BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini kecurangan adalah salah satu kejahatan yang fenomenal di dunia. Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan teknologi dan perekonomian di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Tindak kecurangan telah membudaya baik di kalangan pemerintahan ataupun perusahaan, bahkan sekarang ini kalangan pemerintah dan pengusaha bergandengan tangan melakukan tindak kecurangan untuk mendapatkan keuntungan bersama. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak kecurangan ini telah melanda semua kalangan. Semua kecurangan ini menyebabkan kerugian yang begitu besar, hal ini diperkuat dengan temuan Association of Certified Fraud Examiner atau ACFE (2010) yang membuat laporan statistik atas biaya akibat fraud sebesar US$ 400 milyar pertahunnya. Kemudian KPMG (2003) dalam Ardiansyah (2013) mengemukakan bahwa kerugian perusahaan yang disebabkan financial reportingfraud sebesar US$ 257,9 juta dan jumlah kerugian tersebut cenderung meningkat setiap periodenya. Indonesia sendiri saat ini juga menjadi tempat berkembangnya tindak kecurangan khususnya kasus korupsi. Hal ini diperkuat dengan survei dari organisasi pengamat korupsi internasional yaitu Transparency international dalam situsnya www.transparency.org yang menempatkan Indonesia pada ranking 114 dari 177 negara dengan skor 32 dari skor tertinggi yaitu 100, bahkan pada 1
2 tahun 2013 organisasi ini menyebutkan bahwa kontrol korupsi di Indonesia itu hanya 27%. Hal ini memperlihatkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan dan harus segera mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat agar bisa memulihkan kembali nama baik Indonesia di kalangan dunia. Sebenarnya perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan titik terang, hal ini terlihat dari pembentukan panitia yang memiliki wewenang khusus untuk memberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut merupakan salah satu wujud nyata dari keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Komisi baru tersebut sudah banyak menorehkan prestasi beberapa tahun ini dengan berbagai penemuan penyelewengan-penyelewengan besar yang merugikan negara. Kasus-kasus korupsi yang pernah ditemukan oleh KPK antara lain yaitu : kasus Bailout Bank Century, makelar kasus Gayus Tambunan, Kasus Suap daging impor, kasus korupsi penggelapan dana pembangunan wisma atlit Hambalang oleh Nazarudin dan yang paling terbaru adalah kasus penggelapan pajak oleh mantan kepala Direktorat Jendral Pajak Hadi Purnomo. Suhartanto (2012) mengatakan bahwa keberhasilan KPK tersebut menjadi cambuk bagi beberapa profesi pemeriksa yang ada pada instansi pemerintah yaitu auditor sektor publik. Keberhasilan-keberhasilan KPK dalam mengungkap sejumlah kasus besar korupsi dan tindakan kecurangan tersebut menandakan melemahnya fungsi auditor khususnya auditor sektor publik. Pernyataan tersebut diperparah dengan adanya kasus-kasus yang memperlihatkan menurunnya kualitas pemeriksaan auditor sektor publik.
3 Pemerintah selalu berupaya untuk meminimalisir tindak kecurangan yang ada, hal ini dikarenakan tindak kecurangan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara. Saat ini selain membentuk komisi khusus pemberantasan korupsi, pemerintah juga terus berupaya untuk memaksimalkan peran auditor, baik auditor internal ataupun eksternal. Salah satu upaya yang efektif dan efisien yaitu dengan memaksimalkan peran auditor internal dalam pencegahan dan pendeteksian kecurangan. Sifat dari pencegahan dan pendeteksian kecurangan yang lebih proaktif, lebih mudah dilakukan dan diterapkan daripada tindakan yang bersifat reaktif, contohnya tindakan investigatif atau forensik untuk kecurangan. Auditor internal memiliki posisi yang lebih mudah untuk menemukan tindakan kecurangan dibandingkan dengan auditor eksternal. Hal ini dikarenakan auditor internal tersebut biasanya melekat dalam sebuah organisasi, bertugas untuk melakukan pengawasan dan pemberian rekomendasi. Rafael (2013) menyatakan bahwa, di dalam pemerintahan, pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah atau dapat dikatakan sebagai auditor internal pemerintahan dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota, hal ini seperti yang tertulis di PP Nomor 79 tahun 2005 pada pasal 24 ayat (1) dan ayat (2). APIP ini juga memiliki peran untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan.
