HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN: SAMBUNGAN KAYU MANGIUM 17 TAHUN DAN APLIKASI PADA BALOK SUSUN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL) YETVI ROSALITA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Sambungan Baut Pertemuan - 12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Garis perekat arah radial lurus. (c)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

BAB III METODE PENELITIAN

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

BAB V ANALISIS HASIL

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR

Dimana : g = berat jenis kayu kering udara

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN BAMBU LAMINASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 5.1. Proses perancangan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

Transkripsi:

38 Karakteristik Bambu HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar Air (KA) dan Berat jenis (BJ) Hasil pengujian KA dan BJ dari kedua jenis bambu ditinjau dari arah longitudinal yaitu mulai dari bagian bawah (pangkal) sampai atas (ujung) dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Berat jenis dari kedua jenis bambu menunjukkan bahwa berat jenis mengalami kenaikan dari bagian bawah menuju keatas batang. Sebaliknya BJ berkorelasi negatif dengan KA yang akan semakin menurun pada posisi semakin keatas. Berdasarkan hasil pengujian dari kedua bambu terlihat bahwa bambu Sembilang pada bagian bawah dan atas mempunyai BJ yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Tetapi bagian tengah BJ bambu Betung lebih tinggi dibanding bambu Sembilang. Jenis Tabel 1 Nilai Rata-rata Berat Jenis (BJ) dan Kadar Air (KA) Bambu Bawah Tengah Atas 1 (posisi 1.5 m ) 2 (posisi 3 m ) 1 (posisi 4.5 m ) 2 (posisi 6 m ) 1 (posisi 7.5 m ) 2 (posisi 9 m ) BJ KA BJ KA BJ KA BJ KA BJ KA BJ KA Betung 0.46 86.22 0.56 54.91 0.66 81.03 0.62 63.27 0.63 35.33 0.59 20.49 Sembilang 0.52 119.85 0.55 34.80 0.65 81.95 0.61 54.54 0.74 64.25 0.72 46.47 Gambar 16 Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler ( dalam %). Keterangan Gambar : A = Atas luar; B = Atas tengah; C = Atas dalam; D = Tengah luar; E = Tengah tengah; F = Tengah dalam; G = Bawah luar; H = Bawah tengah; I = Bawah dalam

39 Hasil pengujian anatomi menunjukkan bahwa proporsi ikatan vaskular terhadap proporsi pembuluh dan parenkim yang terdapat dalam bambu Betung pada bagian tengah luar mempunyai nilai tertinggi yaitu mencapai 74%, bisa dilihat pada Gambar 16 diatas. Pada bagian bawah dan atas bambu Sembilang mempunyai kecenderungan proporsi ikatan vaskulernya lebih tinggi dibanding bambu Betung. Penyebaran proporsi ikatan vaskuler dari batang bagian luar pada bambu Betung dan Sembilang seluruhnya hampir diatas 50%, sedangkan pada bagian tengah dan dalam hanya berkisar antara 30-50%. Secara umum sebaran proporsi ikatan vaskuler pada bambu Betung adalah 35.64 74.01%, sedangkan pada bambu Sembilang adalah 36.01 56.20%. Panshin (1970) mengemukakan bahwa nilai BJ antara lain tergantung pada ukuran sel, ketebalan dinding sel dan hubungan antara ukuran dan ketebalan sel. Struktur sel yang mempengaruhi nilai BJ adalah sel serabut (sklerenkim) yang terdapat pada ikatan vaskuler karena berdinding relative tebal dibandingkan jaringan dasar, sehingga berpengaruh terhadap berat. Pada Tabel 2 dapat dilihat jumlah ikatan vaskuler per µm 2 pada setiap posisi dalam satu batang. Nuriyatin (2000) telah melakukan pengamatan anatomi bambu menjelaskan bahwa terdapat perbedaaan distribusi ikatan vaskular antar jenis bambu yang dapat memberikan indikasi perbedaan nilai BJ antar bambu meskipun tidak selalu berbanding lurus. Hal ini tidak berarti bahwa distribusi ikatan vaskular kurang bermanfaat dalam menduga keterkaitannya dengan nilai BJ, namun akan lebih baik apabila dipergunakan untuk jenis bambu yang ikatan vaskulernya sama. Tabel 2 Jumlah ikatan vaskuler pada setiap lokasi pengujian Jenis Jumlah Ikatan Vaskuler Posisi /µm 2 Betung Sembilang Atas Luar (A) 2 2 Atas Tengah (B) 2 1 Atas Dalam (C) 1 1 Tengah Luar (D) 2 2 Tengah Tengah (E) 1 1 Tengah Dalam (F) 1 1 Bawah Luar (G) 2 1 Bawah Tengah (H) 1 1 Bawah Dalam (I) 1 1

40 Pendekatan yang dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai BJ dari bawah sampai atas melalui perbedaan persentase serabut yang dimilki setiap jenis bambu. Namun hal ini tidak selalu berarti bahwa kandungan % serabut yang tinggi mencerminkan BJ yang yang tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai BJ sangat berkaitan dengan ketebalan dinding sel. Dengan demikian faktor yang cukup menentukan nilai BJ adalah % serabut berdinding tebal (sklerenkim) yang dikandung suatu jenis bambu dan untuk mendapatkan % sklerenkim cukup sulit apabila dilakukan manual dan nilainya akan bervariasi antar jenis. Perbedaan komposisi kimia batang bambu antar jenis juga dapat mempengaruhi nilai BJ walaupun secara umum setiap jenis bambu mempunyai stuktur kimia yang sama. Variasi struktur kimia yang dikandung masing-masing jenis bambu akan berperan dalam menentukan nilai BJ. Distribusi BJ dari setiap lapisan pada bambu Betung disajikan pada Gambar 17 dibawah ini. Nilai BJ akan semakin meningkat dari bagian dalam menuju luar (daerah yang bersinggungan dengan kulit luar). Bambu Betung mempunyai sebaran BJ dari 0.379 sampai 0.91 sedangkan bambu Sembilang mempunyai sebaran BJ yang lebih sempit yaitu antara 0.491-0.871, disajikan pada Gambar 18. Nilai sebaran BJ bambu Bentung menunjukkan sangat beragamnya sifat dari satu batang bambu. Gambar 17 Diagram sebaran BJ bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang.

41 Gambar 18 Diagram sebaran BJ bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang. Hasil penelitian Liese dalam Lindholm (2007) menyatakan variasi BJ bambu rata-rata antara 0.5-0.9. Variasi distribusi serat pada batang bagian luar lebih rapat dibanding pada bagian dalam, hal ini berarti bahwa pada bagian luar mempunyai BJ lebih tingi dibanding bagian dalam. Dari nilai sebaran BJ tersebut diatas, apabila dicermati hampir 90% nilai BJ adalah diatas 0.5. Kondisi ini dapat dijadikan perhatian apabila kita akan menggunakan bambu Betung sebagai bahan baku suatu produk komposit yang menginginkan suatu kerapatan tertentu bahkan hampir seragam. Nilai BJ lebih besar dari 0.6 dapat kita peroleh pada setiap sebaran titik pengujian sebanyak kurang lebih 6 lapisan yang terluar. Hal ini dapat diartikan bahwa apabila satu lapisan mempunyai ketebalan ± 1 mm, maka dinding bambu dari bagian paling bawah sampai atas yang dapat digunakan dengan target BJ 0.6 adalah setebal ± 6 mm. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan bambu Sembilang, dimana hampir 95% sebaran nilai BJ diatas 0.5. Dengan ketebalan dinding bambu ± 6 mm dari kulit luar kita mendapatkan nilai BJ diatas 0.6. Kecuali pada bagian bawah yang bisa mencapai ketebalan ± 10 mm. Perbedaan ini disebabkan batang bambu Sembilang yang mempunyai bentuk sangat mengerucut, dimana pangkal bawah batang bambu Sembilang sangat besar dan meruncing menuju ke atas/ujung. Dalam penggunaan bambu yang rasional sebaiknya berpedoman kepada azas pemilihan mekanik dengan memperhatikan korelasi dengan berat jenis, kadar lengas, lama pembebanan, miring serat dll. (Nuriyatin 2000). Liese dalam

