V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

III. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. fase lemak (O Brien, 2009). Banyak minyak nabati yang telah dimodifikasi untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

PLASTISISASI 14/01/2014

Ramayana : pembuatan lemak margarin dari minyak kelapa, kelapa sawit dan stearin..., USU e-repository 2008

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FORMULASI DAN PENGOLAHAN MARGARIN MENGGUNAKAN FRAKSI MINYAK SAWIT PADA SKALA INDUSTRI KECIL SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN BOLU GULUNG

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PROSES INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK (EIE) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN MINYAK KELAPA UNTUK PRODUKSI BAHAN BAKU MARGARIN BEBAS ASAM LEMAK TRANS

Prarancangan Pabrik Margarin dari Palm Oil Minyak Sawit dengan Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

PENGEMBANGAN COKELAT PADUAN CAIR PENYALUT ES KRIM BERBASIS PALM KERNEL OLEIN DI PT SMART TBK MUHAMMAD EKA PRAMUDITA

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat

KRISTALISASI. Teti Estiasih - THP - FTP UB 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

METODOLOGI PENELITIAN

KAJIAN PERLAKUAN SUHU FILLING TRAY PADA PROSES FRAKSINASI CPKO TERHADAP RENDEMEN DAN ANGKA IODIN CRUDE PALM KERNEL STEARIN

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

PENGGUNAAN MINYAK SAWIT MERAH UNTUK PEMBUATAN LEMAK BUBUK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

HIDROGENASI 14/01/2014 HIDROGENASI. Hasil reaksi hidrogenasi Penjenuhan ikatan rangkap Migrasi ikatan rangkap Pembentukan asam lemak Trans

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. jalan beragam. Contoh yang paling sering ditemui adalah pecel lele dan gorengan.

III. METODOLOGI PENELITIAN

PARAMITA ADIMULYO F

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

11/14/2011. By: Yuli Yanti, S.Pt., M.Si Lab. IPHT Jurusan Peternakan Fak Pertanian UNS. Lemak. Apa beda lemak dan minyak?

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi

4 Pembahasan Degumming

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

I. PENDAHULUAN. Es krim di Indonesia telah dikenal oleh masyarakat luas sejak tahun 1970-an dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua

Dibimbing Oleh: Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA Ir. Rr. Pantjawarni Prihatini

PENGARUH BILANGAN ASAM TERHADAP HIDROLISA MINYAK KELAPA SAWIT M.YUSUF RITONGA. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

DESTILASI ASAM LEMAK IR. M. YUSUF RITONGA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku

Bab III Metode Penelitian

PENCEGAHAN PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS MINYAK KELAPA SAWIT

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II. DESKRIPSI PROSES

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil dan Mutu (PAHAM) Pusat

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan

III. BAHAN DAN METODE

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, industri di Indonesia berkembang pesat. Di antara subsektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Agrium, April 2011 Volume 16 No 3

