BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah besar penangkapan ikan tuna di Samudera. atau berada di perairan laut bebas di wilayah samudera Hindia sehingga

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

Rekomendasi Kebijakan 2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

PENDAHULUAN. global dalam dunia perikanan. Berdasarkan data dari United Nations Food and

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

DEWI INDIRA BIASANE NPM.

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai-bagai fungsi,

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

Pemimpin baru dan tantangan krisis ikan era perubahan iklim

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

Pengenalan Data Collection. Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting?

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

Kerjasama Pengelolaan Perikanan Samudera Hindia Dalam Rezim Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Soni Martin Anwar 1

2 KERANGKA PEMIKIRAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara, melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut. 1 Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara. Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan 1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Alumni. 1

oleh aktor-aktor internasional dipercaya dapat menciptakan kesepakatan bersama yang ditentukan dan dalam prakteknya harus ditaati oleh seluruh anggota dalam rezim tersebut. Rezim tersebut dibentuk untuk memfasilitasi hubungan kerjasama dalam membahas isu-isu tertentu dengan seperangkat aturan-aturan yang disepakati bersama-sama. Salah satu hal terkait pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 tersebut adalah upaya konservasi dan pemanfaatan yang tepat dan optimal terhadap spesies atau ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Spesies atau ikan yang beruaya jauh mencakup semua jenis spesies atau ikan yang dalam habitatnya kerap bermigrasi dengan jarak yang sangat jauh melintasi samudera. Tak jarang, wilayah habitat spesies atau ikan tersebut kerap melintasi batas wilayah laut suatu negara baik laut teritorial maupun wilayah zona ekonomi eksklusif. Sehingga upaya konservasi dan pengelolaannya tidak hanya menjadi kepentingan atau tanggung jawab bagi satu negara. Akan tetapi diperlukan adanya kerjasama antar negara-negara yang memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan spesies atau ikan tersebut maupun negara-negara yang wilayah perairan lautnya menjadi jalur migrasinya. Ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk dalam kategori spesies atau ikan yang beruaya jauh. Secara biologis, ikan tuna diketahui melakukan migrasi yang disebabkan oleh kebutuhan ikan tersebut dalam beradaptasi dengan habitatnya. Mengingat karater ikan tuna sebagai ikan yang beruaya jauh, tentunya dalam upaya konservasi dan pengelolaannya diperlukan kerjasama dengan negara lain. Salah satu jenis ikan tuna yang paling potensial 2

adalah ikan tuna sirip biru selatan. Ikan jenis ini dapat mencapai ukuran yang besar serta kandungan lemak dalam daging yang sangat banyak. Hal tersebut yang menyebabkan permintaan konsumen akan ikan tuna sirip biru selatan semakin meningkat terutama untuk konsumen sashimi di Jepang. Akibat permintaan yang semakin meningkat inilah terjadi penangkapan tuna sirip biru selatan secara besarbesaran (over exploitation) yang menyebabkan ketersediaan dan kelestarian tuna tersebut terancam. Untuk memastikan, melalui pengelolaan yang tepat, upaya konservasi dan pemanfaatan optimal terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan, dibentuklah sebuah RFMO bernama CCSBT. CCSBT atau Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna dibentuk pada tahun 1993 dengan dilatarbelakangi oleh fenomena semakin berkurangnya stok ketersediaan tuna sirip biru selatan akibat adanya tangkapan besar-besaran yang dilakukan terhadap jenis ikan tuna tersebut. Beberapa negara yang terdiri dari Jepang, Australia dan Selandia Baru secara sukarela membentuk peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan tuna sirip biru selatan demi menjaga kelestariannya. Peraturan tersebut kemudian diterapkan secara resmi pada 20 Mei 1994 dengan terbentuknya CCSBT. Sebagai sebuah rezim perikanan yang menangani segala isu dan permasalahan terkait tuna sirip biru selatan, CCSBT memuat seperangkat aturan dan prosedur maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sesuai standar yang berlaku. Kesemuanya itu terbentuk atas dasar kesepakatan antar negaranegara anggota yang selanjutnya wajib untuk diterapkan dalam sistem 3

