Tingkat Pemahaman Arti Leksikal pada Leksem yang Berkonsep Abstrak dan Emosi oleh Penyandang Tunarungu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

Penggolongan Tahapan Perkembangan Normal Bicara dan Bahasa Pada Anak. Oleh: Ubaii Achmad

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. deiksis pada wacana tulis dalam Kakilangit pada majalah Horison edisi 2012.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS KOMPONENSIAL DAN STRUKTUR MEDAN LEKSIKAL VERBA BAHASA INDONESIA YANG BERKOMPONEN MAKNA (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA +SENGAJA*MITRA +SASARAN)

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Anak Usia Dini

BAB I PENDAHULUAN. memiliki makna yang sama. Salah satu fungsi dari bahasa adalah sebagai alat

Naskah Publikasi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. gagasan dengan menggunakan bahasa tulis. Jika dibandingkan dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN SEMANTIK DR 414

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. Banyak keterampilan yang harus dikuasai oleh manusia baik sebagai makhluk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengembangan software kamus tematik bergambar Untuk meningkatkan penguasaan kosakata anak tunarungu

PEMEROLEHAN BAHASA INDONESIA ANAK TUNARUNGU USIA 7-10 TAHUN ( STUDI KASUS PADA TINA DAN VIKI )

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer,

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di MAN 2 MADIUN pada bulan April semester genap tahun ajaran

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERCERITA DENGAN PENDEKATAN KOOPERATIF PADA SISWA KELAS IV SDN MEDURI 01 MARGOMULYO BOJONEGORO 2009/2010

I. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR MATEMATIKA SMALB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

GABUNGAN KOMBINASI PROPOSISI (REKURSIF) DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK RECTOVERSO KARANGAN DEE

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS KALIMAT SEDERHANA MELALUI METODE EXAMPLES NON EXAMPLES PADA SISWA KELAS III SD N 181/VII GURUH BARU II.

2015 KAJIAN FONETIK TERHADAP TUTURAN

BAB I PENDAHULUAN. dan situasi tidak resmi akan memberikan kesan menghormati terhadap keadaan sekitar.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

MENGANALISIS ASPEK-ASPEK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN MEMBACA. Sumarni. Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sering menemukan banyak tanda,

Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Kelas I MIS Sinoutu Melalui Metode Struktural Analitik Sintetik (SAS)

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

III. METODOLOGI PENELITIAN. dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Semiotik Kosa Kata Ibu dan. Penggunaannya dalam Komunitas Orang Jawa. Oleh. Endang Sri Wahyuni. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. manusia seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan

BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah biografi mengangkat kisah perjalanan hidup seseorang yang. benar-benar ada dan dianggap dapat membawa hikmah bagi para

Rafika Rahmawati

Diajukan Oleh: ALI MAHMUDI A

NASKAH PUBLIKASI PROGRAM STUDI PAUD SULASTRI A53B111027

BAB I PENDAHULUAN. mahluk individu maupun mahluk sosial. Salah satu keterampilan yang harus

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

TEORI-TEORI SEMIOTIK DALAM KOMUNIKASI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. ekspresi emosi pada keempat suku tersebut baik di rumah sendiri maupun di

Pendekatan pendidikan yang benar bagi anak tunarungu sangat berpengaruh pada pemenuhan kompetensi belajar mereka. Santrock (2004: 222) menambahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam mempercepat penguasaan ilmu teknologi. 1. matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuhkembangkan cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. pembenaran atau penolakan hipotesis serta penemuan asas-asas yang mengatur

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS MAKNA DALAM KATA MUTIARA PADA ACARA TELEVISI HITAM PUTIH DI TRANS7 BULAN AGUSTUS 2011: TINJAUAN SEMANTIK NASKAH PUBLIKASI

Efektivitas Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. pertama, yaitu kategori kosakata dasar yang dikuasai siswa di sekolah dasar sesuai dengan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dipandang sebagai definisi operasional untuk menegaskan

Seminar Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

I. PENDAHULUAN. globalisasi yang berkembang sangat pesat diperlukan praktek pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. maupun isyarat. Bahasa digunakan oleh siapa saja, mulai dari anak-anak sampai

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah ciri utama manusia dan merupakan alat komunikasi paling

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata latin communicatio dan bersumber dari kata

BAB IV HASIL PENELITIAN. Tabel 4 Hasil Pekerjaan Siswa

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC TERINTEGRASI PADA MODEL PROBLEM SOLVING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Judul Modul Bagian ini berisi nama modul dari suatu mata pelajaran tertentu. b. Petunjuk Umum

X f fx Jumlah Nilai rata-rata 61 Keterangan :

16, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 Pada dasarnya, secara semantik, proses dalam klausa mencakup hal-hal berikut: proses itu sendiri; partisipan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda.

