RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL 2008 s.d. 2027

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEM KELISTRIKAN LUAR JAMALI TAHUN 2003 S.D. TAHUN 2020

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGALISTRIKAN

2015, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Harga Pembelian Listrik Skala Kecil. Menengah..

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

POKOK-POKOK PENGATURAN PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DAN PEMBELIAN KELEBIHAN TENAGA LISTRIK (Permen ESDM No.

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

2012, No.28 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan te

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan,

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS GAMBARAN KELISTRIKAN JAWA DAN LUAR JAWA TAHUN 2003

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

2 Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 T

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

ISSN : NO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor :

添付資料 -13 国家電力総合計画 (RUKN )

BAB I PENDAHULUAN. Energi adalah bagian yang sangat penting pada aspek sosial dan perkembangan ekonomi pada setiap

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Pelimpahan Kewenangan. Dekonsentrasi.

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

Oleh: Maritje Hutapea Direktur Bioenergi. Disampaikan pada : Dialog Kebijakan Mengungkapkan Fakta Kemiskinan Energi di Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMUTUSKAN: BAB I KETENTUAN UMUM

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2010 TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF TERTENTU DI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya energi adalah kekayaan alam yang bernilai strategis dan

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

POKOK-POKOK UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Gas Bumi. Pipa. Transmisi. Badan Usaha. Wilayah Jaringan. Kegiatan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI & SUMBER DAYA MINERAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

REPUBLIK INDONESIA SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN SEKTOR KETENAGALISTRIKAN INDONESIA. Lia Putriyana dan Arfie Ikhsan Firmansyah

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi gangguan di salah satu subsistem, maka daya bisa dipasok dari

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN SUBSIDI LISTRIK TEPAT SASARAN RUMAH TANGGA DAYA 900 VA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

Materi Paparan Menteri ESDM

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

2 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara R

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

LAMPIRAN L-3 PAGU AUDITABLE UNIT

KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI LISTRIK DI BALI

MANFAAT DEMAND SIDE MANAGEMENT DI SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA, 25 April 2005 www.djlpe.go.id

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL NOMOR: 1213 K/31/MEM/2005 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALlSTRIKAN NASIONAL MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyediaan tenaga listrik yang cukup, merata, andal, dan berkesinambungan bagi seluruh masyarakat perlu adanya perencanaan umum ketenagalistrikan nasional yang terpadu dengan memperhatikan berbagai pemikiran dan pandangan yang hidup dalam masyarakat serta aspirasi daerah dalam sektor ketenagalistrikan; b. bahwa Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0954 K/30/MEM/2004 tanggal 15 April 2004, tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dan sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, perlu menyempurnakan dan menetapkan kembali Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dalam suatu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3317); 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3394), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4469);

- 2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3952); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004; 6. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 150 Tahun 2001 tanggal 2 Maret 2001 jo. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1915 Tahun 2001 tanggal 23 Juni 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; MEMUTUSKAN : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALlSTRIKAN NASIONAL. Menetapkan : KESATU KEDUA KETIGA KEKEMPAT KELIMA : Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, selanjutnya disebut RUKN adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. : RUKN sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha dalam membuat kebijakan, melaksanakan pengembangan dan pembangunan ketenagalistrikan. : RUKN sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu dapat ditinjau kembali setiap tahun sesuai dengan perkembangan keadaan. : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0954 K/30/MEM/2004 tanggal 15 April 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 April 2005 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Tembusan : 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionallKepala Bappenas 3. Sekretaris Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 4. lnspektur Jenderal Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 5. Para Direktur Jenderal di lingkungan Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Para Kepala Badan di lingkungan Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral 7. Para Gubernur di seluruh Indonesia 8. Para BupatilWalikota di seluruh Indonesia 9. Direktur Utama PT PLN (Persero)

SAMBUTAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Sesuai amanat pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan pemerintah wajib menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan T enaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005, RUKN tersebut ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. RUKN ini berisikan tentang perkiraan kebutuhan tenaga listrik untuk kurun waktu sepuluh tahun ke depan, potensi sumber energi primer di berbagai daerah atau yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik, sasaran dan rencana penyediaan tenaga listrik serta kebutuhan investasi. RUKN ini dapat memberikan informasi secara luas tentang kebijakan Pemerintah dalam perencanaan ketenagalistrikan, dan wajib menjadi acuan bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (PIUKU) untuk menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik di dalam wilayah usahanya masingmasing. RUPTL tersebut agar disampaikan sebulan setelah RUKN ini ditetapkan. Sesuai dengan perkembangan penyediaan tenaga listrik, RUKN ini akan dimutakhirkan secara berkala setiap tahun sehingga masukan seluruh stakeholder sektor ketenagalistrikan sang at diperlukan untuk penyusunan RUKN 2006-2016. Jakarta,25 April 2005 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL i

DAFTAR ISI Sambutan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Lampiran i ii v vi BAB I. PENDAHULUAN 1 1. Latar Belakang 1 2. Visi dan Misi Sektor Ketenagalistrikan 1 3. Tujuan Penyusunan RUKN 2 4. Landasan Hukum RUKN 2 BAB II. KEBIJAKAN SEKTOR TENAGA LISTRIK 3 1. Perkembangan Kebijakan Sektor Tenaga Listrik 3 2. Kebijakan Penyediaan Sektor Tenaga Listrik 4 3. Tarif 4 4. Kebijakan Pemanfaatan Energi Baru untuk Pembangkitan Tenaga Listrik 5 5. Penanganan Listrik Desa dan Misi Sosial 5 6. Kebijakan Lindungan Lingkungan 6 7. Standarisasi, Keamanan dan Keselamatan serta Pengawasan 6 8. Manajemen Permintaan dan Penyediaan Tenaga Listrik 7 BAB III. KONDISI KELISTRIKAN 8 1. Pulau Sumatera Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 8 Provinsi Sumatera Utara 8 Provinsi Sumatera Barat 9 Provinsi Riau 9 Provinsi Jambi 9 Provinsi Sumatera Selatan 9 Provinsi Bengkulu 10 Provinsi Lampung 10 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 10 Batam 10 2. Pulau Jawa dan Bali Provinsi Bali 11 Provinsi Jawa Timur 11 Provinsi Jawa Tengah dan DIY 11 Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten 12 Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Tangerang 12 3. Pulau kalimantan Provinsi Kalimantan Timur 12 Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan 12 Provinsi Kalimantan Barat 13 ii