42 Lindholm (2007) menyatakan bahwa BJ merupakan salah satu yang menentukan sifat mekanik pada batang bambu. BJ tergantung pada banyak dan diameter serat serta tebal dinding sel. Oleh karena itu sifat mekanik sangat signifikan pada setiap batang dan antar jenis bambu. Kadar air akan mengalami penurunan pada posisi semakin ke atas/ujung seperti disajikan pada Tabel 1 bahwa kandungan air yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding oleh bambu Betung, yaitu berkisar antara 23.87 136.72 %. Adapun sebaran nilai KA pada bambu Betung berkisar antara 15.24 111.82 %. Hal ini dapat dihubungkan oleh proporsi ikatan serabut seperti pada Gambar 16 diatas bahwa di beberapa tempat khususnya sisi terluar, proporsi serabut bambu Bentung lebih tinggi dibanding pada bambu Sembilang. Sattar dalam Nuryatin (2000) perbedaan KA dipengaruhi perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimia antar jenis bambu karena hal ini berkaitan dengan besarnya volume udara dalam batang bambu. Kandungan air dari posisi bawah sampai atas menunjukkan kecenderungan perbedaan hal ini dikarenakan pada bagian atas proporsi ikatan serabut lebih banyak dan didukung oleh proses lignifikasi yang lebih banyak sehingga lebih stabil dan mengandung kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan pada bagian bawah. Ini berarti volume total zat dinding sel serabut dan jumlah ekstraktif meningkat yang mengisi ronga sel sehingga volume rongga udara cenderung lebih kecil. BJ bambu Betung paling tinggi dibanding bambu Andong, Temen, Tali dan Hitam. Sedangkan ditinjau dari bagian bawah bambu Hitam mempunyai BJ paling tinggi tetapi berbeda pada bagian atas, BJ tertinggi pada bambu Betung. 2. Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) MOE menunjukkan sifat kekakuan dan diterapkan pada kondisi batas proporsi sebagai penduga kekuatan yang lebih baik dibandingkan pendugaan yang berdasarkan atas BJ atau kekerasan karena mempunyai kepekaan terhadap cacat. Sebaran nilai MOE bambu Betung dan Sembilang mempunyai kecenderungan semakin meningkat pada posisi dalam menuju keluar dan dari posisi bawah menuju keatas (Gambar 19 dan 20). Hal ini seperti dituliskan pada penelitianpenelitian sebelumnya, seperti Yu et al. (2008) yang telah melakukan penelitian

43 bambu Moso (Phyllostachys pubescens) yang menunjukkan bahwa MOE mengalami penurunan dari lapisan terluar menuju lapisan terdalam. Dan penelitian yang dilakukan Nuriyatin (2000) memberikan hasil bahwa nilai MOE mempunyai kecenderungan yang meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Gambar 19 Diagram sebaran MOE bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang. Gambar 20 Diagram sebaran MOE bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang. Dari hasil penelitian ini terlihat nilai MOE yang dimiliki bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dari bambu Betung. Sifat MOE ini juga masih dipengaruhi oleh BJ yang dimiliki, dimana hasil yang telah disampaikan diatas bahwa BJ bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibanding BJ bambu Betung, sehingga sifat MOE yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding MOE bambu Betung. Karena BJ merupakan sifat fisik bambu maupun kayu yang mempengaruhi sifat mekaniknya.

44 Nilai MOR mempunyai korelasi yang positif terhadap MOE, hal ini ditunjukkan dengan distribusi MOR mempunyai pola yang mirip terhadap distribusi MOE (Gambar 21 dan 22). Pengujian bending pada bambu Betung dan Sembilang menghasilkan sebaran peningkatan MOR dari posisi bawah menuju ke atas dan pada lapisan yang dalam menuju lapisan yang terluar. Gambar 21 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Betung. Gambar 22 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Sembilang. Dan sebaran MOR yang dihasilkan bambu Sembilang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding pada bambu Betung. Hal ini berkesesuaian dengan sebaran MOE serta BJ. Meskipun pada bagian bambu Betung ada yang mempunyai nilai MOR yang menonjol yaitu pada bagian tengah lapisan luar hal ini dipengaruhi oleh proporsi ikatan vaskuler yang tinggi dibanding pada bagian yang lain. Nilai MOE dan MOR bambu Betung mempunyai sebaran dengan nilai 5 515.68 13 934.07 kg/cm 2 dan 160.38 366.11 kg/cm 2. Bambu Sembilang mempunyai sebaran nilai MOE dan MOR yang lebih tinggi dari bambu Betung, yaitu 4 745.07 24 329.92 kg/cm 2 dan 144.70-508.93 kg/cm 2. Subyakto (1995) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa bambu Betung mempunyai MOE tertinggi dibanding bambu Tali, Temen, Andong dan Hitam. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur khususnya sklerenkim yang dimilki yang sekaligus menunjukkan perbedaan nilai BJ.

45 Kecenderungan BJ tinggi mempunyai MOE yang tinggi. Dengan demikian BJ mempunyai peranan yang penting dalam menentukan sifat fisik mekanis, selanjutnya Jassen dalam Nuriyatin (2000) menuliskan bahwa nilai MOE ditentukan oleh persentase sklerenkim. Hubungan nilai BJ dan MOR dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 dibawah. Dari diagram tersebut dilihat pola sebaran BJ yang mempengaruhi MOR dengan korelasi yang positif, yaitu dengan meningkatnya BJ maka MOR juga akan meningkat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan kuat antara nilai MOE dan MOR sehingga menduga MOR dengan MOE dapat dilakukan. Klop dalam Lindholm (2007) menyatakan bahwa bambu mempunyai kekuatan lentur dapat mencapai dua sampai tiga kali lebih tinggi pada bagian luar dibandingkan pada bagian dalam. Gambar 23 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Betung. Gambar 24 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Sembilang Pada bambu Betung nilai BJ tertentu tidak memberikan interval MOR tertentu, sebaliknya pada sebaran BJ bambu Sembilang memberikan pola interval MOR yang dihasilkan dari BJ tertentu, yang diilustrasikan oleh persegi panjang diatas Gambar 23 dan 24. Dengan sebaran yang terpola maka pada bambu Sembilang dapat lebih mudah untuk pemilihan bagian dari batang bambu untuk digunakan suatu bahan komposit dengan karekteristik tertentu, khususnya dalam hal pencapaian kerapatan dan kekuatan tekan yang ingin dicapai. Berdasarkan

46 penelitian pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan juga telah dilakukan oleh Surjokusumo dan Nugroho (1994) khususnya untuk sifat anatomi, fisik, mekanik dan balok laminasi bambu sebagai tulangan beton dengan maksud untuk mencapai tujuan penggunaan yang effisiennya, disimpulkan bahwa D. asper mempunyai prospek yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan yang serba guna. Dengan hasil pengujian dari bawah menuju ke atas, dan dari dalam menuju keluar, sebaran kekuatan dari batang bambu utamanya dipengaruhi oleh BJ dan MOR. Dari penelitian ini dapat diperoleh sebaran kekuatan yang lebih spesifik dengan mengambil bagian dengan BJ diatas 0.5, maka akan diperoleh sebaran MOR seperti disajikan pada Gambar 25. Bambu Betung dan Sembilang MOR yang mirip. Jelas terlihat bahwa hubungan sebaran dari BJ dan MOR adalah linier yang berkorelasi positif. MOR akan semakin meningkat pada posisi semakin ke atas pada batang, dimana sebarannya sangat terlihat jelas dengan tiga area bawah, tengah dan atas, meskipun perbedaan BJ tidak terlalu nyata. Gambar 25 Sebaran MOR pada bambu Betung dan Sembilang dengan BJ lebih besar dari 0,5 3. Struktur Anatomi Sifat mekanik suatu batang bambu dapat dijelaskan oleh struktur anatominya, Liese dalam Lindholm (2007). Bambu tidak mempunyai sel radial seperti yang terdapat pada kayu, yang berfungsi untuk transportasi cairan dan makanan. Pada bambu, buku bertindak sebagai transportasi. Sel berbeda pada setiap bagian yang berbeda pada batang, arah vertikal pada sepanjang batang dan