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS Dengan Pendekatan CTL Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Lisan dan Koneksi Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal Pendidikan, Pengajaran Bahasa dan Sastra ONOMA PBSI FKIP Universitas Cokroaminoto Palopo

Transkripsi:

Tingkat Pemahaman Arti Leksikal pada Leksem yang Berkonsep Abstrak dan Emosi oleh Penyandang Tunarungu 1* Alies Poetri Lintangsari, 2 Wahyu Widodo 1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia, 2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia Abstrak: Mahasiswa Tunarungu menghadapi kesulitan penguasaan bahasa, khususnya memahami leksem yang berkonsep Abstrak dan Emosi. Hal ini dikarenakan tunarungu sangat mengandalkan referent (acuan) dalam memahami makna kata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimanakah tingkat pemahaman tunarungu terhadap leksem yang berkonsep emosi dan abstrak, (2) Apakah latar belakang pendidikan mahasiswa tunarungu (SMA atau SMA LB) berperan dalam membentuk pemahaman arti abstrak dan emosi? Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan tes tertulis yang berisikan soal leksem berkonsep abstrak dan emosi dengan acuan dan tanpa acuan (gambar). Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu pemahaman tunarungu terhadap arti leksem dan ketepatan konteks penggunaan leksem dalam kalimat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kata abstrak acuan tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman tunarungu, sedangkan pada leksem emosi acuan berpengaruh dalam membantu tunarungu memahami makna leksem. Kata Kunci: Tingkat Pemahaman, Arti Leksikal, Leksem Abstrak dan Emosi, Tunarungu 1. Latar Belakang Tunarungu menggunakan bahasa isyarat (sign language) atau bahasa bibir (oral) untuk berkomunikasi dengan sesama tunarungu maupun dengan orang normal (hearing). Bahasa isyarat menggunakan tangan, jari, dan ekspresi wajah untuk membentuk kata dan kalimat. Selain itu, mereka juga menggunakan gerak bibir (oral) untuk menyusun kata non-isyarat. Orang normal (hearing) akan mudah membaca gerak bibir yang dilafalkan secara patah-patah oleh tunarungu daripada menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat dan oral (gerak bibir) merupakan upaya tunarungu untuk menyusun bahasa agar mereka mampu berkomunikasi tanpa hambatan dengan orang normal (hearing). Upaya ini menunjukkan bahwa tunarungu mempunyai piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device) yang terdapat dalam benak dirinya atau dalam perkakas mentalnya (faculty of the mind), tetapi mereka mempunyai hambatan wicara sehingga bahasa mereka tidak mampu dicerna dengan baik oleh orang normal. Jadi, apa yang dialami oleh tunarungu bukan disebabkan oleh disfungsi motoris, tetapi pada ketidakmampuan mereka untuk mengakses tatabahasa dengan benar (Dardjowidjojo, 2009:222). Penelitian yang dilakukan oleh Lintangsari (2014) tentang Identifikasi Kesalahan Mahasiswa Tunarungu dalam Pembelajaran Bahasa Tulis menemukan bahwa kecenderungan kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa Tunarungu adalah pada tataran sintaksis. Menilik pelbagai kesalahan pada ranah sintaksis tersebut, ada kemungkinan ketidaksepahaman arti leksikal, arti yang umum dipahami orang normal, juga dialami oleh tunarungu. Hal ini menandakan arti penting bahwa kesalahan pada ranah sintaksis juga menjalar pada ranah semantik. Penelitian ini juga menelisik apakah kemampuan menulis mahasiswa tunarungu di Universitas Brawijaya yang bervariasi itu dimungkinkan karena asal sekolah yang berbeda. Perbedaan kompetensi berbahasa tersebut, kemungkinan, didasarkan pada latar asal sekolah mereka yang berbeda, yakni asal sekolah SMA/SMK/MA Inklusi dan SMA/SMK/MA- LB.

