BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP PERKAWINAN MUSLIM DI JAWA-MADURA TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Bagi sebagian orang judul di atas terasa aneh, atau bahkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

BAB II. IDDAH DAN IHDAD PRESPEKTIF UU No.1 TAHUN A. Pengertian Dan Faktor Lahirnya UU No.1 Tahun 1974

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

Perkawinan Campuran. Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

BAB III Pemisahan Agama dan Politik dalam Islam di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Dalam Wikipedia, K. C. Wheare menyatakan bahwa undang-undang atau

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III SEJARAH PERKAWINAN DI MASA KOLONIAL BELANDA

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB II SYARAT DAN KETENTUAN MENDEPORTASI ORANG ASING MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

========================================= KTP Pada Zaman Hindia Belanda

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram)

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh Marzuki

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1985 (15/1985) Tanggal: 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1961 TENTANG PERUBAHAN ATAU PENAMBAHAN NAMA KELUARGA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran D UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ringkasan Putusan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

SOSIALISASI RUU BHP : TELAAH SINGKAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG BALAI HARTA PENINGGALAN (RUU BHP)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) NOMOR 15 TAHUN 1985 (15/1985) TENTANG KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang: PEMBENTUKAN MAJELIS ILMU PENGETAHUAN INDONESIA *)

b. Aturan Mu amallah ma a Khalqi disingkat Mu amallah saja, yang mengatur aspek Habluminnas.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

56 BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP PERKAWINAN MUSLIM DI JAWA-MADURA TAHUN 1929-1931 A. Latar Belakang Dikeluarkannya Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa- Madura Tahun 1929-1931 Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang mengalami masa pasang surut, dengan sering terjadinya perubahan sikap maupun kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi. Berawal dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang memutuskan untuk bersikap netral atau tidak ikut campur dalam urusan keagamaan masyarakat Indonesia, kemudian menjadi sikap yang sedikit demi sedikit berusaha untuk mencampuri urusan spiritualitas masyarakat Indonesia dengan melakukan beberapa pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam berbagai kebijakan yang ditetapkan. Sebagaimana beberapa kebijakan untuk membatasi langkah umat muslim Indonesia untuk menjalakan kepercayaannya. Hal ini dikarenakan ketakutan pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kekuatan Islam yang akan berubah menjadi ancaman bagi kelangsungan penjajahan. Pemerintah Hindia Belanda seringkali mendasarkan setiap perilaku penyimpangan terhadap kebijakan yang mereka buat dengan dasar demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan. Hal ini tercermin pada

57 penyimpangan sikap pemerintah kolonial Belanda terkait kebijakan netral agama yang secara teori dan praktik tidak sesuai sama sekali. 1 Munculnya kebijakan Ordonansi Perkawinan ini juga tidak terlepas dari pengaruh sikap pemerintah Belanda yang cenderung tidak konsisten tersebut. Di mana pada masa ini Jawa dipimpin oleh Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff, yang berkuasa pada tahun 1926 hingga tahun 1931. Sikap lunak pemerintah kolonial Belanda itu, sebagai bentuk dari sikap yang saling berlawanan, yakni antara waspada dan nafsu untuk tetap menguasai negeri jajahannya. Oleh karenanya, berbagai macam usaha telah dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk membatasi gerak masyarakat jajahannya, seperti dengan mengeluarkan kebijakan Ordonansi Perkawinan pada tahun 1929 dan diubah pada tahun 1931, selain itu pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan beberapa kebijakan ordonansi seperti ordonansi haji pada tahun 1859, ordonansi guru pada tahun 1905, dan berbagai kebijakan lainnya. 2 Selanjutnya jika dilihat dari runtut kejadiannya, munculnya ordonansi perkawinan ini merupakan hasil dari lahirnya lembaga peradilan agama yang secara resmi dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1882. Yang mana, dengan berdirinya lembaga ini, maka campur tangan pemerintah Belanda terhadap masalah keagamaan muslim Indonesia semakin terbuka, sebab pada masa sebelumnya urusan keagamaan sepenuhnya dikembalikan kepada setiap 1 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 29. 2 Ibid., 30.