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUJIAN BAHAN BAKU 1. Bilangan Iod Bilangan iod menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga selain menunjukkan tingkat ketidakjenuhan juga dapat digunakan sebagai salah satu spesifikasi untuk menentukkan jenis minyak atau lemak (Weiss, 1983). Pengujian bilangan iod dilakukan untuk melihat kesesuaian spesifikasi bahan baku yang digunakan (Scrimgeour, 25). Bilangan iod yang dihitung menggunakan persamaan (e.q. 1) untuk masing-masing bahan baku minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) secara berurutan adalah 54.66; 41.19; dan 9.2. Nilai tersebut masih termasuk dalam rentang jangkauan spesifikasi bilangan iod untuk masing-masing bahan di PT SMII seperti yang tercantum pada Tabel 9. Sementara menurut literatur, minyak sawit memiliki kisaran bilangan iod 41.8-64.4 dengan rata-rata 53.2 (Yusof, 25). Tabel 9. Hasil uji bahan baku PT SMII Sampel Bilangan Iod (mg Iod/g) Bilangan Peroksida (meq O2/kg) max. Hasil Uji Spec. PT SMII Hasil Uji Spec. PT SMII Minyak Sawit (PO) 54.655±.74 51.5.4983±.53.5 Stearin (PS) 41.189±.61 39-42.4784±.72.5 Minyak Kelapa (CNO) 9.218±.19 7.5-1.2126±.3 1. Stearin memiliki kisaran bilangan iod yang cukup luas, yaitu 21.6-49.4 (Yusof, 25). Bilangan iod menunjukkan jenis stearin yang digunakan, dari jenis lunak (bilangan iod sekitar 5) hingga stearin jenis keras (bilangan iod sekitar 2) (Basiron, 25). Pada penelitian ini digunakan stearin lunak dengan bilangan iod 41.19. Zaliha et.al. (24) melaporkan bahwa bilangan iod juga dapat dipengaruhi oleh proses produksi minyak. Bilangan iod fraksi stearin maupun olein dapat meningkat saat digunakan proses kristalisasi dengan suhu yang lebih rendah. Selain itu, kedua fraksi tersebut akan mulai clouding pada suhu yang lebih rendah. 2. Bilangan Peroksida Bilangan peroksida merupakan pengujian analitik yang umumnya digunakan untuk mengukur kerusakan oksidatif dari sampel minyak dan lemak. Peroksida merupakan produk yang terbentuk dari hasil reaksi primer dalam tahap awal oksidasi dan menjadi tolak ukur adanya oksidasi lemak (Ketaren, 1996), sehingga bahan baku yang akan digunakan harus memiliki bilangan peroksida yang sangat rendah. Rata-rata hasil pengujian untuk masing-

masing bahan baku yang dihitung menggunakan persamaan (e.q. 2) yaitu.5;.48; dan.21 untuk minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa. Minyak kelapa memiliki nilai spesifikasi bilangan peroksida lebih tinggi yaitu maksimal 1. dibandingkan minyak sawit maupun stearin yaitu maksimal.5 seperti pada Tabel 9. Hal ini disebabkan karena minyak kelapa memiliki ketahanan oksidatif yang lebih tinggi sehingga diharapkan memiliki ketahanan yang lebih tinggi jika proses oksidasi berlanjut. Bilangan peroksida sendiri hanya menunjukkan proses awal (inisiasi) pada proses oksidasi lemak. B. FORMULASI OIL BLEND Formulasi dilakukan terhadap bahan baku minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO). Formulasi untuk oil blend dengan dua jenis minyak dilakukan mengikuti metode dan formulasi sesuai dengan metodologi penelitian yang telah direncanakan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Setelah mengetahui karakter oil blend antara PO dan PS serta PO dan CNO didapatkan formulasi untuk kombinasi ketiganya. Formulasi pertama dilakukan dengan proporsi CNO yang tetap dengan peningkatan PS setiap 2% hingga PS mencapai proporsi 8% dari oil blend seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Hipotesis hasil percobaan pada dua oil blend PO dan PS yang menunjukkan kesesuain dan keteraturan akan diuji cobakan di dalam tiga jenis oil blend. Hal ini dilakukan untuk melihat karakter PS dalam tiga oil blend, yaitu dalam campurannya dengan PO dan CNO. Sementara formulasi kedua dilakukan dengan menggunakan komposisi CNO sebagai variabel nya. Tabel 1. Kombinasi persentase (%w/w) minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dalam oil blend dengan variasi komposisi PS PO PS CNO 7 2 1 5 4 1 3 6 1 1 8 1 Formulasi kedua merupakan kombinasi oil blend tiga jenis minyak dilakukan dengan peningkatan proporsi CNO sebanyak 1% hingga mencapai oil blend dengan komposisi CNO sebesar 5%. Sementara perbandingan antara PO dan PS dalam oil blend kombinasi tiga minyak tersebut dipertahankan tetap 5%:5%. Kombinasi untuk tahap kedua untuk oil blend tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kombinasi persentase (%w/w) minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dalam oil blend dengan variasi komposisi CNO PO PS CNO 45 45 1 4 4 2 35 35 3 3 3 4 25 25 5 27