Permasalahan mendasar itu ialah pada ranah semantik, khususnya arti leksikal yang dikuasai oleh tunarungu. Bagaimana konsepsi kata dipahami oleh orang tunarungu?. Dengan kata lain, bagaimana arti leksikal dipahami dalam benak orang tunarungu? Ada dugaan bahwa arti leksem yang dipahami oleh orang normal tidak sebangun dengan pemahaman tunarungu. Ada dugaan kuat bahwa kemungkinan kesalahan selama ini terjadi disebabkan oleh persepsi mental tunarungu terhadap realitas berbeda dengan orang normal. Bangun persepsi orang normal dan orang tunarungu berbeda, meskipun pada satu realitas-maujud yang sama. Hal ini disebabkan karena bahasa orang normal didominasi tanda yang arbitrer (kesewenangan antara tandamaujud dan lambang), sedangkan bahasa isyarat didominasi tanda yang bersifat ikonik (ada relasi antara simbol dan tanda-maujud). Kata adalah pelambangan dari dunia realitasyang-maujud. Hal ini diperkuat oleh Kadarisman (2009:89) menyatakan bahwa yang kita sebut realitas pada hakikatnya lebih merupakan "realitas mental" daripada realitas obyektif di luar pikiran kita. Realitas yang terindra oleh tunarungu kemudian dipersepsikan dalam pikiran mereka, lalu mereka akan menyusun tanda (bahasa isyarat). Tanda-isyarat tersebut dibentuk atas kemiripan (keserupaan) benda yang terindra. Misalnya bahasa isyarat Australia untuk kata Rumah seperti contoh di bawah ini yang sangat mewakili bentuk rumah pada umumnya. Gambar 1. Bahasa Isyarat Australia untuk Rumah (Johnston & Schembri, 2007) Deskripsi di atas memberi gambaran bahwa tanda-isyarat berkaitan erat dengan realitas yang maujud. Permasalahan kemudian yang muncul bagaimana orang tunarungu menangkap kata yang berkonsep abstrak (misalnya damai, kerukunan, dan kedamaian), dan emosi (senang, sedih, dan marah). Leksem-leksem tersebut tidak mempunyai referensi langsung dengan objek yang terindra. Kata emosi misalnya bagaimana fitur emotif dalam kata sedih dan kecewa dipahami dalam benak orang tunarungu. Ringkasnya, dalam kata abstrak (konsep) bertalian dengan penjelasan dari kegunaan dan pertalian kata tersebut. Pada kata emosi bagaimana sesuatu yang tan-maujud dipersepsikan dalam benak tunarungu Untuk menjawab pertanyaan di atas disusunlah seperangkat instrumen penelitian yang berisi daftar leksem yang berkonsep emosi dan abstrak. Penyusunan dan pemilihan leksem tersebut dipilih secara acak dan leksem tersebut tidak berlaku khusus pada bidang keilmuan tertentu. Setelah perangkat tersebut disusun, tunarungu menguraikan dan mendeskripsikan bagaimana leksem tersebut dipahami dalam benak mereka. Kemudian dari pemahaman yang diuraikan tersebut digunakan dalam menyusun kalimat. Hal ini digunakan untuk menghadirkan konteks dalam leksem yang dipahami oleh tunarungu. 1.2 Rumusan Masalah 2.1 Bagaimanakah tingkat pemahaman tunarungu terhadap leksem yang berkonsep emosi dan abstrak? 2.2 Apakah latar belakang pendidikan,sma dan SMA LB, mereka berperan dalam memahami arti abstrak dan emosi? 1.3 Tinjauan Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh Johnston & Schembri (2007) bahwa pemaknaan tunarungu terhadap item leksikal (lexical s item) sangat bergantung pada acuan (referent). Pada kajiannya yang meneliti Bahasa Isyarat Australia (Auslan), menemukan bahwa hampir sebagian besar kosa-isyarat dalam bahasa isyarat Australia memiliki acuan langsung (direct referent) dengan makna isyaratnya. Acuan memainkan peran penting untuk memaknai kosa-isyarat, tetapi tidak semua kosa-isyarat memiliki acuan langsung dengan maknanya sehingga menyulitkan proses pemaknaan. Acuan sangat berperan penting bagi orang normal untuk memahami kosaisyarat dan begitu pun sebaliknya, acuan juga memainkan peran penting bagi tunarungu untuk memahami sebuah konsep kata dalam Bahasa Indonesia. Kesimpulan awal yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah bahwa tunarungu akan lebih mudah memahami konsep kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki acuan langung

dengan isyaratnya, sedangkan untuk memahami konsep kata bahasa Indonesia yang tidak memiliki acuan langsung dengan isyaratnya, tunarungu akan mengalami kesulitan untuk memahami maknanya. 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas. Metode penelitian ini terdiri dari penjelasan tentang informan penelitian, tahapan penelitian, instrumen penelitian, pengumpulan data, dan analisis data sebagaimana dijelaskan berikut ini 2.1 Informan Penelitian Informan penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa tunarungu yang berkuliah di Universitas Brawijaya Malang. Informan penelitian terdiri dari 14 mahasiswa tunarungu dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda dan berasal dari Fakultas/Program Studi yang berbeda-beda. Informan penelitian dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 adalah mahasiswa tunarungu dengan latar belakang pendidikan SMA/SMK berjumlah 7 orang. Kelompok 2 adalah mahasiswa tunarungu dengan latar belakang pendidikan SMALB (SMA Luar Biasa) berjumlah 7 orang. Pengelompokan tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh latar belakang pendidikan menengah atas memberikan pengaruh terhadap penguasaan bahasa anak tunarungu. Penelitian dilaksanakan di kantor Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya pada tanggal 11 Agustus 2014 pukul 10.00 sampai dengan pukul 14.30 WIB. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis. Instrumen penelitian yang pertama digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen tersebut berupa soal yang berisi leksem-leksem yang berkonsep abstrak dan emosi. Soal terdiri dari dua jenis, yaitu soal tanpa gambar dan soal yang disertai gambar sebagai acuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh peran gambar (acuan) untuk membantu informan dalam memaknai leksem-leksem yang berkonsep abstrak dan emosi tersebut. Keseluruhan soal berjumlah 40 nomor yang terdiri dari 10 soal leksem berkonsep abstrak tanpa gambar, 10 soal leksem berkonsep abstrak dengan gambar, 10 soal leksem berkonsep emosi tanpa gambar dan 10 soal leksem berkonsep emosi tanpa gambar. Masing-masing soal leksem yang berkonsep abstrak tanpa dan dengan gambar, maupun soal leksem yang berkonsep emosi tanpa dan dengan gambar menyajikan leksemleksem yang sama (lihat lampiran). Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gambar (acuan) dalam proses pemahaman informan terhadap leksem-leksem tersebut. Leksem-leksem yang digunakan dalam soal adalah leksem-leksem berkonsep emosi dan abstrak yang dipilih secara acak dengan pertimbangan bahwa leksem-leksem tersebut adalah leksem-leksem umum yang dipahami oleh banyak orang. Berikut adalah daftar leksem-leksem yang digunakan dalam soal; Instrumen kedua adalah rubrik penilaian untuk mengolah data yang didapatkan dari jawaban informan terhadap instrumen pertama. Rubrik penilaian tersebut terdiri dari dua indikator, yaitu indikator ketepatan informan dalam mendefinisikan atau mengartikan leksem dan indikator ketepatan informan dalam menggunakan leksem tersebut dalam konteks kalimat sebagaimana ditampilkan dalam tabel.2 di bawah ini. Tabel 2. Daftar Leksem yang Diujikan No. Leksem abstrak Leksem emosi 1. Kebenaran Senang 2. Keadilan Marah 3. Rukun Bosan 4. Damai Sedih 5. Keberagaman Benci 6. Hak Takut 7. Kewajiban Malu 8. Toleransi Kecewa 9. Persatuan Gelisah 10. Perjuangan Penasaran 3. Hasil Penelitian 3.1 Kelompok SMA/SMAK Informan dalam kelompok SMA/SMK berjumlah 7 orang terdiri dari 4 orang informan laki-laki dan 3 orang informan perempuan. Data dari masing-masing informan direkapitulasi dalam tabel di bawah ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses analisis.