58 pemeluknya. Seperti halnya masalah hukum Islam yang semula ditangani oleh umat Islam sendiri melalui lembaga peradilan Islam sederhana yang berada di masjid-masjid dengan pengulu sebagai petugas pengadilnya. 3 Pada awalnya peradilan agama yang sederhana tersebut, memiliki kewenangan untuk mengatur masalah hukum yang menyangkut umat Islam baik masalah hukum pidana maupun perdata. Namun, setelah pemerintah kolonial Belanda secara resmi mendirikan pengadilan Islam dengan istilah Preisterraad 4 melalui staatsblad Hindia Belanda tahun 1882 no. 152, hanya beberapa permasalahan hukum perdata saja yang dapat diselesaikan oleh peradilan agama, sedangkan masalah hukum pidana dilimpahkan pada peradilan negeri atau landraad. Permasalahan yang menjadi wewenang preisterraad antara lain seperti: menangani masalah perkawinan, perceraian, dan lainnya termasuk masalah warisan, hibah, sedekah, baitul mal, dan wakaf. Selain itu, munculnya kebijakan ordonansi perkawinan ini juga disebabkan oleh kebijakan Gubernur Jenderal Deandels yang mengakui status pengulu sebagai penasihat agama Islam, serta pemebrian tugas resmi para pengulu di lembaga peradilan agama bentukan pemerintah kolonial. Seperti sebagai pengulu ageng, ketib, na ib, mudin ataupun kaum. Dengan dikuasainya para pengulu sebagai bawahan pemerintah kolonial, maka mau tidak mau para pengulu 3 Dewi Indahsari, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia (Palembang: Ilmiah Vol. VI No. II, 1979), 21. 4 Ibid.

59 tersebut harus mematuhi hukum pemerintah kolonial untuk menjalankan pengawasan terhadap pernikahan ataupun adat kebiasaan umat Islam Indonesia. B. Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura Tahun 1929-1931 Pada masa kolonialisasi pemerintah Belanda, memang tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara perkawinan dalam Islam ataupun kodifikasi hukum Islam dalam ranah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama. Justeru ketika terjadi suatu kasus terkait perkawinan, rujukan hukum yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik atau ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri. 5 Namun, ketika pemerintah Belanda telah berhasil mendirikan preisterraad sebagai lembaga peradilan Islam resmi yang kewenangannya berada di bawah pengadilan negeri, pemerintah Belanda semakin campur tangan terhadap kebiasaan-kebiasaan orang Islam. Sebagaimana sejak tahun 1905, pemerintah kolonial telah melakukan pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian bagi orang Islam. Sehingga berbagai kebijakan mereka keluarka untuk 5 A. Rosyadi dan Rais Ahmad, ed. Formalisasi Syari at Islam dalam perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 91.

60 mengawasi muslim Indonesia, seperti dengan mengambil alih peran dari pengadilan serambi yang pada awalnya khusus menangani perkara-perkara umat Islam, diantaranya perkara perkawinan. Kemudian pada tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan terkait umat Islam yang dikhususkan berada di Jawa dan Madura, yaitu kebijakan ordonansi perkawinan tahun 1929 yang tertera dalam Staatsblad 1929 no. 348 yang mengatur masalah perkawinan umat Islam. Dalam kebijakan ini, pemerintah kolonial secara tertulis mengatur masalah pencatatan nikah, masalah perceraian, dan beberapa pasal mengenai denda yang dibebankan apabila orangorang Islam tidak menjalankan sebagaimana isi kebijakan tersebut. 6 Sebagaimana yang tertulis dalam beberapa pasal sebagai berikut: 1. Pasal 1 Ayat 1 (1) Partijen, die een huwelijk volgens de leer den Islam willen sluiten, moeten zich, op straffe van de in deze ordonnantie bedreigde boeten, aanmelden bij de door de overheid voor het uitoefenen van toezicht bij het sluiten van dergelijke huwelijken aangewezen huwelijksbeambten en aan die beambten kennisgeven van verstootingen van aldus gehuwde vrouwen en van herroepingen van verstootingen. (1) Pihak yang ingin menikah sesuai dengan ajaran Islam, harus dengan ancaman hukuman denda, menandatangani ketetapan ini pada pemerintah untuk melakukan pengawasan pada akhir perkawinan seperti ditunjuk petugas pernikahan dan untuk memberitahukan sehingga perempuan menikah dan pencabutan perceraian turun. 2. Pasal 1 Ayat 2 (2) Tot het ambtelijk toezicht bij het sluiten van huwelijken volgens de leer van den Islam en het kennisnemen van verstootingen (talak) en van herroepingen (roedjoe') van verstootingen van aldus gehuwde vrouwen zijn alleen bevoegd de 6 Staatsblad van Nederlandsch-Indie tahun 1929 no. 348.