47 arah transversal dari dinding batang. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian anatomi untuk mengetahui dimensi serat serta sebaran dan pola dari ikatan vaskular. Dimensi serat dari bambu Bentung dan Sembilang dituangkan dalam Tabel 3 berikut. Jenis Bambu Tabel 3 Dimensi serat pada bambu Betung dan Sembilang Posisi Panjang Serat Diameter Serat Diameter Lumen Tebal Dinding Serat µm µm µm µm Betung Atas 3107.84 25.63 21.47 2.08 Betung Tengah 4016.35 28.00 23.76 2.12 Betung Bawah 4040.40 30.69 26.48 2.10 Sembilang Atas 3281.04 38.38 33.36 2.51 Sembilang Tengah 3516.91 43.86 38.61 2.62 Sembilang Bawah 4031.09 41.79 36.62 2.58 Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa panjang serat pada setiap batang bambu akan mengalami peningkatan. Panjang serat antara bambu Betung dan Sembilang hampir mempunyai kesamaan meskipun dari pengukuran terlihat serat bambu Betung lebih panjang dari bambu Sembilang. Diameter serat pada bambu Betung mempunyai pola seperti panjang serat, yaitu semakin tinggi posisi dari pangkal maka diameter seratnya semakin lebar. Akan tetapi berbeda pada bambu Sembilang, pada posisi tengah mempunyai diameter serat yang paling besar demikian pula halnya dengan diameter lumennya. Dinding serat yang paling tebal dimiliki oleh bambu Betung dan Sembilang pada posisi tengah batang. Bambu Sembilang mempunyai diameter serat, diameter lumen serta tebal dinding serat yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Dimensi serat yang dimiliki oleh bambu sangatlah berpengaruh terhadap BJ. Perbedaan nilai BJ dalam berbagai posisi batang bambu secara alami disebabkan karena perbedaan kecepatan pertumbuhan antara bagian bawah dan atas, sehingga pada bagian bawah terbentuk sel serabut yang panjang, berdinding tipis dan diameter besar, sedangkan pada bagian atas karena kecepatan tumbuh mulai menurun maka ukuran sel yang terbentuk sudah mulai memendek, berdiamter kecil dan berdinding tebal. Hal ini didukung oleh proses lignifikasi yang terjadi pada tanaman bambu dimana zat lignin akan lebih banyak berada di ruas yang lebih tinggi sehingga kondisi ini akan mempengaruhi BJ. Sayatan anatomi pada setiap bagian dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 26, 27 dan 28.

48 Sembilang Atas Bagian Luar Sembilang Atas Bagian Tengah Sembilang Atas Bagian Dalam Betung Atas Bagian Luar Betung Atas Bagian Tengah Betung Atas Bagian Dalam Gambar 26 Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian atas. Sembilang Tengah Bagian Luar Sembilang Tengah Bagian Tengah Sembilang Tengah Bagian Dalam Betung Tengah Bagian Luar Betung Tengah Bagian Tengah Betung Tengah Bagian Dalam Gambar 27. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian tengah Sembilang Bawah Bagian Luar Sembilang Bawah Bagian Tengah Sembilang Bawah Bagian Dalam Betung Bawah Bagian Luar Betung Bawah Bagian Tengah Betung Bawah Bagian Dalam Gambar 28. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian bawah

49 Karakteristik LVL 1. Kadar Air (KA) dan Kerapatan Hasil pengujian kadar air dari ketiga LVL menunjukkan hasil bahwa kadar air yang dimiliki masih memenuhi persyaratan standar SNI 01-6240-2000, yaitu dibawah 14%. Nilai yang dihasilkan berkisar 12.36-13.39% disajikan dalam Tabel 4. LVL B, yang disusun dari vinir kayu Karet dan Sengon menggunakan perekat PF, mempunyai kandungan air tertinggi yaitu 13.39%. Sebaliknya dengan kerapatan, LVL B mempunyai kerapatan paling rendah yaitu 0.53 g/cm 3. Hal ini berkaitan dengan penyusun LVL B yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon. Kayu Sengon utuh mempunyai kerapatan 0.37 g/cm 3 (Kikata et al. 2002). Tabel 4 Nilai Kadar Air dan Kerapatan dari 3 jenis LVL Kode KA (%) Std. Dev KA Kerapatan (g/cm 3 ) Std. Dev Kerapatan A 12.70 0.42 0.69 0.02 B 13.39 0.08 0.53 0.03 C 12.36 0.16 0.67 0.01 Keterangan : A = Karet + PF ; B = Karet + Sengon + PF; C = Karet + MUF Kayu Sengon merupakan kayu dengan kerapatan rendah yang mempunyai dinding sel yang lebih tipis dan rongga sel yang besar, sehingga hal ini memudahkan air bebas tertarik ke dalam rongga sel. Pada LVL B mempunyai jumlah vinir paling banyak daripada LVL A dan C. Penggunaan perekat MUF dari hasil pengujian memberikan pengaruh yaitu memperkecil kadar air, sehingga kadar air hanya mencapai 12.36% yaitu nilai terkecil dari ketiga LVL yang diuji. Sifat melamin pada MUF mempunyai sifat tahan terhadap air, sehingga dapat membantu menghalangi air yang masuk ke dalam vinir kayu sehingga menghasilkan LVL dengan kadar air yang rendah. Dilihat dari hasil pengujian kadar air terlihat nyata bahwa penggunaan vinir Sengon dalam LVL meningkatkan kadar air dan menurunkan kerapatan. Tetapi tidak dengan penggunaan perekat yang berbeda, yaitu PF dan MUF, tidak terlihat nyata perbedaan hasil pengujian kadar air dan kerapatan. Berdasarkan hasil sidik ragam menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata terhadap KA dengan nilai P value 0.008 dengan derajat kepercayaan 95%. Dengan uji lanjutan menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa LVL A dan LVL B