AR WR IS MWH LDR LH TM Nilai IJDS 2013; Vol.1: 1-14 Tabel 5. Rekapitulasi Nilai Kelompok SMA/SMAK No Nama A/TG A/G NR L K J L K J A 1 AR (L) 0 5 5 0 5 5 5 2 WR (L) 17 19 36 17 19 36 36 3 IS (L) 12 16 28 12 16 28 28 4 MWH 13 5 18 10 11 21 19.5 (L) 5 LDR (P) 4 2 6 2 4 6 6 6 LH (P) 1 3 4 1 1 2 3 7 TM (P) 0 3 3 4 6 10 6.5 Rata-rata total 14.8 No Nama E/TG E/G L K J L K J NRE 1 AR (L) 0 9 9 0 6 6 7.5 2 WR (L) 17 20 37 19 20 39 38 3 IS (L) 20 20 40 20 20 40 40 4 MWH 19 18 37 19 17 36 36.5 (L) 5 LDR (P) 11 15 26 16 14 30 28 6 LH (P) 2 8 10 8 7 15 12.5 7 TM (P) 0 13 13 8 11 19 16 Rata-rata total 25.5 batang A/G berwarna merah adalah nilai informan saat mengerjakan soal dengan gambar. Pengaruh acuan (gambar) pada pemahaman leksem berkonsep abstrak dapat dilihat melalui diagram 1. 50 40 30 20 10 0 Diagram 1. Nilai informan pada soal Leksem Berkonsep Abstrak Inisial Informan Diagram 2. Prosentase Pengaruh Acuan pada Pemahaman Leksem berkonsep Abstrak E/TG E/G Tidak Terpengaruh Gambar Terbantu oleh Gambar Keterangan Kode : 1. A/TG : Leksem berkonsep Abstrak dalam soal tanpa gambar 2. A/G : Leksem berkonsep Abstrak dalam soal tanpa gambar 3. E/TG : Leksem berkonsep Emosi dalam soal tanpa gambar 4. E/G : Leksem berkonsep Emosi dalam soal tanpa gambar 5. L : Nilai kesesuaian arti Leksem 6. K : Nilai ketepatan penggunaan Leksem dalam konteks kalimat 7. J : Jumlah Nilai 8. NRA : Nilai rata-rata leksem berkonsep Abstrak 9. NRE : Nilai rata-rata leksem berkonsep Emosi Pem bahasan selanjutnya dipaparkan dalam subbab 3.1.1untuk pembahasan pada pemahaman leksem yang berkonsep abstrak, dan subbab 3.1.2 untuk pembahasan pada pemahaman leksem yang berkonsep emosi. 3.1.1 Pemahaman Leksem Berkonsep Abstrak pada Kelompok SMA/SMK Pemahaman leksem berkonsep abstrak pada kelompok SMA/SMK ditampilkan dalam bentuk diagram di bawah ini untuk kemudian dijelaskan secara deskriptif. Batang A/TG bewarna biru adalah nilai informan saat mengerjakan soal tanpa gambar, sedangkan 29% Tidak terbantu Gambar 57% Berdasarkan diagram di atas, temuan terkait pengaruh acuan (gambar) terhadap pemahaman informan terhadap leksem berkonsep abstrak dan emosi sangat bervariasi. Dalam hal pemahaman leksem berkonsep abstrak, didapatkan hasil bahwa sejumlah 4 orang informan tidak terpengaruh oleh acuan dalam memahami leksem berkonsep abstrak. Kesimpulan ini merujuk pada informan yang nilainya sama antara soal A/TG dan soal A/G. Sementara itu, 3 orang informan dalam kelompok SMA terpengaruh oleh acuan (gambar) dengan efek yang berbeda. 2 orang informan mendapatkan nilai lebih baik pada soal A/TG daripada soal A/G yang menandakan bahwa acuan (gambar) membantu pemahaman informan menjadi lebih baik, tetapi ada 1 orang informan yang mendapatkan nilai lebih jelek pada soal A/TG daripada soal A/G, hal ini menandakan bahwa