61 daartoe door den Regent, met inachtneming van de plaatselijke gewoonten en gebruiken, aangewezen personen. (2) Pengawasan resmi pada akhir pernikahan sesuai dengan ajaran Islam dan mengambil catatan perceraian (talak) dan pencabutan perceraian (rujuk) sehingga perempuan yang menikah dengan mempertimbangkan kebiasaan lokal dan adat istiadat. 3. Pasal 3 Ayat 1 dan 2 (1) Hij die volgens de leer den Islam een vrouw uithuwelijkt of huwt, anders dan onder toezicht van den volgens artikel 1, lid 2, aangewezen huwelijksbeambte of diens vervanger, wordt gestraft met een geldboete van ten hoogste vijftig gulden. (1) Dia yang menikahi seorang wanita menurut ajaran Islam atau kawin, kecuali di bawah pengawasan Pasal 1, ayat 2, petugas pernikahan yang ditunjuk atau wakilnya bertanggung jawab untuk denda tidak melebihi lima puluh gulden. (2) Hij, die zonder daartoe bevoegd te zijn, optreedt in de in artikel 1, lid 2, bedoelde functies, wordt gestraft met hechtenis van ten hoogste drie maanden of eene geldboete van ten hoogste honderd gulden. (2) Dia yang tanpa wewenang untuk melakukannya, yang bekerja pada fungsi yang ditetapkan dalam Pasal 1, ayat 2 dipidana dengan pidana penjara tidak melebihi tiga bulan atau denda tidak melebihi seratus gulden. Dalam pasal tersebut, menerangkan tentang kewajiban orang-orang Islam untuk melakukan pencatatan pernikahan baik pernikahan baru, perceraian ataupun rujuk. Dalam pasal 1 ayat 1, Pemerintah kolonial mengharuskan setiap muslim yang ingin menikah untuk melapor ke pengadilan agama dengan melakukan pencatatn pernikahan. Sehingga pemerintah kolonial dapat melakukan pengawasan terhadap tiap-tiap pernikahan melalui setiap petugas pernikahan atau biasa disebut pengulu. Selain itu, dalam pasal 1 ayat 2 tersebut juga ditambahkan keterangan masalah perceraian dan bagaimana tata cara

62 seseorang perempuan mendapatkan status sebagai seorang janda, yang mana keputusan suatu perceraian itu turun apabila telah diputuskan oleh pengadilan agama. Kemudian juga, yang terdapat pada pasal 3 ayat 1 dan 2, yang secara umum berisi tentang beberapa denda dan hukuman terkait pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang berperkara dalam pernikahan ataupun para petugas pernikahan. Pada undang-undang pemerintah Belanda ini, juga membatasi gerak para laki-laki untuk melakukan poligami dengan adanya pasal yang menerangkan bahwa jatuhnya talak atau sahnya suatu perceraian harus diputuskan berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Dengan demikian, secara umum Ordonansi Perkawinan ini memberikan kesempatan seseorang untuk kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang beristeri hanya satu dengan menutup pintu bagi poligami, sedangkan perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui keputusan pengadilan. 7 Sebelum kemunculan kebijakan ordonansi perkawinan tersebut, sebelumnya telah diadakan suatu Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, yang mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera menyusun undang-undang perkawinan, namun kongres tersebut tidak mencapai hassil apapun karena mengalami hambatan dan 7 Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 31.

63 mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah. 8 Selanjutnya, pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie op de Ingeschrevern Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim. 9 Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun, rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat). 10 Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang- 8 Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), 9-10. 9 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), 77. 10 Ibid., 85.

64 orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. 11 C. Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa- Madura Tahun 1929-1931 Kenyataan bahwa pemerintah Hindia Belanda dengan penuh strategi politiknya berusaha untuk mempertahankan daerah jajahannya, sangat terlihat dari serangkaian usahanya dalam mengkondusifkan masyarakat pribumi dengan berbagai bentuk kebijaksanaan yang sifatnya berubah-ubah. Di mana seringkali dalam mengeluarkan kebijakan, pemerintah Hindia Belanda terkadang bersikap acuh tetapi terkadang pula bersikap sangat campur tangan dalam urusan pribumi. Bagaimana tidak, jika pada tahun 1855 pemerintah Belanda dengan kebijakan netral agamanya bersikap seolah-olah tidak ingin ikut mencampuri urusan agama masyarakat Indonesia, tetapi pada perkembangan sekanjutnya kebijakan yang dimaksudkan tersebut berjalan tidak sesuai yang dicanangkan. Sikap pemerintah Belanda semakin peduli dengan terus melakukan pengawasan dan pemberian batasan-batasan terkait keagamaan masyarakat jajahannya, terlebih lagi jika menyangkut masyarakat muslim, pemerintah Belanda bersikap seolah-olah orang- 11 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013), 100.