C. ANALISIS KARAKTER OIL BLEND 1. Kandungan Padatan Lemak/ Solid Fat Content (SFC) Pengujian SFC pada minyak atau lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah padatan lemak pada sampel oil blend di berbagai tingkat suhu observasi. Perbandingan dilakukan pada penggunaan suhu yang sama. Karakter SFC pada oil blend umumnya sulit diprediksi dan belum banyak dipelajari karakter minyak penyusunnya setelah dalam oil blend. Pada penelitian ini digunakan persamaan matematis untuk melakukan pendekatan secara teoritis terhadap karakter SFC dalam oil blend seperti pada persamaan (e.q. 3). Gambar 4. Tipikal kurva solids fat index (SFI) untuk beberapa produk (O Brien, 24) Lemak atau minyak yang didinginkan pada suatu suhu di bawah titik cair tertinggi komponen penyusunnya dan pada kondisi memungkinkan terjadinya kesetimbangan penuh yaitu dapat mengkristal hingga maksimum dengan kondisi polimorfik yang stabil maka akan terdapat suatu rasio padatan terhadap minyak cair yang bergantung pada keadaan alami campuran trigliserida dalam lemak alaminya (Metin dan Hartel, 25). Karakter SFC maupun SFI suatu campuran minyak akan menentukan jenis produk yang akan dihasilkan. Pada Gambar 4 disajikan beberapa karakter tipikal kurva SFI untuk beberapa produk turunan minyak. O Brien (24) menjelaskan bahwa kurva SFC dapat memberikan berbagai informasi mengenai karakteristik plastisitas, kestabilan oksidatif maupun titik leleh yang dihasilkan dari minyak maupun lemak. Kisaran suhu dimana produk memiliki sifat plastisitas diamati pada saat nilai SFC berkisar 15-25%. Semakin landai (flat) kurva SFC, maka kisaran sifat plastisitas yang dihasilkan akan semakin luas. Karakter stabilitas oksidatif minyak atau lemak akan semakin tinggi jika teramati memiliki kurva SFC yang semakin curam (steep). Kurva SFC yang curam juga menunjukkan titik cair yang tajam (sharp). 28

Solid Fat Content (%) a. Oil blend stearin (PS) dengan minyak sawit (PO) Oil blend yang merupakan penyusun margarin dan shortening tersusun dari minimal dua jenis minyak. Braipson-Danthine dan Deroanne (24) melaporkan bahwa perubahan sifat kekerasan pada produk shortening dengan oil blend yang tersusun dari dua jenis minyak sebagian besar dipengaruhi oleh profil SFC dan polimorfisme minyak penyusunnya. Karakteristik minyak sawit (PO) pada suhu ruang cenderung mengkristal dan lunak pada suhu ruang, sementara stearin (PS) memiliki karakteristik berbentuk padat sempurna dan keras. Minyak sawit memiliki titik cair yang lebih rendah (31.1-37.6ºC) dibandingkan dengan stearin (44.5-56.2 ºC) sehingga penambahan stearin diharapkan akan meningkatkan titik cair serta meningkatkan kurva SFC. Minyak sawit memiliki bentuk kurva SFC yang lebih landai dibandingkan dengan stearin. Nilai SFC seluruh formulasi oil blend PO/PS terhadap suhu observasinya disajikan pada Gambar 5 sehingga menghasilkan kurva SFC. Hasil pengamatan menunjukkan kurva nilai SFC yang semakin meningkat secara teratur seiring dengan peningkatan proporsi stearin dalam oil blend dari formulasi PO/PS=9/1 hingga PO/PS=1/9. Kurva formulasi PO/PS=9/1 hingga PO/PS=1/9 tersusun teratur diantara kurva SFC PO (PO/PS=1/) dan kurva SFC PS (PO/PS=/1) yang merupakan komponen minyak penyusunnya. Peningkatan proporsi asam lemak stearat yang banyak terkandung dalam PS akan meningkatkan SFC pada kondisi normal (O Brien, 24). Kurva SFC oil blend akan dipengaruhi oleh karakter minyak penyusunnya, dalam hal ini bentuk kurva oil blend PO/PS=9/1 hingga PO/PS=5/5 terlihat masih lebih dipengaruhi bentuk kurva SFC PO yang landai. 8 7 6 5 4 3 Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit (PO) dan stearin (PS) PO/PS=9/1 PO/PS=8/2 PO/PS=7/3 PO/PS=6/4 PO/PS=5/5 PO/PS=4/6 PO/PS=3/7 PO/PS=2/8 PO/PS=1/9 PS PO 2 1 5 1 15 2 25 3 35 4 45 Suhu ( C) Gambar 5. Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit (PO) dengan stearin (PS) Suhu observasi pada pengujian karakter SFC disesuaikan dengan tujuan pengujian sehingga akan penting untuk melihat nilai SFC di masing-masing suhu observasi tersebut. 29