AR WR IS MWH LDR LH TM Nilai IJDS 2013; Vol.1: 1-14 acuan (gambar) ternyata dapat memberikan interpretasi yang berbeda dan juga memberikan kebimbangan pada informan sehingga mempengaruhi informan dalam memahami leksem berkonsep abstrak. Secara keseluruhan, hanya 3 orang informan yang mendapatkan nilai diatas ratarata, yaitu informan dengan inisial WRP, IS, dan MWH (lihat tabel 4). Dari temuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa acuan (gambar) yang mewakili leksem berkonsep abstrak tidak sepenuhnya dapat membantu informan dalam memahami arti leksem dan penggunaannya dalam kalimat. Hal ini dikarenakan acuan (gambar) yang mewakili leksem berkonsep abstrak tidak bisa sepenuhnya memberikan ketepatan dalam menginterpretasikan makna leksem berkonsep abstrak. Contohnya pada leksem rukun dan keberagaman, sejumlah informan memahami leksem rukun sebagai dasar agama Islam, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam, sedangkan keberagaman dipahami sebagai agama dalam soal A/TG. Ketika informan diberikan soal A/G dimana leksem rukun dan keberagaman diwakili oleh gambar dan tulisan sebagaimana tampak dalam gambar 1, informan mengosongkan jawabannya. Hal ini mengindikasikan bahwa acuan (gambar) memberikan interpretasi baru akan makna leksem rukun dan keberagaman yang membuat informan kebingungan sehingga tidak menjawab soal tersebut. mempengaruhi kemampuan informan dalam memahami leksem berkonsep abstrak, hal ini dibuktikan oleh data bahwa dari 7 orang informan hanya 3 orang informan yang mendapatkan nilai di atas rata-rata. Kedua adalah bahwa acuan (gambar) tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk membantu informan dalam memahami makna leksem yang berkonsep abstrak, hal ini dibuktikan oleh data bahwa dari 7 orang informan hanya 2 orang saja yang mendapatkan pemahaman lebih baik setelah mengerjakan soal dengan bantuan gambar, sisanya sebanyak 5 orang informan (lihat diagram 2) tidak terpengaruh oleh acuan dan 1 orang informan (lihat diagram 2) tidak terbantu dengan adanya acuan (gambar). 3.2 Pemahaman Leksem Berkonsep Emosi pada Kelompok SMA/SMK Pemahaman leksem berkonsep emosi pada kelompok SMA/SMK ditampilkan dalam bentuk diagram di bawah ini untuk kemudian dijelaskan secara deskriptif. Batang E/TG berwarna biru adalah nilai informan saat mengerjakan soal leksem berkonsep emosi tanpa gambar, sedangkan batang E/G berwarna merah adalah nilai informan saat mengerjakan soal leksem berkonsep emosi dengan gambar. Pengaruh acuan (gambar) pada pemahaman leksem berkonsep emosi dapat dilihat melalui diagram berikut ini. Diagram 3. Nilai Informan pada soal Leksem Berkonsep Emosi Diagram 2. Persentase Pengaruh Acuan pada Pemahaman Leksem berkonsep Abstrak 29% Tidak Terpengaruh Gambar Terbantu oleh Gambar Tidak terbantu Gambar 57% 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 E/TG E/G Inisial Informan Berdasarkan temuan diatas dapat ditarik dua kesimpulan: pertama adalah bahwa latar belakang pendidikan menengah atas informan yang berasal dari SMA/SMK tidak Sebagaimana tersaji dalam diagram 2, hanya ada 1 informan yang tidak terpengaruh acuan (gambar) yaitu infoman IS dikarenakan nilai soal E/TG dan soal E/G sama. Sementara itu, ada 4 orang informan yang mendapatkan nilai lebih baik pada soal