50 mempunyai pengaruh nyata, demikian juga dengan LVL B terhadap LVL C. Tetapi berbeda dengan LVL A terhadap LVL C tidak menujukkan perbedaan yang nyata dalam KA. Jenis LVL juga sangat berpengaruh nyata terhadap kerapatan dari ketiga jenis LVL tersebut. Hal ini dibuktikan pada analisis sidik ragam ANOVA yang menghasilkan P value 0.000 dengan derajat kepercayaan 95%. Untuk melihat berbedaan nyata antar LVL dilakukan uji Tukey dengan hasil bahwa LVL A dan LVL B berbeda nyata, seperti halnya LVL B tehadap LVL C. Tidak beda nyata ditunjukkan pada LVL B terhadap LVL C. Pengaruh jenis LVL mempunyai pengaruh yang sama pada KA dan kerapatan. Akan tetapi KA dan kerapatan itu sendiri mempunyai korelasi negatif dengan P value 0.018 dengan derajat kepercayaan 95%. Persamaan regresi antara KA dan kerapatan dapat dituliskan bahwa, kerapatan = 2.12 0.116 KA 2. Delaminasi Berdasarkan SNI 01-6240-2000 mempersyaratkan bahwa nisbah delaminasi rata-rata tidak lebih dari 10% dan panjang kerusakan 1 garis rekat tidak lebih dari 1/3 atau 33% dari panjang garis rekat pada setiap sisi. Dari hasi pengujian dapat dilihat pada Gambar 29, dapat dinyatakan bahwa ketiga jenis LVL mempunyai keteguhan rekat baik pada pengujian struktural maupun non struktural yang bagus yaitu dibawah 33%. Kerusakan garis rekat terbesar pada LVL C baik pengujian struktural maupun non struktural yaitu mencapai 1.88% dan 1.54%. Kondisi ini diduga karena penetrasi MUF kurang sempurna dibanding dengan penetrasi UF. Walapun demikian, hasil tersebut masih cukup jauh dibawah yang dipersyaratkan. Penetrasi yang paling sempurna dicapai pada LVL B pada pengujian non struktural, hasil pengujian menunjukkan tidak ada kerusakan garis rekat pada contoh ujinya. Dua dari ketiga jenis LVL, yaitu LVL B dan LVLC, kerusakan garis rekat yang lebih besar terjadi pada pengujian struktural. Tetapi berbeda dengan LVL A mempunyai ketahanan rekat lebih bagus pada pengujian struktural sehingga dapat dikatakan bahwa LVL A lebih tahan pada kondisi air dingin. Hasil pengujian sidik ragam didapatkan bahwa delaminasi baik non struktural maupun struktural tidak berbeda nyata pada ketiga jenis LVL. Nilai P value (Lampiran 2) yang cukup besar, yaitu masing-masing 0.2448 untuk non struktural

51 dan 0.268 untuk struktural dengan derajat kepercayaan 95%. Tetapi kedua hasil delaminasi ini mempunyai korelasi positif dengan Pvalue 0.007 dengan derajat kepercayaan 95% dan persamaan regresinya dapat dirumuskan bahwa delaminasi non struktural = -0.062 + 0.856 delaminasi struktural Gambar 29 Histogram Pengujian Delaminasi pada 3 Jenis LVL. 3. Geser Horisontal Berdasarkan hasil pengujian geser horisontal menunjukkan bahwa hampir semua LVL yang diuji memenuhi kategori yang telah distandarkan oleh SNI 01-6240-2000 seperti terlihat pada Gambar 30. Hasil terbaik ditunjukkan dalam menahan gaya geser horisontal ini adalah LVL C pada posisi tegak, yaitu gaya sejajar garis rekat, dengan nilai 62.30 kg/cm 2. Pada setiap pengujian tegak memberikan hasil yang lebih besar daripada pengujian datar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa LVL lebih mampu menahan gaya geser horisonal sejajar arah garis rekat dibandingkan tegak lurus garis rekat. SNI 01-6240-2000 Min 35 kg/cm 2 utk Tegak SNI 01-6240-2000 Min 30 kg/cm 2 utk Datar Gambar 30 Histogram Pengujian Geser Horisontal pada 3 Jenis LVL.

52 Persyaratan tidak dapat dicapai pada pengujian geser horisontal posisi datar pada LVL B. Kondisi ini tidak mendukung pada pengujian delaminasi non struktural dimana LVL B mempunyai kesempurnaan kerekatan antar vinir penyusunnya. Tetapi dengan pembebanan sejajar arah vinir LVL B mempunyai nilai dibawah yang dipersyaratkan yaitu kurang dari 35 kg/cm 2. Hal ini dapat diduga bahwa pada LVL B telah terjadi penetrasi yang sempurna pada perekatan antara vinir Karet dan Sengon, akan tetapi vinir Sengon yang mempunyai kekuatan rendah mempengaruhi ketahanan terhadap gaya geser yang dibebankan. Analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa jenis LVL mempunyai pengaruh sangat nyata pada pengujian geser horisontal. Pada pengujian geser horinsontal tegak (GHT) mempunyai P value 0.001 dengan derajat kepercayaan 95%, hal ini menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata terhadap pengujian geser horizontal tegak. Pengujian lanjutan dengan Tukey memperlihatkan bahwa LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian geser horizontal tegak ini. Tetapi berbeda dengan LVL A dan LVL C tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Kondisi tersebut tidak berbeda dengan pengujian geser horisontal datar (GHD), dimana jenis LVL sangat berpengaruh nyata terhadap hasil pengujian dengan P value 0.000 dengan derajat kepercayaan 95%. Ditinjau dari posisi pengujian, keduanya mempunyai korelasi positif meski nilai geser horisontal tegak dan dapat dituliskan oleh persamaam regresi GHT = 16.7 + 0.792 GHD 4. Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR memberikan gambaran terhadap kemampuan contoh uji dalam menahan suatu beban sampai batas material tersebut tidak mampu lagi menahan beban/gaya yang diberikan. Sifat mekanis ini merupakan sifat yang sangat penting untuk penggunaan struktur. Hasil pengujian MOR dari ketiga LVL yang dipakai disajikan pada Gambar 31. Pada Gambar tersebut dapat dilihat bahwa pengujian pada posisi datar memberikan hasil yang lebih tinggi daripada pengujian pada posisi tegak pada masing-masing LVL. Hal ini dapat dikatakan bahwa LVL lebih mampu menahan beban pada posisi gaya tegak lurus serat dari pada sejajar dengan garis rekat. Nilai MOR yang dihasilkan berkisar antara

53 371 655 kg/cm 2. Nilai tersebut telah memenuhi yang dipersyaratkan dalam SNI 01-6240-2000. SNI 01-6240-2000 Min 300 kg/cm 2 utk Mutu Khusus Gambar 31 Histogram Pengujian MOR pada 3 Jenis LVL. LVL A memberikan hasil yang terbaik pada pengujian MOR baik pada pengujian datar maupun tegak. Hal ini diduga karena perekat UF dapat memberikan kekuatan rekat yang baik sehingga mampu menahan gaya tekan yang diberikan. Dalam menahan gaya tekan ini dapat diduga bahwa dengan menggunakan vinir dari Sengon memberikan perlemahan dalam menahan gaya tekan yang diberikan. MOR dari kayu utuh Sengon termasuk rendah, yaitu 535 kg/cm 2 (Kikata et al. 2002), Seperti juga yang dinyatakan oleh Green et al. (1999) bahwa MOR merupakan salah satu sifat dari kekuatan bahan yang dipengaruhi salah satunya oleh kerapatan. Sehingga hasil MOR pada LVL B mempunyai hasil yang paling rendah sesuai dengan hasil kerapatan yang paling rendah juga, dibandingkan LVL A dan LVL C. Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Anova menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata pada MOR pada posisi tegak dengan mendapatkan P value 0.001 dengan derajat kepercayaan 95% (Lampiran 4). Pengujian lanjutan dengan Tukey memperlihatkan bahwa LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian MOR tegak (MORt) ini. Tetapi berbeda dengan LVL A dan LVL C tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Kondisi tersebut sedikit

54 berbeda dengan pengujian MOR pada posisi datar, dimana jenis LVL mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil pengujian dengan P value 0.026 dengan derajat kepercayaan 95%. Pada uji lanjutan Tukey LVL A terhadap LVL B mempunyai perbedaan nyata, sedangkan LVL A dengan C dan LVL B dengan C tidak memepunyai perbedaan yang nyata pada pengujian MOR datar (MORd). Ditinjau dari posisi pengujian, keduanya mempunyai korelasi positif sehingga nilai MOR tegak terhadap MOR datar dapat dituliskan oleh persamaam regresi MORt = 84 + 0.766 MORd 5. Modulus of Elasticity (MOE) Hasil pengujian dapat dilihat bahwa pengujian pada posisi datar memberikan nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan pada posisi tegak. Hal ini diduga bahwa pengujian sejajar vinir dapat memberikan tahanan elastis yang lebih tinggi dari pada gaya yang diberikan tegak lurus vinir. Hasil pengujian MOE dapat dilihat pada Gambar 32. Nilai MOE berkisar antara 7.7 x 10 4 kg/cm 2 11.6 x 10 4 kg/cm 2. Nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 baik pada penggunaan posisi datar maupun tegak sehingga masuk kategori 80E 120E. Hasil yang terbesar diperoleh pada LVL A pada posisi tegak yang kemudian diikuti LVL C pada posisi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan perekat tidak signifikan dalam mempengaruhi sifat kelenturan dari LVL. Tetapi nilai yang rendah dilihat pada LVL B, hal ini diduga bahwa penggunaan vinir Karet yang dicampur dengan Sengon memperkecil nilai MOE yang dihasilkan. Karakteristik kayu utuh Sengon mempunyai MOE yang rendah yaitu 6.8 x 10 4 kg/cm 2 (Kikata et al. 2002) SNI 01-6240-2000 Min 70 x 10 3 kg/cm 2 Gambar 32 Histogram Pengujian MOE pada 3 Jenis LVL.