65 orang Islam sebagai saingannya yang harus mereka waspadai setiap gerakgeriknya. Sikap campur tangan pemerintah Belanda lebih terlihat timpang jika dikaitkan dengan masyarakat muslim. Karena pemerintah Belanda telah sedikit banyak menyadari kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan dari potensi orang-orang Islam. Oleh karena itu, pemerintah Belanda dengan berbagai caranya melakukan intervensi terhadap kegiatan muslim pribumi, sebagaimana terlihat dari kebijakan-kebijakan yang banyak merugikan pihak umat Islam Indonesia. Reaksi yang ditimbulkan dari pihak Islam terhadap sikap campur tangan ini, banyak ditulis dalam berbagai buku atau surat kabar. Seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam (SI) pada tahun 1924 sampai tahun 1927 yang sangat intensif membincarakan masalah Islam, dan berencana untuk membuat rencana kerja SI pada tahun-tahun tersebut agar semua peraturan tentang Islam ditarik dari wewenang Belanda. Kemudian reaksi umat Islam terhadap sikap pemerintah kolonial Belanda semakin menjadi, ketika pada pertengahan tahun 1937, pemerintah kolonial mengumumkan gagasan untuk memindahkan wewenang mengatur waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri, mengadakan pencatatan perkawinan, dan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi. Pihak Islam tidak dapat membendung

66 kemarahan atas gagasan tentang pemindahan hak mengatur waris dan pencatatan nikah. Reaksi terhadap pemindahan pengaturan waris juga datang dari para pengulu, yang dilatarbelakangi berdirinya organisasi perhimpunan pengulu dan pegawainya di Solo, yang mana organisasi ini menyatakan keberatan atas dipindahkannya masalah waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri, dengan alasan bahwa masalah Islam tidak bisa diputuskan oleh hukum adat yang berubah-ubah. 12 Sedangkan gagasan yang paling tajam ditunjukkan kepada gagasan terkait Ordonansi Perkawinan, begitu tajam dan meluasnya reaksi tersebut sampai Pijper mencatatnya sebagai bukti kekuatan Islam. Pada tahun tersebut Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) merencanakan akan membentuk front bersama dengsn organisasi-organisasi Islam lainnya dalam rangka menolak gagasan pemerintah Belanda tentang Undang-undang Perkawinan tersebut. Namun, atas perintah dari Adviseur voor Inlandsche zaken, maka rencana pembentukan front tersebut dibatalkan. Dari sekian banyak organisasi yang menentang gagasan pemerintah kolonial, patut dicatat bahwa keputusan kongres PSII di Bandung pada bulan Juli 1937, yang menegaskan bahwa semua hal yang bersangkutan dengan agama Islam hendaknya diserahkan kepada agama Islam itu sendiri. Selain itu, Muktamar Alam Islamy Far ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS) dalam kongresnya 12 Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 31.

67 di Bogor pada tahun 1926, mengungkapkan kemarahannya terhadap campur tangan pemerintah kolonial dalam masalah agama. Dalam kongresnya di Pekalongan tahun1937, organisasi ini bahkan mengajukan pertanyaan terbuka kepada pemerintah Belanda yaitu atas dasar hukum apa pemerintah kolonial mencampuri urusan agama Islam, padahal telah menyatakan diri netral terhadap agama. 13 Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) melakukan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi perkawinan yang diterapkan pemerintah kolonial. Hal ini juga diikuti kekesalan para ulama terhadap kebijakan pemerintah Belanda tentang pemindahan hak waris ke landraad. Akibatnya para ulama tersebut melakukan perlawanan terbuka dengan mengirimkan surat resmi ke pemerintahan Belanda dan disampaikan secara terbuka dalam pengajian-pengajian umum NU. Sehingga, dengan perlawanan terbuka tersebut telah menggalang sikap dan perilaku pribumi Islam untuk membenci segala aturan hukum penjajah. 14 Namun, melalui Ordonansi Perkawinan yang dikeluarkan pada tahunn 1929 dan 1937, tidak hanya menimbulkan dampak yang negatif saja bagi umat Islam. Bahkan dengan keluarnya kebijakan tersebut, secara tidak disengaja membangkitkan rasa agama di kalangan santri. Mereka merasa bahwa pemerintah 13 Ibid., 32. 14 Sholeh Hayat, et all, Peranan Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan (Surabaya: PWNU Jatim, 1995), 29-30.

68 kolonial telah mendiskreditkan agamanya, mencampuri lagsung masalah-masalah yang telah diatur oleh kepercayaan mereka. 15 15 Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 25.