57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Obyek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu kota Bandung. Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibu kota negara Indonesia. Pada tahun 2000, Provinsi Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten yang berada di bagian barat. Saat ini terdapat wacana untuk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan aspek historis wilayah ini (wikipedia.com). Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Saat ini peningkatan ekonomi modern ditandai dengan peningkatan pada sektor manufaktur dan jasa. Disamping perkembangan sosial dan infrastruktur, sektor manufaktur terhitung terbesar dalam memberikan kontribusinya melalui investasi, hampir tiga-perempat dari industri manufaktur non-minyak berpusat di sekitar Jawa Barat. PDRB Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang 14-15 persen dari
total PDB nasional, angka tertinggi bagi sebuah Provinsi. Bagaimanapun juga karena jumlah penduduk yang besar, PDB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas, ini menggambarkan 82,4 persen dan 86,1 persen dari rata-rata nasional. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas 4,91 persen termasuk minyak dan gas, lebih baik dari Indonesia secara keseluruhan. (US$1 = Rp. 8.500,-). Sebagian besar penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang bertutur menggunakan Bahasa Sunda. Pada tahun 2002, populasi Jawa Barat mencapai 37.548.565 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 1.033 jiwa/km persegi. Pada tahun 2010, penduduk Jawa Barat telah mencapai 43.021.826 jiwa. Dibandingkan dengan angka pertumbuhan nasional (2,14% per tahun), Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat terendah, dengan 2,02% per tahun. Pada tahun 2008, provinsi Jawa Barat melaksanakan Pilkada langsung yang pertama kali dalam sejarah provinsi Jawa Barat. Dalam pemilihan langsung tersebut, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf memenangkan Pemilu yang akhirnya menobatkan pasangan tersebut sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat periode 2008-2013. Provinsi yang bersemboyan Gemah Ripah Repeh Rapih ini memiliki 26 kabupaten dan kota sebagai wujud dari pelaksanaan otonomi daerah. 58
4.1.2 Deskripsi Hasil Penelitian Grafik berikut ini merupakan gambaran mengenai kemampuan keuangan daerah kabupaten dan kota se-jawa Barat yang dihitung menggunakan rasio keuangan daerah (teknis perhitungan terlampir) : 1. Rasio Kemandirian Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Berikut ini ialah grafik kemandirian keuangan suatu daerah yang diukur dengan rasio kemandirian (teknis perhitungan terlampir di halaman x) : Gambar 4.1 Grafik Indeks Kemandirian Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat Tahun 2007 s.d. 2009 30 25 20 15 10 Rendah Sekali (Instruktif) Rendah (Konsultatif) Sedang (Partisipatif) Tinggi (Delegatif) 5 0 2007 2008 2009 Sumber : Data Diolah (2011) 59
Untuk mengetahui gambaran utuh mengenai kemandirian keuangan daerah secara keseluruhan, dapat melihat pada lampiran halaman x. Dalam bab ini, yang disajikan hanya gambaran kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota secara keseluruhan. Pada tahun anggaran 2007, ada 24 kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki kemandirian keuangan daerah tergolong rendah sekali dengan pola hubungan instruktif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat terhadap sumber dana dari pihak ekstern masih cukup tinggi serta tingkat partisispasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi tergolong rendah. Artinya, peran pemerintah pusat dalam menyalurkan dana kepada pemerintah daerah masih sangat dominan yang dibuktikan dengan pola hubungan yang instruktif. Hanya Kota Bandung menjadi satu-satunya kota yang memperoleh indeks kemandirian keuangan daerah yang tergolong rendah dengan pola hubungan konsultatif. Artinya, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena pemerintah kota Bandung dianggap sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi daerah. Pada tahun ini, Kabupaten Bandung Barat belum menjadi daerah otonom sehingga tidak masuk dalam perhitungan. Di tahun anggaran 2008, hasil yang diperoleh ternyata masih sama dengan hasil perhitungan di tahun 2007, yakni hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat memiliki indeks kemandirian keuangan yang tergolong rendah sekali dengan pola hubungan instruktif, kecuali kota Bandung dengan indeks kemandirian keuangan yang tergolong rendah dengan pola hubungan konsultatif. Tidak ada perubahan yang nyata pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2007. 60