Solid Fat Content (%) Minyak dan lemak yang digunakan pada formulasi PO/PS ditujukan sebagai bahan baku produk margarin dan shortening sehingga suhu observasi yang digunakan yaitu 1⁰C, 2⁰C, 3⁰C, dan 4⁰C. Kurva nilai SFC pada masing-masing suhu observasi terhadap keseluruhan formulasi oil blend PO/PS diperlihatkan pada Gambar 6. 8 Kurva SFC oil blend PO/PS experiment dan teoritical pada berbagai suhu observasi 7 6 5 4 3 2 T1.E T2.E T3.E T4.E T1.T T2.T T3.T T4.T 1 8/2 6/4 4/6 2/8 Fraksi PO/PS Gambar 6. Kurva SFC hasil eksperimen (E) dan secara teoritis (T) untuk oil blend antara minyak sawit (PO) dan stearin (PS) pada suhu observasi 1ºC (T1), 2 ºC (T2), 3 ºC (T3), dan 4 ºC (T4) Kurva SFC percobaan atau eksperimen (E) yang dihasilkan menunjukkan bahwa peningkatan proporsi PS dalam formulasi akan sejalan secara linear dengan peningkatan kadar SFC. Hal ini berlaku pada ke empat suhu observasi. Hasil ini juga ditunjukkan dengan liniearitas tinggi yang dihasilkan dengan koefisien korelasi (R 2 ) yang cukup tinggi mendekati nilai 1, yaitu R 2 =.998 pada suhu 1⁰C, 2⁰C, dan 3⁰C serta R 2 =.992 pada suhu 4⁰C seperti yang tercantum dalam Lampiran 5. Kurva SFC yang dihasilkan secara teoritis (T) pada keempat suhu observasi juga ditampilkan dalam Gambar 6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kurva SFC hasil percobaan tidak sama persis dengan kurva SFC secara teoritis. Terdapat selisih nilai antara kurva SFC percobaan dan kurva SFC secara teoritis. Namun selisih nilai SFC yang dihasilkan tersebut pada seluruh formulasi oil blend memiliki nilai yang cukup rendah (.95%). Hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi α=.5. Sehingga dalam aplikasinya untuk oil blend, pendekatan teoritis secara matematis sesuai persamaan (e.q. 3) dapat digunakan untuk melakukan formulasi oil blend antara minyak sawit dan stearin. Stearin merupakan produk turunan dari minyak sawit dengan komposisi asam lemak yang tidak jauh berbeda dengan minyak sawit. Asam lemak palmitat dan oleat merupakan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan komposisi tertinggi yang terkandung baik di 3