pengelolaan tuna sirip biru selatan di negaranya masing-masing. Selain terdiri dari aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan, terdapat pula hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah berkaitan dengan spesies tuna sirip biru selatan. Indonesia telah bergabung secara resmi dalam keanggotaan CCSBT pada tanggal 8 April 2008. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota CCSBT tidak hanya dilatarbelakangi adanya keharusan bagi negara-negara untuk melakukan kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982. Akan tetapi, bergabungnya Indonesia dalam rezim perikanan tuna tersebut juga didorong karena Indonesia memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan tuna sirip biru selatan. B. Identifikasi Masalah Di Indonesia, perikanan tuna menduduki peringkat tinggi dalam kategori perikanan tangkap. Nilai keseluruhan tangkapan perikanan tuna dari perairan laut Indonesia secara umum mencapai 613.575 ton atau setara dengan 6,3 triliun rupiah per tahunnya. Meskipun wilayah perairan selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi jenis ikan ini (spawning ground), namun dalam hitungan tersebut, tuna sirip biru selatan hanya menyumbang tangkapan sebesar 4% dari total tangkapan tuna di Indonesia. Meskipun tangkapannya dinilai kecil, harga per ekor tuna sirip biru selatan tangkapan Indonesia tetap bernilai tinggi. Dimana ukuran dan banyaknya kandungan lemak dalam dagingnya lah yang menjadikan permintaan akan ikan ini semakin meningkat. 4

Di satu sisi produksi tuna sirip biru selatan Indonesia dapat dikatakan bagus, terlebih lagi dengan didukung wilayah starategis dimana perairan Laut Jawa selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi ikan tuna sirip biru selatan. Selain itu dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota CCSBT semestinya akan berdampak pada kemudahan yang diperoleh Indonesia dalam mengelola sumber daya tuna sirip biru selatan ini tentunya dengan tetap memperhatikan segala hak dan kewajiban yang harus dijalankan Indonesia sebagai anggota rezim tersebut. Akan tetapi, di sisi lain Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu, hambatan maupun permasalahan terkait pengelolaan sumber daya tuna sirip biru selatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih adanya kasus IUU fishing, pembatasan dan atau penurunan alokasi kuota tangkap tuna sirip biru selatan, dan tuduhan atas pelanggaran penangkapan baby tuna. IUU fishing merupakan aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan dan tidak terregulasi yang dilakukan oleh nelayan atau kapal penangkap ikan suatu negara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa IUU fishing tersebut dilakukan terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan yang juga bertentangan dengan aturan-aturan terkait upaya konservasi dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan yang ditetapkan CCSBT. Indonesia kerap mendapat tuduhan atas tindakan IUU fishig tersebut yang berakibat pada terhambatnya distribusi atau kegiatan ekspor tuna sirip biru selatannya. Tuna sirip biru selatan hasil tangkapan Indonesia 5

diklaim merupakan tangkapan ilegal dimana wilayah penangkapannya melanggar batas laut teritorial dan ZEE negara lain. Sebagai anggota dari CCSBT Indonesia diwajibkan untuk menyetujui dan melaksanakan segala aturan yang ditetapkan rezim perikanan tuna tersebut. salah satu aturan atau ketentuannya adalah alokasi kuota tangkapan tuna sirip biru selatan. Hingga tahun 2014, Indonesia memperoleh alokasi kuota tangkapan sebanyak 750 ton tiap tahunnya. Alokasi tersebut dinilai tidak adil dengan alasan bahwa besarnya alokasi kuota tersebut lebih kecil dan atau tidak sebanding dengan kemampuan produksi tuna sirip biru di perairan laut Indonesia. Ketika alokasi kuota tangkapan lebih kecil dibadingkan dengan kemampuan produksi tuna sirip biru selatan Indonesia, menyebabkan terjadinya kelebihan tangkapan terhadap ikan tersebut di perairan dalam negeri. Akibat adanya pelanggaran kuota ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali dihadapkan pada masalah pengurangan kuota oleh CCSBT. Sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan alokasi tambahan kuota tangkapan tuna sirip biru selatan, Indonesia mengajukan klaim kepada CCSBT bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam upaya konservasi untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan tersebut. Menurut beberapa penelitian yang dilakukan, wilayah perairan Laut Jawa selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi sumber daya tuna sirip biru selatan sebelum akhirnya ikan-ikan tersebut bermigrasi ke perairan laut yang lebih dalam dengan jarak yang sangat 6

