BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat (DepKes, 2011). Saat ini Keluarga Berencana telah di kenali dunia. Di Negara-negara maju, Keluarga Berencana (KB) bukan lagi merupakan suatu program atau gagasan, tetapi telah merupakan falsafah hidup masyarakat, sedangkan di Negara-negara berkembang Keluarga Berencana masih merupakan program yang pelaksanaannya harus terus ditingkatkan (BKKBN RI, 2007). Menurut BKKBN RI (2007) peran dan tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi khususnya pada Keluarga Berencana (KB) sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Program Keluarga Berencana merupakan bagian program pembangunan nasional di Indonesia yang sudah dimulai sejak awal pembangunan lima tahun yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, dengan cara pengaturan kelahiran dan juga pengendalian laju
pertumbuhan penduduk sehingga tidak melampaui kemampuan produksi hasil pertanian. Pertumbuhan penduduk yang pesat merupakan akibat dari fertilitas yang tinggi. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, melebihi angka proyeksi nasional, yaitu sebanyak 237,6 juta jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) 1,49 per tahun, kondisi kualitas penduduk berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) masih sangat rendah, berada pada posisi ke 124 dari 187 negara. Selain akan menjadi sumber kemiskinan, hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadi permasalahan nasional (Sonny, 2011). Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan.untuk itu, pengelolaan perkembangan kependudukan diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan yang serasi antara kuantitas dan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas penduduk dan laju pertumbuhan penduduk agar tercapai kondisi yang ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk dapat mempercepat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, serta penduduk tumbuh seimbang tahun 2015 dan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Pada era Otonomi Daerah dengan mengacu kepada Undang Undang No 32 Tahun 2004 sebagai urusan pemerintah dilakukan oleh daerah sendiri, maka sebagian kewenangan BKKBN telah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga
pengelolaan program KB mengalami babak baru, kondisi ini memunculkan struktur BKKBN disetiap Kabupaten/Kota menjadi beragam. Bentuk lembaga yang menangani program KB di Kabupaten/Kota seluruhnya berbentuk dinas/badan, ada yang merupakan dinas/kantor yang utuh maupun megser dengan bagian yang lain, dan kesemuanya dibentuk dengan peraturan daerah, yang disesuikan dengan paraturan terbaru yaitu peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa Kependudukan Catatan Sipil, Keluarga Berencana dan Keluarga sejahtera merupakan salah satu urusan yang ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota (BKKBN RI, 2007). Provinsi Sumatra Utara sesuai dengan hasil sensus penduduk 2010 mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,11 persen dengan jumlah penduduk sekitar 13 juta jiwa yang sebelumnya sekitar 11,5 juta jiwa menurut sensus 2000. Keadaan ini menempatkan Sumatera Utara di posisi keempat jumlah penduduk terbesar setelah Jawa Barat dengan jumlah penduduk sekitar 43 juta jiwa, Jawa Timur sekitar 38 juta jiwa dan Jawa Tengah sekitar 35 juta jiwa. Sulistyo (2009), Program KB Nasional pasca-otonomi Daerah, program KB seharusnya menjadi prioritas pembangunan di setiap daerah karena sangat penting untuk Human Capital Investment atau investasi sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut analisa Cost Benefit program KB berhasil mencegah kelahiran sebanyak kurang lebih 100 juta jiwa untuk tahun 2015 dan mempunyai manfaat
sangat besar bagi bangsa dan negara. Dalam upaya mengantisipasi perubahan lingkungan strategis, diantaranya kesepakatan global, BKKBN melakukan perumusan kembali visi, misi, dan strategi dasar (Grand Strategy). Melalui upaya ini diharapkan kinerja program dapat meningkat dan sasaran program KB Nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dapat dicapai. Kesadaran akan pentingnya kontrasepsi di Indonesia saat ini masih perlu tingkatkan guna mencegah terjadinya ledakan penduduk yang merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, selain isu tentang pemanasan global, krisis ekonomi, dan masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Kekhawatiran akan terjadinya ledakan penduduk pada decade mendatang mendorong pemerintah Indonesia membuat berupa kajian penting karena penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (Emon, 2008). Secara Nasional, KB pria kurang diminati. Secara psikologi mengikuti program KB bagi sebagian besar pria di nilai sebagai tindakan asing dan aneh. Jadi tidak ada alasan pria untuk ber-kb, akibatnya tak cukup banyak peserta KB pria hingga saat ini. Sedikitnya peserta pria memang di picu oleh banyak sebab antara lain rumor medis, agama, budaya, dan biaya, hal utama lainnya adalah kampanye dan sosialisasi yang minim (BKKBN RI, 2005).
Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 dan Inpres No 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan Proritas Pembangunan Nasional serta Inpres No.3 Tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan telah menempatkan program KB sebagai bagian strategis dari pembangunan nasional. Oleh karena itu peran aktif dan upaya peningkatan peran pria harus ditingkatkan. Hasil penelitian Saptono Tahun 2008 di Kabupaten Bantul bahwa terdapat hubungan antara sikap terhadap keikutsertaan pria dalam KB. Sikap kepedulian terhadap masalah kesehatan reproduksi diyakini akan meningkatkan keikutsertaan pria. Hal ini disebabkan karena selama ini adanya kebiasaan masyarakat yang menganggap bahwa masalah KB adalah urusan kaum perempuan dan pria tidak pernah terlibat. Sebab sikap terwujud dalam sebuah tindakan yang bergantung pada situasi saat itu, dan pengalaman yang terjadi pada seseorang mengacu dari pengalaman orang lain. Keikutsertaan dalam KB merupakan perasaan mendukung atau tidak mendukung terhadap objek tersebut. Sikap baik keikutsertaan pria dalam KB merupakan perasaan yang memihak atau mendukung terhadap upaya keikutsertaan. Menurut Lumastari (2008) hasil penelitian di Puskesmas Sukarame kota Kediri, dalam jurnal analisa keikutsertaan pria dalam ber KB, jumlah aseptor KB pria pada tahun 2007 sebesar 1,3%, targetnya tahun 2009 meningkat menjadi 4,5 antara, 2007 dari 1,3% (1,8 juta orang) aseptor KB pria tersebut jumlah akseptor vasektomi sebanyak 250.000 orang (13,89%) BKKBN RI, 2008; Sedangkan di Jawa Timur
Peserta KB, Pria pada tahun 2006. Sebanyak 420.000 atau sekitar 2% dari jumlah penduduk pria dewasa dan 15% nya menggunakan vasektomi. Tingkat keikutsertaan pria dalam ber-kb sampai saat ini masih tergolong rendah, hanya 15 persen dari 61,4 persen total peserta KB (SDKI 2007). Dalam upaya meningkatkan keikutsertaan pria dalam ber-kb, kini sedang dikembangkan alat/metode kontrasepsi untuk pria. Namun semenjak program ini diluncurkan yang menjadi sasaran selalu para istri. Dengan rasa cinta dan tanggungjawab kepada keluarga para suami juga dapat menjadi sasaran KB yaitu dengan Metode Operatif Pria (MOP) (BKKBN RI, 2009). Peserta KB aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat pendataan masih menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. Sementara pasangan tidak aktif KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat pendataan tidak menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi (BKKBN RI, 2009). Data yang ada di BKKBN Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa pada tahun 2012 diperoleh 2.152.585 PUS, dan sebesar 1.463.520 pasangan peserta KB aktif sedangkan 689.065 pasangan tidak aktif KB. Peserta akseptor KB aktif dengan rincian sebagai berikut : IUD 153.925 (10,52%), MOW 105.547 (7,21%), MOP 8.212 (0,56%), Kondom 108.262 (7,40%), Inplant 155.243 (10,63%), Suntik 478.494 (32,69%), Pil, 453.837 (31,01%), dan demikian juga data September Tahun 2013 di peroleh 2.230.890 PUS, dan sebesar 1.554.539 pasangan peserta akseptor KB aktif sedangkan 676.351 pasangan tidak akseptor KB. Peserta akseptor KB aktif dengan
rincian sebagai berikut : IUD 164.473 (7,37%), MOW 115.798 (5,19%), MOP 10.991 (0,49%), Kondom 117,133 (5,25%), Inplant 175.336 (7,86%), Suntik 507.336 (22,75%), Pil, 463.472 (20,78%).Di lihat pada data tahun 2012 bahwa dari akseptor KB yang ada peserta pelayanan kontrasepsi pria (vasektomi) terdapat kenaikan di Tahun 2013 sebanyak 2.699 akseptor. Masih rendahnya kesadaran pria ber-kb itu terkait dengan kurangnya pemahaman kaum pria tentang kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi, peran tokoh agama yang masih kurang, sarana pelayanan KB bagi pria juga terbatas. Pada masyarakat juga masih ada pandangan negatif yang muncul terhadap pria ber KB berupa kenyamaan dengan pengebirian, disalahgunakan oleh pria untuk penyimpangan seksual, memengaruhi kenikmatan berhubungan seksual dan anggapan sulit untuk ereksi. Ditambah lagi adanya rumor dmasyarakat yang terkait dengan vasektomi, yaitu sifat yang tidak reversibel atau pria yang melakukan vasektomi sama dengan dikebiri (BKKBN RI, 2007). Salah satu kunci kesuksesan Program Keluarga Berencana Nasional adalah adanya keterlibatan semua pihak baik dari instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri, dalam lingkup yang lebih kecil keterlibatan seluruh anggota keluarga. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada Pasangan Usia Subur (PUS) yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri dan suami. Namun pada kenyataannya hanya perempuan saja yang dituntut untuk menggunakan alat
