BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA)

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA DI DALAM PESAWAT UDARA SELAMA PENERBANGAN 1 Oleh: Jessica A. Amin 2

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

Perkembangan Hukum Laut Internasional

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

Transkripsi:

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah teritorial darat dan lautan yang mengikuti batas-batas wilayah teritorial permukaan negara yang pada dasarnya telah ditetapkan secara mantap, baik dalam hukum nasional maupun internasional. Tidak demikian halnya dalam menentukan batas vertikal wilayah kedaulatan negara di udara. Hal ini bukan saja karena hukum nasional kita belum mempunyaikonsepsi tegas, namun hukum internasional pun belum menetapkan secara jelas dimana batas akhir ketinggian dari ruang udara atau wilayah udara (air space). Kedaulatan Wilayah Negara berbentuk tiga dimensi. Masing-masing terjabarkan dalam wilayah darat wilayah laut dan wilayah udara. Terdapat dua rujukan yang dapat dilihat untuk mengetahui dalam batas mana dan dimana Indonesia memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif terhadap ruang udaranya, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Maknanya bahwa sebagai Negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 22

23 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Ketentuan dalam Pasal tersebut hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab Negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilyah Indonesia. Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Ketentuan wilayah di atas dapat disimpulkan meliputi daratan berupa rangkaian pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil Indonesia; serta perairan Indonesia yang berarti menurut rezim hukum kepulauan (archipelagic state) adalah seluruh perairan pedalaman dan laut territorial Indonesia. Tidak berlaku Hak Lintas Damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing (sipil maupun militer) dalam hal kedaulatan wilayah udara yang utuh. Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dengan ekslusif diwilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan UU RI No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United National Convention on the Law of the Sea. Sebenarnya ketentua Pasal 6 UU RI tahun 2009 hanya menegaskan kembali kewenangan dan tanggungjawab Negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, sedangkan kedaulatan Republik Indonesia secara menyuluruh tetap berlaku. Ketentuan perundang-undangan dibidang pertahanan Negara.

24 E. Batas Kedaulatan Negara di Wilayah Udara Kedaulatan suatu negara di ruang udara diatas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum Internasional yang mengatur ruang udara. Sifat kedaulatan yang penuh dari negara di ruang udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut wilayahnya. karena sifatnya yang demikian, maka diruang udara nasional tidak dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat dilaut terotorial suatu Negara. 19 Negara berdaulat adalah, negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, pelaut maupun udara. 20 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tengtang penerbangan yang disahkan pada tanggal 17 desember 2008 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009, sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan pengangkutan udara di indonesia karena Undang-Undang tersebut secara kompherensif berlaku secara extra teritorial, mengatur kedaulatan atas wilayah udara indonesia, pelangaran wilayah 19 May Rudi, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 32 20 Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional Dan Internasional Publik (public international and national air law, PT. Rajawali Prrees, Jakarta, 2012, hal. 233

25 kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebansaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoprasian pesawat udara, dan sebagainya. 21 F. Pengaturan Hukum terhadap Kedaulatan Negara berdasarkan di Ruang Udara Konvensi 1. Konvensi Paris Konvensi Paris 13 Oktober 1919 merupakan konvensi internasional yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang diikuti oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara sekutu, dan Amerika Latin. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 dan merupakan konvensi pertama mengenai pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Konvensi Paris ini dijalankan hanya dengan negara-negara yang menang Perang Dunia I dan negara yang merupakan bekas musuh hanya dapat menjadi negara pihak, itupun setelah terdaftar menjadi keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau atas keputusan 3 atau 4 negara anggota pada konvensi. 22 Konvensi Paris 1919 juga membentuk Komisi Internasional yaitu suatu organisasi untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi. 23 Banyak terjadi perubahan terhadap konvensi ini, dimulai dengan Protokol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, 48 21 Satu Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 22 Boer Mauna. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Edisi Kedua. Bandung, Alumni. 2005. hal 381 23 JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I,Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 1999. hal 382