4 Saat ini peran APIP yang diharapkan dapat mampu meminimalisir tindak kecurangan dan mendeteksi lebih dini adanya tindak kecurangan dihadapkan pada fakta besar penemuan-penemuan tindak korupsi oleh BPK dan KPK. Sederet kasus yang ditemukan oleh auditor eksternal pemerintah tersebut dan lembaga pemberantas korupsi tersebut telah memperlihatkan ketidakmampuan auditor internal untuk mencegah dan mendeteksi adanya tindak kecurangan khususnya korupsi di dalam instansinya. Fakta tersebut diperkuat oleh Ardiansyah (2013) yang menyebutkan bahwa kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini menimbulkan opini negatif masyarakat menyangkut ketidakmampuan profesi auditor sektor publik dalam menjalankan tugas khususnya dalam pencegahan dan pendeteksian kecurangan. Masyarakat menuntut auditor sektor publik untuk menjaga keprofesionalannya dan tetap menjaga produk-produk audit yang dia hasilkan. Hal ini menyangkut laporan keuangan yang diaudit oleh auditor sektor publik semata-mata tidak hanya untuk kepentingan instansi/auditinya tetapi juga terdapat hak-hak dan kepentingankepentingan pihak lain yang lebih penting seperti masyarakat. Pernyataan Ardiansyah (2013) tersebut juga didukung oleh Amiruddin dan Sundari (2010), yang menyatakan bahwa saat ini telah terjadi expectation gap antara masyarakat dan auditor. Masyarakat menginginkan agar dalam pemeriksaanya, auditor senantiasa selalu bisa menemukan kecurangan yang terjadi dalam laporan keuangan tetapi kenyataan yang terjadi auditor terkadang tidak mampu menemukan kecurangan tersebut karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan/fraud.
5 Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (2008) bagian Perencanaan pasal 3022 tentang Ketidakpatuhan Terhadap Peraturan Perundangundangan, Kecurangan dan Ketidakpatutan (Abuse) juga menyatakan: Auditor harus merancang auditnya untuk mendeteksi adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatutan ( abuse). Lebih lanjut auditor harus menggunakan pertimbangan profesional untuk mendeteksi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan ( abuse). Auditor diwajibkan untuk melaporkan indikasi terjadinya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan (abuse) ini kepada pihak-pihak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Standar-standar tersebut menjelaskan begitu besar tanggung jawab auditor dalam menemukan suatu kecurangan atau fraud, tetapi hal ini begitu bertentangan dengan fakta-fakta yang terjadi dilapangan, berbagai kasus kegagalan dan ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi adanya tindak kecurangan membuktikan bahwa masih lemahnya kepatuhan auditor terhadap standar yang telah ditetapkan. Rafael (2013) menyatakan bahwa seorang auditor baik internal maupun eksternal harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud yang dapat timbul. Kemampuan mendeteksi fraud terlihat dari bagaimana auditor tersebut dapat melihat tanda-tanda atau sinyal yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya fraud yang disebut juga red flags. Auditor yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud, pasti bisa mengidentifikasi indikator-indikator kecurangan dalam instansinya yang memerlukan tindakan pemeriksaan lebih lanjut (investigasi). Banyak faktor yang menyebabkan ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari sisi internal (dalam diri auditor)
6 maupun sisi eksternal. Karim (2012) menyebutkan bahwa salah satu penyebab ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan itu adalah minimnya sikap skeptis yang dimiliki oleh auditor. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Security and Exchange Commision (SEC) dalam Hasanah (2010) yang menemukan bahwa urutan ketiga penyebab kegagalan audit adalah tingkat skeptisisme profesional yang kurang memadai, dan dari 40 kasus audit yang diteliti oleh SEC, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisisme profesional yang memadai. Sejalan dengan hal tersebut, PCAOB (2007) juga menemukan bahwa skeptisisme profesional merupakan masalah yang serius pada auditor saat melakukan investigasi kecurangan, terutama dalam merespon risiko kecurangan sehingga gagal untuk memenuhi standar. Auditor yang baik seharusnya memiliki skeptisisme profesional, karena hal ini adalah salah satu tuntutan keahlian yang wajib dimiliki sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN, 2007) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan No. 01 yang menyatakan: Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional. Skeptisismeprofesional ini juga terbentuk tak hanya dari diri auditor sendiri, tetapi juga dari pengalaman dan pelatihan-pelatihan yang didapatkannya. Adanya tuntutan bagi auditor untuk mampu mendeteksi kecurangan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam berbagai standar audit, mengharuskan auditor untuk