jauh. 2 Oleh karena itu, Indonesia dinilai memiliki hak atas tambahan alokasi kuota tangkapan tuna sirip biru selatan. Namun hasilnya, Indonesia justru dihadapkan atas pelanggaran penangkapan terhadap tuna-tuna kecil (baby tuna) dimana ikan tuna hasil tangkapan Indonesia berukuran relatif kecil dan belum memenuhi standar yaitu <Lm (Lm: 119-130cm). Gambar 1. Peta Persebaran Habitat Tuna Sirip Biru Selatan 3 Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa ada ketidaksesuaian antara keadaan dimana semestinya sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia yang lebih baik yang dapat dicapai dengan masuknya Indonesia menjadi anggota resmi CCSBT dengan keadaan yang sebenarnya dimana Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu, hambatan maupun permasalahan terkait sumber daya tuna sirip biru selatan. Dengan bergabungnya Indonesia secara resmi 2 Yukinawa M. 1987. Report on 1986 research cruise of the R/V Shoyo Maru. Distribution of tuna and billfishes larvae and oceanographic observation in the eastern Indian Ocean January March, 1987. Rep. Res. Div., Fish. Agency Jpn. 61:1-100. 3 Shingu C. 1981. Ecology and Stock of Southern Bluefin Tuna. Australian CSIRO Division Fishery and Oceanography. 131: 79. 7

menjadi anggota CCSBT, Indonesia diwajibkan untuk mengadaptasi dan mengimplementasi segala aturan dan ketentuan terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan di dalam negeri. Dipatuhinya segala aturan tersebut diharapkan akan membawa Indonesia pada sistem pengelolaan tuna yang lebih baik sesuai dengan standar yang telah ditentukan dalam rezim tersebut. Namun, kenyataannya Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu dan permasalahan terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan. Adanya ketidaksesuaian tersebut kemudian menimbulkan anggapan bahwa rezim cenderung tidak menguntungkan karena dianggap hanya sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi sumber kekayaan hayati yang dimiliki oleh negara berkembang seperti Indonesia. C. Rumusan Masalah Dari penjabaran latar belakang tersebut maka penulis ingin mengeskplorasi lebih jauh mengenai pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia. Selanjutnya penulis menuliskannya dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana rezim perikanan tuna CCSBT memengaruhi pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia? D. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini penulis merujuk pada beberapa referensi yang berhubungan dengan variabel-variabel dalam topik penelitian ini. Referensi tersebut terdiri dari jurnal penelitian, tesis dan web resmi terkait. Sebagai variabel independen, rezim perikanan tuna memiliki peran tersendiri dalam upayanya mengelola sektor perikanan tuna yang juga diiringi dengan upaya konservasi 8

untuk menjaga ketersediaan sumber daya ikan tersebut. Rezim mempunyai mekanismenya sendiri dalam melaksanakan upaya konservasi dan pengelolaan perikanan tuna secara optimal agar dapat dicapai hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan utama rezim tersebut. Adapun beberapa rezim yang berkenaan dengan pengelolaan perikanan tuna yang juga berbatasan secara langsung dengan perairan laut Indonesia meliputi CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna), IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dan WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission). Beberapa penelitian terkait rezim perikanan tuna baik regional maupun internasional digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dewi Indira Biasane dalam tesisnya yang berjudul Kerjasama Maritim Asia Tenggara dalam Penanggulangan Penangkapan Ikan Ilegal: Studi Kasus Praktik Penangkapan Ikan Ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Dalam tesis tersebut dijelaskan mengenai peran rezim internasional dalam upayanya menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal melalui kerangka regional yaitu RPOA to promote responsible fishing practices, including combating illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing in the region. Akan tetapi dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa RPOA- IUU Fishing dinilai belum dapat menjadi sebuah rezim perikanan yang kuat karena dalam mekanismenya belum memasukkan variabel penyelesaian sengketa (dispute settlement). Hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian penulis terletak pada kedua variabel yang digunakan. Meskipun inti dari penelitian tersebut serupa, yaitu tentang peran atau kontribusi rezim perikanan 9