4. Pulau Sulawesi Provinsi Sulawesi Utara 13 Provinsi Sulawesi Tengah 13 Provinsi Gorontalo 14 Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara 14 5. Kepulauan Nusa Tenggara Provinsi Nusa Tenggara Barat 14 Provinsi Nusa Tenggara Timur 15 6. Pulau Maluku Provinsi Maluku dan Maluku Utara 15 7. Papua 15 8. Kondisi Sistem Penyaluran Tenaga Listrik 15 BAB IV. RENCANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK 17 1. Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik 17 2. Sarana Penyediaan Tenaga Listrik 18 Pembangkit 18 Pengembangan Penyaluran 19 Pengembangan Distribusi 20 3. Produksi dan Kebutuhan Energi Primer untuk Pembangkit 20 4. Prakiraan Kebutuhan Dan Penyediaan Tenaga Listrik Secara Regional 21 A. Jawa-Bali 21 Jawa Madura - Bali 21 Sistem Jawa Madura - Bali 21 B. Sumatera 22 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 22 Provinsi Sumatera Utara 22 Provinsi Sumatera Barat 22 Provinsi Riau 23 Kelistrikan S2JB 23 Provinsi Lampung 23 Neraca Daya Sistem Sumatera 23 Kelistrikan Bangka Belitung 24 Batam 24 C. Kalimantan 25 Provinsi Kalimantan Barat 25 Provinsi Kalimantan Timur 25 Kelistrikan Kalimantan Selatan dan Tengah 26 D. Sulawesi 26 Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara 26 Sistem Sulutenggo 26 E. Nusa Tenggara 27 Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 27 Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 27 F. Maluku 28 Kelistrikan Maluku dan Maluku Utara 28 iii

G. Papua 28 5. Kebutuhan Tenaga Listrik Nasional 28 6. Program Elektrifikasi Desa 28 BAB V. POTENSI SUMBER DAYA ENERGI 30 1. Pemanfaatan Sumber Energi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik 30 Batubara 30 Gas Alam 30 Minyak Bumi 30 Tenaga Air 30 Panas bumi 31 2. Potensi Sumber Energi Di Provinsi/Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 31 Sumatera Utara 31 Sumatera Barat 31 Riau 32 Jambi 32 Bengkulu 32 Sumatera Selatan 32 Lampung 32 Bangka Belitung 33 Kalimantan Timur 33 Kalimantan Tengah 33 Kalimantan Selatan 33 Kalimantan Barat 33 Nusa Tenggara Barat 33 Nusa Tenggara Timur 34 Sulawesi Selatan 34 Sulawesi Utara 34 Sulawesi Tengah 34 Sulawesi Tenggara 35 Gorontalo 35 Maluku dan Maluku Utara 35 Papua 35 Bali 35 Jawa Timur 35 Jawa Tengah 36 Jawa Barat 36 Banten 36 BAB VI. KEBUTUHAN DANA INVESTASI 38 iv

DAFTAR TABEL Tabel 1. Rasio Elektrifikasi 17 Tabel 2. Sasaran Penjualan Listrik PLN 18 Tabel 3. Komposisi Energi Primer Untuk Pembangkit 20 Tabel 4. Data Potensi Sumber Energi 37 Tabel 5. Kebutuhan Dana Investasi Sarana Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2005 s/d 2015 39 v

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN I. JARINGAN TRANSMISI A. Jaringan Transmisi JAWA BALI 40 B. Jaringan Transmisi JAWA BARAT 41 C. Jaringan Transmisi JAWA TENGAH dan D.I.Y 42 D. Jaringan Transmisi JAWA TIMUR dan BALI 43 E. Jaringan Transmisi SUMATERA 44 F. Jaringan Transmisi KALIMANTAN 45 G. Jaringan Transmisi SULAWESI 46 LAMPIRAN II. NERACA DAYA DAN PRAKIRAAN KEBUTUHAN A. Neraca Daya Sistem Jawa Madura Bali 47 B. Neraca Daya Sistem Kelistrikan Sumatera 49 C. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah BABEL 51 D. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Batam 53 E. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kalbar 55 F. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kaltim 57 G. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Kaltengsel 59 H. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Sulut Sulteng & Gorontalo 61 I. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Sulsel & Tenggara 63 J. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah NTB 65 K. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah NTT 67 L. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Maluku dan Maluku Utara 69 M. Prakiraan Kebutuhan Beban Daerah Papua 71 N. Rincian Pengembangan Pembangkit Wilayah Jamali 73 O. Rincian Pengembangan Pembangkit Wilayah Luar Jamali 75 P. Prakiraan Kebutuhan Beban Indonesia 77 LAMPIRAN III. RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM TRANSMISI, GARDU INDUK DAN DISTRIBUSI A. Rencana Pengembangan Sistem Transmisi dan Gardu Induk 79 B. Rencana Pengembangan Sistem Distribusi 80 LAMPIRAN IV. RENCANA KEBUTUHAN PEMAKAIAN BAHAN BAKAR A. Produksi Menurut Jenis Bahan Bakar 81 B. Rencana Kebutuhan Pemakaian Bahan Bakar 83 LAMPIRAN V. POTENSI SUMBER DAYA ENERGI A. Cadangan Batubara Indonesia 85 B. Cadangan Gas Bumi Indonesia 86 C. Cadangan Minyak Bumi Indonesia 87 D. Distribusi Lokasi Panas Bumi 88 vi

