

ANALISIS INDEKS DAN STATUS KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

PEMANFAATAN PERSEMAIAN BERTINGKAT UNTUK PRODUKSI BIBIT DALAM KERANGKA REHABILITASI HUTAN MANGROVE SPESIFIK LOKASI. Bau Toknok 1 Wardah 1 1

STATUS KEBERLANJUTAN DIMENSI EKOLOGI BUDIDAYA IKAN PATIN (PANGASIANODON HYPOPHTHALMUS) DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

3 METODE UMUM PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variabel yang Diamati Ruang Lingkup Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI RAROWATU UTARA, BOMBANA SULAWESI TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

Transkripsi:

ANALISIS NILAI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU (Index Sustainability Analysis of Mangrove Forest Ecosystem Management in Western Part of Seram, Maluku) Debby.V. Pattimahu 1), Cecep Kusmana 2), Hartrisari Harjomidjojo 3), dan Dudung Darusman 2) ABSTRACT Mangrove forest ecosystem is an important ecosystem in a coastal area in order to improve the welfare of coastal villages as well as to improve the productivity of coastal ecosystem. The purposes of this research were (1) to identify indicators of sustainable mangrove forest ecosystem; (2) to analyze the ecological, economic and social conditions of mangrove forest ecosystem; (3) to analyze index sustainability of mangrove forest ecosystem and (4) to formulate strategies for sustainable mangrove forest ecosystem in Western Part of Seram, Maluku. This research applied multidimensional scaling (MDS), leverage analysis, Monte Carlo analysis and analytical hierarchy process (AHP) to analyze data. Research showed that dimension of ecology, economy, and social was high sustainable, low sustainable and unsustainable respectively. Among 22 indicators analyzed there were 6 sensitive indicators which affected local sustainability index. These sensitive indicators should be improved to increase local sustainability index in the future. Key words: mangrove sustainability indicators, mangrove sustainability index PENDAHULUAN Hutan mangrove adalah salah satu komponen ekosistem penting bagi kawasan pesisir. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh baik di wilayah pesisir yang memiliki muara dan dua jenis parasit (Soemadihardjo et al., 1993 dalam Kusmana, 2003). Jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir di Indonesia adalah bakau (Rhizopora spp.), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tancang (Bruguiera spp.), nyirih (Xylocarpus spp.), tengar (Ceriops spp.) dan buta-buta. Di berbagai negara terutama negara berkembang, hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang potensial untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi kesejahteraan dan perekonomian bangsa. Di Indonesia hutan mangrove sudah sejak beberapa abad dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Saat ini sejalan dengan pesatnya pembangunan di berbagai bidang, hutan mangrove dimanfaatkan dalam skala komersial terutama dalam bentuk kayu sebagai bahan baku pulp, kertas, dan arang. 1) Jurusan Kehutanan, Faperta, Universitas Pattimura 2) Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB 3) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 239

Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 4 Oktober 2010:239-249 Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3.735.250 ha, penyebaran hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Papua dengan luasan sebesar 1,3 juta ha dan sisanya di wilayah Indonesia lainnya (Kusmana, 2003). Luas hutan mangrove di Provinsi Maluku sebesar 165.775 ha (BAPEDALDA, 2004). Secara umum berdasarkan data Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005 luas hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat 3.823 ha (BPS, 2008). Kondisi hutan mangrove yang ada saat ini sudah mengalami penyusutan karena berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan hutan yang tidak terkendali serta konversi hutan mangrove untuk permukiman dan perkebunan. Kondisi ini akan bertambah parah karena belum adanya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Seram Bagian Barat. Oleh karena itu, diperlukan suatu rumusan strategi pengelolaannya. Dalam upaya merumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove, pengelolaan hutan mangrove perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dahuri et al. (2001) mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan berkelanjutan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi, yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Namun dalam pembahasan ini, penulis menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial. Menurut Marhayudi (2006), pengelompokan dimensi tersebut bukan yang penting, tetapi indikator atau kriteria pada setiap dimensi tersebut lebih penting sehingga akan mencakup seluas mungkin indikator yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan indikator-indikator pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan; (2) menganalisis kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat pada ekosistem hutan mangrove; (3) menganalisis nilai keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku, dari bulan Maret 2008 sampai bulan Februari 2009. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan data Citra Satelit Landsat 7 ETM + akuisisi 2005 dan peta penyebaran dan kerusakan mangrove. Metode Penelitian Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengambilan data primer mencakup inventarisasi vegetasi dan satwa, wawancara dengan kuesioner, aspirasi stakeholder, dan pendapat pakar. Pengumpulan data sekunder mencakup pengumpulan peta, data demografi, dan data penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini digunakan analisis keberlanjutan Rap-Mforest (Rapid Appraisal of the Status for Mangrove Forest) yang merupakan modifikasi dari 240

