MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

dokumen-dokumen yang mirip
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

II. TINJAUAN PUSTAKA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Habiburokhman, S.H.

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Bagian Kedua Penyidikan

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB 4 ANALISA KASUS. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 27 Mei 2008, No. 06/Pid/Prap/2008/PN Jkt-Sel

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 012/PUU-IV/2006

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

Transkripsi:

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting Menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Jogyakarta 12-13 Oktober 2006 1

I. Retroaktif Hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif). Nonretroaktif diartikan bahwa hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah terjadi sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa hukum pidana baru dapat diberlakukan terhadap perbuatanperbuatan yang terjadi setelah dirumuskannya perbuatan tersebut dalam suatu undang-undang. Dalam statuta Roma, asa legalitas masih tetap dipegang tegus, termasuk asas non-retroaktif. Pasal 22 Statuta Roma secara jelas menyatakan: (1) Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan statute ini kecuali jika tindakan tersebut pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana dalam yurisdiksi Mahkamah ini. Persoalan retroaktif (memberlakukan surut suatu produk hukum). Berawal dari isi Pasal 72 terkait dengan isi Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun isi dari Pasal 72 adalah sebagai berikut: Pasal 72 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya Undang-undang 30 tahun tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan tanggal 27 Desember 2002. Sesuai dengan Pasal 70 2

Pasal 70 Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undangundang ini diundangkan. Dari dua pasal tersebut dapat diketahui bahwa walaupun Undang-undang 30 tahun tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan tanggal 27 Desember 2002, namun KPK efektif bekerja menjalankan tugas dan wewenangnya mulai pada tanggal 27 Desember 2003. Bagaimana dengan aktivitas pelaksanaan penegakan hukumnya? Hal ini dapat diketahui dari isi Pasal 68 yang menyatakan Pasal 68 Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 68 tersebut berada pada Bab XI tentang Ketentuan Peralihan. Mengapa terdapat dan masuk di dalam ketentuan peralihan? Sebagaimana diketahui apabila persoalan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dibagi di dalam masa atau periode lembaga penegak hukumnya, maka secara garis besar terdapat 2 (dua) masa atau periode. Periode atau masa pertama adalah masa sebelum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebelum 27 Desember 2003. Sedangkan periode atau masa kedua adalah setelah adanya KPK atau setelah 27 Desember 2003. Mengapa 27 Desember 2003 sebagai patokannya. Karena walaupun pada 27 Desember 2002 3

diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK ada dan kemudian mempunyai dasar hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan mulai pada tanggal 27 Desember 2003. Periode sebelum 27 Desember 2003 kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi ada pada pihak Kepolisian juga penyidikan dan penuntutan ada pada pihak Kejaksaan. Namun setelah 27 Desember 2003 selain kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ada pada pihak Kepolisian, juga penyidikan dan penuntutan ada pada pihak Kejaksaan, kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan juga diberikan kepada KPK. Dengan kata lain kalau sebelum 27 Desember 2003 yang mempunyai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah 2 (dua) lembaga yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, maka setelah 27 Desember 2003 menjadi 3 (tiga) lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Selain perubahan dalam hal jumlah lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, juga terdapat peralihan mengenai kewenangan, yaitu dari bagian kalimat Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut pendapat saya ini adalah kewenangan peralihan yang tidak permanen atau hanya sementara sifatnya. Karena perkiraan saya, politik hukum pidana untuk masa yang akan datang mengarah pada KPKlah nantinya sebagai satu-satunya lembaga yang 4

mempunyai kewenangan untuk menyidik dan menuntut kasus tindak pidana korupsi. Masa peralihan ini dimaksudkan agar KPK diberikan kesempatan untuk tugas belajar melakukan penegakan hukum atas pelanggaran tindak pidana korupsi. Nanti tugas tersebut akan sepenuhnya berada pada pundak KPK. Walaupun masih dalam masa tugas belajar, KPK oleh undang-undang yang ada sudah diberikan kewenangan untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Ini merupakan hal yang tidak menutup kemungkinan mengundang decak kekaguman. Kalau KPK diibaratkan sebagai proses pertumbuhan manusia, ia masih balita, namun oleh rakyat melalui mandatnya yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, telah diberikan kepercayaan untuk mengambil alih pekerjaan saudaranya yang lebih tua yang lebih berpengalaman di negara ini. Namun karena masih dalam masa transisi dan masih bayi, maka kasus-kasus yang dapat diambil alih oleh KPK dibatasi, yaitu sebatas yang diatur di dalam Pasal 9. Pasal 9 Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; 5