7 meningkatkan kemampuannya. AICPA (2003) menyarankan bahwa fraud training dapat membantu auditor dalam meningkatkan kemampuan dalam pertimbangan kecurangan. Noviyani dan Bandi (2002) juga menyebutkan bahwa seorang auditor yang telah mendapatkan pelatihan lebih, berpengaruh terhadap perhatian pada perusahaan yang mengalami kekeliruan. Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton dan Durtschi (2004) juga menyimpulkan hal yang sama, yaitu terdapat perbedaan respon terhadap tanda-tanda kecurangan sebelum dan setelah fraudawareness training. Tetapi kesimpulan-kesimpulan tersebut bertolak belakang dengan kesimpulan Karim (2012) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah mengikuti pelatihan khususnya audit investigatif/audit Forensik dengan auditor yang tidak pernah mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik. Sesuai dengan permasalahan yang ada di Indonesia saat ini, yaitu banyaknya tindak korupsi, menuntut seorang auditor memiliki keahlian khusus. Keahliankeahlian khusus tersebut bisa didapat dari sebuah pelatihan-pelatihan khusus salah satunya adalah pelatihan tentang audit kecurangan. Audit kecurangan dalam Modul Fraud Auditdari Pusdiklatwas BPKP (2008) diartikan sebagai disiplin ilmu baru guna untuk mencegah, mendeteksi, dan mengungkapkan tindak kecurangan seperti penggelapan, salah saji laporan keuangan, kejahatan di berbagai sektor baik swasta maupun sektor publik dari mark-up biaya sampai dengan penyuapan. Amiruddin dan Sundari (2010) mengatakan bahwa saat ini auditor sering mengalami kegagalan dalam mendeteksi kecurangan dikarenakan tidak semua auditor pernah mengalami
8 kasus terjadinya tindak kecurangan ini sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan kecurangan masih minim, dari sinilah sisi pelatihan audit kecurangan sangat dibutuhkan untuk melatih auditor memahami hal-hal atau gejala-gejala yang berkaitan dengan adanya tindak kecurangan yang terjadi. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa sesuai dengan permasalahan dan fenomena saat ini, dibutuhkan pelatihan audit kecurangan atau fraud audit bagi auditor. Auditor pasti akan mendapatkan keahlian-keahlian dan pengalaman baru sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat sekarang dan pastinya akan meningkatkan kemampuan auditor dalam melihat ada atau tidaknya indikasi-indikasi kecurangan dalam instansinya setelah mendapatkan pelatihan tentang audit kecurangan tersebut. Selain faktor skeptisismeprofesional dan pelatihan fraud audit, sikap independensi adalah salah satu hal yang penting dalam keberhasilan pendeteksian kecurangan dan peningkatan kemampuan auditor. Independensi saat ini menjadi sorotan masyarakat karena banyaknya kasus suap-menyuap auditor menyebabkan independensi seakan-akan menjadi suatu hal yang lumrah untuk diabaikan (Singgih dan Bawono, 2010). Sebenarnya dalam hampir semua standar audit, independensi adalah salah satu sikap yang benar-benar diutamakan dari seorang auditor, hal ini sudah diungkapkan dalam beberapa standar audit salah satunya adalah dalam standar SPKN. Dalam standar tersebut disebutkan bahwa independensi adalah sikap bebas baik dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya (SPKN, 2007). Hal ini juga