program Rapfish dan AHP. Proses algoritma Rap-Mforest melalui beberapa tahapan, yaitu (1) tahap penentuan indikator pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara berkelanjutan untuk masing-masing aspek (ekologi, ekonomi dan sosial); (2) tahap penilaian setiap indikator (skoring) dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor; (3) melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL algoritma; (4) melakukan rotasi untuk menentukan posisi pengelolaan ekosistem hutan mangrove pada ordinasi bad dan good dengan menggunakan excell; (5) melakukan analisis leverage dan analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Saaty (1991), tahapan dalam AHP adalah (1) mendefinisikan persoalan dan rincian pemecahan; (2) membuat struktur hierarkhi; (3) membuat matriks perbandingan berpasangan, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan; (4) melakukan perbandingan berpasangan; (5) menguji konsistensi judgement stakeholder dengan menghitung indeks konsistensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Status Keberlanjutan multidimensi Hasil analisis Rap-Mforest multidimensi keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,08 dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 22 indikator dari tiga dimensi yang dianalisis. Hasil analisis multidimensi dengan menggunakan Rap-Mforest dapat dilihat pada Gambar 1. 60 Up 40 20 0-20 Bad 36,08 Good 0 20 40 60 80 100 120-40 -60 Down Gambar 1. Analisis Rap-Mforest yang menunjukkan nilai keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat Indikator-indikator yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan analisis leverage sebanyak enam indikator, yaitu (1) data pemanfaatan hutan mangrove; (2) zonasi mangrove; (3) keterlibatan stakeholder; (4) perusakan sumber daya hutan; (5) akses masyarakat lokal dan (6) tingkat pendidikan masyarakat. Indikator-indikator ini perlu diperbaiki untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. 241

Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 4 Oktober 2010:239-249 Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks harus memiliki nilai yang sangat besar, tetapi dalam berbagai kondisi daerah tentu memiliki prioritas dimensi yang lebih dominan untuk menjadi perhatian. Ekologi Sosial Ekonomi Gambar 2. Diagram segitiga nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Berdasarkan Gambar 3, nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 79,95, termasuk dalam kategori berkelanjutan. Nilai indeks ini terdapat pada sumbu y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator lain di lapangan yang mendukung keberlanjutan dimensi ekologi. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap dimensi ekologi terdiri dari enam indikator, yaitu (1) rantai makanan dan ekosistem, (2) perubahan kualitas air, (3) ukuran populasi dan struktur demografi, (4) tingkat kekayaan/keragaman hutan mangrove, (5) struktur relung komunitas, dan (6) perubahan keragaman habitat. 60 40 20 0-20 -40-60 Up Bad Good 0 20 40 60 80 100 120 79,95 Down Gambar 3. Analisis Rap-Mforest yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi Analisis leverage bertujuan untuk melihat indikator yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat dua indikator yang sensitif terhadap nilai indeks 242

keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu (1) struktur relung komunitas dan (2) perubahan keragaman habitat akibat intervensi manusia. Struktur relung komunitas menunjukkan adanya perubahan, yang dapat dilihat dari adanya perubahan kelimpahan relatif pada semai dan pancang dari pohon-pohon pembentuk tajuk hutan mangrove jika dibandingkan dengan hutan mangrove yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Di samping itu, kelimpahan kelompok burung tertentu hanya sebagian dapat dipertahankan dalam variasi alaminya. Untuk mempertahankan struktur relung komunitas agar tidak mengalami perubahan, perlu ada kebijakan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan keragaman habitat akibat intervensi manusia. Terjadinya perubahan keragaman habitat pada hutan mangrove ditandai dengan adanya keterbukaan tajuk pohon yang besar, akibat kegiatan manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat dari 0,62% pada tahun 2006 menjadi 0,80% pada tahun 2007 diikuti yang dengan kebutuhan hidup yang terus bertambah menyebabkan aktivitas manusia memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya sehingga berdampak pada kerusakan hutan tersebut. Agar perubahan keragaman habitat akibat intervensi manusia tetap dapat dipertahankan dalam batas kritisnya, perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Rantai makanan dan ekosistem tidak terkontaminasi oleh bahan kimia Perubahan kualitas air 5,99 5,89 Indikator Ukuran populasi dan struktur demografi jenis-jenis tertentu Tingkat kekayaan/keragaman hutan mangrove Struktur relung komunitas tidak menunjukkan perubahan 4,57 5,20 11,55 Perubahan keragaman habitat akibat intervensi manusia 9,01 0 2 4 6 8 10 12 14 Nilai RMS (%) hasil analisis leverage Gambar 4. Hasil analisis sensitivitas pengelolaan ekosistem hutan mangrove dimensi ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Gambar 5 menunjukkan nilai indeks dimensi ekonomi sebesar 33,56, termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks ini terdapat pada sumbu y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator yang mempengaruhi nilai indeks tersebut sehingga dapat meningkatkan status nilai indeks. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi terdiri dari tujuh indikator: (1) peran mangrove terhadap pembangunan wilayah, (2) tersedianya hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove, (3) rehabilitasi lahan mangrove, (4) zonasi untuk berbagai tujuan pengelolaan, (5) pengelolaan hutan mangrove melibatkan berbagai stakeholder, (6) tersedianya 243

Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 4 Oktober 2010:239-249 rencana pengelolaan hutan mangrove, dan (7) pemanfaatan hasil hutan mangrove oleh masyarakat. 60 Up 40 20 0-20 -40-60 Bad Good 0 20 40 60 80 100 120 33,56 Down Gambar 5. Analisis Rap-Mforest yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Berdasarkan hasil analisis leverage yang terlihat pada Gambar 6, terdapat tiga indikator yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu (1) tersedianya hasil pemanfaatan hutan mangrove; (2) tersedia zonasi untuk berbagai tujuan pengelolaan, dan (3) pengelolaan hutan mangrove yang melibatkan berbagai stakeholder. Indikator yang perlu mendapat perhatian adalah tidak tersedianya hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove di lokasi penelitian. Belum adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat menyebabkan pemanfaatan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat juga dilakukan secara illegal, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, dalam rangka pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, pemerintah khususnya dinas terkait harus menyiapkan data yang berhubungan dengan hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove. Tidak tersedianya zonasi untuk berbagai tujuan pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian merupakan salah satu indikator yang perlu diperhatikan dalam upaya menghindari konflik pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan, perlu adanya zonasi untuk berbagai tujuan pengelolaan hutan mangrove. Indikator lain yang sensitif adalah pengelolaan hutan mangrove yang tidak melibatkan berbagai stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya hanya masyarakat yang berperan dalam memanfaatkan mangrove untuk kepentingan hidupnya. Belum terlihat peran pemerintah secara nyata dalam pemanfaatan mangrove di lokasi penelitian. Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan, upaya perbaikan perlu dilakukan terhadap indikator-indikator yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, tetapi indikator lain yang tidak sensitif berdasarkan analisis leverage juga perlu mendapat perhatian serius untuk ditangani. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan atau mempertahankan indikator-indikator yang berdampak positif terhadap peningkatan keberlanjutan dimensi ekonomi. Indikator-indikator yang perlu dipertahankan adalah (1) peran mangrove terhadap pembangunan wilayah dan (2) pemanfaatan hasil hutan mangrove oleh masyarakat. Sesuai dengan hasil analisis ekonomi 244