E/G daripada soal E/TG yang memberikan kesimpulan bahwa acuan (gambar) berperan dalam membantu informan untuk memahami makna leksem berkonsep emosi. Sedangkan 2 orang informan mendapatkan nilai lebih jelek pada soal E/G daripada soal E/TG. Apabila melihat perbandingan nilai rata-rata pada soal berkonsep abstrak dan soal berkonsep emosi, dapat dilihat dalam tabel 4 bahwa nilai rata-rata soal leksem berkonsep abstrak (14,8) lebih rendah daripada nilai ratarata soal leksem berkonsep emosi (25,5). Berdasarkan temuan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa leksem berkonsep emosi lebih mudah dipahami oleh informan daripada leksem berkonsep abstrak. Hal ini dikarenakan leksem berkonsep emosi memiliki acuan yang lebih konkret daripada leksem berkonsep abstrak. Selain itu, leksem emosi mampu diekspresikan dengan berbagai bentuk yang mampu diindra, misalnya, marah dengan pipi merah. Senyum dengan sumringahnya wajah. Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa acuan (gambar) berperan dalam membantu informan untuk memahami leksem berkonsep emosi, sebagaimana terlihat dalam diagram lingkaran di bawah ini bahwa 57% dari total informan terbantu oleh adanya acuan (gambar) dalam memahami makna leksem berkonsep emosi. Diagram 4. Persentase Pengaruh Acuan pada Pemahaman Leksem berkonsep Emosi Tidak Terpengaruh Gambar Terbantu oleh Gambar Tidak terbantu Gambar 29% pemahaman informan pada leksem berkonsep emosi lebih baik daripada pemahaman informan pada leksem berkonsep abstrak yang dapat dibuktikan dari nilai rata-rata informan pada soal leksem berkonsep emosi lebih tinggi daripada soal leksem berkonsep abstak (lihat tabel 4). Kedua adalah acuan (gambar) berperan dalam membantu pemahaman informan dalam memahami leksem berkonsep emosi yang dibuktikan bahwa 57% (sebanyak 4 orang) informan yang mendapatkan nilai lebih baik di soal E/TG daripada soal E/G. 3.2 Kelompok SMALB Informan dalam kelompok SMALB berjumlah 7 orang terdiri dari 5 orang informan laki-laki dan 2 orang informan perempuan. Data dari masing-masing informan direkapitulasi dalam tabel di bawah ini untuk memudahkan proses analisis. Tabel 6. Rekapitulasi Nilai Kelompok SMALB No Nama A/TG A/G NRA L K J L K J 1 AWU (L) 10 4 14 12 5 17 15 2 WD (P) 0 0 0 0 1 1 1.5 3 DAK (L) 3 0 3 1 0 1 1.5 4 JM (L) 0 0 0 1 1 2 1 5 LP (P) 2 5 7 0 3 3 5 6 MDP (L) 9 10 19 6 11 17 17.5 7 MA (L) 0 2 2 0 2 2 2 Rata-rata total 6.2 No Nama E/TG E/G NRE L K L K J 31 1 AWU (L) 11 18 31 15 19 34 12.5 2 WD (P) 2 11 12. 2 12 14 8 5 3 DAK (L) 3 4 8 3 6 9 19 4 JM (L) 5 15 19 3 15 18 15 5 LP (P) 5 8 15 6 11 17 28 6 MDP (L) 7 17 28 9 14 23 17 7 MA (L) 3 13 17 1 17 18 18.6 Rata-rata total 6.2 57% Kesimpulan yang dapat diambil dari temuan ini: pertama adalah bahwa latar belakang pendidikan menengah atas informan yang berasal dari SMA/SMK tidak mempengaruhi kemampuan informan dalam memahami leksem berkonsep emosi, tetapi Keterangan Kode : 1. A/TG : Leksem berkonsep Abstrak dalam soal tanpa gambar 2. A/G : Leksem berkonsep Abstrak dalam soal tanpa gambar 3. E/TG : Leksem berkonsep Emosi dalam soal tanpa gambar 4. E/G : Leksem berkonsep Emosi dalam soal tanpa gambar 5. L : Nilai kesesuaian arti Leksem 6. K : Nilai ketepatan penggunaan Leksem dalam konteks kalimat 7. J : Jumlah Nilai 8. NRA : Nilai rata-rata leksem berkonsep Abstrak 9. NRE : Nilai rata-rata leksem berkonsep Emosi

AWU WD DAK JM LP MDP MA Nilai IJDS 2013; Vol.1: 1-14 Pembahasan selanjutnya dipaparkan dalam sub bab 3.2.1 untuk pembahasan pada pemahaman leksem yang berkonsep abstrak, dan subbab 3.2.2 untuk pembahasan pada pemahaman leksem yang berkonsep emosi. 3.2.1 Pemahaman Leksem Berkonsep Abstrak pada Kelompok SMALB Pemahaman leksem berkonsep abstrak pada kelompok SMALB ditampilkan dalam bentuk diagram di bawah ini untuk kemudian dijelaskan secara deskriptif. Batang A/TG berwarna biru adalah nilai informan saat mengerjakan soal tanpa gambar, sedangkan batang A/G berwarna merah adalah nilai informan saat mengerjakan soal dengan gambar. Pengaruh acuan (gambar) pada pemahaman leksem berkonsep abstrak dapat dilihat melalui diagram dengan membandingkan nilai soal A/TG dan soal A/G. Diagram 5. Nilai informan pada soal Leksem Berkonsep Abstrak sehingga mereka menjadi bingung yang menyebabkan mereka tidak menjawab soal A/G yang semula pada soal A/TG mereka menjawabnya, atau mereka menjawab jawaban yang berbeda antara jawaban pada soal A/TG dan A/G sehingga jawaban mereka menjadi salah. Pada diagram 6 dibawah ini, dapat disimpulkan bahwa acuan tidak berperan dalam membantu informan untuk memahami makna leksem berkonsep abstrak mengingat hanya 29% (2 orang) yang terbantu acuan, sedangkan 57% (4 orang) informan bahkan memiliki interpretasi berbeda akan acuan yang sebenarnya difungsikan untuk membantu mereka memahami, tetapi berperan sebaliknya,yaitu membingungkan mereka dalam memaknai makna leksem. Hal ini berakibat pada nilai mereka pada soal A/G menjadi lebih rendah daripada nilai mereka pada soal A/TG dikarenakan mereka tidak menjawab pertanyaan dan/atau mereka menjawab pertanyaan dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban mereka sebelumnya dan jawaban tersebut salah. 20 15 Diagram 6. Persentase Pengaruh Acuan pada Pemahaman Leksem berkonsep Abstrak Tidak Terpengaruh Gambar 10 5 A/TG A/G Terbantu oleh Gambar Tidak terbantu Gambar 0 Inisial Informan Pada informan kelompok sekolah SMALB, terdapat 1 orang yang tidak terpengaruh oleh acuan (gambar), hal ini terlihat dari nilai yang didapatkan informan MA sama antara nilai soal A/G dan soal A/TG. Sementara itu, 6 orang lainnya terpengaruh oleh acuan (gambar), 3 orang informan (AWU, WD dan JM) terpengaruh oleh acuan sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang makna leksem yang berkonsep abstrak pada soal A/G, tetapi 3 orang lainnya terpengaruh oleh acuan dalam hal yang berbeda. Acuan memberikan interpretasi yang berbeda bagi mereka 43% 43%

