IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konsumsi Ransum Tabel 7. Pengaruh suplementasi L-karnitin dan minyak ikan lemuru terhadap performa burung puyuh Level Minyak Ikan Variabel Lemuru P0 P1 P2 P3 P4 Pr > F *) Konsumsi gram/ekor/hari 13,41 12,82 12,46 12,02 11,72 0,0001 PBBH gram/ekor/hari 2,24 2,39 2,35 2,45 2,49 0,360 Konversi 5,77 5,36 5,31 4,96 4,73 0,040 Mortalitas % 4,17 4,17 4,17 10,41 6,25 0,416 *) Nilai P untuk pengaruh perlakuan Tabel 8. Set kontras level minyak ikan lemuru antar perlakuan Signifikan Contras Antar Komponen Perlakuan Konsumsi PBBH Konversi 1 P0 vs P1P2P3P4 ** Ns * 2 P1 vs P2P3P4 ** Ns Ns 3 P2 vs P3P4 ** Ns Ns 4 P3 vs P4 Ns Ns Ns Keterangan : perbedaan yang nyata * (P<0,05), sangat nyata ** (P<0,01) dan ns : non signifikan lemuru dan L-karnitin berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum (Tabel 7). Secara statistik semakin tinggi penggunaan minyak ikan lemuru semakin menurunkan konsumsi ransum. Konsumsi ransum tertinggi adalah P0 (ransum basal/kontrol) yaitu 13,4 g/ekor/hari sedangkan terendah pada P4 yaitu 11,72 g/hari, yang berarti ada korelasi negatif antara kandungan energi dengan jumlah ransum yang dikonsumsi, yaitu semakin tinggi kandungan energi semakin rendah pula ransum yang dikonsumsi. Hasil 23 16
17 penelitian sesuai dengan pendapat Wahju (1988) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum ditentukan oleh kandungan energi dalam ransum, semakin tinggi energi ransum maka konsumsinya semakin menurun begitu juga sebaliknya. Demikian juga (Lohmann, 1999) menyatakan bahwa kandungan energi dalam ransum menentukan konsumsi ransum. Selain hal tersebut di atas konsumsi ransum juga dipengaruhi temperatur (suhu). Temperatur tinggi berpengaruh besar terhadap konsumsi ransum harian. Konsumsi rendah bila temperatur tinggi dan meningkat bila temperatur rendah. Suhu 16-24 0 C adalah suhu yang ideal bagi burung puyuh untuk berproduksi maksimal (Gellispie, 1987). Penelitian ini lakukan pada musim penghujan sehingga suhu lingkungan rendah yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Hasil analisis uji lanjut menggunakan contras ortogonal pada konsumsi ransum menunjukkan bahwa, komponen P0 dibandingkan P1, P2, P3, dan P4 berbeda sangat nyata (Tabel 8). Ini berarti bahwa ransum kontrol berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan. Komponen P1 dibandingkan P2, P3, dan P4 berbeda sangat nyata. Ini berarti ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 1% berbeda sangat nyata pula terhadap ransum yang ditambah minyak ikan tuna 2%, 3%, dan 4%. Komponen P2 dibandingkan P3, P4 berbeda sangat nyata. Ini berarti ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 2% berbeda sangat nyata terhadap ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 3% dan 4%. Komponen P3 dibandingkan P4 berbeda tidak nyata. Ini berarti ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 3% berbeda tidak nyata terhadap ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 4%. Hal ini disebabkan penggunaan minyak ikan lemuru 2% sudah mencapai kondisi optimal dalam konsumsi ransum sehingga pada ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 3% berbeda tidak nyata terhadap ransum yang ditambah minyak ikan lemuru 4%.