26 dan berakhir dengan Protokol 15 Juni 1929. Selain itu, Jerman juga mengajukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang elah ada yang dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di Paris tanggal 10-15 Juni 1929. 24 2. Konvensi Chicago 1944 Konvensi Chicago merupakan konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional. Konvensi ini merupakan revisi dari konvensi Paris 1919, karena disebutkan kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konsensi internasional yang diberikan kepada negara-negara penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago ini diadakan di Chicago atas undangan Amerika Serikat dan dihadiri oleh 53 negara (tanpa Uni Soviet) pada tanggal 1 November sampai 7 Desember 1944. Konvensi ini mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Pada Pasal 9 konvensi Chicago 1944 mengatur tentang area terlarang, yang merupakan modifikasi dari Konvensi Paris. Yang termasuk dalam area terlarang ini yaitu tidak ada lagi perbedaan pesawat yang diperbolehkan memasuki zona larangan terbang dan negara yang memiliki kedaulatan lah yang memerintahkan pesawat yang melanggar zona untuk mendarat dan di periksa. Hal ini sangat berbeda dengan konvensi Paris yang menyebutkan bahwa pesawat yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona 24 Ibid., hal 383

27 Ketentuan dan operasional yang tercantum dalam konvensi Chicago 1944. Hal ini penting karena setiap perjanjian angkutan udara bilateral selalu mengacu kepada ketentuan-ketentuan konvensi Internasional Air Services Agreement Signed at Chicago on 7 Desember 1944. Persetujuaan penerbangan lintas internasional atau internatinoal air services transit agreement (IASTA) of 1944 merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral yang mempertukarkan hak-hak penerbangan (five freedom of the air) yang sering dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional. Hak-hak kebebasan udara tersebut merupakan kebebasan udara ke-1 (1 st freedom of the air), yaitu hak untuk terbang melintasi (overfly) negara lain tanpa melakukan pendaratan dan hak kebebasan udara ke-2 ( 2nd freedom of the air) adalah hak untuk melakukan pendaratan dinegara lain untuk keperluan oprasional (techical landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan / atau menurunkan penumpang dan / atau cargo secara komersial. 25 International Air Transport Agreement Signed at Chicago on Desember 1944. Persetujuan Tranportasi Udara Internasional atau International Air Transport Agreement (IATA) of 1944 juga merupakan perjanjian internasional secara multilateral yang mempertukarkan hak-hak kebebasan udara (five freedom of the air) masing masing kebebasan udara ke-1,2,3,4 dan ke-5. Kebebasan udara ke-3 (3 rd freedom of the air) adalah hak untuk mengangkut penumpang, barang, dan pos secara komersial dari negara yang berjanji lainnya. 26 25 K Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional bagian Pertama, PT.RajaGrafindo Persada, jakarta,2007,hal 12 26 Ibid

28 3. Konvensi Tokyo 196 Untuk dapat dikatakan tindak pidana dalam Pasal 1 Konvensi Tokyo 1963, harus memenuhi 4 unsur berikut:27 a. Dilakukan di dalam pesawat udara. b. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta konvensi. c. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas/bebas. d. Pesawat udara sedang berada di atas daerah lain di luar wilayah dari suatu negara. Konvensi Tokyo 1963 tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1976 dan ditindaklanjuti dengan UU No. 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Sehubungan dengan hal tersebut Pasal 3 KUHP mengalami perubahan sehingga berbunyi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Mengenai negara mana yang berhak melaksanakan yurisdiksi terhadap tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Tokyo 1963 ditetapkan pada negara di tempat pesawat udara tersebut didaftarkan. 27 http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-udara-dan-angkasa-kejahatan.html diakses 14 Februari 2016

