BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

DAFTAR PUSTAKA. Achmad bintoro. (2007). Perjuangan DAU untuk Siapa?. [Online]. Tersedia:

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I LATAR BELAKANG. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini semakin

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

TRANSFER DANA DESENTRALISASI LAMPAUI RP500 TRILIUN

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

RELEVANSI TRANSFER PEMERINTAH PUSAT DENGAN UPAYA PAJAK DAERAH (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Pembangunan daerah melalui otonomi daerah di Indonesia diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan. Dalam perimbangan keuangan, pengaturan pembagian dana dari pusat ke daerah harus diatur sedemikian rupa, sesuai kondisi daerah tersebut, sehingga diharapkan kesenjangan pendanaan antar pemerintah daerah bisa dikurangi. Pendanaan penyelenggaraan pemerintah daerah diatur agar terlaksana secara efektif dan efisien. Penyelenggaraan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD (Fokus Media, 2004:296-297). Dalam undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan bahwa : Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi/kapasitas, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

2 Adanya kewenangan yang dimiliki daerah dalam era otonomi daerah, memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan kemandirian daerah. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Untuk itu, pemerintah daerah harus lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, dengan melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu, 2000 dalam Priyo Hari Adi, 2008 ). Jika peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud, maka kinerja/kemampuan keuangan daerah juga dapat meningkat. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Kemandirian daerah salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Priyo Hari Adi, 2008 ). Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat dengan cara desentralisasi, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan. Pendanaan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat, dilakukan dengan cara transfer bantuan menggunakan dana yang tercantum dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), yang tersedia dalam berbagai bentuk dana bantuan yang diberikan dengan persentase tertentu yang diatur dalam undang-undang (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004).

3 Pemberian transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi pendorong peningkatan upaya peningkatan PAD. Daerah menjadi lebih leluasa melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan PAD, baik melalui pajak maupun retribusi daerah dikarenakan adanya dukungan pembiayaan yang memadai (Priyo Hari Adi, 2008 ). Dalam APKASI (2001) disebutkan bahwa, langkah awal pelaksanaan otonomi daerah ini menghadapi berbagai permasalahan yang sangat kompleks. Mulai dari kewenangan daerah, dana perimbangan keuangan, disintegrasi nasional, masalah kepegawaian, kerawanan pengelolaan SDA, dan sebagainya. Selain itu, menurut Machfud Sidik (2007:5), permasalahan muncul dari dibentuknya daerah-daerah otonomi baru yang berdampak pada peningkatan permintaan pendanaan pada anggaran tahunan pemerintah pusat. Hal senada diutarakan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sebagai berikut : Daerah otonom seharusnya memiliki kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri, selama ini daerah selalu bergantung pada bantuan dari pusat, padahal jika hal ini terjadi secara terus menerus akan menimbulkan beban kepada keuangan anggaran negara, serta memberikan dampak penurunan anggaran terhadap seluruh pemerintah daerah lain, karena akan menurunkan penyebaran Dana Alokasi Umum (DAU) secara proporsional bagi daerah lain (Iqbal Fadil, 2007). Dalam Kompas (2000) disebutkan bahwa, selama ini peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat lebih mendominasi pos pendapatan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), seperti yang terlihat pada tabel 1.1.

4 Tabel 1.1 Estimasi Pendapatan Daerah Tahun 2006 (dalam miliaran rupiah) Keterangan Provinsi Kabupaten/Kota Total PAD 29.980 12.880 42.860 DBH 20.660 38.900 59.563,7 DAU 14.570 131.090 145.664,2 Sumber : Machfud Sidik (2007:395) Dari Tabel 1.1 daerah provinsi lebih banyak menerima transfer dari pusat dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), daripada alokasi DAU. Sebaliknya, daerah kabupaten/kota mendapat alokasi DAU yang besarnya jauh melebihi DAU untuk provinsi. Daerah sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat untuk mendanai pemerintahannya, terbukti dari total DAU yang dialokasikan, besarnya jauh melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari tabel 1.1 juga terlihat bahwa PAD lebih berkontribusi pada daerah provinsi daripada kabupaten/kota. PAD yang kecil bila dibandingkan pendapatan di luar PAD, menunjukkan pengelolaan keuangan daerah yang belum optimal (Hadi Purnama, 2005). Sumber pendanaan daerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat, diberikan sesuai kapasitas fiskal daerah tersebut. Menurut Lesta Karolina Sebayang (2006), dana tersebut diberikan kepada daerah agar pembangunan daerah melalui penyediaan pelayanan publiknya menjadi lebih baik. Menurut Priyo Hari Adi (2008), pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan persoalan baru Salah satu penyebabnya adalah, perbedaan kapasitas fiskal antar daerah (adanya disparitas fiskal horizontal).