Nilai IJDS 2013; Vol.1: 1-14 Berikut adalah data yang menunjukkan bahwa acuan membantu pemahaman informan terhadap leksem yang berkonsep abstrak: Tabel 6. Acuan membantu pemahaman No. Informan Leksem Jawaban soal A/TG Sedangkan data yang menunjukkan bahwa acuan memberikan kebingungan pada informan terhadap leksem berkonsep abstrak adalah sebagai berikut. Tabel 7. Acuan tidak membantu pemahaman Jawaban soal A/G 1. JM Damai - Aman 2. AWU Keadilan - seimbang tidak boleh tidak sama, harus persamaan. No. Informan Leksem Jawaban soal A/TG 1. LP Kebenaran Betulbetul benar 2. MDP Hak Hak adalah tidak ada dipaksa, masingmasing sendiri. Jawaban soal A/G Semangat Hak adalah bebas dari salah. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa pada leksem berkonsep abstrak, acuan bisa membantu informan untuk memahami leksem berkonsep abstrak dan/atau bahkan sebaliknya. 3.2.2 Pemahaman Leksem Berkonsep Emosi pada Kelompok SMALB Pemahaman leksem berkonsep emosi pada kelompok SMALB ditampilkan dalam bentuk diagram di bawah ini untuk kemudian dijelaskan secara deskriptif. Batang E/TG bewarna biru adalah nilai informan saat mengerjakan soal leksem berkonsep emosi tanpa gambar, sedangkan batang E/G bewarna merah adalah nilai informan saat mengerjakan soal leksem berkonsep emosi dengan gambar. Pengaruh acuan (gambar) pada pemahaman leksem berkonsep emosi dapat dilihat melalui diagram 7 dibawah ini dengan membandingkan nilai soal E/TG dan soal E/G. Diagram 7. Nilai informan pada soal Leksem Berkonsep Emosi 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Inisial Informan E/TG E/G Berdasarkan diagram 7, terdapat 1 informan yang tidak terpengaruh acuan yaitu MDP, sedangkan 5 orang informan terbantu untuk memahami leksem berkonsep emosi yatu AWU, WD, DAK, LP dan MA. Sedangkan 1 informan,yaitu JM tidak terbantu dengan adanya acuan hal ini dibuktikan dengan nilai yang didapatkan JM pada soal E/G lebih rendah daripada nilai pada soal E/TG. Pada diagram di bawah ini dapat disimpulkan bahwa acuan berperan dalam membantu informan untuk memahami leksem berkonsep emosi sebagaimana terlihat bahwa sebesar 72 % (5 orang informan) terbantu dengan adanya acuan, sedangkan 14 % (1 orang informan) tidak terbantu, dan 14 % (1 orang) tidak terpengaruh dengan adanya acuan (gambar). Diagram 8. Persentase Pengaruh Acuan pada Pemahaman Leksem berkonsep Emosi Tidak Terpengaruh Gambar Terbantu oleh Gambar Tidak terbantu Gambar 72%