kontrasepsi, hal ini dapat dilihat dari data peserta Keluarga Berencana (KB) yang lebih banyak wanita dari pada pria (Siswosudarmo, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi manusia pada tahun 2009 di Yogyakarta dan Jakarta menyimpulkan bahwa rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi disamping karena kurangnya informasi kontrasepsi untuk pria (47,6%) terbatasnya kontrasepsi pria (19%), dan terbatasnya pelayanan KB pria (17,1%) ternyata juga sebagian besar ibu/istri tidak mendukung dan merasa khawatir bila suaminya memakai alat kontrasepsi. Hal ini dinyatakan oleh lebih dari 70% ibu atau 3 dari 4 ibu. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2000 penyebab rendahnya pria ber KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga, antara lain istri tidak mendukung (66,26%), rumor dimasyarakat, (46,65%), kurangnya informasi metode KB pria dan terbatasnya tempat pelayanan (6,22%) (BKKBN RI, 2009). Penelitian yang di lakukaan Litbangkes (penelitian pengembangan kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilahan Pekanbaru tahun 2008, bahwa pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, Semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB. Selain itu pengetahuan pria yang baik tentang kelebihan vasektomi, keterbatasan vasektomi, serta kelebihan coitus interuptus senggama terputus) akan membentuk tindakan yang positif terhadap keikutsertaan KB, karena pengetahuan merupakan faktor predisposisi untuk berperilaku. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), yang salah satu tindakannya
untuk menjadi peserta KB. Hasil ini juga didukung oleh studi kuantitatif oleh Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1999, bahwa tingkat pendidikan berpengaruh secara bermakna terhadap keikutsertaan KB pria dalam pemakaian kontrasepsi. Upaya Dinas Kesehatan melalui BKKBN untuk meningkatkan kesertaan pria untuk ikut KB MOP dengan cara menggalakkan promosi kesehatan khususnya tentang KB MOP melalui kader-kader yang telah dibina oleh PPLKB (Pengawas Petugas Lapangan Keluarga Berencana). Sedangkan kemudahan pelayanan dalam penyelenggaraan KB MOP BKKBN menyelenggarakan safari KB di setiap wilayah kerja Puskesmas, namun sasaran KB yang ditujukan untuk pria selalu dimonopoli oleh kaum ibu, hal ini menunjukkan kesadaran pria untuk ber KB masih sangat kurang. Data dari BKKBN Kabupaten Toba Samosir Tahun 2012 diperoleh 24.116 PUS, diantara PUS tersebut yang mengikuti program KB yaitu IUD 2.186, MOW 2.577, MOP 5, kondom 1.637, Inplant 2.632, Pil 2.664, suntik KB 5.009. Dan demikian juga data Tahun 2013 jumlah peserta KB aktif menurut metoda kontrasepsi adalah sebagai berikut : IUD 2.196, MOW 2.586, MOP 70, Kondom, 1.823, IMP 2.746. Suntik 4.719, PIL 2.881. Pada tahun 2013 jumlah akseptor vasektomi di Kabupaten Toba Samosir mengalami peningkatan sejumlah 65 orang. Hal ini mengalami peningkatan sebesar 120% dan menempatkan Kabupaten Toba Samosir pada posisi kedua di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Porsea merupakan salah satu kecamatan yang mengalami peningkatan jumlah akseptor KB menurut metode
IUD 132, MOW 126, MOP 19, Kondom 138, IMP 179, Suntik 612, PIL 355. Untuk MOP di Kecamatan Porsea merupakan nomor 2 terbanyak setelah Kecamatan Balige. 1.2. Perumusan Masalah Bagaimana perilaku akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir? 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui perilaku peserta akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah Kerja Kecamatan Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan bagi Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana Kabupaten Toba Samosir dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan KB pria dengan metode vasektomi di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir. 2. Bagi petugas kesehatan dan petugas keluarga berencana dapat meningkatkan pelayanan keluarga berencana di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir sehingga dapat meningkatkan cakupan akseptor KB pria dengan metode vasektomi agar tercapai standar yang diinginkan.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan pengetahuan tentang partisipasi pria dalam keluarga berencana. 4. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai keluarga berencana pria.