55 Hasil pengujian diatas duji dengan sidik ragam yang terdapat pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa jenis LVL terhadap pengujian MOE pada posisi tegak sangat berpengaruh nyata, yaitu dengan ditunjukkan P value 0.015 dengan derajat kepercayaan 95%. Uji lanjutan dengan Tukey mendapatkan hasil yang tidak berbeda dengan MOR, yaitu LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian MOE tegak ini. Dan LVL A dan LVL C tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Lain hal pengujian pada MOE datar, dalam sidik ragam menunjukkan bahwa pengujian MOE datar tidak berpengaruh nyata pada jenis LVL, yaitu dengan P value 0.125 dengan derajat kepercayaan 95%. Pola kerusakan pada LVL yang terjadi pada pengujian bending yaitu pada daerah rekatan antara vinir kemudian diikuti oleh daerah tarik yang ada di bagian bawah LVL. Hal ini biasa terjadi pada pengujian bending balok utuh maupun komposit seperti Sulistyawati et al. (2008) menyatakan bahwa kerusakan (failure) balok laminasi horisontal sering diawali dengan terjadinya slip pada sambungan antara lapisan diikuti kerusakan pada serat terbawah daerah tarik. Gambar 34 dapat memberikan Gambaran pola kerusakan yang terjadi pada setiap jenis LVL. LVL A LVL B Gambar 33 Pola kerusakan pada pengujian bending dari 3 jenis LVL. LVL C Pada LVL A dan LVL C mempunyai pola kerusakan yang hampir sama yaitu pada awalnya terjadi pada garis sumbu LVL kemudian kerusakan menuju pada daerah tarik yang berada di vinir tepi bawah. Kerusakan yang terjadi lebih banyak pada kerusakan vinir penyusunnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan perekat yang menyatukan vinir mampu berikatan dengan baik. Kondisi ini didukung oleh pengujian delaminasi dan keteguhan geser horisontal.

56 Pola kerusakan pada LVL B mempunyai sedikit perbedaan dari kedua LVL yang lain. Kerusakan diawali pada sepertiga bagian bawah LVL yaitu belum mencapai sumbu LVL tepatnya pada vinir Sengon sebagai salah satu penyusunnya, sebelum kerusakan menuju ke bagian tepi. Vinir Sengon mengalami kerusakan dengan sobekan yang panjang hal ini dapat dikatan bahwa vinir Sengon tidak cukup kuat dapat menerima gaya tarik. Hal ini didukung oleh penelitian Murata et al. (2008) yang menyatakan bahwa pada pengujian geser tarik dan bending, kerusakan LVL yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon, terjadi pada lapisan vinir Sengon (Paraserianthes falcataria). Sehingga vinir Sengon yang mempunyai kerapatan rendah dapat menjadi perlemahan dalam mencapaikan kekuatan LVL. Pola kerusakan dapat memberikan gambaran kekuatan dari LVL. 6. Emisi Formaldehida Hasil pengujian emisi formaldehida dari masing-masing jenis LVL yang telah dibuat, diperoleh data bahwa emisi tertinggi dihasilkan oleh LVL C yang dibuat dari kayu Karet dengan menggunakan perekat MUF dengan emisi rata-rata 2.476 mg/liter, yang kemudian diikuti oleh LVL B yang dibuat dari kombinasi vinir kayu Karet dan Sengon dengan menggunakan perekat PF dengan emisi ratarata 0.582 mg/liter, dan emisi terendah dihasilkan oleh LVL A, yang dibuat dari vinir kayu Karet menggunakan perekat PF dengan emisi formaldehida sebesar 0.137 mg/liter. Secara teknis, metode WKI cukup mudah dilakukan dengan ukuran sample yang relatif kecil 2.5x2.5 cm. Waktu yang lebih lama memungkinkan absorbsi yang lebih maksimal. Akan tetapi dibanding dengan metode lain (desikator 2 jam dan 24 jam), metode ini cenderung menghasilkan nilai emisi yang lebih tinggi (Saptosari 2006). Walaupun demikian, dari hasil pengujian emisi yang telah dilakukan bila diperbandingkan dengan standar nilai emisi Formaldehida Japanese Agricultural Standard (JAS) A 5908:2003 yang tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Syarat mutu produk-produk kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan LVL Kelas Nilai rata-rata Nilai Maksimum F**** 0.3 mg/l 0.4 mg/l F*** 0.5 mg/l 0.7 mg/l F** 1.5 mg/l 2.1 mg/l F*S 5.0 mg/l 7.0 mg/l

57 LVL yang diujikan telah menuhi standar tersebut, karena dari ke tiga jenis produk LVL yang diujikan, nilai emisi tertinggi (LVL-C) yang didapatkan adalah rata 2.476 mg/liter yang berarti masih dibawah standard yang dipersyaratkan yaitu 7.0 mg/liter. Namun bila digunakan standard Amerika menurut ASTM D-5582-94 yaitu sebesar 0.01 mg/liter dan standar WHO sebesar 0.1 mg/liter, maka LVL tersebut belum memenuhinya karena emisi terendah yang dihasilkan (LVL- A) adalah 0.137 mg/liter. Hasil pengukuran emisi juga menunjukkan bahwa jenis perekat memberikan pengaruh yang nyata terhadap banyaknya emisi formaldehida yang dikeluarkan. Penggunaan perekat MUF (LVL-C) akan memberikan emisi Formaldehida yang tertinggi dibandingkan dengan penggunaan perekat PF (LVL- A dan B). Penggunaan vinir kayu Sengon dalam pembuatan diduga dapat meningkatkan emisi formaldehida yang terjadi, dimana dari hasil pengujian LVL yang terbuat dari susunan veneer kayu Karet (LVL-A) menghasilkan rata-rata emisi Formaldehida sebesar 0.137 mg/liter yang mana lebih kecil dari LVL yang terbuat dari susunan vinir kayu Karet dan Sengon (LVL-B) yang menghasilkan rata-rata emisi Formaldehida sebesar 0.582 mg/liter. Karakteristik Pasak Bambu Laminasi 1 Kadar Air (KA) dan Kerapatan Kadar air serta kerapatan pasak dari dua jenis bambu dengan diameter 10 mm dan 15 mm telah diperoleh hasil yang dapat dilihat dalam Gambar 34 dan 35 dibawah ini. Kadar air yang dimiliki keempat pasak bambu mempunyai kemiripan yaitu berkisar antara 10% sampai 13%, hal ini menunjukkan bahwa keempat pasak tersebut mempunyai kadar air kering udara. Pasak bambu Betung dengan diameter 15 mm mempunyai rata-rata yang paling tinggi diantara ketiga pasak lainnya, akan tetapi sebaran nilai kadar airnya tidak berbeda nyata. Nilai yang hampir sama juga dihasilkan pada pengujian kerapatan pada keempat pasak. Kerapatan yang dimilki dari keempat pasak adalah berkisar antara 0.8-0.9 g/cm 2. Kerapatan pasak ini mempunyai nilai sedikit lebih besar dibanding berat jenis dari bahan baku, yaitu bambu Betung dan Sembilang yang mempunyai rata-rata BJ 0.8. Kontribusi perekat dimungkinkan meningkatkan kerapatan pasak.