5 Kapasitas fiskal daerah adalah, sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi tetapi kebutuhan fiskalnya kecil, akan memperoleh transfer dana dari pusat dalam bentuk DAU dengan jumlah relatif kecil (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004). Pengertian DAU menurut undang-undang nomor 33 tahun 2004 adalah : Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004). DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan disisi lain juga sebagai sumber pembiayaan daerah. Hal ini berarti pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi justru akan mendapat jumlah DAU yang lebih kecil, sehingga diharapkan dapat mengurangi disparitas fiskal antar daerah (Priyo Hari Adi, 2008). Provinsi Jawa Barat terdiri dari daerah kabupaten dan kota. Pemekaran daerah yang terjadi di provinsi ini semakin menambah jumlah kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat. Selain itu, pemekaran wilayah akan menambah secara drastis jumlah total dana DAU karena beban fungsi dasar yang harus disediakan (Adrian T.P. Panggabean et.al., 1999). Salah satu Kota di Provinsi Jawa Barat adalah Bandung. Penerimaan pajak parkir dan retribusi parkir dari tempat-tempat wisata dan belanja di kota ini telah terkomputerisasi. Tujuannya agar setoran dari penerimaan daerah tersebut, sampai ke kas daerah dan menambah PAD Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 2007).

6 Daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat adalah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan yang sering disebut sebagai Ciayumajakuning atau wilayah 3 Jabar, telah memberikan banyak kontribusi PAD pada provinsi. Tapi dari sisi pembangunan infrastruktur selalu dideskriditkan. Sehingga seperti pada kabupaten/kota lainnya di Indonesia, pembangunan Kabupaten/Kota di Jawa Barat masih belum merata (Andrian Fauzi, 2008). Pembangunan di Jawa Barat lebih difokuskan di Kota Bandung. Selain sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung juga telah menjadi daya tarik kunjungan wisatawan untuk berwisata dan belanja. Terutama dengan seiring berkembangnya industri kreatif yang tumbuh subur di kota ini. Masalah yang berhubungan dengan optimalisasi potensi daerah menurut Machfud Sidik (2002), terletak pada pola sistem bagi hasil yang digunakan. Pola sistem bagi hasil yang digunakan saat ini, berpotensi mempertajam ketimpangan horizontal yang dialami antara daerah penghasil dan bukan penghasil. Hal ini disebabkan karena hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari sektor pajak, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Menurut Nanga (Priyo Hari Adi, 2008), pemberian transfer dalam jangka pendek berfungsi untuk mengatasi ketidaksiapan fiskal daerah dalam berbagai pembiayaan daerah. Pemberian transfer didasarkan pada kapasitas fiskal daerah, semakin tinggi kapasitas fiskal daerah, maka transfer yang diterima menjadi

7 semakin rendah. Kebijakan ini disatu sisi bisa mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal, namun disisi lain justru bisa menyebabkan kemalasan fiskal daerah. Daerah tidak terpacu untuk meningkatkan potensi lokalnya dengan meningkatkan PAD, dikarenakan hal ini bisa berimbas pada penurunan penerimaan DAU. Transfer pemerintah pusat seharusnya menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Kebijakan pemberian transfer diindikasikan tidak mendorong daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal, tetapi justru sebaliknya. Daerah menunjukkan ketergantungan yang lebih tinggi terhadap pemerintah pusat. Kemandirian daerah yang menjadi tujuan otonomi daerah justru semakin jauh dari harapan. Pemerintah pusat perlu memformulasi kebijakan pemberian DAU yang benar-benar dapat menjadi insentif bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah namun disini lain tetap bisa mengatasi persoalan konvergensi fiskal horizontal (Priyo Hari Adi, 2008). Nagathan dan Sigvagnanam (Priyo Hari Adi, 2008), memberikan fakta empirik bahwa pemberian transfer yang terencana justru memberikan pengaruh negatif terhadap upaya pengumpulan pajak di tingkat lokal (daerah). Fenomena kemalasan fiskal semacam ini bisa jadi disebabkan adanya kebijakan yang kurang menguntungkan, yaitu adanya pengurangan transfer pemerintah pusat apabila daerah mengalami peningkatan kapasitas fiskal.

8 Transfer dana dari pusat dalam bentuk DAU telah melahirkan banyak persoalan, dimulai dari formulasi penghitungannya yang tidak disetujui banyak pihak, sampai transparansi penggunaannya. Saat ini sebesar 99,9% DAU dipakai untuk mencukupi penggajian aparatur di daerah, dengan kondisi demikian, maka alokasi untuk pelayanan publik akan terabaikan (Sinoeng N. Rachmadi, 1996). Padahal menurut Lesta Karolina Sebayang (2006), idealnya diharapkan konsep desentralisasi berupa perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, mampu memperbaiki dan meningkatkan pembangunan daerah melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih baik. Sedangkan menurut Siti Atikoh (2008), DAU masih belum bisa mengatasi masalah fiscal imbalances antar daerah di Indonesia. Dalam hubungannya antara komponen-komponen kapasitas fiskal dan DAU, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Machfud Sidik (2007:404) pada seluruh provinsi yang ada di Indonesia, telah menghasilkan informasi berupa, setiap 1% kenaikan PAD, maka DAU akan menurun sebesar 0,14%. Setiap 1% kenaikan DBH pajak, akan menurunkan DAU sebesar 0,34%, dan setiap 1% kenaikan DBH SDA, akan menurunkan DAU sebesar 0,03%. Dengan demikian, hubungan antara komponen-komponen kapasitas fiskal (PAD dan DBH), terhadap DAU adalah negatif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Dana Bagi Hasil pajak merupakan komponen kapasitas fiskal yang menurunkan DAU dengan persentase terbesar, untuk setiap 1% kenaikannya. Menurut Robby Alexander Sirait (2009), disparitas antar daerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidakmerataan dalam hal penguasaan