terhadap hal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tuna, cakupan independen penelitian tersebut lebih spesifik yaitu fokus terhadap RPOA-IUU fishing tetapi cakupan variabel dependennya lebih luuas yaitu berkaitan dengan praktik IUU fishing terhadap sumber daya ikan secar umum. Sedangkan dalam penelitian penulis, variabel independen merujuk pada rezim perim perikanan tuna CCSBT dengan variabel dependen yang lebih spesifik yaitu tentang pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia. Kedua, penelitian mengenai efektivitas rezim yang dilakukan oleh Soni Martin Anwar. Penelitian yang diberi judul Analisis Efektivitas Rezim Perikanan Regional IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dalam Pengelolaan Perikanan Samudra Hindia bertujuan untuk menganalisa efektivitas rezim perikanan regional IOTC dalam menghadapi permasalahan perikanan tuna di wilayah Samudra Hindia. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa rezim perikanan tuna IOTC dinilai efektif. Hal tersebut ditunjukkan bahwa rezim, dalam kapasitasnya, dinilai mampu menangani masalah yang dihadapi. Selain itu, masalah-masalah yang dihadapi rezim tersebut bersifat benign atau dengan kata lain benignity permasalahan yang dihadapi cukup tinggi. Penelitian tersebut memiliki tujuan yang hampir sama yaitu melihat bagaimana peran rezim internasional dalam pengelolaan perikanan tuna. Akan tetapi, tetap ada pembeda antar penelitian tersebut dengan penelitian penulis. Analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan teknis analisis efektivitas rezim sebagaimana digagas oleh Underdal. Ada dua variabel yang digunakan dalam 10

analisis tersebut yaitu variabel dependen dan independen. 4 Variabel dependen merujuk pada efektivitas rezim dan variabel independen merujuk pada dua hal utama yakni tipe permasalahan (problem benignity) dan kemampuan dalam mengatasi permasalahan (problem solving capacity). Kedua hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap tingkat kolaborasi (level of collaboration). Searah dengan pembahasan mengenai efektivitas rezim perikanan tersebut, Miles dkk. membahas tentang evaluasi terhadap beberapa rezim perikanan tuna regional yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Dalam buku berjudul Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence ini juga dipaparkan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam mengevaluasi efektivitas rezim sehingga sebagai hasilnya akan dapat diketahui seberapa efektif atau tidaknya rezim tersebut. 5 Ketiga, penelitian berjudul Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Indonesia yang dilakukan oleh Novia Tri Rahmawati. Dalam penelitian tersebut dipaparkan masalah-masalah terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan. Sebagai hasil dari penelitian tersebut kemudian diusulkan sistem penangkapan tuna sirip biru selatan yang dinilai lebih baik yang dapat mengatasi segala permasalahan terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan tersebut. Hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah penelitian tersebut lebih berfokus pada manajemen pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan yang disertai dengan penjelasan mengenai prosedur pengelolaan yang lebih 4 Underdal, Arild, 2002. One Question, Two Answers dalam Edward L. Miles, et.al., 2002. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. 5 Miles, Edward L., et.al. 2002. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory With Evidence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. 11

bersifat teknis. Metode yang digunakan dalam kedua penelitian ini pun berbeda dimana penelitian mengenai pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan tersebut menggunakan analisis untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan, analisis produktivitas kapal penangkap ikan, analisis pendugaan musim penangkapan, analisis ukuran rata-rata tertangkap dan analisis soft system methodology. Sedangkan dalam penelitian penulis, analisis dilakukan untuk mengetahui pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia. Analisis tersebut dilakukan dengan mengadaptasi komponen efektivitas rezim yang terdiri dari komponen output, outcome dan impact. 6 Dengan menggunakan beberapa acuan referensi tersebut penulis mencoba untuk menguraikan pembahasan secara lebih rinci dalam menjawab rumusan pertanyaan penelitian. Dalam hal ini akan dapat diketahui bagaimana pengaruh rezim perikanan CCSBT terhadap perdagangan perikanan tuna sirip biru Indonesia. Sehingga nantinya penelitian ini dapat menunjukkan hasil yang relevan dan akurat. E. Kerangka Konseptual Rezim Internasional Untuk mengetahui pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia maka penulis menggunakan konsep rezim internasional sebagai kerangka dalam memahami fenomena yang dibahas dalam penelitian ini. Rezim dapat didefinisikan seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan baik itu secara 6 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6. 12