dalam minyak sawit maupun stearin. Kedua bahan tersebut dapat dengan mudah bercampur sehingga proses pemanasan pada proses blending hanya membutuhkan waktu yang singkat. Kemiripan komposisi kedua jenis bahan ini yang kemungkinan menyebabkan nilai SFC pada formulasi oil blend PO/PS yang dihasilkan memiliki keteraturan. b. Oil blend minyak kelapa (CNO) dengan minyak sawit (PO) Minyak kelapa memiliki karakter yang berbeda dari minyak sawit dan jenis minyak pada umumnya yaitu titik cair yang cenderung tajam (24.4-25.6⁰C). Titik cair yang rendah menyebabkan minyak sawit akan berwujud cair pada suhu ruang dengan warna yang bening dan jernih. Minyak kelapa memiliki kurva SFC yang berbeda dengan minyak sawit. Kurva SFC minyak sawit cenderung landai sedangkan minyak kelapa memiliki kurva SFC yang tajam (slope tinggi) seperti yang diperlihatkan pada Gambar. Minyak kelapa pada suhu 1⁰C, 2⁰C, 3⁰C dan 4⁰C menghasilkan nilai SFC senilai 8.18%, 33.29%, % dan -.9% secara berurutan. Hal ini diakibatkan karena minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak dengan bobot molekular ringan yang tinggi (high content of low-molecularweight fatty acid) dibandingkan dengan panjang rantai penyusunnya (Lawson, 25). Kandungan asam laurat dan rantai asam lemak rantai pendek yang cukup tinggi mengakibatkan minyak kelapa memiliki titik leleh yang rendah dengan kurva solid fat content yang curam. Karakter SFC yang curam dengan titik leleh yang tajam di bawah suhu tubuh tersebut yang kemudian berkontribusi menghasilkan sensasi dingin (cooling effect) di mulut dan karakter yang baik dalam mulut (O Brien, 24). Titik leleh yang tajam membuat minyak kelapa cocok digunakan untuk produk permen/manisan (confectionary) dan cookie fillings. Minyak kelapa memiliki titik cair yang jauh lebih rendah daripada minyak sawit sehingga diharapkan minyak kelapa akan menurunkan kurva SFC yang dihasilkan hanya oleh PO. Namun pada pengamatan didapatkan bahwa formulasi oil blend PO/CNO seperti yang terlihat dari grafik yang tersaji pada Gambar 7 tidak menunjukkan keteraturan kurva SFC seperti yang dihasilkan pada formulasi oil blend PO/PS. Bentuk kurva SFC PO dan CNO yang sangat berbeda mengakibatkan kurva SFC oil blend PO/CNO memiliki bentuk kombinasi antara keduanya. Kurva SFC yang dihasilkan oleh oil blend PO/CNO=4/6 hingga PO/CNO=1/9 cenderung mengikuti bentuk kurva CNO sebagai minyak penyusunnya. Sementara oil blend PO/CNO=9/1 hingga PO/CNO=5/5 cenderung menghasilkan kurva SFC dengan bentuk landai seperti kurva PO. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat keteraturan nilai SFC oil blend PO/CNO pada suhu diantara ±26⁰C hingga suhu 4⁰C dimana kurva SFC yang dihasilkan berada diantara kurva SFC minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO). Kurva SFC oil blend PO/CNO terhadap fraksi PO/CNO yang digunakan pada masing-masing suhu observasi ditampilkan pada Gambar 8. Kurva tersebut selain menampilkan hasil kurva SFC oil blend PO/CNO hasil percobaan (E) juga menampilkan kurva SFC secara teoritis (T). Minyak kelapa dalam oil blend dengan minyak sawit menghasilkan nilai SFC yang bervariasi. Kurva SFC oil blend PO/CNO yang menunjukkan adanya linieritas dan hubungan antara proporsi PO/CNO dengan nilai SFC yang dihasilkan hanya teramati pada suhu observasi 1⁰C (R 2 =.924) dengan korelasi positif dan 3⁰C (R 2 =.972) dengan korelasi negatif. Nilai titik cair CNO yang lebih rendah dari PO diharapkan menurunkan nilai SFC PO namun pada suhu 1⁰C peningkatan proporsi CNO 31

Solid Fat Content (%) justru meningkatkan nilai SFC oil blend. Hal ini dipengaruhi oleh sifat minyak kelapa dengan kurva SFC yang curam. Pada suhu 1⁰C CNO cenderung mengkristal lebih cepat dibandingkan PO dan menghasilkan padatan yang lebih banyak dengan wujud fisik yang lebih keras. 1 Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO) 8 6 4 PO/CNO=1/ PO/CNO=9/1 PO/CNO=8/2 PO/CNO=7/3 PO/CNO=6/4 PO/CNO=5/5 PO/CNO=4/6 PO/CNO=3/7 PO/CNO=2/8 PO/CNO=1/9 PO/CNO=/1 2-2 5 1 15 2 25 3 35 4 45 Suhu ( C) Gambar 7. Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit (PO) dengan minyak kelapa (CNO) Karakter kurva SFC CNO dalam oil blend dengan PO pada suhu 2⁰C dan 4⁰C memiliki bentuk kurva yang tidak linier dan tidak memiliki pola keteraturan sehingga tidak dapat diprediksikan. Titik leleh CNO adalah sekitar 24-26⁰C (Canapi dkk, 25) sehingga pada analisa dengan water bath 4⁰C secara fisik CNO telah menjadi cairan seluruhnya. Hal tersebut menyebabkan beberapa hasil nilai SFC oil blend PO/CNO yang terbaca oleh NMR pada suhu observasi 4⁰C bernilai negatif kecuali pada oil blend PO/CNO=9/1 dan PO/CNO=8/2 yang tetap bernilai positif dikarenakan proporsi CNO yang masih cukup rendah dan tidak cukup memberi pengaruh tersebut. Nilai SFC untuk oil blend antara PO dan CNO juga diprediksi dengan pendekatan secara matematis untuk seluruh formulasi pada masing-masing suhu observasi. Selisih nilai SFC rata-rata yang dihasilkan antara hasil teoritis dengan percobaan paling rendah teramati pada suhu observasi 3⁰C yaitu 1.4%. Namun secara keseluruhan, hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut berbeda nyata pada taraf signifikansi α=.5. 32