(nilai manfaat langsung) mangrove bagi masyarakat, pemanfaatan mangrove untuk sektor perikanan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Peran mangrove terhadap pembangunan wilayah 6,02 Tersedia hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove 11,53 Indikator Rehabilitasi mangrove Tersedianya zonasi untuk berbagai tujuan pengelolaan Pengelolaan hutan mangrove melibatkan berbagai stakeholder Tersedianya rencana pengelolaan hutan mangrove 7,41 10,83 8,84 6,91 Pemanfaatan hasil hutan mangrove oleh masyarakat 6,45 0 5 10 15 Nilai RMS (%) hasil analisis leverage Gambar 6. Hasil analisis sensitivitas pengelolaan ekosistem hutan mangrove dimensi ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Gambar 7 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 22,96, nilai indeks tersebut termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial adalah (1) peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, (2) pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan hutan mangrove, (3) pola hubungan antar-stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove, (4) perusakan sumber daya hutan oleh masyarakat, (5) tingkat pendidikan masyarakat di sekitar hutan mangrove, (6) kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove, (7) akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan mangrove, (8) ada caracara efektif dalam koordinasi antarlembaga dalam tataguna dan pengelolaan lahan, dan (9) kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove. 60 Up 40 20 0-20 Bad Good 22,96 0 20 40 60 80 100 120-40 -60 Down Gambar 7. Analisis Rap-Mforest yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial 245

Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 4 Oktober 2010:239-249 Untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial ini, perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa indikator sensitif yang mempengaruhi nilai indeks tersebut. Berdasarkan hasil analisis leverage yang terlihat pada Gambar 8, terdapat tiga indikator yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu (1) perusakan sumber daya hutan oleh masyarakat, (2) akses masyarakat lokal, dan (3) tingkat pendidikan masyarakat. Kerusakan sumber daya hutan oleh masyarakat terjadi akibat adanya penebangan pohon untuk kayu bakar dan kebutuhan lainnya sehingga lahan hutan menjadi terbuka. Analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan tahun 2005 menunjukkan perbedaan penutupan lahan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada tahun 2003 luasan lahan mangrove sebesar 2363,3 ha, sedangkan tahun 2005 luasan lahan mangrove menjadi 2189,3 ha. Luasan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat dalam waktu dua tahun mengalami penyusutan sebesar 174 ha atau sekitar 7,4%. Akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan mangrove tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu dan hasil perikanan seperti ikan, kepiting, dan udang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap hutan mangrove tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh Parawansa (2007) bahwa pengelolaan hutan mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti pentingnya pengelolaan sumber daya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumber daya alam tersebut. Indikator lain yang sensitif adalah tingkat pendidikan masyarakat di sekitar hutan mangrove. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang tidak tamat sekolah 27,63%, tamat sekolah dasar 33,33%, tamat sekolah lanjutan pertama 21,49%, tamat sekolah lanjutan atas 12,28% dan tamat perguruan tinggi 5,26 %. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pemahaman, kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove menjadi rendah. Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutannya, pendidikan informal terhadap masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk lebih memperluas wawasan dengan membekali pengetahuan dan ketrampilan yang memadai agar masyarakat dapat meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan mangrove. Pendidikan informal dapat dilakukan melalui bentuk penyuluhan atau pelatihan kepada masyarakat atau kelompok swadaya masyarakat lainnya. Hasil analisis Rap-Mforest menunjukkan bahwa semua indikator yang dikaji terhadap status pengelolaan ekosistem hutan mangrove memberikan hasil analisis yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 13 dan 14% dengan nilai R 2 yang diperoleh berkisar antara 0,93 dan 0,95 (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Kavanagh and Pitcher (2004) yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil daripada 0,25 (25%) dan nilai R 2 mendekati nilai 1,0. Kedua parameter ini menunjukkan bahwa seluruh indikator yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat relatif 246