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah suatu rencana pembangunan sektor ketenagalistrikan terpadu yang mencakup kebijakan sektor ketenagalistrikan, rencana penyediaan tenaga listrik, sarana penyediaan tenaga listrik pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit dan kebutuhan dana untuk pembangkit tenaga listrik. RUKN ditetapkan sebagai acuan dalam pembangunan dan pengembangan sektor ketenagalistrikan di masa yang akan datang bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum (PIUKU). Peranan RUKN akan semakin penting dengan adanya perubahan lingkungan strategis baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional. Disamping itu partisipasi swasta pada sektor tenaga listrik diharapkan semakin meningkat sehingga RUKN ini dapat memperjelas dan membakukan penentuan proyek yang dilaksanakan baik oleh PKUK maupun yang akan dikerjasamakan dengan pihak lain. Adanya dinamika masyarakat terutama peningkatan ekonomi akan mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik semakin meningkat, sehingga diperlukan suatu perencanaan ketenagalistrikan yang lebih pasti secara kuantitatif. Untuk membuat perencanaan ketenagalistrikan yang lebih pasti, maka RUKN dibuat dengan rentang waktu perencanaan selama 20 (dua puluh) tahun. Untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan tenaga listrik maka RUKN ditinjau ulang setiap tahun. Sesuai dengan Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1985, maka seluruh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha wajib membuat Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di wilayah usahanya masing-masing dengan mengacu kepada RUKN ini. 2. VISI DAN MISI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN Visi Sektor Ketenagalistrikan Visi sektor ketenagalistrikan adalah dapat melistriki seluruh rumah tangga, desa serta memenuhi kebutuhan industri yang berkembang cepat dalam jumlah yang cukup, transparan, efisien, andal, aman dan akrab lingkungan untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 1

Misi Sektor Ketenagalistrikan Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sesuai visi tersebut, maka Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. membangkitkan tenaga listrik dalam skala besar untuk masyarakat perkotaan, daerah yang tingkat kepadatannya tinggi atau sistim kelistrikan yang besar; b. untuk kelistrikan desa dan daerah terpencil yang memerlukan tenaga listrik dalam skala kecil diprioritaskan membangkitkan tenaga listrik dari energi terbarukan; c. menjaga keselamatan ketenagalistrikan dan kelestarian fungsi lingkungan; dan d. memanfaatkan sebesar-besarnya tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri. 3. TUJUAN PENYUSUNAN RUKN Pada prinsipnya tujuan penyusunan RUKN ini adalah memberikan pedoman serta acuan bagi PKUK dan PIUKU dalam memenuhi kebutuhan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah usahanya masing-masing. Diharapkan bahwa RUKN ini dapat memberikan arahan dan informasi yang diperlukan bagi berbagai pihak yang turut berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. RUKN ini mempunyai cakrawala waktu sampai 20 tahun kedepan dalam bentuk kuantitatif. Seperti lazimnya dalam perencanaan, semakin jauh jangkauannya semakin kualitatif proyeksinya karena kuantifikasi yang jauh ke depan kemungkinan penyimpangannya akan lebih besar. 4. LANDASAN HUKUM RUKN Penyusunan RUKN ini didasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa Menteri menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional secara menyeluruh dan terpadu. 2

BAB II KEBIJAKAN SEKTOR KETENAGALISTRIKAN NASIONAL 1. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN SEKTOR TENAGA LISTRIK Selama tiga dasawarsa terakhir, penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Permintaan listrik yang tinggi dalam kurun waktu tersebut tidak mampu dipenuhi, sehingga partisipasi dari pelaku-pelaku lain seperti koperasi, swasta dan industri sangat diperlukan untuk membangkitkan tenaga listrik baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan umum. Dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta membuka jalan bagi usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum skala besar, baik bagi proyek yang direncanakan oleh Pemerintah maupun melalui partisipasi swasta. Akibat krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, maka proyekproyek yang telah direncanakan oleh Pemerintah maupun proyek yang diusulkan oleh swasta ditangguhkan atau dikaji kembali. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, maka proyek 26 IPP yang ditunda telah selesai dinegosiasi ulang. Melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur, pelaksanaan pembangunan infrastruktur diatur melalui tender, termasuk untuk pengadaan sektor ketenagalistrikan. Pada tahun 2002 telah diundangkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan menurut fungsi usaha. Penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara efisien melalui kompetisi dan transparansi dalam iklim usaha yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberi manfaat yang adil dan merata kepada semua konsumen. Namun sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Desember 2004 Undangundang tersebut dibatalkan dan demi kekosongan hukum Undang-Undang No 15 Tahun1985 tentang Ketenagalistrikan diberlakukan kembali. Dengan demikian maka usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PKUK dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan. Untuk kelengkapan peraturan sektor tenaga listrik Pemerintah pada tanggal 16 Januari 2005 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Khusus untuk sektor tenaga listrik, pengaturan tentang kerjasama atau pembelian tenaga listrik, pengelolaan, pelaksanaan pembangunan serta pengadaan usaha penyediaan tenaga listrik tunduk kepada Peraturan Pemerintah 3

