BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I No.KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DITEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.

Pasal 9 ayat (3),mengatur kewajiban pengurus menyelenggarakan latihan penanggulangan kebakaran

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO. KEP. 186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

128 Universitas Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I No.KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DITEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA No. : KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya, hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur. Sedangkan secara

BAB V PEMBAHASAN. PT. INKA (Persero) yang terbagi atas dua divisi produksi telah

BAB V PEMBAHASAN. Hasil penelitian yang dilakukan di PT. Asahimas Chemical mengenai

BAB V PEMBAHASAN. Area kerja di PT. Lotte Chemical Titan Nusantara meliputi Area 1 (Train

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. monoksida, atau produk dan efek lainnya (Badan Standar Nasional, 2000).

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VI PEMBAHASAN. perawatan kesehatan, termasuk bagian dari bangunan gedung tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi, sektor industri mengalami perkembangan pesat

KONDISI GEDUNG WET PAINT PRODUCTION

5/9/2014 Created by PNK3 NAKERTRANS 1

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO

1 Universitas Indonesia

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id

BAB VIII PENUTUP. bahan bakar berasal dari gas berupa: LPG. generator, boiler dan peralatan masak di dapur.

PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS PENGELOLAAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN. (Kepala keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. maupun dunia industri, dapat menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang sehat melalui pelayanan kesehatan yang bermutu dan

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang dibutuhkan untuk pengoperasian dan pemeliharaan. Teknologi yang

IDENTIFIKASI TINGKAT KEANDALAN ELEMEN-ELEMEN PENANGGULANGAN BENCANA KEBAKARAN GEDUNG PD PASAR JAYA DI DKI JAKARTA

MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR

PROSES REAKSI TERJADINYA API

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PROSEDUR KESIAPAN TANGGAP DARURAT

SPRINKLER DI GUDANG PERSONAL WASH PT. UNILEVER INDONESIA TBK. Wisda Mulyasari ( )

Keselamatan Kerja Bidang Kebakaran Pada Fasilitas Hotel

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERKANTORAN

No. 1411, 2014 BNPB. Logistik. Peralatan. Penanggulangan Bencana. Manajemen. Pedoman.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL

JUDUL : Managemen Tanggap Darurat

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

EVALUASI KEANDALAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG (Studi Kasus Gedung Kantor Bupati Indragiri Hilir) ABSTRAK

SOP KEAMANAN, KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran di PPS Nizam Zachman Jakarta. Bagian Tata Usaha. Bidang Tata Operasional

BAB III LANDASAN TEORI

Penggunaan APAR dan Kedaruratan

BAB II TINJAUAN TEORI

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN

PENGERTIAN (DEFINISI) RESIKO DAN PENILAIAN (MATRIKS) RESIKO

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

- Mengurangi dan mengendalikan bahaya dan resiko - Mencegah kecelakaan dan cidera, dan - Memelihara kondisi aman

BAB I PENDAHULUAN. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak direncanakan dan tidak

DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA

IDENTIFIKASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN EVALUASI PEMENUHAN PERSYARATAN HUKUM YANG BERLAKU

WALI KOTA BALIKPAPAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENANGGULANGAN KEBAKARAN WALIKOTA SURABAYA,

ANALISIS TIGA FAKTOR DOMINAN SISTEM PROTEKSI AKTIF DAN PASIF SERTA SISTEM TANGGAP DARURAT KEBAKARAN DI GEDUNG VOKASI UI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau

Ujian Akhir Semester Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lindung Lingkungan Semester Pendek Oleh: Arrigo Dirgantara

PENCEGAHAN DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

PROSEDUR PERLENGKAPAN PEMADAM KEBAKARAN. A. Perlengkapan Pemadam Kebakaran 1. Sifat api Bahan bakar, panas dan oksigen harus ada untuk menyalakan api.

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.


BUKU PEDOMAN KESELAMATAN KERJA PRAKTEK MAHASISWA

PENGGUNAAN DAN PEMELIHARAAN ALAT PEMADAM API RINGAN (APAR)

PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

MAINTENANCE SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN AKTIF PROYEK PEMBANGUNAN TANGRAM HOTEL DAN SADIRA PLAZA KOTA PEKANBARU

Proteksi Bahaya Kebakaran Kebakaran Kuliah 11

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2004 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 15 TAHUN : 2003 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG

Selain sistem springkler, BSN juga membuat peraturan untuk penanggulangan kebakaran gedung (building fire fighting system), diantaranya :

IDENTIFIKASI FASILITAS SAFETY BUILDING SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN DI GEDUNG INSTITUSI PERGURUAN TINGGI

BAB V PEMBAHASAN. PT Dan Liris Sukoharjo Divisi Garmen yaitu terjatuh, terjepit, tertimpa,

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini perkembangan industri di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. penting seperti derasnya arus mobilisasi penduduk dari desa ke kota maupun

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

MENCERMATI STANDAR PENGAMANAN GEDUNG UNTUK ANTISIPASI BAHAYA KEBAKARAN

LAMPIRAN 1 PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah telah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Federal Emergency Management Agency (FEMA) dalam Emergency

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I.