58 Gambar 34 Hasil pengujian kadar air pasak bambu. Gambar 35. Hasil pengujian kerapatan pasak bambu Keterangan Gambar 34, 35 : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15 Meninjau dari hasil kadar air yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta interaksi dari kedua variabel, yaitu jenis bambu dan besar diameter pasak, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Pembedaan atas diameter memberikan pengaruh yang nyata nilai kadar air. Hal ini dibuktikan pada hasil sidik ragam ANOVA yang ditabelkan pada Tabel 6, dimana nilai P value 0.010 yaitu lebih kecil dari 5% selang kepercayaan. Kerapatan yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta besar diameter pasak, yaitu 10 mm dan 15 mm, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Hasil uji sidik ragam dapat dilihat di Tabel 6 berikut, yang menunjukkan bahwa semua

59 variabel menghasilkan P value lebih besar 5%. Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 6. Tabel 6 Nilai P value dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian KA dan Kerapatan Parameter Variabel KA Kerapatan Jenis bambu (JB) 0.514 0.252 Diameter (ø) 0.010* 0.967 Interaksi JB & ø 0.514 0.143 Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata 2. Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) Pengujian Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik dari pasak. Hasil dari pengujian MOR dapat disajikan dalam Gambar 36. Nilai MOR yang diperoleh berkisar 595.38 sampai 1 193.87 kg/cm 2 untuk pasak bambu Betung diameter 10 mm dan 847.14 sampai 1 116.72 kg/cm 2 untuk pasak bambu Sembilang diameter 10 mm. Pasak dengan ø 15 mm mempunyai nilai antara 1 247.25 sampai 1 372.20 kg/cm 2 untuk pasak bambu Betung dan berkisar 1 148.56 sampai 1 420.82 kg/cm 2 untuk bambu Sembilang. Gambar 36. Hasil pengujian MOR pasak bambu Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15

60 Jenis bahan baku yaitu bambu Betung dan Sembilang ternyata tidak menunjukkan perbedaan pada nilai MOR. Perbedaaan diameter secara signifikan meningkatkan nilai MOR. Peningkatan MOR pada pasak 15 mm rata-rata mempunyai kenaikan 50% dari pasak 10 mm, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan MOR berkorelasi positif dengan besar diameter pasak. Ditinjau dari bahan baku, hasil komposit pasak bambu ini mempunyai nilai MOR yang lebih tinggi dibanding bambu yang belum dilaminasi. Penggunaan dan sistem perekatan yang baik dalam proses laminasi bambu, pada saat pembuatan pasak, mempunyai kontribusi dalam peningkatan sifat MOR yang dimiliki pasak bambu ini. Pada Gambar 37 disajikan hasil pengujian MOE. Pada grafik tersebut perilaku MOE berkorelasi positif dengan MOR (Gambar 36). Nilai hasil pengujian MOE untuk diameter 10 mm pada pasak bambu Betung antara 4 301.9 sampai 17 082 kg/cm 2, sedangkan pada pasak bambu Sembilang mempunyai nilai dari 2 218.06 sampai 8 865.39 kg/cm 2. Pada diameter 15 mm nilai MOE yang dihasilkan berkisar 12 613.4 33 346.9 kg/cm 2 pada pasak bambu Betung, adapun MOE pasak bambu Sembilang antara 20 901.7 29 057.1 kg/cm 2. Gambar 37 Hasil pengujian MOE pasak bambu. Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15 Nilai MOE menunjukkan bahwa perbedaan bahan baku pasak yang terdiri dari bambu Betung dan Sembilang terlihat tidak signifikan seperti halnya dengan MOR. Perbedaan diameter telah meningkatakan rata-rata MOE pasak. Pada diameter 15 mm telah terjadi peningkatkan MOE lebih dari dua kali MOE yang

61 diperoleh pasak bambu Betung diameter 10 mm. Peningkatan pada bambu Sembilang dapat meningkat lima kali lebih besar dari pasak diameter 10 mm. Nilai ini mendekati MOE dari bahan baku yaitu yang diambil dengan BJ lebih dari 0.6 dimana nilai MOE diatas 20 000 kg/cm 2. Hasil sidik ragam menggunakan ANOVA dalam Lampiran7 menunjukkan bahwa pada pengujian MOE dan MOR, jenis bambu serta interaksi antara variabel jenis bambu dan diameter tidak memberikan perbedaan nilai yang nyata, yaitu P value lebih besar dari 5% dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. nilai MOE dan MOR mempunyai perbedaan nyata dipengaruhi oleh diameter pasak, yaitu dengan nilai P value pada MOE 0.004 dan P value pada MOR 0.007 (disajikan dalam Tabel 7), hal ini berkesuaian dengan pengujian KA. Tabel 7 Nilai P value dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian MOE dan MOR Parameter Variabel MOE MOR Jenis bambu (JB) 0.778 0.746 Diameter (ø) 0.004* 0.007* Interaksi JB & ø 0.404 0.742 Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata 3. Kembang Susut Pengujian kembang susut dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat kestabilan pasak, dimana sebagai bahan komposit berbahan lignoselulosa akan mengalami kembang dan susut. Sifat mengembang dari pasak bukan merupakan kelemahan pasak. Sifat mengembang pasak akan mengakibatkan gaya sesak dalam lubang pasak pada struktur sambungan, sehingga sambungan akan lebih kokoh. Sebaliknya, sifat penyusutan pasak bambu akan menjadi kelemahan dalam struktur pada keseluruhan, karena dengan menyusutnya pasak akan menggangu kestabilan sambungan. Hasil pengujian kembang susut dapat dilihat pada Gambar 38.

62 Gambar 38 Hasil pengujian kembang susut pasak bambu. Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15 Secara umum, nilai pengembangan pasak lebih besar dari pada susut. Kembang yang paling tinggi terjadi pada pasak bambu Sembilang diameter 15 mm rata-rata mencapai 6%. Pengembangan pasak bambu Sembilang lebih tinggi mempunyai hubungan dengan diameter lumen pada bambu Sembilang lebih besar dibanding pada bambu Betung. Selain itu perekatan yang kurang sempurna mengakibatkan pengembangan bahkan kerusakan garis rekat setelah dilakukan perendaman dalam pengujiannya. Ketiga jenis pasak lainnya mempunyai nilai kembang yang mirip yatu berkisar antara 2.4 3%. Berdasarkan analisis sidik ragam dengan menggunakan ANOVA dengan data pada Lampiran 8, dan P value telah disajikan dalam Tabel 8, menunjukkan bahwa untuk sifat pengembangan pada pasak secara nyata dipengaruhi oleh variabel jenis bambu, diameter pasak dan interaksi keduanya dengan P value kurang dari 5%. Adapun untuk sifat susut, jenis bambu tidak memberikan pengaruh nyata,akan tetapi diameter pasak serta interaksi dari diameter dan jenis bambu memberikan pengaruh yang nyata. Tabel 8 Nilai P value dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian kembang susut Parameter Variabel Kembang Susut Jenis bambu (JB) 0.007* 0.460 Diameter (ø) 0.030* 0.004* Interaksi JB & ø 0.003* 0.039* Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata

63 Perhitungan Desain Sambungan Jenis sambungan yang dibuat merupakan sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan model kerusakan pada EN 1995-1-1: 2004 EUROCODE 5 dengan perumusan seperti pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13 diatas. Sambungan dengan baut dengan diameter 10 mm digunakan sebagai kontrol. Sebelum melakukan analisis perhitungan dari keempat model kerusakan ini, terlebih dahulu dilakukan pengujian Embedding Strength yang menghasilkan f h dan Bending 4 Point Loading menghasilkan nilai Yield Moment. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 9. Baut ø 10 mm dengan bahan baja yang digunakan sebagai kontrol telah diuji oleh Sulistyawati (2006), memiliki Yield Moment sebesar 460 kgfcm. Dari hasil pengujian, nilai Embedding Strength dan Yield Moment mengalami peningkatan seiring penambahan diameter pasak bambu. Pasak dari bambu Sembilang mempunyai nilai lebih tinggi daripada pasak bambu Betung. Tabel 9 Hasil pengujian Embedding Strength dan Bending 4 Point Loading Jenis Embedding Strength Yield Moment (kg/cm 2 ) (kgcm) Betung ø 10 87.03 122.64 Sembilang ø10 92.96 130.74 Betung ø 15 97.07 292.37 Sembilang ø15 99.96 326.15 Baut ø 10 396.99 460.00 Berdasarkan nilai Embedding Strength dan Yield Moment diatas dilakukan analisis dengan menggunakan empat fomulasi model kerusakan. Kerusakan ini menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung. Hasil perhitungan dari keempat model kerusakan disajikan dalam Tabel 10 dibawah, adapun perhitungan lengkap pada Lampiran 9. Tabel 10 Hasil perhitungan empat model kerusakan Jenis Model I Model II Model III Model IV Betung ø 10 217.579 217.579 141.091 6137.130 Betung ø 15 364.005 364.005 309.292 24477.603 Sembilang ø 10 232.410 232.410 150.497 6988.839 Sembilang ø 15 374.836 374.836 339.563 28118.221 Baut ø 10 1091.721 1091.721 997.451 241052.070

64 Dalam Tabel 10 terlihat bahwa model III mempunyai nilai tegangan yang paling rendah sehingga dapat diartikan model yang paling kritis. Kerusakan model III ini dapat diindikasikan bahwa kerusakan serat kayu yang terjadi pada balok pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa pada bagian balok yang telah dilewati pasak lebih mendapatkan tekanan tumpu pasak dibandingkan pada balok yang mempunyai sendi plastis (plastic hinge). Dalam perencanaan ini untuk menghasilkan jumlah pasak dengan cara membagi kapasitas beban yang diterima baut yaitu dengan nilai 997.451 kgf dengan nilai beban dari keempat jenis pasak. Sehingga didapat nilai n = 7 untuk diameter 10 mm, dan n = 3 untuk diameter 15 mm. Pada penelitian ini, variabel desain sambungan jumlah pasak adalah 4, 6 dan 8 batang. Pola penyusunan pasak berdasarkan atas Breyer (2007). Gambaran desain sambungan dapat dilihat pada Gambar 39 dibawah. 2 4D 3 4D 2 4D 1,5D ½ t t ½ t 1,5D Gambar 39 Desain sambungan Pengujian Sambungan Pasak Bambu Berdasarkan perencanaan jumlah serta formasi pasak dalam sambungan, maka dibuat sambungan dengan cara ketiga balok LVL yang akan disambung dibor tegak lurus serat dengan diameter lubang sebesar 90% diameter pasak. Pasak dimasukkan dalam lubang sesuai dengan jumlah dan ukuran lubang yang dibuat. LVL dan pasak yang digunakan untuk sambungan mempunyai kadar air kering udara, yaitu sebesar ± 12%. Pengujian sambungan diberikan dengan memberikan gaya tekan sejajar serat LVL dan posisi pasak tegak lurus serat dan garis rekat arah lebar. Sebagai

65 kontrol dalam pengujian ini adalah baut dengan diameter 10 mm. Pengujian dilakukan dengan alat UTM merk Tokyokoki dengan kecepatan 1 mm/menit serta dilengkapi dua Linier Variable Displacement Transducers (LVDT) sesuai dengan standar ASTM D 5652. Pada pengujian dilakukan pengamatan pada tiga titik pembebanan. Titik pertama yaitu daerah elastis (Proportional Limit Load, P p ), dengan defleksi atau sesaran ± 1.25 mm. Pengamatan kedua pada zona plastis (Yield Load, P y ), dengan defleksi ± 1.5 mm. Pengamatan terakhir yaitu ada saat beban maksimum (Ultimate Load, P u ), yaitu pada saat sambungan mengalami kerusakan (failure). Ilustrasi dari kondisi sambungan pada saat pembebanan dapat dilihat pada Gambar 40 dibawah ini, sedangkan hasil pengamatan di tiga titik disajikan dalam Gambar 41. Pada Gambar 41 dapat dilihat bahwa pada sambungan yang menggunakan pasak bambu tidak terdapat beda yang nyata kekuatan beban yang diterima pada daerah proportional limit load (P p ) dan yield load (P y ). Perbedaan bahan baku memberikan hasil tidak terlalu beda pada pengujian sambungan. Gambar 40 Klasifikasi pola hasil pengujian tekan sambungan. Sumber : Fukuyama, 2008

66 Gambar 41 Hasil Pengujian tekan sambungan dalam pengamatan tiga titik pembebanan. Penambahan diameter dan jumlah pasak meningkatkan beban yang diterima. Hasil pengujian pada baut dapat disandingkan pada pemakaian pasak diameter 10 mm dengan jumlah 8 pasak, serta diameter 15 mm dengan jumlah 4 pasak. Pada pengujian Embedding Strength dihasilkan bahwa satu pasak diameter 10 mm dan 15 mm mempunyai kemampuan menerima beban maksimum sebesar ± 450 kgf dan ± 730 kgf. Pemakaian dalam sambungan secara berkelompok telah mengakibatkan reduksi dari setiap kekuatan pasak tersebut. Reduksi pasak sangat berkaitan dengan perbedaan diameter serta penambahan pasak dalam sebuah sambungan. Diameter yang lebih besar bisa memperkecil reduksi yang terjadi pada pasak. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 55%, sedangkan pada diameter 15 berkisar antara 17 46%. Smith et al. (2008) telah melakukan penelitian sambungan dua bidang geser dengan menggunakan paku dan sekrup, menghasilkan nilai reduksi yang dimiliki setiap paku adalah berkisar antara 50 60%, sedangkan sekrup hanya 30%. Pada penelitian ini mempunyai tujuan akhir yaitu mencari optimasi pemakain pasak bambu yang dapat menggantikan pemakaian baut. Dalam Gambar 42 disajikan grafik hubungan antara defleksi dan beban yang diterima oleh sambungan. Baut sebagai kontrol mempunyai tren yang berbeda dari pasak, hal ini dipengaruhi oleh sifat pasak bambu yang lebih elastis dibanding baut. Secara umum sambungan yang menggunakan pasak mempunyai daerah elastis