Nomor 3 Tahun 2005 ini yang dulunya diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun1998. 2. KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Tenaga listrik sebagai salah satu infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak maka penyediaan tenaga listrik harus dapat menjamin tersedianya dalam jumlah yang cukup, harga yang wajar dan mutu yang baik. Dalam rangka terciptanya industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien, dan mandiri serta mewujudkan tujuan pembangunan ketenagalistrikan, maka usaha penyediaan tenaga listrik berazaskan pada peningkatan efisiensi dan transparansi. Penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh BUMN yang ditugasi untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Agar tenaga listrik tersedia dalam jumlah yang cukup dan merata dan untuk meningkatkan kemampuan negara sepanjang tidak merugikan kepentingan negara maka dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lainnya berdasarkan izin usaha penyediaan tenaga listrik. Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 usaha penyediaan tenaga listrik dapat meliputi usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik dan menurut geografis. Pemerintah mempunyai keterbatasan finansial untuk pendanaan sektor tenaga listrik sehingga peran swasta sangat diharapkan dan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 dimungkinkan adanya izin bagi swasta selain dimungkinkan pembelian tenaga listrik bagi PKUK dan PIUKU. 3. TARIF Kebijakan Pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan signal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Penetapan kebijakan tarif dilakukan sesuai nilai keekonomian. Namun, khusus untuk pelanggan kurang mampu juga mempertimbangkan kemampuan bayar pelanggan. Kebijakan subsidi untuk tarif listrik masih diberlakukan, namun mengingat kemampuan Pemerintah yang terbatas, maka subsidi akan lebih diarahkan langsung kepada kelompok pelanggan kurang mampu dan atau untuk pembangunan daerah perdesaan dan pembangunan daerah-daerah terpencil dengan mempertimbangkan atau memprioritaskan perdesaan/daerah dan masyarakat yang sudah layak untuk mendapatkan listrik dalam rangka menggerakkan ekonomi masyarakat. Kebijakan tarif listrik yang tidak seragam (non-uniform tariff) dimungkinkan untuk diberlakukan di masa mendatang, hal ini berkaitan dengan perbedaan perkembangan pembangunan ketenagalistrikan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. 4

4. KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PRIMER UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK Kebijakan pemanfaatan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik ditujukan agar pasokan energi primer tersebut dapat terjamin. Untuk menjaga keamanan pasokan tersebut, maka diberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), pemanfaatan sumber energi primer setempat, dan pemanfaatan energi baru terbarukan. Kebijakan pengamanan pasokan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik dilakukan melalui dua sisi yaitu pada sisi pelaku usaha penyedia energi primer dan pada sisi pelaku usaha pembangkitan tenaga listrik. Kebijakan di sisi pelaku usaha penyedia energi primer antara lain: pelaku usaha di bidang energi primer khususnya batubara, dan gas diberikan kesempatan yang seluasluasnya untuk memasok kebutuhan energi primer bagi pembangkit tenaga listrik sesuai harga dengan nilai keekonomiannya. Kebijakan lainnya seperti pemberian insentif dapat pula diimplementasikan. Kebijakan pemanfaatan energi primer setempat untuk pembangkit tenaga listrik dapat terdiri dari fosil (batubara lignit, gas marginal) maupun non-fosil (air, panas bumi, biomasasa, dan lain-lain). Pemanfaatan energi primer setempat tersebut memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan tetap memperhatikan aspek teknis, ekonomi, dan keselamatan lingkungan. Sedangkan kebijakan di sisi pelaku usaha pembangkitan tenaga listrik antara lain: kebijakan diversifikasi energi untuk tidak bergantung pada satu sumber energi khususnya energi fosil dan konservasi energi. Untuk menjamin terselenggaranya operasi pembangkitan maka pelaku usaha di pembangkitan perlu membuat stockfilling untuk cadangan selama waktu yang disesuaikan dengan kendala keterlambatan pasokan yang mungkin terjadi. Sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) bahwa penggunaan energi terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik perlu ditingkatkan pemanfaatannya sehingga target pada tahun 2020 sekurang-kurangnya 5% dari penggunaan energi berasal dari energi terbarukan antara lain; panas bumi, biomassa, tenaga air dan energi terbarukan lainnya dapat tercapai. Bila masyarakat menginginkan, energi nuklir sebagai energi alternatif terakhir dapat dimungkinkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik untuk program jangka panjang. Pemanfaatan energi ini dapat dipertimbangkan bila aspek teknis dan ekonomis memungkinkan disamping mengurangi efek rumah kaca dan dalam rangka meningkatkan jaminan keamanan pasokan tenaga listrik sehingga pemanfaatan energi fossil yang ada dapat diperpanjang penggunaannya. 5. PENANGANAN LISTRIK DESA DAN MISI SOSIAL Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, dan melistriki seluruh wilayah Indonesia yang meliputi daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan pembangunan listrik perdesaan. Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan bantuan bagi masyarakat 5