WALIKOTA PALU PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03/MEN/98 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PEMERIKSAAN KECELAKAAN

KRONOLOGI DOKUMEN Penyesuaian dengan PP No 50 Tahun 2012 DAFTAR ISI

PEMBELAJARAN VIII PEMADAMAN KEBAKARAN

BUPATI BANDUNG BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

EVALUASI SISTEM PENCEGAHAN KEBAKARAN DAN EVAKUASI PADA BANGUNAN ADMINISTRASI TINJAUAN TERHADAP BEBAN API

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NOMOR : KEP. 187 / MEN /1999 T E N T A N G PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA

Lampiran 1 CHECK LIST PRAKUALIFIKASI CSMS

BAB 1 : PENDAHULUAN. potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tempat Kerja Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.KEP.186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja, tempat kerja ialah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 2. Potensi Bahaya Menurut Building and Plant Safety Institute (2007), potensi bahaya (hazard) adalah suatu kondisi atau keadaan pada suatu proses, alat, mesin, bahan atau cara kerja yang secara intrisik atau alamiah dapat menjadikan luka, cidera bahkan kematian pada manusia serta menimbulkan kerusakan pada alat dan lingkungan. Bahaya (danger) adalah suatu kondisi hazard yang terekspos atau terpapar pada lingkungan sekitar dan terdapat peluang besar terjadinya kecelakan atau insiden. Identifikasi potensi kebakaran merupakan langkah penting dalam proses evaluasi potensi kebakaran karena hanya setelah potensi bahaya diketahui, maka dapat dianalisa tingkat kemungkinan terjadinya kebakaran dan tingkat keparahannya. Keberhasilan usaha identifikasi tergantung pada dua faktor yaitu tersedianya data bagaimana cara 6

7 mengorganisasinya. Identifikasi bahaya merupakan survey tentang kondisi yang paling memungkinkan terjadinya kebakaran. Identifikasi hendaknya meliputi seluruh area gedung bangunan, termasuk fasilitas produksi, kantor, dan gudang. Menurut Wahyu (2013), identifikasi bahaya guna mengetahui potensi bahaya dalam setiap pekerjaan dan proses kerja. Identifikasi bahaya dilakukan bersama pengawas pekerjaan atau petugas K3. Identifikasi bahaya menggunakan teknik yang sudah dibakukan, misalnya seperti Check List, Job Safety Analysis (JSA), Job Safety Observation (JSO), What If, Hazops, dan sebagainya. Semua hasil identifikasi bahaya harus didokumentasikan dengan baik dan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan setiap kegiatan. Identifikasi harus menjangkau tentang dua hal yaitu potensi kebakaran yang kelihatan dan tidak kelihatan. Pengertian bahaya yang tidak kelihatan adalah seperti kebocoran pipa, bejana atau tangki yang berisi cairan mudah terbakar dan meledak. Kebocoran ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya erosi, korosi, expansion dan contraction, kerusakan material dan kerusakan fisik. Jika terjadi kerusakan pada pipa, tangki atau bejana beberapa kemungkinan yang dapat terjadi seperti flash fire, pool fire, vapor cloud explosion atau fire ball/bleve. Menurut Building and Plant Safety Institute (2007), dalam memprediksi risiko kebakaran juga dimasukkan unsur-unsur penyebab

8 kebakaran, misalnya bahaya listrik, hot work, rokok, cairan yang mudah terbakar dan ancaman pembakaran yang disengaja. Secara garis besar, tujuan identifikasi adalah: a. Mengetahui potensi bahaya kebakaran yang ada di tempat kerja. b. Mengetahui lokasi dan potensi kebakaran. Sehingga metodologi-metodologi yang dilakukan dalam mengidentifikasi bahaya menurut Building and Plant Safety Institute (2007), antara lain adalah: a. Catatan rekaman data kebakaran Identifikasi dilakukan menggunakan data insiden atau kejadian kebakaran yang pernah terjadi sebelumnya baik pada perusahaan itu sendiri maupun kejadian kebakaran di tempat lain. Metode ini dimaksudkan agar dapat dipakai sebagai pengalaman dari kebakaran yang pernah terjadi dengan berbagai variabel dan parameter penyebab kebakaran, namun identifikasi hanya sebagai data pendukung dalam mengidentifikasi potensi. b. Survey potensi Identifikasi jenis ini merupakan survey terhadap semua kondisi yang dapat menimbulkan kebakaran dengan menggunakan daftar periksa, yang meliputi berbagai aspek, yaitu:

9 1) Material Membuat daftar semua material secara kuantitatif dan kualitatif dengan kondisi dan kemungkinan kebakaran yang ditimbulkan. 2) Peralatan proses Menginventarisasi semua proses dan peralatan yang berpotensi untuk terjadinya kebakaran. Memantau sumber bahaya dari suatu sistem sampai ke komponen-komponen. 3) Kondisi lingkungan Membuat daftar semua kondisi lingkungan kerja yang mempunyai kemungkinan menimbulkan kebakaran. 3. Kebakaran a. Pengertian Kebakaran merupakan api yang tidak terkontrol dan tidak dikehendaki karena dapat menimbulkan kerugian baik harta benda maupun korban jiwa (Building and Plant Safety Institute (BPSI), 2007). b. Teori Segitiga Api Kebakaran dapat terjadi karena adanya tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu adanya bahan yang bisa terbakar, adanya kecukupan oksigen, dan adanya sumber panas atau nyala (Suma mur, 1997). Tiga unsur tersebut dinamakan Segitiga Api.