67 yang lebih panjang dari baut dan pada daerah plastis pasak masih terus meningkat dengan tajam kekuatannya, sehingga hampir semua sambungan dengan menggunakan pasak bambu mempunyai kekuatan lebih tinggi dari penggunaan baut pada beban maksimum. Kondisi ini mempertegas penelitian yang telah dilakukan oleh Taurista et al. (2005) yaitu menyatakan bahwa kelebihan material komposit jika dibandingkan dengan logam adalah kekuatan terhadap berat yang tinggi, kekakuan, ketahanan terhadap korosi. Ditinjau dari perbedaan jenis bambu tren yang terjadi diantara kedua jenis bambu tidak terlalu nyata berbeda. Akan tetapi penambahan jumlah pasak serta diameter secara signifikan meningkatkan kekuatan sambungan. P p P y P p P y Gambar 42 Grafik hubungan defleksi/sesaran terhadap beban, pada uji tekan sambungan. Keterangan : kiri untuk pasak ø 10 mm, kanan untuk pasak ø 15 mm Perhitungan matematis yang dilakukan dalam perencanaan untuk mendapatkan n pasak yang dapat diekivalenkan terhadap baut, telah dibuktikan dalam pengujian empiris. Pada Gambar 42 sebelah kiri terlihat bahwa semua formasi sambungan P u yang dimiliki melebihi P u baut, akan tetapi apabila ditelaah daerah elastis, P p, yang mempunyai nilai sama atau lebih besar dari P p yang dihasilkan baut adalah sambungan yang menggunakan 8 buah pasak. Penggunaan pasak diameter 15 mm, jumlah effektif yang dapat disandingkan oleh satu baut diameter 10 mm adalah lebih dari 4 pasak, dapat diartikan semua formasi

68 sambungan memenuhi perilaku elastic dari baut. Hal ini berkesesuain dengan perencanaan dengan menggunakan pendekatan Eurocode 5. Perilaku defleksi yang terjadi pada sambungan terhadap besar pembebanan dipengaruhi oleh perbedaan diameter khususnya perilaku pada daerah plastis. Penggunaan diameter pasak yang lebih besar mempunyai pengaruh pada daerah plastis yang dimiliki yaitu kekuatan semakin meningkat, akan tetapi defleksi yang terjadi hampir sama. Defleksi yang terjadi pada saat beban maksimum (P u ) juga hampir sama dari keseluruhan formasi sambungan. Defleksi yang terjadi pada saat P u berkisar antara 9 13.5 mm. Kekuatan yang diperoleh pada saat P y apabila dibandingkan oleh P u meningkat dengan kisaran 45 75%. Penelitian tentang sambungan baut dengan berbagai kayu Malaysia dengan pendekatan Working Stress Design Method (WSDM) dan Limit State Design Method (LSDM) yang disandingkan dengan pendekatan Eurocode 5 yang telah dilakukan oleh Jumaat et al. (2008) menghasilkan perbedaan nilai antara P u terhadap nilai P y meningkat mulai dari 0 74%, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan maksimum yang terjadi tidak terlalu beda dari penelitian ini. Hasil analisis sidk ragam dengan ANOVA disajikan dalam Tabel 11 dibawah ini dan perhitungan terdapat dalam Lampiran 10. Analisis yang dilakukan pada ketiga titik pengamatan serta 3 variabel yaitu jenis bambu, diameter pasak, jumlah pasak serta ragam interaksi dari ketiga variabel tersebut. Jenis bambu yang dipakai sebagai bahan baku pasak tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap P u, akan tetapi memberikan hasil yang beda terhadap P p dan P y, yaitu dengan P value kurang dari 5% Penambahan diameter dan jumlah pasak terlihat sangat memberikan perbedaan nilai dari ketiga titik pengamatan, yaitu P p, P y, dan P u. Interaksi antara variabel jenis bambu dan diameter hanya memberikan hasil yang berbeda nyata pada P y. Demikian juga dengan interaksi antara variabel diamater dan jumlah pasak telah memberikan beda yang nyata pada titik P p dan P y, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan P u. Interaksi antara variabel jenis bambu dan jumlah pasak tidak memberikan nilai yang nyata disetiap titik pengamatan tersebut. Hal serupa juga dilihat pada interaksi antara ketiga variabel tersebut, yaitu jenis bambu, diameter dan jumlah pasak, tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap ketiga titik pengujian.

69 Tabel 11 Nilai P value dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam dengan ANOVA pengujian tekan sambungan di tiga titik dari analisis Parameter Variabel P p P y P u Jenis bambu (JB) 0.026* 0.026* 0.589 Diameter (ø) 0.000* 0.000* 0.000* Jumlah pasak (n) 0.000* 0.000* 0.000* Interaksi JB & ø 0.108 0.046* 0.322 Interaksi JB & n 0.661 0.849 0.584 Interaksi ø & n 0.001* 0.001* 0.425 Interaksi JB, ø & n 0.315 0.357 0.534 Pola kerusakan pasak bambu yang merupakan produk laminasi tidak terlalu berbeda dengan pembedaan jenis bambu maupun besar diameter. Perbedaan pola kerusakan terjadi pada saat dilakukan pengujian memperlihatkan perilaku yang berbeda-beda tergantung pembebanan atau gaya yang diberikan. Pada pengujian bending perilaku kerusakan pasak terjadi pada daerah rekatan tepatnya di sumbu longitudinal atau tegak lurus gaya. Kerusakan arah memanjang ini diakibatkan bergesernya garis rekat atau biasa disebut slip akibat menahan gaya tekan yang terpusat di tengah bentang dan tahanan terhadap daerah tekan dan tarik. Kerusakan yang berupa slip ini diikuti oleh kerusakan di daerah tarik yaitu permukaan bawah dari pasak. Pola kerusakan akibat bending dapat dilihat pada Gambar 43. Dalam Gambar 43.1 memperlihatkan kondisi benda uji saat pengujian bending. Gambar 43.2 diperlihatkan perbesaran kerusakan akibat slip yang terjadi pada ujung pasak. Kerusakan yang terjadi pada daerah tarik diperlihatkan pada Gambar 43.3 A A B B 1 2 3 Gambar 43 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian bending.

70 Pola kerusakan yang terjadi pada pengujian Embedding Strength berbeda dengan pola kerusakan bending. Pada pengujian ini pasak menerima gaya tekan dan geser tegak lurus serat di kedua ujungnya. Pengujian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui kuat tumpu pasak terhadap material yang disambung, dalam hal ini adalah LVL. Berdasarkan pola kerusakan yang terjadi, gaya ini mengakibatkan kerusakan yang berupa belah pada garis rekat di sumbu pasak. Hal ini dimungkinkan perekatan mengakibatkan perlemahan pasak dalam menerima gaya tekan. Akibat gaya geser pasak mengalami sobek di sisi atas. Hal ini menunukkan bahwa kuat tumpu LVL lebih tinggi dibandingkan dengan pasak sebagai konektor. Pola kerusakan akibat pengujian Embedding Strength dapat dilihat dalam Gambar 44. Dalam Gambar 44.2 diperlihatkan pembesaran kerusakan akibat pengujian Embedding Strength. A A 1 2 Gambar 44 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada pengujian Embedding Strength. Kerusakan pasak pada sambungan sesuai dengan pendekatan matematis yang telah dilakukan berdasarkan Eurocode 5. Model III merupakan kerusakan paling kristis yang terjadi yaitu mengindikasikan bahwa kerusakan serat kayu terjadi pada LVL pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa LVL yang menjadi balok utama dapat menahan gaya tumpu pasak. Kerusakan pasak yang terjadi pada sebagian besar pengujian adalah pasak mengalami lengkung searah dengan gaya yang terjadi. Pasak yang mengalami gaya geser yang lebih besar adalah yang paling atas ditunjukkan bahwa pasak di baris teratas mengalami kerusakan lebih besar dibandung baris yang ada dibawahnya. Sobek akibat gaya

71 geser yang dialami pasak terjadi pada sisi bagian bawah. Kerusakan pada garis rekat tidak terjadi pada pengujian sambungan ini. Kondisi kerusakan pada pengujian sambungan disajikan dalam Gambar 45. Kerusakan pasak setelah pengujian dilihat dari posisi samping disajikan dalam Gambar 45.1. Kondisi kerusakan pada dinding LVL pengapit terlihat pada Gambar 45.2.A. Perbesaran dari kerusakan pasak dapat dilihat dalam Gambar 45.3. B A B 1 2 3 Gambar 45 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada pengujian tekan sambungan.