tidak mampu, menjaga kelangsungan upaya perluasan akses pelayanan listrik pada wilayah yang belum terjangkau listrik, mendorong pembangunan/pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penanganan misi sosial yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan secara operasional melalui PKUK. Agar efisiensi dan transparansi tercapai, maka usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan dengan pemisahan fungsi sosial dan komersial melalui pembukuan yang terpisah. 6. KEBIJAKAN LINDUNGAN LINGKUNGAN Pembangunan di bidang ketenagalistrikan dilaksanakan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Untuk itu kerusakan dan degradasi ekosistem dalam pembangunan energi harus dikurangi dengan membatasi dampak negatif lokal, regional maupun global yang berkaitan dengan produksi tenaga listrik. Sejalan dengan kebijakan di atas, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta produk hukum lainnya, mengharuskan pemrakarsa memperhatikan norma dasar yang baku tentang bagaimana menyerasikan kegiatan pembangunan dengan memperhatikan lingkungan serta harus memenuhi baku mutu yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Untuk itu semua kegiatan ketenagalistrikan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting wajib melakukan AMDAL (ANDAL, RKL dan RPL) sedangkan yang tidak mempunyai dampak penting diwajibkan membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan. 7. STANDARDISASI, KEAMANAN DAN KESELAMATAN, SERTA PENGAWASAN Listrik selain bermanfaat bagi kehidupan masyarakat juga dapat mengakibatkan bahaya bagi manusia apabila tidak dikelola dengan baik. Pemerintah dalam rangka keselamatan ketenagalistrikan menetapkan standardisasi, pengamanan instalasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik. Tujuan keselamatan ketenagalistrikan antara lain melindungi masyarakat dari bahaya yang diakibatkan oleh tenaga listrik, meningkatkan keandalan sistem ketenagalistrikan, meningkatkan efisiensi dalam pengoperasian dan pemanfaatan tenaga listrik. Kebijakan dalam standardisasi meliputi: 1. Standar Peralatan Tenaga Listrik, yaitu alat atau sarana pada instalasi pembangkitan, penyaluran, dan pemanfaatan tenaga listrik. 2. Standar Pemanfaat Tenaga Listrik, yaitu semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut, antara lain: alat rumah tangga (household appliances) dan komersial / industri 6

alat kerja (handheld tools) perlengkapan pencahayaan perlengkapan elektromedik listrik. Atas pertimbangan keselamatan, keamanan, kesehatan dan aspek lingkungan maka SNI terbagi dalam standar sukarela dan peralatan dan pemanfaatan harus memenuhi standar wajib. Kebijakan keamanan instalasi meliputi: kelaikan operasi instalasi tenaga listrik, keselamatan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, dan kompetensi tenaga teknik. Instalasi tenaga listrik yang laik operasi dinyatakan dengan Sertifikat Laik Operasi. Untuk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang memenuhi Standar Nasional Indonesia dinyatakan dengan Sertifikat Produk untuk dapat membubuhi Tanda SNI (SNI) pada peralatan tenaga listrik dan penerbitan Sertifikat Tanda Keselamatan ( S ) pada pemanfaat tenaga listrik dan tenaga teknik yang kompeten dinyatakan dengan Sertifikat Kompetensi. 8. MANAJEMEN PERMINTAAN DAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Pemenuhan kebutuhan tenaga listrik di berbagai wilayah/daerah belum terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai yang dibutuhkan konsumen. Hal ini disebabkan permintaan listrik yang tinggi tetapi tidak dapat diimbangi dengan penyediaan tenaga listrik. Program-program yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik baik secara kualitas maupun kuantitas yaitu dengan melaksanakan program di sisi permintaan (Demand Side Management) dan di sisi penyediaan (Supply Side Management). Program Demand Side Management dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan permintaan tenaga listrik, dengan cara mengendalikan beban puncak, pembatasan sementara sambungan baru terutama di daerah kritis, dan melakukan langkah-langkah efisiensi lainnya di sisi konsumen. Program Supply Side Management dilakukan melalui optimasi penggunaan pembangkit tenaga listrik yang ada dan pemanfaatan captive power. 7

BAB III KONDISI KELISTRIKAN Dalam perkembangannya Sistem Kelistrikan Nasional dapat dibedakan dalam 2 (dua) sistem yaitu sistem kelistrikan terinterkoneksi dan sistem kelistrikan terisolasi. Sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dan Sumatera merupakan sistem yang telah berkembang dan merupakan sistem kelistrikan yang terinterkoneksi melalui jaringan transmisi tegangan tinggi dan jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi. Sistem kelistrikan di luar pulau Jawa-Madura-Bali dan Sumatera merupakan sistem kelistrikan yang relatif belum berkembang, dimana satu sama lain belum sepenuhnya terinterkoneksi. Sistem masih terdiri dari sub-sistem dan sub-sistem kecil yang masing-masing terpisah satu sama lain dan masih terdapat daerah-daerah terpencil yang berdiri sendiri dan terisolasi. Bab ini menjelaskan kondisi kelistrikan yang telah dicapai selama ini sesuai wilayah regional maupun provinsi. 1. PULAU SUMATERA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi NAD adalah beban puncak sebesar 210 MW dengan produksi sebesar 748 GWh. Sekitar 50% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi NAD. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 708,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 472 GWh (66.6%), komersial 83 GWh (11.7%), Industri 48,5 GWh (6.8%), Publik 104,8 GWh (14,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi NAD untuk tahun 2004 baru mencapai 56,4%. Provinsi Sumatera Utara Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Sumatra Utara adalah beban puncak sebesar 926 MW dengan produksi sebesar 4.870 GWh. Hampir seluruh (99,1%) beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi di pulau-pulau Nias, Tello dan Sembilan. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 4.525,6 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 1.950,9 GWh (43,1%), komersial 578 GWh (12,7%), Industri 1.651,5 GWh (36,4%), Publik 345,2 GWh (7,6%). Rasio elektrifikasi Provinsi Sumatera Utara untuk tahun 2004 baru mencapai 67,5%. 8