Sementara pada tahun anggaran 2009, hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat masih memiliki indeks kemandirian keuangan yang tergolong rendah sekali dengan pola hubungan instruktif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat terhadap sumber dana dari pihak ekstern masih cukup tinggi serta tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi tergolong rendah. Artinya, peran pemerintah pusat dalam menyalurkan dana kepada pemerintah daerah masih sangat dominan. Namun di tahun ini, tidak hanya Kota Bandung yang memiliki indeks kemandirian keuangan yang tergolong rendah dengan pola hubungan instruktif, kota Bekasi juga mendapatkan hasil yang serupa. Artinya, campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah Kota Bandung dan Kota Bekasi sudah mulai berkurang dan dianggap daerah sudah sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi. Untuk mendukung hasil penelitian ini, berikut disajikan grafik perkembangan PAD dan Dana Perimbangan pada kabupaten dan kota se-jawa Barat tahun anggaran 2007 s.d. 2009 (data pada lampiran 5 halaman xvi). 61
30.000.000 Gambar 4.2 Grafik Perkembangan PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat Tahun Anggaran 2007-2009 Dalam ribuan rupiah 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 Total Pendapatan PAD Dana Perimbangan 5.000.000-2007 2008 2009 Sumber : Data Diolah (2011) Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa dana perimbangan masih menjadi sumber utama pendanaan daerah dalam melaksanakan pembangunan dan membiayai kebutuhan pemerintah daerah sendiri. Meskipun PAD terus meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan dana perimbangan masih jauh lebih besar daripada peningkatan PAD. Perkembangan PAD tahun 2007 ke 2008 sebesar 86,91% dan tahun 2008 ke 2009 sebesar 88,04%. Bandingkan dengan peningkatan dana perimbangan tahun 2007 ke 2008 sebesar 89,23% dan tahun 2008 ke 2009 sebesar 92,74%. 2. Desentralisasi Keuangan Daerah Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi fiskal daerah atau yang dikenal juga dengan desentralisasi keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah 62
daerah dalam rangka meningkatkan PAD guna membiayai pembangunan. Berikut adalah grafik desentralisasi keuangan daerah yang diukur dengan rasio derajat desentralisasi fiskal (teknis perhitungan terlampir di halaman xii) : Gambar 4.3 Grafik Desentralisasi Keuangan Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat Tahun 2007 s.d. 2009 18 16 14 12 10 8 6 4 2 Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik 0 2007 2008 2009 Sumber : Data Diolah (2011) Berdasarkan hasil perhitungan rasio ini, pada tahun 2007, ditemukan bahwa kemampuan sebagian besar pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan masih tergolong sangat kurang. Pada lampiran di halaman xii, terlihat hanya ada sembilan kabupaten/kota yang tergolong kurang, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya. Hal ini membuktikan bahwa 63
hampir sebagian besar pemerintah daerah di Jawa Barat masih belum mampu menjadikan PAD sebagai sumber peningkatan pembangunan di daerah. Sementara pada tahun anggaran 2008, hasil perhitungan menunjukkan perolehan yang tidak jauh berbeda dengan tahun 2007, yakni sebagian besar pemerintah daerah masih tergolong sangat kurang dalam menjadikan PAD sebagai sumber utama dalam membiayai pembangunan di daerah. Hanya saja, jika pada tahun 2007 ada sembilan kota/kabupaten yang tergolong kurang skala derajat desentralisasi fiskalnya, di tahun 2008 kota Depok mengalami peningkatan indeks dari sangat kurang menjadi kurang. Hal itu disebabkan kota Depok berhasil meningkatkan PAD-nya yang berimbas pada peningkatan skala interval di perhitungan derajat desentralisasi fiskal. Hasil yang berbeda ditemukan pada tahun anggaran 2009. Di tahun ini, beberapa kabupaten dan kota sudah mulai menunjukkan perbaikan skala. Kota Bandung menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan perolehan skala Sangat Baik. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah Kota Bandung sangat baik dalam meningkatkan PAD sebagai sumber dana untuk membiayai pembangunan di daerah. Pemerintah kota Bandung berhasil meningkatkan PAD dengan baik sehingga menstimulus peningkatan skala derajat desentralisasi fiskal keuangan daerah. Selain Kota Bandung, Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan dengan perolehan skala Cukup yang mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten Bogor tergolong cukup baik dalam meningkatkan PAD guna membiayai pembangunan di daerahnya. Sementara di daerah lainnya, tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya. 64