9 sesuai dengan standar auditing yang dikeluarkan oleh IAPI, yaitu Standar Umum kedua yang berbunyi Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor (Mulyadi, 2002). Ardiansyah (2013) menyebutkan bahwa independensi ini sangat berperan dalam membantu tugas auditor untuk menemukan dan mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Keberanian auditor melaporkan adanya kesalahan dan kecurangan pada laporan keuangan tergantung pada independensi auditor. Hal ini diperkuat dengan penelitian milik Singgih dan Bawono (2010) yang menyimpulkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Singgih dan Bawono (2010) juga menyebutkan bahwa sebuah audit hanya dapat menjadi efektif jika auditor bersikap independen dan dipercaya untuk lebih cenderung melaporkan pelanggaran perjanjian antara prinsipal (saham dan kreditur) dan agen (manajer). Hal ini sungguh berbeda dengan penelitian milik Ardiansyah (2013) yang tidak menemukan pengaruh antara independensi auditor dengan pendeteksian kecurangan pada laporan keuangan. Auditor sebagai lembaga pemeriksa atas laporan keuangan saat ini memang benar-benar menjadi sorotan publik. Pada sektor pemerintahan sendiri auditor itu terbagi menjadi dua bagian yaitu auditor internal dan auditor eksternal. Auditor internal dilaksanakan oleh inspektorat sedangkan auditor eksternal dilaksanakan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Tugas dari ins pektorat sebagai auditor internal adalah menyelenggarakan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang diberikan kepala daerah. Sedangkan tugas dari BPK adalah mengeluarkan pendapat atau opini atas kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Dari perbedaan tugas
10 inilah terdapat suatu permasalahan yang timbul yaitu inspektorat sebagai aparat yang berada di bawah wewenang Kepala Daerah biasanya berada di bawah pengaruh pihak penentu kebijakan yang menyebabkan dekatnya hubungan interpersonal, baik hubungan kekerabatan atau relasi kepentingan lain. Hal ini dapat mempengaruhi independensi aparat inspektorat dalam melakukan fungsi pengawasan. Objek penelitian ini diambil dari Inspektorat Kabupaten Sleman, hal ini dikarenakan Inspektorat Kabupaten Sleman ini adalah salah satu Inspektorat teladan di lingkungan Inspektorat se-jawa Tengah dan DIY, keberhasilan daerah ini yang dalam dua tahun terakhir ini sudah bisa mengantongi opini dari BPK Wajar Tanpa Pengecualian dengan paragraf penjelasan menjadikan percontohan bagi Inspektoratinspektorat lain di sekitarnya. Di DI Yogyakarta sendiri, dari empat kabupaten yaitu Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Sleman, hanya Kabupaten Sleman-lah yang bisa mendapatkan opini WTP, berbeda dengan kabupaten lain yang masih beropini Wajar Dengan Pengecualian. (www.inspektoratsleman.go.id). Hal ini bertolak belakang dengan fakta lain yang terjadi yaitu dibalik semua keberhasilan tersebut ada suatu kasus yang cukup memberatkan Inspektorat Kabupaten Sleman ini, kasus terakhir yaitu penyelewengan dana hibah KONI 2010-2011 yang mengakibatkan kerugian cukup besar. Sangat disayangkan bahwa kasus tersebut ditemukan dan dilaporkan langsung lewat pengaduan masyarakat ke Pengadilan. Dari kasus ini terlihat bahwa ada indikasi ketidakmampuan Auditor Inspektorat Kabupaten Sleman dalam mendeteksi tindak kecurangan, dikarenakan dana hibah tersebut berasal dari APBD Sleman, dan menjadi salah satu objek pemeriksaan yang seharusnya
11 penggunaan dana tersebut mendapat pengawasan dari Inspektorat Kabupaten Sleman. Pemilihan Inspektorat Kabupaten Sleman sebagai Objek penelitian juga didasarkan oleh banyaknya jumlah dari auditor yang dimiliki oleh lembaga ini yaitu 31 orang. Jumlah auditor sebesar ini seharusnya bisa meminimalisir tindak penyelewengan yang terjadi di daerahnya tetapi buktinya masih saja ditemukan kasus-kasus kecurangan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini (www.infokorupsi.com). Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Yang pertama yaitu Ardiansyah (2013) yang meneliti pengaruh kompetensi dan independensi auditor dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan menyimpulkan bahwa kompetensi berpengaruh positif dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan dan yang kedua menyimpulkan bahwa independensi tidak berpengaruh secara signifikan dalam pendeteksian kecurangan laporan keuangan. Penelitian yang kedua milik Abdul Karim (2012) yang meneliti tentang pengaruh skeptisisme profesional, pelatihan audit investigatif/audit forensik dan pengalaman audit terhadap kemampuan auditor untuk mendeteksi kecurangan hasilnya adalah terdapat perbedaan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang memiliki tingkat skeptisisme profesional yang tinggi dengan auditor yang memiliki tingkat skeptisisme profesional yang rendah, kesimpulan yang kedua tidak terdapat perbedaan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan antara auditor yang pernah mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik dengan auditor yang tidak pernah mengikuti pelatihan audit investigatif/audit forensik. Penelitian yang ketiga yaitu