Provinsi Sumatera Barat Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Sumatra Barat adalah beban puncak sebesar 295 MW dengan produksi sebesar 1.676 GWh. Sekitar 90% beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagSel melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.466,9 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 630,8 GWh (43%), Komersial 131,6 GWh (8,9%), Industri 590,7 GWh (40.2%), Publik 114 GWh (7,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi Sumatera Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 61,1%. Provinsi Riau Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Riau adalah beban puncak sebesar 322 MW dengan produksi sebesar 1.654 GWh. Sekitar 55% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Riau. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.428,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 871,5 GWh (61%), Komersial 313 GWh (21,9%), Industri 139,3 GWh (9,7%), Publik 104,4 GWh (7,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Riau untuk tahun 2004 baru mencapai 38,9%. Provinsi Jambi Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kv dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Bagian Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB), maka kondisi kelistrikan Provinsi Jambi merupakan representasi dari kondisi kelistrikan S2JB secara keseluruhan, yaitu beban puncak Wilayah S2JB pada tahun 2004 adalah sebesar 471,8 MW dengan produksi sebesar 117,6 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 39,8%. Sekitar 90% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagUt melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah S2JB. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 470,6 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 290,6 GWh (62%), Komersial 77 GWh (16%), Industri 70,3 GWh (15%), Publik 32,7 GWh (7%). Provinsi Sumatera Selatan Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kv dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.448 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 766,2 GWh (53%), Komersial 192,1 GWh (13%), Industri 381,4 GWh (26%), Publik 108,3 GWh (7%). 9

Provinsi Bengkulu Mengingat bahwa Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu telah terinterkoneksi dengan baik melalui jaringan transmisi 150 kv dan telah menjadi Wilayah Kesisteman Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (S2JB), maka kondisi kelistrikan Provinsi Bengkulu merupakan representasi dari kondisi kelistrikan S2JB. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 227,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 163,3 GWh (71,8%), Komersial 29,6 GWh (13%), Industri 14,8 GWh (6,5%), Publik 19,5 GWh (8,5%). Provinsi Lampung Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Lampung adalah beban puncak sebesar 306 MW dengan produksi sebesar 1.370 GWh. Sekitar 99% dari beban ini dipasok oleh Kitlur SumBagSel melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Lampung. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.207 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 718,5 GWh (59,5%), Komersial 160,9 GWh (13,3%), Industri 227 GWh (18.8%), Publik 100,1 GWh (8,2%). Rasio elektrifikasi Provinsi Lampung untuk tahun 2004 baru mencapai 37,1%. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah beban puncak sebesar 60 MW dengan produksi sebesar 273 GWh. Seluruh beban ini dipasok oleh pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 234 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 173 GWh (73,9%), Komersial 25,1 GWh (10,6%), Industri 22,6 GWh (9,7%), Publik 13,2 GWh (6%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk tahun 2004 baru mencapai 53,1%. Batam Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Daerah Otorita Batam adalah beban puncak sebesar 31,8 MW dengan produksi sebesar 838 GWh. Seluruh beban ini dipasok oleh pembangkit PT PLN Batam yang sebagian wilayahnya telah terinterkoneksi dengan jaringan transmisi 150 kv. Sedangkan khusus untuk industri di kawasan Muka Kuning Industrial Park, kebutuhan kelistrikannya di suplai oleh PT Batamindo yang memiliki pembangkit sendiri dengan kapasitas seluruhnya mencapai 166 MW. Penjualan PT PLN Batam pada tahun 2004 mencapai 662 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 199,4 GWh (30%), Komersial 317,3 GWh (48%), Industri 110,1 GWh (17%), Publik 35,2 GWh (5%). Rasio elektrifikasi Daerah Otorita Batam untuk tahun 2004 baru mencapai 67%. 10

2. PULAU JAWA DAN BALI Pulau Jawa, Madura dan Bali telah terinterkoneksi, sehingga kebutuhan kelistrikan pada sistem ini disuplai dari pembangkit se JAMALI dengan produksi sebesar 92.634 GWh. Rincian konsumsi kelistrikan di Provinsi Jawa dan Bali dapat diuraikan di bawah ini. Provinsi Bali Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Bali adalah beban puncak sebesar 389 MW. Dimana 40% beban ini (200 MW) dipasok dari sistem kelistrikan Pulau Jawa melalui kabel laut jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok dari unit Pembangkit Pesanggarahan (150 MW) dan PLTG Gilimanuk (100 MW). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.896 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 838,4 GWh (44,2%), Komersial 878,6 GWh (46,3%), Industri 76,4 GWh (4%), Publik 102,3 GWh (5,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Bali untuk tahun 2004 baru mencapai 76,6%. Provinsi Jawa Timur Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Timur adalah beban puncak sebesar 3.107 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi Jawa Timur dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kv) dan SUTT (150 kv dan 70 kv), serta dari pembangkit-pembangkit kecil/embedded (PLTA Wonorejo PJB dan Captive) melalui jaringan Tegangan Menengah, pembangkit sendiri (PLTD dan PLTM Sampean Baru), dan pembangkit sewa. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 16.421 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 5.887 GWh (35,8%), Komersial 1.717 GWh (10,4%), Industri 7.946 GWh (48,3%), Publik 872 GWh (5,3%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 59,1%. Provinsi Jawa Tengah dan DIY Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Tengah dan DIY adalah beban puncak sebesar 2.220 MW. Pasokan utama sistem kelistrikan di Provinsi Jawa Tengah dan DIY dilayani atau dipasok dari PLTU Tambaklorok, PLTA Mrica dan pusat pembangkit lain yang disalurkan melalui jaringan interkoneksi JAMALI 500 kv dan 150 kv. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 10.843 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 5.384 GWh (49,7%), Komersial 1.056 GWh (9,7%), Industri 3.457 GWh (31,9%), Publik 946 GWh (8,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Tengah dan DIY untuk tahun 2004 baru mencapai 81,3%. 11

Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten adalah beban puncak sebesar 4.682 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa- Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kv) dan SUTT (150 kv dan 70 kv), serta dari pembangkit-pembangkit kecil/embedded melalui jaringan Tegangan Menengah, dan pembangkit sendiri. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 27.279 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 8.102 GWh (29,7%), Komersial 1.721 GWh (6,3%), Industri 16.762 GWh (61,4%), Publik 694 GWh (2,5%). Rasio elektrifikasi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten untuk tahun 2004 baru mencapai 57,2%. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Tangerang Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi DKI Jakarta adalah beban puncak sebesar 3.912 MW. Kebutuhan kelistrikan di Provinsi DKI Jakarta dilayani dari energi transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) sebagai pemasok utama melalui jaringan SUTET (500 kv) dan SUTT (150 kv dan 70 kv). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 23.333 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 7.767 GWh (33,3%), Komersial 6.436 GWh (27,5%), Industri 7.526 GWh (32,3%), Publik 1.571 GWh (6,7%). Rasio elektrifikasi Provinsi DKI Jakarta dan Tangerang untuk tahun 2004 baru mencapai 81,3%. 3. PULAU KALIMANTAN Provinsi Kalimantan Timur Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kalimantan Timur adalah beban puncak sebesar 245 MW dengan produksi sebesar 1.420 GWh. Sekitar 70% dari beban ini dipasok oleh Sistem Mahakam melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kalimantan Timur. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.214,1 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 658,4 GWh (54,2%), Komersial 260,2 GWh (21,4%), Industri 183,7 GWh (15,1%), Publik 111,8 GWh (9,2%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kalimantan Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 49,6%. Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan Mengingat bahwa Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kv, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng), sehingga 12

kondisi kelistrikan Provinsi Kalimantan Tengah direpresentasikan oleh kondisi kelistrikan Wilayah Kalselteng, yaitu beban puncak Wilayah Kalselteng pada tahun 2004 adalah sebesar 289 MW dengan produksi sebesar 1.551,5 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 52,9%. Sekitar 80% dari beban ini dipasok oleh Sistem Barito Banua Lima melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Kalselteng. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 1.251,3 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 722,2 GWh (57,7%), Komersial 165,2 GWh (13,2%), Industri 254,9 GWh (20,3%), Publik 108,9 GWh (8,7%). Provinsi Kalimantan Barat Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Kalimantan Barat adalah beban puncak sebesar 196 MW dengan produksi sebesar 989 GWh. Sekitar 60% dari beban ini dipasok oleh pembangkit dari Sistem Kapuas melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Kalimantan Barat. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 799,7 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 478,6 GWh (59,8%), Komersial 158,8 GWh (19.8%), Industri 82,9 GWh (10,3%), Publik 79,4 GWh (9,9%). Rasio elektrifikasi Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 44,5%. 4. PULAU SULAWESI Provinsi Sulawesi Utara Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kv, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo). Sehingga kondisi beban puncak Wilayah Suluttenggo pada tahun 2004 adalah sebesar 242.026 MW dengan produksi sebesar 1124.949 GWh, Rasio elektrifikasinya sebesar 47,1%. Sekitar 60% dari beban ini dipasok oleh Sistem Minahasa melalui jaringan transmisi 70 kv dan 150 kv, sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Suluttenggo. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 553.203 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 325.862 GWh (59%), Komersial 108.410 GWh (20%), Industri 63.056 GWh (11%), Publik 55.873 GWh (10%). Provinsi Sulawesi Tengah Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kv, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo). 13

Penjualan pada tahun 2004 mencapai 292.584 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 199.819 GWh (68%), Komersial 41.191 GWh (14%), Industri 15.209 GWh (5%), Publik 36.365 GWh (12%), lainnya 3.290 GWh (1%). Provinsi Gorontalo Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kv, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo). Penjualan pada tahun 2004 mencapai 106.510 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 67.801 GWh (64%), Komersial 12.142,2 GWh (11%), Industri 11.668 GWh (11%), Publik 14.682 GWh (14%). Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara Mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara telah terinterkoneksi pada jaringan transmisi 150 kv, maka PT PLN (Persero) menyatukan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara pada satu pelayanan yang dilakukan oleh Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulseltra). Sehingga kondisi beban puncak Wilayah Sulseltra pada tahun 2004 adalah sebesar 490 MW dengan produksi sebesar 2.485 GWh, dan Rasio elektrifikasinya sebesar 53,8%. Sekitar 85% dari beban ini dipasok oleh Sistem Makassar melalui jaringan transmisi 150 kv dan sisanya dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Wilayah Sulseltra. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 2.066 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 1.090,4 GWh (52,7%), Komersial 266,6 GWh (12,9%), Industri 528,8 GWh (25,5%), Publik 183,3 GWh (8,8%). 5. KEPULAUAN NUSA TENGGARA Provinsi Nusa Tenggara Barat Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah beban puncak sebesar 105. MW dengan produksi sebesar 422,8 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 400,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 293,4 GWh (73,3%), Komersial 65,7 GWh (16,4%), Industri 7,5 GWh (1,8%), Publik 33,8 GWh (8,4%). Rasio elektrifikasi Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk tahun 2004 baru mencapai 28,1 %. 14