Kesimpulan dari perhitungan, rata-rata rasio derajat desentralisasi fiskal kabupaten dan kota di Jawa Barat untuk tahun 2007 ialah sebesar 9,07% dengan nilai tertinggi diperoleh Kota Bandung sebesar 17,29% dan nilai terendah diperoleh Kabupaten Tasikmalaya sebesar 2,62%. Sementara pada tahun 2008 mencapai nilai rata-rata 9,71% dengan nilai tertinggi diperoleh Kota Bandung dengan nilai 17,55% dan terendah diperoleh Kabupaten Tasikmalaya sebesar 3,26%. Tahun 2009, rata-rata derajat desentralisasi fiskal mengalami peningkatan dengan perolehan nilai rata-rata sebesar 11,76% yang kemampuan keuangan daerahnya dapat dikatakan kurang setelah pada tahun 2007 dan 2008 memperoleh predikat sangat kurang. Pada tahun tersebut, Kota Bandung masih mendapat nilai tertinggi dengan nilai 52,65% yang menjadikan Kota Bandung sebagai satusatunya daerah yang dianggap kemampuan keuangannya sangat baik jika ditinjau dari rasio derajat desentralisasi fiskal. Sementara Kabupaten Tasikmalaya masih menjadi daerah dengan nilai terendah dengan perolehan 2,73% yang mengindikasikan terjadinya penurunan dari tahun sebelumnya. 3. Rasio Efektivitas Rasio efektivitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan Pemda dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target atau anggaran yang ditetapkan. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar satu atau 100 persen. Artinya, jika rasio efektivitas semakin tinggi, maka kemampuan daerah pun semakin baik (Abdul Halim, 2007:234). Berikut adalah grafik efektivitas 65
keuangan daerah yang diukur dengan rasio efektivitas (teknis perhitungan terlampir di halaman ivx) : 25 Gambar 4.4 Grafik Efektivitas Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat Tahun 2007 s.d. 2009 20 15 10 5 Sangat Efektif Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif 0 2007 2008 2009 Sumber : Data Diolah (2011) Berdasarkan hasil perhitungan tahun 2007, ditemukan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Barat tergolong sangat efektif dalam merealisasikan target PAD yang sudah direncanakan, bahkan mampu mencapai hasil di atas target. Namun, di tahun ini pemerintah Kabupaten Subang ternyata tidak efektif dalam merealisasikan PAD yang telah dicanangkan. Hal ini terbukti dengan diperolehnya nilai rasio kemandirian sebesar 59,35% yang berarti efektivitas keuangan daerahnya tergolong tidak efektif. Sementara itu, ada tiga daerah yang memperoleh predikat efektif dalam merealisasikan PAD-nya, yakni Kabupaten Majalengka, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon. 66
Hasil yang cukup berbeda diperoleh di tahun anggaran 2008. Meskipun sebagian besar daerah masih tergolong sangat efektif dalam merealisasikan PAD yang ditargetkan, namun terdapat beberapa daerah yang mengalami perubahan nilai rasio kemandirian. Kabupaten Cirebon mengalami penurunan rasio kemandirian. Jika pada tahun 2007 tergolong sangat efektif dalam merealisasikan PAD yang ditargetkan, di tahun 2008 merosot menjadi cukup efektif. Sementara itu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon mendapatkan predikat sangat efektif setelah di tahun 2007 memperoleh predikat efektif. Selain itu, penurunan juga terjadi pada Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, Kota Bandung, dan Kota Banjar yang memperoleh predikat efektif setelah di tahun sebelumnya tergolong sangat efektif dalam merealisasikan PAD yang ditargetkan. Di tahun anggaran 2009, sebagian besar kabupaten dan kota di Jawa Barat masih tergolong sangat efektif dalam merealisasikan PAD yang telah ditargetkan. Artinya, sebagian besar kabupaten dan kota mampu merealisasikan PAD di atas target yang telah ditetapkan. Di tahun ini, Kabupaten Subang mengalami perbaikan dengan memperoleh predikat efektif setelah pada dua tahun terakhir tergolong tidak efektif dalam merealisasikan PAD. 67
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh kabupaten/kota se-jawa Barat belum mampu melaksanakan otonomi daerah sebab tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi atau dengan kata lain peranan pemerintah pusat masih sangat dominan, kecuali Kota Bandung yang dianggap sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi daerah dan Kota Bekasi yang pada tahun 2009 juga telah memperoleh indeks kemandirian rendah setelah pada tahun sebelumnya berada pada indeks rendah sekali. Seluruh kabupaten/kota se-jawa Barat dapat dikatakan sangat kurang dalam mengoptimalkan PAD dalam membiayai pembangunan di daerahnya sendiri. Kota Bandung merupakan satu-satunya kota yang tergolong sedikit lebih baik dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya dibandingkan dengan daerah lainnya. Keberhasilan yang ditorehkan Kota Bandung disebabkan oleh tingginya pajak daerah yang mampu didapatkan oleh pemerintah daerah sehingga tingginya PAD didorong oleh adanya sokongan besar dari pajak daerah yang memegang peranan besar dalam peningkatan PAD. Hal ini tentunya disebabkan oleh Kota Bandung yang mampu menjelma menjadi kota wisata dan mampu menjadi denyut nadi penggerak ekonomi sehingga Kota Bandung mampu menggali potensi daerahnya yang direpresentasikan dengan peningkatan PAD yang semakin baik dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah seperti yang dikemukakan oleh Nataludin (2001:167) bahwa Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) 68
harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Selain itu, Mudrajad Kuncoro (2004 : 18) mengemukakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi ironis manakala tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi yang dibuktikan dengan pos PAD bukan menjadi ujung tombak sumber utama keuangan daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerah, tetapi masih mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat (dana perimbangan). Berdasarkan kajian tersebut, sebagian besar kabupaten dan kota se-jawa Barat memerlukan upaya yang lebih keras lagi dalam meningkatkan PAD di masing-masing daerah. Hal tersebut mutlak diperlukan mengingat keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata merupakan suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan, pelaksanaannya dilakukan dengan adanya potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Artinya, setiap daerah perlu menonjolkan masing-masing potensi yang dimiliki agar semakin mendorong terciptanya keberhasilan otonomi daerah. Kemampuan daerah dalam menghimpun dana secara bertahap akan merujuk kepada kemandirian yang merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah. Dengan semakin meningkatnya kemampuan menghimpun dana, diharapkan akan semakin meningkat pula kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. 69
Untuk mengurangi ketergantungan pada pengalihan keuangan dari pusat, pemerintah daerah perlu menelusuri upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas finansialnya dengan mengembangkan basis pajak, meningkatkan pengumpulan pajak dan retribusi, merasionalkan pengeluaran, mempromosikan kemitraan swasta-pemerintah dalam menyediakan pelayanan kota, dan menggunakan lahan kota sebagai sumber daya yang penting. Seperti yang dikemukakan Nirzawan (2001:75), langkah-langkah yang dapat dilakukan agar pendapatan daerah meningkat, khususnya pajak daerah, ialah sebagai berikut : a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut : 1) Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib pajak, tertib dalam administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib dalam penyetoran. 2) Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku. 3) Melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan oleh petugas. 4) Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas terkait yang bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas. 70
5) Memberikan insentif (rangsangan) secara khusus kepada aparat pengelola PAD yang dapat melampui penerimaan dari target yang telah ditetapkan. 6) Mengadakan pendekatan persuasif kepada wajib pajak agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan. 7) Melakukan langkah-langkah pengendalian lain guna menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan daerah mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi daerah. b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain sebagai berikut: 1) Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan lebih memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam peraturan daerah. 2) Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang peraturan daerah untuk diajukan perubahan. 3) Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapat informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi lain yang memungkinkan untuk dikembangkan. Selain melakukan upaya peningkatan pajak daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi, pemerintah daerah juga perlu mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar dapat lebih menyokong PAD. Hal ini 71
disebabkan BUMD mampu berperan dalam pembangunan di daerah, dalam hal ini ialah sumbangsihnya dalam menyokong PAD. Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) adalah bahwa perwujudan otonomi daerah dalam pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah dilaksanakan melalui berbagai arah kebijakan, utamanya adalah : a. Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, serta berbagai lembaga ekonomi dan masyarakat di daerah; b. Melakukan pengkajian dan saran kebijakan lebih lanjut tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota serta daerah perdesaan; dan c. Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya di daerah. Dalam hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Pinjaman Daerah dan d. Lain-lain Penerimaan yang sah. 72
Sehubungan dengan itu, sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari BUMD telah berjalan sejak lama. BUMD tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang diperkuat oleh UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Nota Keuangan dan RAPBN, 1997/1998). Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Selain itu, salah satu pendapatan daerah yang berasal dari BUMD salah satunya diperoleh dari bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd (Darise, 2008:136). Mengingat dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD di Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan usahanya. 73
74