10 Sehingga apabila salah satu tersebut dihilangkan maka api akan padam. 1) Bahan Yang Mudah Terbakar Umumnya semua bahan atau benda di bumi dapat terbakar. Suatu benda atau bahan dapat secara mudah atau sulit terbakar sangat tergantung atau sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang akan dijelaskan berikut ini. a) Titik nyala (flash point) Titik nyala (flash point) ialah temperatur terendah dari suatu bahan untuk dapat diubah bentuk menjadi uap, dan akan menyala bila tersentuh api (menyala sekejap). Makin rendah titik nyala suatu bahan, maka bahan tersebut akan makin mudah terbakar, sebaliknya makin tinggi titik nyalanya, maka bahan tersebut akan makin sulit terbakar. Bahan yang titik nyalanya rendah digolongkan sebagai bahan yang mudah terbakar. Contohnya: (1) Benda padat : kayu, kertas, karet, plastik, tekstil. (2) Benda cair : bensin, spiritus, oli, spiritus. (3) Benda gas : asetilin, butan. b) Titik bakar (fire point) Titik bakar (fire point) ialah temperatur terendah dimana suatu zat atau bahan cukup mengeluarkan uap dan terbakar

11 (menyala terus-menerus) bila diberi sumber panas. Suatu bahan akan terbakar apabila telah mencapai titik bakar (fire point). Titik nyala antara zat dengan zat lain berbeda-beda, contoh : bensin = 50 C. c) Batas Nyala (flammable range) Batas nyala (flammable range) atau sering disebut juga batas ledak (explosive range) adalah konsentrasi atau campuran uap bahan bakar dengan oksigen dari udara yang dapat nyala atau meledak jika terdapat sumber panas. Semakin tinggi kadar bahan bakar di udara semakin sulit nyala dan sebaliknya jika kadar bahan bakar terlalu kecil juga sulit untuk menyala. Batas konsentrasi terendah dan tertinggi tersebut disebut batas nyala atau batas ledak yang terdiri atas batas nyala atau ledak bawah (Lower Explosive Limit-LEL) dan batas nyala atau ledak atas (Upper Explosive Limit-UEL). Batas Nyala atau Ledak (Explosive Limit) yaitu batas antara LEL dan UEL dimana bahan bakar dan oksigen berada pada batasan konsentrasi yang cukup untuk menyala. (1) Batas Ledak Bawah (Lower Explosive Limit-LEL) yaitu batas konsentrasi terendah uap bahan bakar dengan oksigen yang dapat menyala.

12 (2) Batas Ledak Atas (Upper Explosive Limit-UEL) yaitu batas konsentrasi tertinggi uap bahan bakar dengan oksigen yang dapat menyala. Gambar 1. Batas Nyala dengan Bahan Udara Sumber : Fatma, 2011 2) Suhu Penyalaan Sendiri (Auto Ignition Temperature) Suhu penyalaan sendiri (auto ignition temperature) yaitu temperatur dimana suatu zat dapat menyala dengan sendirinya tanpa adanya sumber panas dari luar. Contoh : bensin = 257,2 C, asetelin = 335 C, butan = 405 C. 3) Oksigen (O 2 ) Oksigen (O 2 ) terdapat di udara bebas. Dalam keadaan normal, prosentase oksigen di udara bebas adalah 21%. Karena oksigen adalah suatu gas pembakar, maka keberadaan oksigen akan sangat menentukan keaktifan pembakaran. Suatu tempat dinyatakan masih mempunyai keaktifan pembakaran, bila kadar

13 oksigennya lebih dari 15%. Sedangkan pembakaran tidak akan terjadi bila kadar oksigen di udara kurang dari 12%. Oleh karena itu, salah satu teknik pemadaman api yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen di sekitar daerah pembakaran menjadi kurang dari 12%. c. Tahapan Kebakaran Menurut Soehatman (2010), kebakaran tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui tahapan atau tingkat pengembangan api. Setiap kebakaran selalu dimulai dengan adanya percikan api atau penyalaan. Api dapat membesar dengan cepat atau secara perlahanlahan tergantung situasi dan kondisi yang mendukung, seperti jenis bahan yang terbakar, suplai oksigen yang cukup dan panas yang tinggi. Fase ini disebut pertumbuhan api (growth stage). Api dapat dengan singkat berkobar besar, tetapi dapat juga berkembang perlahan 1 sampai 10 menit. Pada saat ini api menuju tahap sempurna dengan temperatur mencapai 1000 F (537 C). Selanjutnya jika kondisi mendukung, maka api akan berkembang menuju puncaknya. Semua bahan bakar yang ada akan dilahap dan kobaran api akan membubung tinggi. Penjalaran api karena konvensi ibarat efek domino yang membakar semua bahan yang ada dengan cepat. Terjadi sambaran-sambaran atau penyalaan (flashover) dan temperatur mencapai puncaknya sekitar 700-1000 C.