Berikut adalah data yang menunjukkan bahwa acuan membantu pemahaman informan terhadap leksem yang berkonsep emosi: Tabel 8. Acuan membantu pemahaman No. Informan Leksem Jawaban soal A/TG Jawaban soal A/G 1. AWU Kecewa Sedih Sakit Hati 2. DAK Takut - Seram 3. LP Marah Gelisah Emosi Tidak bisa tidur Sebal Kawatir Sedangkan data yang menunjukkan bahwa acuan memberikan kebingungan pada informan terhadap leksem berkonsep emosi adalah sebagai berikut. Tabel 9. Acuan tidak membantu pemahaman No. Informan Leksem Jawaban soal A/TG 1. JM Gelisah Galau Penasaran Kepo Jawaban soal A/G Tidak dijawab Pikir Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa pada leksem berkonsep emosi, acuan memberikan peran penting dalam membantu informan memahami leksem emosi. Hal ini dikarenakan acuan yang mengacu pada leksem emosi lebih tampak jelas dan lebih universal sehingga sedikit kemungkinan untuk salah diinterpretasikan daripada acuan yang mengacu pada leksem abstrak. Walaupun begitu, masih ditemukan 1 orang informan yang kurang benar dalam menginterpretasikan acuan pada leksem emosi sehingga jawaban menjadi salah (lihat tabel 9.). 3. Penutup Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab 4, beberapa kesimpulan dapat diambil dari penelitian ini sebagaimana berikut : Berdasarkan temuan dalam data informan kelompok SMA maupun informan kelompok SMALB, didapatkan hasil bahwa acuan (gambar) tidak terlalu berperan dalam membantu informan untuk memahami arti ataupun membuat kalimat dengan konteks yang tepat pada leksem berkonsep abstrak. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa 57% (lihat diagaram 2) informan pada kelompok SMA tidak terpengaruh oleh acuan, dan sejumlah 43% (lihat diagram 7), informan pada kelompok SMALB tidak terbantu acuan serta informan pada kelompok SMALB tidak terpengaruh acuan. Hal ini disebabkan karena acuan (gambar) pada leksem berkonsep abstrak tidak langsung mengacu pada makna leksem tersebut sehingga memungkinkan adanya perbedaan interpretasi antara acuan dan makna leksem. Berbeda dengan pengaruh acuan pada leksem berkonsep abstrak yang tidak terlalu memberikan manfaat bagi pemahaman informan, acuan pada leksem berkonsep emosi berperan penting dalam membantu pemahaman informan terhadap makna leksem emosi. Berdasarkan data diatas (lihat diagram 4) ditemukan bahwa 57% informan terbantu dengan adanya acuan (gambar) pada informan kelompok SMA dan sebesar 72% informan terbantu memahami makna leksem emosi pada informan kelompok SMALB. Pengelompokan informan menjadi dua kelompok yaitu kelompok SMA dan kelompok SMALB memberikan kesimpulan bahwa kemampuan informan dari kelompok SMA lebih dalam memahami kedua leksem baik abstrak maupun emosi daripada informan dari kelompok SMALB sebagaimana terlihat dari nilai rata-rata (lihat tabel 4 dan 5). Berdasarkan data, nilai rata-rata informan kelompok SMA adalah 14.8 untuk leksem berkonsep abstrak dan 25.5 untuk leksem berkonsep emosi, sedangkan nilai rata-rata informan kelompok SMALB adalah 6.2 untuk leksem berkonsep abstrak dan 18.6 untuk leksem berkonsep emosi. Nilai rata-rata antara leksem berkonsep abstrak dan leksem berkonsep emosi, baik dalam kelompok SMA maupun kelompok SMALB, dapat disimpulkan bahwa semua informan lebih mudah memahami leksem emosi daripada leksem berkonsep abstrak. Hal ini disebabkan karena acuan dalam leksem emosi lebih jelas sehingga kesalahan

interpretasi lebih sedikit daripada pada leksem berkonsep abstrak. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa Tunarungu membutuhkan acuan untuk memahami leksem berkonsep abstrak maupun emosi. Untuk leksem berkonsep abstrak, acuan sebaiknya diberikan secara kontekstual, acuan dalam bentuk gambar saja tidak cukup memberikan informasi akan ketepatan interpretasi makna oleh Tunarungu. Berbeda dengan leksem berkonsep emosi yang acuannya lebih bersifat jelas salah satunya melalui ekspresi wajah sehingga kesalahan interpretasi lebih minimal daripada pada leksem berkonsep abstrak. Penelitian berjudul Tingkat Pemahaman Arti Leksikal pada Leksem Berkonsep Abstrak dan Emosi oleh Penyandang Tunarungu ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pengetahuan bagi pihak terkait seperti peneliti yang tertarik dengan Ketunarunguan dan makna leksikal, pengajar bahasa, khususnya bagi anak Tunarungu dan pihak-pihak terkait lainnya. Saran yang dapat kami berikan selaku peneliti dalam penelitian ini adalah bagi penagajaran bahasa khususnya pemaknaan leksem berkonsep abstrak dan berkonsep emosi, perlu dilengkapi dengan media pembelajaran yang memadai yang dapat berfungsi sebagai acuan. Khususnya acuan untuk menjelaskan leksem berkonsep abstrak sebaiknya acuan yang jelas dan rinci, misalnya acuan menggunakan komik atau gambar bergerak. DAFTAR PUSTAKA Lintangsari, Alies Poetri. (2014). Identifikasi Kebutuhan Mahasiswa Tuli dalam Pembelajaran Bahasa Tulis. Indonesian Journal of Disability Studies. PSLD Universitas Brawijaya. Soenjono, Dardjowidjojo.2009. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Subroto, Edi.2002. Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dalam Bahasa Indonesia dalam Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta:Yayasan Obor dan Pusat Bahasa. Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik. Surakarta : CakrawalaMedia Suwiryo, Adhika Irlang. (2014). Mouth Gesture pada Bahasa Isyarat Jakarta dan Bahasa Isyarat Yogyakarta: Studi Awal. Prosiding Seminar Internasional Semantik, Pragmatik, dan Kebudayaan. Lembaga Riset Bahasa Isyarat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia Woodward, James. (2014). Some Universal and Unique Characteristics of Human Languages from the perspective of Sign Linguistics. Tayangan powerpoint dipresentasikan pada Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Johnston & Schembri. (2007). Australian Sign Language: An Introduction to Lingusitics. Cambridge University Press. Kadarisman, A. Effendi. 2009. Mengurai Bahasa, Menyibak Budaya. Malang: UIN Maliki Press.