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campurtangan dari pihak eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun apabila memperhatikan isi Pasal 9 dari huruf a sampai f, itulah memang penyakit yang paling berat dari persoalan penegakan hukum kasus korupsi. Dan itulah memang hambatan yang paling besar dalam persoalan penanganan tindak pidana. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah dari sisi hukum adalah salah apabila KPK diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut terhadap kasus korupsi yang ada sebelum KPK ada? sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apakah tidak melanggar prinsip hukum larangan berlaku surut retroaktif? Dalam kajian hukum pidana materiil dan khususnya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1ayat (1) KUHP, Pasal 1 (1). Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan Aturan inilah yang melandasi larangan berlaku surutnya suatu produk hukum pidana materiil. 6

Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana? Salah satu dasar untuk memberikan atas pertanyaan Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana? maka mari kita perhatikan isi dari Pasal 28i ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hasil amandemen ke dua Pasal 28i (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Bagian dari kalimat...hak untuk tidak dituntut... adalah berbicara hal yang berhubungan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil sekarang adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau hukum acara yang diatur di luar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana termasuk dalam hal ini adalah hukum acara yang ada di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002). Dituntut untuk persoalan apa? yang berhubungan dengan...atas dasar hukum yang berlaku surut... berarti adalah hukum pidana materiil. Maka makna dari...hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut... adalah pada diri seseorang tidak dapat dituntut di muka persidangan dengan hukum pidana materiil yang berlaku surut. Dengan kata lain yang tidak boleh berlaku surut adalah hukum pidana materiilnya, sedangkan hukum pidana 7

formilnya tidak terdapat larangan untuk tidak boleh berlaku surut. Tegasnya hukum pidana formilnya atau hukum acara pidananya dapat berlaku surut. Karena isi Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil), maka sifatnya dapat berlaku surut retroaktif. Sehingga menurut pendapat penulis suatu hal yang tidak salah apa yang telah diatur di dalam Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena nyata-nyata berhubungan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil) dan bukan hukum pidana materiil. Jadi suatu hal yang tidak salah kalau kemudian kasus korupsinya Abdullah Puteh atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T Walla diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK walaupun saat peristiwa hukumnya (tempus delictie) berada sebelum adanya KPK. Sekalilagi di sini berbicara pada persoalan hukum acara pidana. Dengan demikian kalau memang benar bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dengan judicial reviewnya menyatakan bahwa KPK tidak boleh menyelidiki, menyidik dan menuntut untuk peristiwa hukum korupsi sebelum tanggal 27 Desember 2002/3, menurut pendapat saya adalah suatu hal yang tidak tepat. Karena sekalilagi yang tidak boleh berlaku surut, adalah hukum pidana materiilnya, 8

sedang hukum pidana formil atau hukum acara pidana dapat berlaku surut. Dalam halaman 32 permohonan pemohon, menyebutkan kasus Bram HD Manoppo untuk uji materiil pesoalan yang sama (MK.069/PUU-II/2004), MK menyatakan: Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walapun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas Dengan berpedoman terhadap putusan MK.069/PUU-II/2004, menurut pendapat saya, yang seharusnya menjadi perhatian utama dari sisi kajian hukum pidana adalah apakah kasus Abdullah Puteh atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T Walla terkait dengan salah satu dari 6 (enam) yang disebutkan dalam Pasal 9 ataukah tidak? (lihat halaman 30 permohonan pemohon) kalau hasil analisis ditemukan jawaban ya, maka KPK mempunyai kewenangan itu. II. Lex specialis derogat legi generali Tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil, dikenal asas undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan 9

undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut (lihat Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1979. hal 16-17). Contoh pengakuan terhadap asas Lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat kita lihat di dalam isi Pasal 103 KUHP yang menyatakan: Pasal 103 Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undangundang itu ditentukan lain. Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 284 (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: I. mengadakan penghentian penyidikan. 10

Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: Pasal 109 (2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: Pasal 14 h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Pasal 140 (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak piada atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan. Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana 11

materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali). Sehingga apabila di dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa: Pasal 40 Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi Demikian juga dengan Pasal 12 ayat (1) Pasal 12 (1) a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Adalah suatu hal yang sah sebagai aplikasi dari asas Lex specialis derogat legi generali. 1. KPK dilarang melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan KPK dalam tindakan penyidikan tidak dapat melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan, hal tersebut membawa konsewensi yang besar terhadap KPK sendiri, yaitu KPK harus bekerja sebaik-baiknya karena sudah tidak dapat lagi menarik perkara (dihentikan penyidikan atau penuntutan) sekali melangkah pantang surut. Di dalam tahap penyelidikannyalah olah tuntas berkas kasus korupsi dilakukan. Karena di dalam tahap tersebut apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyelidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), dapat dihentikan ke dalam 12

tahap berikutnya. Dari hal ini didapatkan pelajaran yang berharga bekerja harus bertanggungjawab dan profisional. 2. KPK dengan kewenangan menyadap dan merekam Tindakan dalam upaya penegakan hukum oleh aparat penegakan hukum harus diberikan sarana untuk menegakkan hukum. Kalau tidak diberikan sarana tersebut maka dapat dipastikan aparat penegak hukum tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan tugas penegakan hukum. Dalam konteks hukum acara pidana dikenal dengan tindakan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penehanan dan pemeriksaan surat). Apabila memperhatikan esensi dari tindakannya jelas adalah melanggar HAM dan kalau dilihat dari sisi hukum pidana adalah tindak pidana. Mulai dari menangkap dan menahan adalah menghilangkan HAM terkait dengan kebebasan bergerak orang yang identik dengan tindak pidana penculikan atau penyekapan (Pasal 328 Pasal 333 KUHP), menggeledah lalu menyita identik dengan menghilangkan privasi orang terhadap barang dan merupakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP). Sebagai contoh aparat kepolisian melakukan perbuatan tindakan penangkapan, maka keseluruhan tatacara yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus dipenuhi atau dilaksanakan. Mulai dari hal tatacara penangkapan sampai dengan pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh orang yang ditangkap. Tatacara penangkapan diatur mulai dari Pasal 16 sampai dengan 19 UU Nomor 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana. Mulai dari: 1. penangkapan dilakukan hanya untuk kepentingan 13

penyelidikan dan penyidikan; 2. terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup;3. dilakukan dengan memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan (kecuali tertangkap tangan); 4. tembusan surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarganya;5 dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari;6. hanya untuk pelaku tindak pidana dengan jenis delik kejahatan bukan pelanggaran (kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah). Juga hak-hak yang dimiliki sebagai orang yang ditangkap untuk untuk diperiksa pada tahap penyidikan, yang tercantum dalam Pasal 50 hak segera mendapat pemeriksaan, Pasal 51 pemberitahuan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti mengenai apa yang disangkakan, Pasal 52 berhak memberikan keterangan secara bebas, Pasal 53 berhak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa, Pasal 54 mendapat bantuan hukum, Pasal 55 berhak memilih sendiri penasihat hukumnya, Pasal 56 aparat pemeriksa berkewajiban menyediakan penasihat hukum, Pasal 60 dan Pasal 61 berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan keluara atau lainnya, Pasal 62 berhak mengirim dan menerima surat, Pasal 63 berhak menghubungi dan menerima rohaniawan, Pasal 65 berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian, Pasal 66 tidak dibebani kewajiban pembuktian, Pasal 68 berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi selama dalam pemeriksaan tingkat penyidikan, juga harus dipenuhi oleh aparat penyidik. 14

Dengan kata lain, sebagai konsekwensi penyandang nama aparat penegak hukum, tidak hanya menegakan hukum atas hukum yang mengatur kewenangan aparat penegak hukum, korban akan tetapi juga hukumnya si tersangka pelaku tindak pidana. Inilah pelaksanaan yang kongkrit dari asas praduga tidak bersalah presumption of innotion. Sehingga suatu hal yang sah apabila KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dengan syarat dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu terhadap tindakan tersebut. III. Pengadilan TIPIKOR Dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, menyatakan bahwa: Pasal 54 (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum 15