14 Setelah mencapai puncaknya, dan bahan bakar mulai menipis api akan menurun intensitasnya yang disebut fase pelapukan api (decay). Api mulai membentuk bara-bara jika api terjadi dalam ruangan. Produksi asap semakin meningkat karena kebakaran tidak lagi sempurna. Temperatur kebakaran mulai menurun. Jika kebakaran terjadi dalam ruangan, maka ruangan akan mulai dipenuhi oleh gas-gas hasil kebakaran yang siap meledak atau tersambar ulang yang disebut dengan back draft. Terjadi letupan-letupan kecil di beberapa tempat. Udara panas di dalam, juga mendorong aliran oksigen masuk ke daerah kebakaran karena tekanan udara lebih rendah dibanding tekanan udara luar. Namun secara perlahan dan pasti, api akan berhenti total setelah semua bahan yang terbakar musnah. Tahap tersebut dapat dilihat pada kurva suhu api di bawah ini. Gambar 2. Tahap Perkembangan Api Sumber : Suprapto, 2007

15 d. Klasifikasi Kebakaran Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Per.04/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan APAR menetapkan bahwa klasifikasi kebakaran di Indonesia dibedakan menjadi empat kelas, pada tiap klasifikasi ditentukan dengan membedakan bentuk dan jenis media pemadamnya. Keempat kelas tersebut, yaitu: Tabel 1. Klasifikasi Kebakaran RISIKO MATERIAL ALAT PEMADAM Kelas A Kebakaran bahan padat kecuali logam (kertas, kayu, kain, wol) Air dan Dry Chemical Powder Kelas B Kebakaran bahan cair (minyak, cat, alkohol) dan gas Dry Chemical Foam dan Powder Kelas C Kebakaran pada listrik yang bertegangan Powder Kelas D Kebakaran jenis bahan logam seperti uranium Powder Sumber : Permenakertrans No. Per-04/MEN/1980 e. Penyebab Kebakaran Menurut Building and Plant Safety Institute (BPSI), penyebab kebakaran antara lain: 1) Manusia Kesalahan manusia dapat berupa kurang hati-hati dalam menggunakan alat yang dapat menimbulkan api atau kurangnya pengertian tentang bahaya kebakaran. Contoh: merokok atau memasak. 2) Alat Penyebab dari alat karena kualitas alat yang rendah, cara penggunaan yang salah, pemasangan instalasi yang kurang

16 memenuhi syarat. Contoh: pemakaian daya listrik yang berlebihan atau kebocoran. 3) Alam Penyebab yang dari alam sebagai contohnya adalah panasnya matahari yang amat kuat dan terus menerus memancarkan panasnya sehingga dapat menimbulkan kebakaran. 4) Penyalaan sendiri Penyalaan sendiri yang dimaksud adalah reaksi dari bahanbahan kimia yang dapat menyebabkab kebakaran. Sebagai contoh adalah kebakaran gudang kimia akibat reaksi kimia yang disebabkan oleh kebocoran atau hubungan pendek listrik. 5) Kebakaran disengaja Kebakaran yang disengaja seperti sabotase dan untuk mendapatkan asuransi ganti rugi. Penyebab kebakaran dapat dilihat secara mendalam dari beberapa faktor berikut di bawah ini: a) Faktor non fisik (1) Lemahnya peraturan perundang-undangan yang ada, serta kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaannya (Peraturan Daerah No.3 Tahun 1992). (2) Adanya kepentingan yang berbeda antar berbagai instansi yang berkaitan dengan usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran.

17 (3) Kondisi masyarakat yang kurang mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai usaha pencegahan terhadap bahaya kebakaran. (4) Lemahnya usaha pencegahan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan yang dikaitkan dengan faktor ekonomi, dimana pemilik bangunan terlalu mengejar keuntungan dengan cara melanggar peraturan yang berlaku. (5) Dana yang cukup besar untuk menanggulangi bahaya kebakaran pada bangunan terutama bangunan tinggi. b) Faktor fisik (1) Keterbatasan jumlah personil dan unit pemadam kebakaran serta peralatan. (2) Kondisi gedung, terutama gedung tinggi yang tidak teratur. (3) Kondisi lalu lintas yang tidak menunjang pelayanan penanggulangan bahaya kebakaran. (Building and Plant Safety Institute (BPSI), 2007) 4. Fire Safety Management Fire Safety Management (FSM) adalah sistem pengelolaan atau pengendalian unsur-unsur manusia, sarana atau peralatan, biaya, bahan, metode dan informasi untuk menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya kebakaran (Agus, 2011). Untuk bangunan tempat tinggal yang mempunyai kapasitas lebih dari 50