9 Sumber Daya Alam atau sumber penerimaan antara daerah satu dan daerah lainnya. Kapasitas fiskal mempengaruhi DAU yang dialokasikan pemerintah pusat ke daerah, karena merupakan bagian dari formula penghitungan DAU. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 menyiratkan bahwa, kapasitas fiskal berpengaruh terhadap DAU yang akan diterima oleh setiap daerah. Akan tetapi, seberapa besar pengaruh tersebut pada kabupaten/kota di Jawa Barat masih belum diketahui. Meskipun variabel-variabel kapasitas fiskal dan DAU cukup jelas, namun muncul berbagai persoalan dalam implementasinya, misalnya adanya keluhan sebagian daerah bahwa alokasi DAU yang diterimanya terlalu kecil. Mengenai hal ini, Raksaka Mahi (2003) berpendapat bahwa, hendaknya daerah menyadari bahwa DAU bukanlah satu-satunya dana yang krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masih banyak sumber-sumber penerimaan daerah lainnya yang harus diperhitungkan dalam membiayai urusan di daerah. Sehingga, pemahaman formula suatu keseimbangan keuangan daerah, sangat diperlukan. Menurut Samhadi (2005) seperti yang dikutip Priyo Hari Adi (2008), sejak diberlakukannya otonomi daerah pemerintah berupaya melakukan perbaikan terhadap formulasi DAU dengan tujuan untuk lebih memenuhi rasa keadilan, pemerataan serta merangsang kapasitas dan potensi PAD. Meskipun DAU diberikan untuk melindungi ketidakadilan dan diberikan sesuai kapasitas fiskal masing-masing daerah, pada kenyataannya yang terjadi sekarang adalah, ketidakpuasan beberapa provinsi atas DAU yang mereka terima.

10 Dalam pelaksanaan pengalokasian DAU banyak daerah yang merasa tidak puas karena menerima DAU relatif kecil (Soejono, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi besaran DAU yang diterima oleh daerah, salah satunya adalah kapasitas fiskal. Provinsi Riau tidak puas dengan formula DAU yang sudah ada. Alasannya karena kapasitas fiskal tinggi yang dimilikinya berimbas pada DAU yang diterimanya relatif kecil (Dumai Pos online, 2009). Menurut Priyo Hari Adi (2008), ketika kapasitas fiskal daerah menjadi semakin tinggi maka DAU yang diterima akan menjadi semakin kecil. Hal inilah yang kemungkinan dihindari, daerah lebih memilih tidak mengalami peningkatan fiskal daripada mendapat potongan DAU dalam jumlah yang besar. Selama ini sistem alokasi di Indonesia lebih menekankan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam kebutuhan (needs equalization) dan bukan pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity /fiscal capacity). Sehingga akibatnya efek dana bantuan selalu cenderung bersifat lemah. Berbeda dengan negara lain seperti Kanada misalnya, yang memiliki bantuan program untuk pemerataan (Canadian equalization program). Bantuan ini seperti DAU, ditujukan untuk mendukung dicapainya suatu tingkat pelayanan publik tertentu, sesuai dengan kemampuan perpajakan daerah. Dengan demikian, model alokasi dana ini menekankan pada pentingnya kapasitas fiskal suatu daerah sebagai penentu besarnya alokasi (Adrian T.P. Panggabean et.al., 1999).

11 Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah penulis utarakan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana gambaran umum kapasitas fiskal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 2) Bagaimana gambaran umum Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 3) Seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

12 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum, untuk memperoleh gambaran yang jelas dan aktual tentang Pengaruh Kapasitas Fiskal terhadap Dana Alokasi Umum Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat Adapun tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui gambaran umum kapasitas fiskal pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat 2) Untuk mengetahui gambaran umum Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 3) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 1.3.2 Manfaat Penelitian Berdasarkan masalah-masalah yang telah dirumuskan, manfaat penelitian ini adalah : 1) Manfaat Teoritis Diharapkan dapat menguji keberlakuan teori-teori Akuntansi Keuangan, khususnya mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan wawasan perbendaharaan keilmuan Akuntansi Sektor Publik, tepatnya mengenai pengaruh kapasitas fiskal terhadap Dana Alokasi Umum pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Selain

13 itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya 2) Manfaat Praktis Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam penentuan formula alokasi DAU.