eksplisit maupun implisit dimana harapan-harapan para aktor menyatu di dalam hubungan internasional. 7 Rezim yang di dalamnya berisi serangkaian aturan main berfungsi untuk mengelola hubungan-hubungan kekuasaan tertinggi. Tujuan dibentuknya rezim itu sendiri adalah sebagai wujud dari kesepakatan bersama dari aktor-aktor yang berkepentingan atas isu permasalahan tertentu dalam meminimalisir konflik yang terjadi dari terjalinnya hubungan antar aktor tersebut yang masing-masing cenderung bersifat otonom. Jika dijabarkan dalam konsep rezim internasional, CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) merupakan sebuah komisi untuk konservasi yang mulanya dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama negaranegara yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru. Kesepakatan itu dibentuk secara sukarela dimana negara-negara yang berkepentingan tersebut membangun kesadaran bersama dalam upaya pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan sumber daya ikan tuna sirip biru secara tepat. Upayaupaya tersebut perlu dilakukan sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi yaitu menurunnya kuota hasil tangkapan ikan tuna sirip biru. Sejak saat itu negara-negara utama pemancing ikan yakni Jepang, Australia dan Selandia Baru mulai menerapkan kuota ketat untuk armada penangkapan ikan mereka sebagai upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna sirip biru secara optimal. 8 7 Krasner, Stephen D. 1983. Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables. USA: Cornell University Press. 8 The Origin of the Convention diakses melalui http://www.ccsbt.org/site/origins_of_the_convention.php pada 18 Mei 2014 13

Rezim juga dapat dipahami sebagai serangkaian prosedur yang meliputi peraturan dan norma yang bersifat jelas dan masuk akal dan saling memberi keuntungan antar aktornya. 9 Jika nantinya terjadi perubahan atas prinsip dan norma maka akan berpengaruh juga terhadap perubahan rezim itu sendiri. Begitu juga ketika inkonsistensi atas prinsip dan norma tersebut terjadi akan berdampak pada melemahnya rezim tersebut. Selain dibentuk atas adanya kesepakatan dan persamaan kepentingan terhadap isu perikanan tuna sirip biru, CCSBT juga memiliki seperangkat aturan yang terangkum dalam sebuah prosedur manajemen. Di dalam prosedur manajemen tersebut telah diatur mengenai perubahan total hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) bagi negara-negara penangkap ikan tuna sirip biru yang juga menjadi anggota dalam rezim perikanan regional tersebut. Analisis terhadap pengaruh yang ditimbulkan rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia dilakukan dengan mengadaptasi komponen dalam efektivitas rezim yaitu output, outcome dan impact. 10 Output melihat pengaruh yang ditimbulkan dari proses pembentukan baik tertulis maupun tidak tertulis seperti konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, atau dapat pula dalam bentuk norma, prinsip, dan lain sebagainya. Melalui penelitian ini, output mengalisis pengaruh dengan melihat adanya seperangkat aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia terkait dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota dalam CCSBT. Outcome 9 Haas, Ernst. Technological Self-Reliance for Latin America: the OAS Contribution International Organization 34, 4 (Autumn 1980), halaman 553. dalam Krasner, Stephen D. 1983. Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables. USA: Cornell University Press (halaman: 2). 10 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6. 14