18 penghuni dan untuk bangunan umum seperti theater, pertokoan, tempat ibadah, yang mempunyai kapasitas lebih dari 30 orang, harus memiliki dan melaksanakan manajemen sistem pengamanan kebakaran. Manajemen sistem kebakaran berada di bawah koordinasi seorang penanggungjawab yang akan mengelola tugas-tugas sebagai berikut: a. Penyusunan rencana strategi sistem pengamanan kebakaran. b. Pengadaan latihan pemadaman kebakaran secara periodik, minimum sekali setahun. c. Pemeriksaan dan pemeliharaan perangkat pencegahan dan penanggulangan kebakaran. d. Pemeriksaan secara berkala ruang-ruang yang menyimpan bahanbahan yang mudah terbakar atau yang mudah meledak, minimum setahun sekali. e. Evakuasi penghuni atau pemakai bangunan pada waktu terjadi kebakaran. Menurut Soehatman (2010), manajemen kebakaran dilaksanakan dalam 3 tahapan yang dimulai dari pencegahan, penanggulangan kebakaran dan rehabilitasinya. Pencegahan dilakukan sebelum kebakaran terjadi (pra kebakaran), penanggulangan dilakukan saat kejadian dan rehabilitasi dijalankan setelah kebakaran (pasca kebakaran). a. Pra Kebakaran Pra kebakaran yaitu langkah-langkah yang dilakukan sebelum kebakaran terjadi atau disebut juga pencegahan kebakaran (fire

19 prevention). Pencegahan kebakaran merupakan tahap strategis, karena dilakukan untuk mencegah agar kebakaran tidak terjadi. Dalam fase pencegahan ini banyak upaya yang dilakukan, misalnya menetapkan kebijakan, melakukan pelatihan, rancang bangun, membuat analisa risiko kebakaran dan prosedur keselamatan. Menurut Soehatman (2010), pada tahap pencegahan ini dilakukan 3E yaitu: 1) Engineering Engineering merupakan perancangan sistem manajemen kebakaran yang baik, termasuk sarana proteksi kebakaran mulai sejak rancang bangun sampai pengoperasian fasilitas. 2) Education Education merupakan upaya membina ketrampilan, keahlian, kemampuan dan kepedulian mengenai kebakaran, termasuk tata cara memadamkan kebakaran dan membina budaya sadar kebakaran. 3) Enforcement Enforcement seperti upaya penegakan prosedur, perundangan atau ketentuan mengenai kebakaran yang berlaku bagi organisasi. Enforcement dapat dilakukan secara eksternal atau oleh pihak eksternal seperti instansi pemerintah dalam memantau pelaksanaan perundangan dan ketentuan mengenai kebakaran.

20 Dalam tahapan pra kebakaran terdapat tahapan penanggulangan kebakaran yang meliputi unit penanggulangan kebakaran serta regu penanggulangan kebakaran. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.KEP.186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja, penanggulangan kebakaran adalah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penanggulangan kebakaran di tempat kerja yang meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumbersumber bahaya, pemeriksaaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi kebakaran. Pembentukan unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.KEP.186/MEN/1999 tentang Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja, dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran. 1) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran yaitu: a) Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan Bahaya kebakaran ringan ditetapkan apabila benda padat dan bahan cair yang mudah terbakar memiliki jumlah sedikit.

21 Contoh yang termasuk bahaya ringan adalah kantor, kelas, tempat ibadah, lobi hotel. b) Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran menengah Bahaya kebakaran sedang ditetapkan apabila benda padat dan bahan cair yang mudah terbakar memiliki jumlah yang lebih dari klasifikasi bahaya ringan. Contoh yang termasuk bahaya sedang adalah bangunan perkantoran, rekreasi, pendidikan (ruang praktikum), area makan, tempat parkir. c) Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran tinggi Bahaya kebakaran tinggi ditetapkan apabila benda padat dan bahan cair yang mudah terbakar yang sedang digunakan, yang masih tersimpan, dan/atau sisa prosuk melebihi kapasitas. Tempat ini meliputi bangunan transportasi (terminal), pasar raya, gudang, bengkel, hanggar, penggergajian kayu, pengecatan. (NFPA 10 Standard for Portable Fire Extinguishers, 2002) 2) Unit penanggulangan kebakaran terdiri dari: a) Petugas peran kebakaran b) Regu penanggulangan kebakaran c) Koordinator unit penanggulangan kebakaran d) Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggungjawab teknis.

22 Ketentuan Petugas Pemadam Kebakaran: 1) Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 25 (dua puluh lima) orang. 2) Regu penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dan huruf d, ditetapkan untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I yang mempekerjakan tenaga kerja 300 (tiga ratus) orang, atau lebih, atau setiap tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat. 3) Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c, ditetapkan sebagai berikut: a) Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 100 (seratus) orang. b) Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II dan sedang III dan berat, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap unit kerja. Tugas petugas pemadam kebakaran adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor dapat menimbulkan bahaya kebakaran 2) Memadamkan kebakaran pada tahap awal 3) Mengarahkan evakuasi orang dan barang

23 4) Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait 5) Mengamankan lokasi kebakaran Untuk dapat ditunjuk menjadi petugas peran kebakaran harus memenuhi syarat: 1) Sehat jasmani dan rohani. 2) Pendidikan minimal SLTP. 3) Telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I. Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c mempunyai tugas: 1) Memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang. 2) Menyusun program kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan kebakaran. 3) Mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada pengurus. Regu penanggulangan kebakaran ialah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran. Regu penanggulangan kebakaran mempunyai tugas: 1) Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran. 2) Melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran.