18 Penurunan konsumsi seiring dengan peningkatan level penggunaan minyak ikan ini diduga karena kandungan energi metabolis yang tinggi pada minyak ikan lemuru. Hal ini sesuai pendapat Wahyuni (2004) bahwa unggas cenderung berhenti makan apabila ransum mengandung energi metabolis tinggi, unggas sudah merasa kenyang karena energinya sudah terpenuhi hal ini sejalan dengan Lohmann (1999) kandungan energi dalam ransum menentukan konsumsi ransum. Lubis (1993) menyatakan bahwa minyak ikan lemuru memiliki lemak kasar 6%, dan energi metabolis 8280 (kkal/kg). Kandungan energi metabolis yang tinggi pada minyak ikan lemuru diduga menyebabkan konsumsi menurun, sedangkan penggunaan L-karnitin 20 ppm tidak mempengaruhi konsumsi karena tidak mempengaruhi palatabilitas. Konsumsi ransum yang semakin menurun juga diduga karena bau amis pada minyak ikan lemuru karena terdapat senyawa trimetil amino oksida yang menyebabkan bau amis sehingga menurunkan palatabilitas Ibrahim et al., (2005). B. Pertambahan Bobot Badan Harian lemuru dan L-karnitin berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sinergisme antara minyak ikan lemuru dan L-karnitin dalam meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi penghematan protein dalam ransum dengan cara meningkatkan sparing effect dari lemak, sehingga energi dari protein sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan (Suwarsito, 2006), sehingga walaupun konsumsi ransum semakin menurun dengan semakin meningkatya penggunaan minyak ikan tetapi tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian. Rasyaf (2006) menyatakan bahwa bobot badan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsi, dengan demikian perbedaan kandungan zat-zat makanan pada ransum dan banyaknya ransum yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh terhadap
19 bobot badan harian yang dihasilkan, karena kandungan zat-zat makanan yang seimbang dan cukup sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal. Energi yang terkandung dalam ransum adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan harian puyuh. Terpenuhinya energi dalam tubuh ternak dapat menurunkan konsumsi ransum, sehingga pada fase starter dan grower dari puyuh akan terjadi kekurangan zat-zat yang lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Menurut Trisiwi (2006) keseimbangan energi dan protein sangat berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum. Peningkatan level energi cenderung meningkatkan pertambahan bobot badan, hal ini diduga karena terjadi penimbunan lemak tubuh. Sedangkan peningkatan level protein cenderung menurunkan pertambahan bobot badan. Menurut NRC (1994) menyebutkan bahwa anak ayam broiler memiliki penampilan lebih baik apabila kelebihan asam-asam amino ransum diperkecil. C. Konversi Ransum lemuru dan L-karnitin berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi ransum (Tabel 7). Menurut Rasyaf (1994) konversi ransum dihitung dari perbandingan antara jumlah konsumsi ransum dengan PBBH yang dihasilkan. Hasil analisis uji lanjut menggunakan contras ortogonal pada konversi ransum menunjukkan bahwa, komponen P0 dibandingkan dengan P1, P2, P3 dan P4 menunjukkan pengaruh yang nyata. Ini berarti bahwa ransum kontrol berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan. Komponen P1 dibandingkan P2, P3, P4 berbeda tidak nyata. Komponen P2 dibandingkan dengan P3, P4 berbeda tidak nyata. Dan komponen P3 dibandingkan P4 juga berpengaruh tidak nyata. P0 (ransum kontrol) berbeda nyata dengan P1, P2, P3 dan P4 karena perbedaan penggunaan minyak ikan lemuru. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai konversi tidak adanya pengaruh antara pemberian l-karnitin dan minyak ikan lemuru dikarenakan adanya pengaruh dari konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan harian.
20 Kuspartoyo (1990) besarnya nilai konversi ransum bergantung pada dua hal yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum yang buruk atau tinggi berarti puyuh membutuhkan ransum lebih banyak untuk pertambahan bobot badan. D. Mortalitas Mortalitas merupakan salah satu faktor yang dapat merugikan usaha peternakan. Penyebab mortalitas antara lain stres, penyakit, sanitasi kandang dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi minyak ikan lemuru dan L-karnitin berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tingkat mortalitas (Tabel 7). Angka mortalitas pada penelitian ini berkisar antara 4,17-10,41. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian minyak ikan lemuru dan L-karnitin tidak mempengaruhi fisiologis tubuh ternak karena pemberian minyak hanya sampai taraf 4 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijiastuti (2013) bahwa penggunaan minyak ikan lemuru sebagai sumber omega 3 sampai level 7,5% dalam ransum ayam kampung tidak mempengaruhi fungsi fisiologis dalam tubuh ditinjau dari kadar total protein plasma dan hemoglobin darah yang normal. Penelitian ini bertentangan dengan Rusmana (2008) Pemberian minyak ikan lemuru sampai taraf 6% dalam ransum ayam broiler dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Faktor lain yang mempengaruhi mortalitas adalah sistem pemeliharaan. Sistem pemeliharan pada penelitian ini menggunakan kandang baterai. Menurut Chidananda et, al (1985) rataan mortalitas lebih tinggi terjadi pada sistem pemeliharaan dalam kandang baterai (38,70+2,84%) daripada sistem kandang litter (33,72+2,84). Pemeliharaan sistem kandang litter memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan rasa hangat pada puyuh, sebagai sumber vitamin B2 dan B12 yang berasal dari sekam padi, air dan kotoran yang terbuang dapat terserap lebih cepat oleh sekam padi, kaki puyuh tidak mudah rusak karena lantai kandang tidak keras dan dapat mengurangi sifat kanibal puyuh.