berhubungan dengan adanya perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut. Perubahan perilaku yang dialami subyek dalam rezim tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya subyek atau negara dalam menyesuaikan diri dengan segala aturan maupun ketentuan yang telah ditetapkan CCSBT. Sedangkan impact menganalisis pengaruh dengan melihat dampak yang muncul yang berkaitan dengan perubahan lingkungan biofisik. Tentunya perubahan lingkungan biofisik yang dimaksudkan berkaitan dengan ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia. CCSBT memiliki tujuan utama yaitu pencapaian konservasi terhadap ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan melalui upaya pengelolaan yang tepat. Dalam konteks kebijakan lingkungan, sebagaimana ditulis oleh Underdal, dijelaskan bahwa hal yang dinilai paling menentukan dalam konsep efektivitas rezim ini dapat dispesifikasikan dengan membedakan antara konsekuensi yang berupa perubahan subyek atau anggota dalam rezim tersebut dan konsekuensi yang terwujud melalui perubahan lingkungan biofisik itu sendiri. Sehingga bagaimana pun juga hal yang paling utama adalah terjaganya nilai-nilai lingkungan. Analisis melalui output, outcome, dan impact dimulai dengan mengalisis satu titik awal yang kemudian hasilnya digunakan untuk mengalisis tahap berikutnya. Pertama, diawali dengan menganalisis output untuk melihat aturanaturan maupun norma-norma yang diberlakukan dalam proses pembuatan keputusan dan atau pada tahap pembentukan rezim itu sendiri. Analisis terhadap aturan-aturan tersebut sekaligus dapat digunakan untuk melihat bagaimana bentuk 15

rezim yang sebenarnya yaitu mengikat atau tidak mengikat. Kedua, dari hasil analisis terhadap aturan-aturan yang diberlakukan dalam rezim tersebut kemudian dilanjutkan untuk menganalisis impact. Analisis impact ini melihat perubahan perilaku subyek dalam rezim yang disebabkan adanya aturan-aturan yang ditetapkan sebelumnya. Perubahan perilaku tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya penyesuaian diri dari subyek tersebut terhadap norma-norma dan atau aturan yang berlaku dalam rezim. Sebuah rezim dikatakan baik apabila dapat menimbulkan perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut. Selanjutnya, dari perubahan perilaku tersebut akan dianalisis kembali dengan melihat perubahan lingkungan biofisik yang menjadi target utama mengingat tujuan utama dibentuknya rezim tersebut adalah untuk mengupayakan konservasi terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan Indonesia. Object Output Outcome Impact (regime formation) (regime implementation) Time Level 1: Measures are in effect, and Nature responds The international target groups adjust. to changes agreement signed. in human Level 2: behaviour. Domestic measures are taken. Gambar 2. Konsep Analisis Output, Outcome, dan Impact 11 F. Argumen Utama Sebagai sebuah rezim perikanan tuna yang beranggotakan beberapa negara yang berkepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru selatan, adanya CCSBT secara otomatis telah mampu memengaruhi perilaku para anggotanya 11 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 7. 16

termasuk Indonesia. Pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia telah mendatangkan perubahan terutama dalam sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia. Selain itu, dengan dikeluarkannya beberapa resolusi oleh CCSBT yang kemudian diadaptasi dan diimplementasikan dalam sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia telah mampu mengurangi aktivitas IUU fishing terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dari tesis ini terdiri dari lima bab dengan substansi masing-masing bab tersebut masih berkaitan dengan bahasan utama yaitu tentang pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia. Bab I diawali dengan pendahuluan yang di dalamnya berisi penjelasan mengenai latar belakang dilanjutkan dengan penjelasan mengenai masalah-masalah terkait perikanan tuna sirip biru di Indonesia. Sebagai batasan pembahasan tesis ini, penulis merumuskan sebuah rumusan dalam bentuk pertanyaan rumusan masalah. Sebagai referensi dalam tinjauan pustaka, penulis merujuk pada beberapa tulisan yang mengandung informasi yang signifikan dan memiliki keterkaitan dengan tema bahasan penulis. Sedangkan konsep yang digunakan dalam menganalisis pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia, penulis menggunakan konsep rezim internasional dan mengadaptasi komponen efektivitas rezim yaitu output, outcome dan impact. Selanjutnya dalam bab ini juga menjelaskan mengenai argumen utama penulis, jangkauan penelitian dan manfaat penelitian. 17