24 3) Memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada tahap awal. 4) Membantu menyusun buku rencana tanggap darurat kebakaran. 5) Memadamkan kebakaran. 6) Mengarahkan evakuasi orang dan barang. 7) Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait. 8) Memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. 9) Mengamankan lokasi tempat kerja. 10) Melakukan koordinasi seluruh petugas peran kebakaran. Untuk dapat ditunjuk menjadi regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat: 1) Sehat jasmani dan rohani. 2) Usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun. 3) Pendidikan minimal SLTA. 4) Telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar II. 5) Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun, telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama. b. Saat Kebakaran Tahap berikutnya adalah saat kebakaran terjadi atau disebut juga fire fighting. Tahap ini merupakan langkah kunci untuk

25 menanggulangi dan memadamkan kebakaran secepat mungkin sehingga korban dan kerugian dapat dicegah. Dalam fase ini dikembangkan sistem tanggap darurat yang baik dan efektif, sehingga kebakaran dapat dipadamkan dengan cepat sebelum sempat membesar. Fase ini juga berkaitan dengan berfungsinya sistem proteksi kebakaran yang telah dipasang atau disediakan di dalam fasilitas. Sistem pemadam otomatis misalnya, diharapkan akan bekerja sesuai peruntukannya. Dengan demikian api dapat dipadamkan dengan segera. c. Pasca Kebakaran Langkah ini dilakukan setelah kebakaran terjadi yaitu fase rehabilitasi dan rekonstruksi dampak kebakaran. Kegiatan operasi harus dipulihkan kembali, korban harus dirawat dan dikembalikan kesehatannya, seperti semula, keluarga korban meninggal diberi santunan dan dukungan agar tidak menderita. Termasuk dalam fase ini adalah melakukan investigasi atau penyelidikan kebakaran untuk mengetahui faktor penyebabnya. Penyelidikan ini sangat penting dilakukan dengan segera setelah kebakaran terjadi, untuk menghindarkan hilangnya bukti atau fakta kejadian. Hasil penyelidikan ini hendaknya digunakan sebagai masukan dalam menyusun kebijakan, peraturan, standar atau pedoman bagi semua pihak. Tanpa adanya lesson learn ini, program pencegahan kebakaran tidak akan berjalan dengan efektif.

26 5. Identifikasi Potensi Bahaya Kebakaran Langkah awal untuk mengembangkan sistem manajemen kebakaran adalah dengan melakukan identifikasi dan penilaian risiko kebakaran yang ada dalam perusahaan atau organisasi. Identifikasi dan penilaian risiko kebakaran (Fire Risk Assessment) pada prinsipnya sama dengan melakukan risiko K3 yang lain melalui pendekatan manajemen risiko (Soehatman, 2010). Menurut Soehatman (2010), langkah pertama adalah melakukan identifikasi apa saja potensi bahaya kebakaran yang ada dalam organisasi. Bahaya kebakaran dapat bersumber dari proses produksi, material, atau bahan yang digunakan, kegiatan kerja yang dijalankan dalam perusahaan serta instalasi yang mengandung potensi risiko. Dalam melakukan identifikasi risiko kebakaran ini dapat dilakukan pendekatan sebagai berikut: a. Sumber kebakaran Mengidentifikasi sumber kebakaran dapat dilakukan melalui pendekatan segitiga api, yaitu sumber bahan bakar, sumber panas, dan sumber oksigen. b. Proses produksi Proses produksi juga mengandung berbagai potensi bahaya kebakaran dan peledakan, misalnya dari tangki timbun, reaktor, proses distilasi, proses pemanasan dan pembakaran. Kegiatan produksi

27 misalnya di suatu pabrik kimia sering menggunakan tekanan dan suhu yang tinggi untuk mengolah suatu bahan kimia. Kondisi ini mengakibatkan instalasi tersebut rawan terhadap risiko kebakaran. Demikian juga di dalam bangunan yang digunakan untuk kegiatan memasak atau produksi makanan dan minuman yang menggunakan sumber panas juga mengandung risiko kebakaran. Bengkel pengecatan mobil dengan menggunakan oven atau sistem penyemprotan juga rawan terhadap bahaya kebakaran. c. Material mudah terbakar Identifikasi risiko kebakaran juga memperhitungkan jenis material yang digunakan, disimpan, diolah atau diproduksi di suatu tempat kerja. Jika bahan tersebut tergolong mudah terbakar (flammable material) dengan sendirinya risiko kebakaran semakin tinggi. 6. Sarana Proteksi Kebakaran Sarana proteksi kebakaran adalah perlengkapan atau prasarana yang diperlukan dalam keadaan darurat kebakaran seperti alat penyelamat, alat pertolongan pertama dan sarana komunikasi yang memadai serta memiliki tujuan untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran sedini mungkin dengan menggunakan peralatan yang digerakkan secara manual atau otomatis.

28 a. Sarana Proteksi Kebakaran Aktif Sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadam. Selain itu dari sistem ini digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran (Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.10/KPTS/ 2000).