12 milik Fullerton dan Durtschi (2004) yang juga meneliti tentang pengaruh skeptisisme profesional pada kemampuan mendeteksi kecurangan internal auditor dengan menggunakan alat analisis ANOVA, menemukan auditor yang memiliki tingkat profesional skeptisisme lebih besar pada umumnya memiliki keinginan yang lebih besar untuk meningkatkan pencarian informasi yang berkaitan dengan tanda-tanda kecurangan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa terdapat perbedaan respon atas tanda-tanda kecurangan sebelum dan sesudah fraud awareness training. Penelitian yang terakhir yaitu milik Noviyani dan Bandi (2002), mereka meneliti tentang pengaruh pengalaman dan pelatihan terhadap struktur pengetahuan auditor tentang kekeliruan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengalaman berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis kekeliruan serta program pelatihan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan auditor tentang jenis-jenis kekeliruan. Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan masih jarangnya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan membuat hal tersebut menarik untuk diteliti, oleh karena itu akan dilakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Skeptisisme Profesional, Pelatihan Audit kecurangan, dan Independensi Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Studi di Inspektorat Kabupaten Sleman).
13 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan dan pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Apakah skeptisisme profesional auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan? b. Apakah pelatihan audit kecurangan berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan? c. Apakah independensi auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : a. Menguji secara empiris pengaruh skeptisisme auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan b. Menguji secara empiris pengaruh pelatihan audit kecurangan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan c. Menguji secara empiris pengaruh independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
14 1.4 Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan di bidang auditing khususnya dalam mempersiapkan calon-calon auditor yang berkualitas. b. Bagi praktisi khususnya auditor, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk kepentingan rekrutmen calon auditor internal maupun eksternal dengan menambahkan beberapa kategori baru dalam penyeleksian calon auditor yaitu skeptisisme dan independensi. c. Bagi organisasi yaitu pihak Inspektorat Sleman, sebagai masukan dalam penilaian kinerja seorang auditor dan peningkatan kualitas dalam penugasan serta peningkatan kemampuan dalam pencegahan dan pendeteksian tindak kecurangan. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam pengembangan ilmu akuntansi, khususnya pada bidang akuntansi keperilakuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
15 1.5 Sistematika Penulisan Penulisan ini disajikan dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut: BAB I Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian ini. Bab ini terdiri dari : latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Bab ini menguraikan landasan teori mengenai konsep-konsep yang terkait dengan fraud, kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, auditor internal, skeptisisme profesional, independensi, dan pelatihan audit kecurangan dan juga pengembangan hipotesis. BAB III Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini terdiri dari : Definisi dan pengukuran variabel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan. BAB IV BAB V Bab ini berisi pembahasan atas hasil pengolahan data dan analisisnya. Bab ini menyajikan kesimpulan, keterbatasan, implikasi dan saran bagi penelitian-penelitian selanjutnya.