Bab II berisi gambaran pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia dengan jangkauan waktu dari tahun 2006-2007. Batasan tahun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia belum bergabung secara resmi sebagai anggota CCSBT. Selain itu disebabkan oleh pertimbangan bahwa data perikanan di Indonesia baru tercatat secara resmi dalam data statistik nasional berdasarkan perbedaan spesies pada tahun 2006. Bab III kembali menjelaskan mengenai gambaran pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia dengan batasan tahun sejak tahun 2008-2014. Batasan tahun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut Indonesia sudah bergabung secara resmi menjadi anggota CCSBT. Bab IV berisi jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian atau analisis pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia. Sebelum dianalisis melalui tiga komponen output, outcome dan impact terlebih dahulu penulis melihat perubahan yang terjadi dengan cara membandingkan antara keadaan sebelum dan setelah Indonesia masuk menjadi anggota resmi CCSBT. Gambaran keadaan sebelum dan setelah Indonesia menjadi anggota CCSBT dapat dilihat pada penjelasan yang dipaparkan di bab II dan bab III. Dari perubahan tersebut kemudian penulis malanjutkan analisis dengan menggunakan tiga komponen output, outcome dan impact. Sedangkan bab V atau bab terakhir berisi kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan dalam penelitian. 18

H. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Perolehan data penelitian dilakukan melalui teknik wawancara terstruktur secara langsung dengan para stakeholder yang terlibat dalam komisi CCSBT delegasi Indonesia. Untuk mempertajam analisis dan mendukung kelengkapan data, penulis juga melakukan studi pustaka dari buku, jurnal penelitian terdahulu, situs web resmi yang terkait dengan tema penelitian, dan sumber-sumber lain yang dinilai valid serta akurat. I. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan oleh rezim CCSBT terhadap pengelolaan perikanan tuna sirip biru di Indonesia sejak Indonesia masuk dalam keanggotaan CCSBT yaitu tahun 2008 hingga saat ini. J. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama antara tahun 2006-2007 dan periode kedua antara tahun 2008-2014. Pembatasan tahun tersebut didasarkan atas alasan bahwa pada tahun 2006 Indonesia belum masuk sebagai anggota dalam CCSBT. Selain itu data perikanan Indonesia baru tercatat secara resmi di data statistik nasional pada tahun 2006. Periode kedua antara tahun 2008 2014 yang didasarkan atas pertimbangan bahwa tahun tersebut merupakan tahun dimana Indonesia mulai masuk menjadi anggota resmi CCSBT hingga saat ini. 19

K. Manfaat Penelitian Penulis berharap tesis ini akan bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan langsung terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia yang terdiri dari nelayan yang melakukan tangkapan secara langsung, para pelaku industri perikanan tuna, dan tentunya pemerintah atau institusi yang berwenang dalam bidang perikanan. Pengetahuan tentang rezim perikanan tuna CCSBT dengan segala aturan dan ketetapan serta pengaruhnya terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia juga diperlukan bagi para nelayan dan pelaku industri perikanan tuna mengingat pengelolaan perikanan tidak hanya menyangkut permasalahan kebijakan. Akan tetapi, pengelolaan tersebut juga menyangkut kegiatan penangkapan, distribusi dan pengolahan ikan tuna. Dalam CCSBT aturan dan ketentuan mengenai pengelolaan tuna sirip biru selatan telah diatur dari mulai proses penangkapan hingga distribusinya dimana aturan dan ketetapan tersebut sudah dijadikan standar yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh negara-negara anggota CCSBT. Jika ada tindakan pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan dan ketetapan tersebut maka sanksi akan diberikan atas ketidakpatuhan tersebut. Maka dari itu jika nelayan dapat memahami standar pengelolaan CCSBT secara teori diharapkan nantinya dapat menjadi bekal yang kemudian diimplementasikan dalam prosedur penangkapan secara langsung. Penulis juga berharap tesis ini akan memberikan kontribusi positif sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya terkait rezim dan pengelolaan perikanan tuna. 20