29 Tabel 2. Sarana Proteksi Kebakaran Aktif SARANA PROTEKSI AKTIF PENGERTIAN DETEKTOR KEBAKARAN Alat yang dirancang untuk mendeteksi adanya kebakaran dan mengawali suatu tindakan. INSTALASI ALARM Sistem atau rangkaian alarm kebakaran yang menggunakan detektor panas, detektor asap, detektor nyala api dan titik panggil secara manual serta perlengkapan lainnya yang dipasang pada sistem alarm kebakaran. SPRINKLER Suatu sistem instalasi pemadam kebakaran yang dipasang secara tetap/permanen di dalam bangunan yang dapat memadamkan kebakaran secara otomatis dengan menyemprotkan air di tempat mula terjadi kebakaran. ALAT PEMADAM API RINGAN (APAR) Alat pemadam api yang mudah dilayani oleh satu orang, digunakan untuk memadamkan api pada awal terjadinya kebakaran. HYDRANT Suatu sistem pemadam kebakaran dengan menggunakan air bertekanan. JENIS SUMBER Detektor panas Detektor asap Detektor nyala api Detektor gas kebakaran Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per 02/MEN/1983 tentang Instalasi Kebakaran Otomatik Sumber : Hasil Pengolahan Data, Februari 2016 Audible alarm Visible alarm Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per 02/MEN/1983 tentang Instalasi Kebakaran Otomatik Dry Pipe System Wet Pipe System Deluge System Preaction System Combined Dry Pipe- Prection Installation of Sprinkler Systems, NFPA 13,2013 Edition. Jenis cairan (air) Jenis busa Jenis tepung kering Jenis gas (hydrocarbon berhalogen dan sebagainya) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per/04/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemadaman dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan Hydrant gedung Hydrant halaman SNI 03-1745-2000 tentang Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan dan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung

30 b. Sarana Proteksi Kebakaran Pasif Sarana proteksi kebakaran pasif dapat didefinisikan sebagai sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran (Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.10/KPTS/2000). Sistem proteksi pasif biasanya juga disebut sebagai sistem perlindungan bangunan dengan menangani api dan kebakaran secara tidak langsung. Caranya dengan meningkatkan kinerja bahan bangunan, struktur bangunan, pengontrolan dan penyediaan fasilitas pendukung penyelamatan terhadap bahaya api dan kebakaran. Yang termasuk di dalam sistem proteksi pasif ini antara lain: 1) Perencanaan dan desain site, akses dan lingkungan bangunan. 2) Perencanaan struktur bangunan. 3) Perencanaan material konstruksi dan interior bangunan. 4) Perencanaan daerah dan jalur penyelamatan (evakuasi) pada bangunan. 5) Manajemen sistem penanggulangan kebakaran.

31 7. Prosedur Keadaan Darurat (Fire Emergency Plan) Menurut Building and Plant Safety Institue (2007), kebakarankebakaran yang telah terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa seberapa lengkapnya sarana proteksi kebakaran pada bangunan masih belum menjamin keamanan bangunan dan ancaman bahaya kebakaran, tanpa diterapkannya fire safety management. Di dalam permasalahan fire safety management, satu diantaranya adalah tentang rencana menghadapi kejadian darurat kebakaran (fire safety plan). Dalam rencana tersebut diperkirakan bangunan mengalami kejadian kebakaran. Untuk itu harus dan dipersiapkan tindakan yang harus dilakukan oleh orang yang berada dalam bangunan tersebut, baik untuk penanganan kebakaran tahap awal maupun untuk pelaksanaan evakuasi penghuni. Fire emergency plan sangat penting bagi bangunan yang berisi atau menampung banyak orang. Tanpa rencana tersebut bisa terbayangkan betapa kacaunya penghuni bangunan di saat timbulnya keadaan krisis. Timbulnya keadaan krisis suatu fire emergency plan yang handal (reliable) dalam pembuatannya mempertimbangkan yaitu karakteristik bangunan (konstruksi dan penggunaannya), peralatan proteksi kebakaran aktif yang tersedia, pengambilan keputusan dan perilaku penghuninya. 8. Pembinaan dan Pelatihan Menurut Soehatman (2010), pembinaan dan pelatihan merupakan unsur penting dalam sistem manajemen kebakaran. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penyebab kebakaran adalah faktor manusia. Di

32 samping sebagai penyebab, manusia juga berperan penting dalam upaya penanggulangan jika kebakaran terjadi. Pembinaan dan pelatihan ditujukan bagi semua pihak yang terkait dengan kegiatan perusahaan. Program pelatihan dan pembinaan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing misalnya: 1) Tim pemadam kebakaran Tim pemadam kebakaran perlu diberi pembinaan dan pelatihan mengenai teknik menanggulangi kebakaran, teknik penyelamatan (rescue), cara Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), penggunaan peralatan pemadam kebakaran, teknik menyelamatkan diri dan lainnya. Sasarannya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan penanggulangan kebakaran. Latihan dapat dilakukan secara khusus atau bersifat fire drill. Termasuk dalam tim pemadam ini, antara lain petugas pemadam kebakaran, petugas keamanan, logistik, teknik, juru pompa, dan fungsi lainnya yang terlibat. 2) Para pekerja Para pekerja diberi pelatihan mengenai bahaya kebakaran dengan tujuan untuk meningkatkan kesadarannya. Mereka juga perlu diberi pelatihan mengenai cara penyelamatan diri dalam kebakaran, prosedur evakuasi dan petunjuk praktis P3K. Mereka juga dibina untuk meningkatkan kesadaran atau fire awareness dalam bekerja. Mereka juga perlu diperkenalkan dengan sumber bahaya kebakaran yang ada