baik dalam menerangkan ketiga dimensi pembangunan yang dianalisis. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ), kualitas hasil analisis akan semakin baik jika nilai koefiseien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian, kedua parameter menunjukkan bahwa seluruh indikator yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove relatif baik dalam menerangkan ketiga dimensi pembangunan yang dianalisis. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove Pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan hutan mangrove 2,56 2,57 Pola hubungan antara stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove 3,85 Perusakan sumber daya hutan oleh masyarakat 7,11 Indikator Tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan mangrove Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumber daya hutan mangrove 3,86 4,39 Akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan mangrove 6,59 Ada cara-cara efektif dalam koordinasi antar lembaga dalam tata guna dan pengelolaan hutan 2,50 Kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove 1,34 0 2 4 6 8 Nilai RMS (%) hasil analisis Leverage Gambar 8. Hasil analisis sensitivitas pengelolaan ekosistem hutan mangrove dimensi social Analisis Monte Carlo digunakan untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total dan setiap dimensi. Analisis Monte Carlo membantu melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap indikator pada setiap dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap indikator, variasi pemberian skor karena perbedaan pendapat, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau data hilang, dan nilai stress yang terlalu tinggi. Tabel 1. Hasil analisis Rap-Mforest untuk beberapa parameter statistik Nilai statistik Multidimensi Ekologi Ekonomi Sosial Stress 0.13 0.14 0.14 0.13 R 2 0.95 0.95 0.93 0.95 Jumlah iterasi 2 2 2 2 Hasil analisis Monte Carlo tidak banyak mengubah nilai indeks multidimensi dan masing-masing dimensi. Hasil analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dapat dilihat pada Tabel 2. Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap indikator, variasi pemberian opini relatif kecil dan proses analisis data yang dilakukan berulangulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Mforest dan Monte Carlo dapat dilihat pada Tabel 2. 247

Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 4 Oktober 2010:239-249 Tabel 2. Hasil Monte Carlo untuk nilai keberlanjutan dari masing-masing dimensi Status Hasil MDS (%) Hasil Monte Carlo (%) Perbedaan (%) Ekologi 79.95 77.83 2.12 Ekonomi 33.56 33.18 0.38 Sosial 22.96 25.01 2.05 Multidimensi 36.08 37.97 1.89 Keterangan: Perbedaan adalah beda nilai analisis MDS dan Monte Carlo Perbedaan hasil analisis yang kecil seperti pada Tabel 2 menunjukkan bahwa analisis Rap-Mforest dengan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan dapat disimpulkan bahwa metode Rap-Mforest dalam kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari pengelolaan ekosistem hutan mangrove di suatu wilayah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku dapat disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut. (1) Hasil pengamatan di lapangan dan studi pustaka menunjukkan terdapat 22 (duapuluh dua) indikator yang dapat mencerminkan indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. (2) Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara analisis multidimensi dengan metode Rap-Mforest adalah sebesar 36,08 pada skala sustainabilitas 0 100 (kurang berkelanjutan). Hasil analisis menunjukkan dimensi ekologi memiliki nilai indeks tertinggi, sebesar 79,95 (berkelanjutan), dimensi ekonomi 33,56 (kurang berkelanjutan), dan yang terendah dimensi sosial sebesar 22,96 (tidak berkelanjutan). Saran Berdasarkan hasil analisis indeks keberlanjutan, perlu diprioritaskan perbaikan dimensi keberlanjutan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih rendah, yaitu dimensi sosial dan ekonomi. Perbaikan terhadap setiap dimensi hendaknya dilakukan terhadap semua indikator secara keseluruhan sehingga berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan agar status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove dapat ditingkatkan secara maksimal. DAFTAR PUSTAKA BAPEDALDA. 2004. Basic data sumber daya alam dan lingkungan. Maluku: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. BPS. 2008. Seram Bagian Barat dalam angka. Maluku: Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat. 248

Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, dan Sitepu M. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Fauzi A. dan Anna S. 2005. Permodelan Sumber daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kavanagh P and Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. Universty of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12(2). Kusmana C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. IPB Press. Marhayudi P. 2006. Model pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Parawansa I. 2007. Pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin. Proses hirarkhi analisis untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Seri Manajemen No.132. Diterjemahkan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Dharma Aksdara Perkasa. 249