Provinsi Nusa Tenggara Timur Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah beban puncak sebesar 62 MW dengan produksi sebesar 262,7 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 227,2 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 150,4 GWh (66,1%), Komersial 39,8 GWh (17,5%), Industri 3,2 GWh (1,4%), Publik 33,8 GWh (14,8%). Rasio elektrifikasi Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk tahun 2004 baru mencapai 22,5%. 6. PULAU MALUKU Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara Walaupun Pulau Maluku telah dipecah menjadi 2 provinsi yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara, namun pelayanan kelistrikannya oleh PT PLN (Persero) masih dijadikan satu wilayah, yaitu Wilayah Maluku. Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Maluku adalah beban puncak sebesar 78 MW dengan produksi sebesar 305 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 269,8 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 181,6 GWh (67,3%), Komersial 44 GWh (16,3%), Industri 6 GWh (2,2%), Publik 38,1 GWh (14,1%). Rasio elektrifikasi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara untuk tahun 2004 baru mencapai 50,6%. 7. PROVINSI PAPUA Kondisi kelistrikan pada tahun 2004 untuk Provinsi Papua adalah beban puncak sebesar 90 MW dengan produksi sebesar 465 GWh. Seluruh beban ini dipasok pembangkit terisolasi yang tersebar di seluruh Provinsi Papua. Penjualan pada tahun 2004 mencapai 398 GWh dengan komposisi penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga adalah 250 GWh (62,8%), Komersial 94 GWh (23,3%), Industri 6 GWh (1,5%), Publik 48 GWh (12%). Rasio elektrifikasi Provinsi Papua untuk tahun 2004 baru mencapai 28,3%. 8. KONDISI SISTEM PENYALURAN TENAGA LISTRIK Sistem kelistrikan yang ada di kepulauan Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi dengan jaringan transmisi. Saat ini yang telah terintegrasi hanya sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dengan jaringan transmisi 500 KV. Pulau Sumatera, sistem Sumatera Bagian Utara yang menghubungkan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Sumatera Utara telah terinterkoneksi dengan jaringan transmisi 275 KV, namun belum seluruhnya terhubung. Sistem yang menghubungkan sistem Sumbar dengan Riau sudah terintegrasi dengan baik. 15

Sistem Sumbagsel telah mengintegrasikan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi, Bengkulu dan Lampung. Pada bulan November 2004, sistem Sumatera Bagian Selatan telah terhubung dengan Sistem Sumbar-Riau dengan Provinsi lainnya di Sumatera Bagian Selatan, dimana semula masih adanya masalah right of way pada jalur Bangko-Lubuk Linggau, saat ini telah diselesaikan. Pada sistem kelistrikan Pulau Kalimantan sudah terhubung melalui jaringan 150 KV sebagian kecil Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Selatan. Diharapkan sistem se Kalimantan juga dapat terinterkoneksi dengan jaringan transmisi di masa mendatang. Sistem kelistrikan pulau Sulawesi yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo masih banyak dipasok dengan sistem yang tersebar, akan tetapi beberapa daerah telah terhubung dengan jaringan transmisi 150 KV. Sistem penyaluran kelistrikan melalui Jaringan Transmisi dapat dilihat pada Lampiran I. 16

BAB IV RENCANA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 maka RUKN berisi antara lain prakiraan kebutuhan tenaga listrik, sasaran penyediaan tenaga listrik menurut sektor pemakai, jumlah desa yang dilistriki dan sasaran rumah tangga yang akan dilistriki, sarana penyediaan tenaga listrik, jenis sumber energi primer dan kebutuhan investasi yang diperlukan. RUKN ini akan dijadikan acuan bagi PKUK dan PIUKU dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Seperti lazimnya dalam perencanaan sektor tenaga listrik, rencana sarana penyediaan tenaga listrik untuk kurun waktu lima tahun merupakan rencana yang lebih pasti (committted proyek) untuk dilaksanakan karena sebagian besar proyek sarana penyediaan tenaga listrik dalam kurun waktu tersebut sedang dalam tahap pembangunan dan pendanaannya sudah jelas. Sedangkan untuk kurun waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kedepan tingkat kepastiannya berkurang karena pendanaanya yang belum pasti namur aspek kuantitatif kebutuhan tenaga listrik harus dapat dipenuhi. Untuk kurun waktu jangka menengah dan jangka panjang tingkat kepastian kebutuhan tenaga listrik dalam RUKN ini semakin berkurang. Oleh sebab itu rencana ini perlu untuk dimutakhirkan setiap tahun. 1. PRAKIRAAN KEBUTUHAN TENAGA LISTRIK Kebutuhan tenaga listrik akan meningkat sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah dan pertumbuhan penduduk. Semakin meningkatnya ekonomi pada suatu daerah maka konsumsi tenaga listrik juga akan semakin meningkat. Kondisi ini tentunya harus diantisipasi sedini mungkin agar penyediaan tenaga listrik dapat tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga yang memadai. Asumsi pertumbuhan ekonomi untuk sepuluh tahun mendatang yang digunakan untuk menyusun prakiraan kebutuhan tenaga listrik adalah rata-rata 6,5 % per tahun secara nasional Disamping pertumbuhan ekonomi, perkembangan tenaga listrik juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan penduduk dalam pengertian jumlah rumah tangga yang akan dilistriki. Pertumbuhan penduduk secara nasional untuk dua puluh tahun kedepan diperkirakan mencapai 0,9%, berturut turut di pulau Jawa sebesar 0,8 % per tahun dan diluar pulau Jawa-Bali 1,1% per tahun. Sasaran yang ingin dicapai adalah rasio elektrifikasi dan untuk sepuluh tahun mendatang pada masing-masing Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut. Table 1. Rasio Elektrifikasi (%) No. PROVINSI/DAERAH/ WILAYAH 2005 2010 2015 2020 2025 1. NAD 61 76 85 100 100 2. Sumut 70 84 96 100 100 3. Sumbar 64 81 95 100 100 4. Riau 41 52 60 75 100 17