33 di tempat masing-masing serta sarana proteksi kebakaran yang tersedia. 3) Manajemen Diberi pemahaman mengenai risiko kebakaran dan peran mereka dalam meningkatkan kesadaran kebakaran di lingkungan kerja. Manajemen juga perlu diberi pemahaman tentang dampak kebakaran terhadap bisnisnya sehingga diharapkan mereka akan lebih peduli dan memiliki komitmen untuk mendukung program pencegahan kebakaran. 4) Masyarakat dan Lingkungan Sekitar Mereka juga perlu diberi pelatihan atau setidaknya sosialisasi mengenai bahaya kebakaran. Banyak terjadi kebakaran justru bermula dari pihak luar atau masyarakat berdekatan dengan aktivitas organisasi. 9. Penyelidikan dan Pelaporan Menurut Soehatman (2010), setiap kejadian kebakaran harus diselidiki dan dilaporkan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Penyelidikan kebakaran sangat diperlukan dengan tujuan untuk mengetahui apa penyebab kebakaran sehingga dapat diambil langkah yang tepat. Tanpa mengetahui penyebab kebakaran, dan tidak melakukan tindakan pencegahan dan perbaikan, maka kebakaran berikutnya akan terulang kembali.

34 Penyelidikan pasca terjadinya kejadian kebakaran dapat dilakukan melalui investigasi. Menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, investigasi adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan keterangan atau data atas rangkaian temuan kejadian gangguan, kerusakan, kerugian, kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran dan penyakit akibat kerja. Kegiatan dalam menangani kecelakaan sangat bervariasi tergantung dari situasi dan potensi kerugian yang timbul. Pada kenyataannya tidak ada satu metode investigasi yang permanen yang dapat digunakan untuk semua peristiwa kecelakaan. Hal ini disebabkan karena kondisi dan penyebab kecelakaan sangat bervariasi dari satu kejadian kecelakaan ke kecelakaan lainnya. Namun demikian secara garis besar metode atau langkah-langkah program investigasi meliputi hal-hal berikut: a. Merespon kondisi emergensi secara cermat dan berfikir secara positif. b. Mengumpulkan informasi yang relevan. c. Menganalisa seluruh penyebab yang signifikan. d. Mengembangkan dan melakukan tindakan perbaikan. e. Mereview temuan dan rekomendasi. f. Tindak lanjut efektifitas tindakan korektif yang dilakukan. Kebakaran bagaimanapun kecilnya juga wajib dilaporkan kepada pihak berwenang baik internal maupun eksternal perusahaan. Oleh

35 karena itu, perusahaan harus menetapkan prosedur pelaporan kebakaran, jalur pelaporan dan pihak yang terkait. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan dalam Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan bahwa pengurus atau pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja pimpinannya. Ayat (2) kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Kecelakaan kerja. b. Kebakaran atau peledakan atau bahaya pembuangan limbah. c. Kejadian berbahaya lainnya. Pelaporan kecelakaan kerja wajib dilaporkan oleh pengurus atau pengusaha kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dalam waktu tidak lebih dari 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan dengan formulir laporan kecelakaan kerja. 10. Evaluasi Langkah yang diambil pasca terjadinya kecelakaan atau kejadian berbahaya adalah evaluasi kejadian tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), di suatu perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang tinggi harus memiliki prosedur mengenai pemulihan kondisi tenaga kerja maupun sarana dan peralatan produksi yang mengalami kerusakan setelah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

36 Penanggung jawab melaksanakan tindakan perbaikan atas laporan pemeriksaan kecelakaan dan menginformasikan, memantau serta mendokumentasikan tindakan perbaikan tersebut kepada tenaga kerja yang bekerja di tempat terjadinya kecelakaan.

37 B. KERANGKA PEMIKIRAN TEMPAT KERJA POTENSI BAHAYA IDENTIFIKASI BAHAYA PENYEBAB KEBAKARAN KEBAKARAN KLASIFIKASI KEBAKARAN SARANA PROTEKSI KEBAKARAN UPAYA PENGENDALIAN TERJADINYA KEBAKARAN PRA FIRE CONTROL FIRE EMERGENCY PLAN PEMBINAAN DAN PELATIHAN FIRE SAFETY MANAGEMENT FIRE CONTROL FIRE EMERGENCY PROCEDURE POST FIRE CONTROL PENYELIDIKAN DAN PELAPORAN KEJADIAN KEBAKARAN KEPMENAKER RI NO KEP-186/ MEN/1999 PERATURAN PEMERINTAH NO. 50 TAHUN 2012 KEPMENPU No. 10/KPTS/ 2000 EVALUASI KEJADIAN KEBAKARAN TIDAK SESUAI SESUAI Gambar 3. Kerangka Pemikiran