29 4. Konvensi Montreal 1971 Konvensi Montreal 1971, Convention for the Suppresion of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, yaitu konvensi yang mengatur pemberantasan tindakan melawan hukum yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Pada pokoknya Konvensi Montreal 1971 ini mengatur tentang ruang lingkup tindak pidana, yurisdiksi, dan wewenang kapten pilot. Pasal 1 ayat (1) Konvensi Montreal 1971 mengatur tindak pidana sebagai berikut: a. Setiap orang melakukan kejahatan jika ia melawan hukum dan dengan sengaja: 1) Sebuah. melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas pesawat dalam penerbangan jika tindakan yang mungkin membahayakan keselamatan pesawat yang ; ata 2) Menghancurkan sebuah pesawat dalam layanan atau menyebabkan kerusakan pesawat tersebut yang membuat ia mampu terbang atau yang kemungkinan akan membahayakan keselamatan dalam penerbangan ; atau 3) Tempat atau menyebabkan untuk ditempatkan di pesawat terbang dalam pelayanan, dengan cara apapun, perangkat atau zat yang kemungkinan akan menghancurkan pesawat itu, atau untuk menyebabkan kerusakan itu yang membuat ia tidak mampu penerbangan, atau untuk menyebabkan kerusakan itu yang cenderung membahayakan keselamatan dalam penerbangan ; atau

30 4) Menghancurkan atau merusak fasilitas navigasi udara atau mengganggu operasi mereka, jika ada tindakan tersebut mungkin membahayakan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan ; atau 5) mengkomunikasikan informasi yang dia tahu palsu, sehingga membahayakan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. b. Setiap orang juga melakukan kejahatan jika dia : 1) Sebuah. mencoba melakukan tindak pidana yang disebutkan dalam ayat (1) Pasal ini ; atau 2) Kaki tangan dari orang yang melakukan atau mencoba untuk melakukan pelanggaran tersebut Dengan demikian ruang lingkup tindak pidana atau kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 1, meliputi: a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukm merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatan dalam penerbangannya. c. Menempatkan atau memungkinkan ditempatkannya suatu bahan peledak, suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas dengan cara bagaimanpun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan dalam penerbangan.

31 d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya sehingga membahayakan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. f. Wewenang dan kewajiban negara peserta di dalam Konvensi Montreal 1971 dapat dikatakan sama dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi The Hague 1970. Adapun Pasal-Pasal yang mengaturnya adalah Pasal 11,12, dan 13. 5. Konvensi The Hague 1970 Konvensi The Hague 1970, Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, yaitu konvensi yang mengatur pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Pada pokoknya konvensi ini mengatur tentang ruang lingkup tindak pidana dan yurisdiksi. Pasal 1, memberikan batasan mengenai kapan seseorang dianggap telah melakukan perampasan pengendalian pesawat udara secara melawan hukum, yaitu apabila seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana di dalam pesawat udara dalam penerbangan sebagai berikut: a. Tindakan secara melawan hukum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau setiap bentuk ancaman lain dengan tujuan untuk menguasai pesawat udara atau menguasai pengendalian pesawat udara. b. Termasuk pula setiap orang yang membantu atau mencoba melakukan tindakan tersebut. Dalam Pasal 2, Konvensi The Hague 1970 diatur mengenai

32 ketentuan bahwa negara peserta konvensi diwajibkan untuk memasukkan tindak pidana dalam konvensi dengan mengancamkan hukuman (ke dalam hukum pidana nasionalnya). Selanjutnya pada Pasal 6 ayat (3) menetapkan bahwa setiap negara peserta di dalam wilayah mana tersangka berada, apabila terdapat cukup petunjuk wajib menahan tersangka atau mengambil tindakan lannya itu jangan sampai tersangka melarikan diri. Penahanan dan tindakan itu dilakukan sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan dengan ketentuan hanya boleh dilanjutkan sampai pada waktu yang diperlukan untuk memungkinkan proses penuntutan atau ekstradisi. Selanjutnya dalam Pasal 11 menetapkan bahwa setiap negara peserta sesuai dengan undang-undang nasionalnya secepat mungkin melaporkan kepada Perwakilan (Council) dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Avation Organization), setiap keterangan yang dimilikinya yang bersangkutan dengan kejahatan atau tindak pidana, tindakan yang telah diambil terhadap penumpang dan pesawat udara yang menjadi sasaran kejahatan pembajakan, tindakan yang telah diambil terhadap tersangka dan proses-proses hukum yang telah dilakukan.