SFC (%) 8 Kurva SFC oil blend PO/CNO experiment dan teoritical pada berbagai suhu observasi 6 4 2-2 8/2 6/4 4/6 2/8 Fraksi PO/CNO T1.E T2.E T3.E T4.E T1.T T2.T T3.T T4.T Gambar 8. Kurva SFC hasil eksperimen (E) dan secara teoritis (T) untuk oil blend antara minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO) pada suhu observasi 1ºC (T1), 2 ºC (T2), 3 ºC (T3), dan 4 ºC (T4) Pada suhu observasi 2⁰C terjadi penyimpangan kurva SFC yang cukup jauh terhadap nilai teoritis (12.8%SFC) dan menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil. Kurva SFC yang dihasilkan juga tidak menunjukkan linieritas. Kondisi ini menunjukkan adanya interaksi antara PO dan CNO sebagai minyak penyusunnya. Interaksi yang dihasilkan pada kasus ini disebut dengan interaksi eutectic dan merupakan indikator compatibility minyak/lemak. Sepeti yang dilaporkan oleh Noor Lida, dkk (22), interaksi ini juga terjadi pada oil blend PO dengan palm kernel oil (PKO) dan umumnya terjadi pada minyak/lemak yang tidak cocok dengan perbedaan volume molekular maupun polimorfnya. PKO sendiri merupakan salah satu jenis minyak asam laurat seperti CNO. Efek eutactic juga dapat terjadi akibat komponen yang satu memiliki SMP yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan komposisi lainnya, yaitu minyak kelapa terhadap minyak sawit. Pada kondisi pembuatan margarin atau shortening, interaksi eutectic dapat menguntungkan. c. Oil blend minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) Stearin dan minyak kelapa menghasilkan campuran minyak dengan karakter yang berbeda terhadap campurannya dengan minyak sawit. Pada hasil campuran PO dan PS, stearin cenderung akan meningkatkan nilai SFC yang dihasilkan. Sementara pada hasil campuran PO dan CNO, minyak kelapa akan cenderung menurunkan nilai SFC. Formulasi pertama dari pencampuran ketiga jenis minyak tersebut adalah formulasi dengan proporsi minyak kelapa dibuat tetap, yaitu 1%. Proporsi 1% ini dengan melihat formulasi antara minyak sawit dan minyak kelapa sebelumnya. Sementara itu, proporsi stearin dijadikan semakin dengan peningkatan proporsi sebesar 2% sehingga pada formulasi awal ini akan didapatkan oil blend dengan proporsi CNO/PO/PS(%w/w) yaitu 1/9/; 1/7/2; 1/5/4; 1/3/6; dan 1/1/8 seperti pada Tabel 1. 33

Solid Fat Content (%) Hasil oil blend antara minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa dengan berbagai formulasi menghasilkan karakter SFC seperti pada Gambar 9. Oil blend CNO/PO/PS= 1/7/2 memiliki kurva SFC paling rendah, sedangkan CNO/PO/PS=1/1/8 memiliki kurva SFC paling tinggi. Peningkatan proporsi stearin akan sejalan dengan peningkatan nilai SFC yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan kondisi binary oil blend antara PS dengan PO dimana karakter kurva SFC yang dihasilkan akan meningkat sesuai dengan peningkatan proporsi stearin yang dihasilkan. Bentuk kurva SFC oil blend CNO/PO/PS dihasilkan lebih dipengaruhi oleh bentuk kurva PO yang landai dan kurva SFC PS yang curam-landai. Proporsi CNO yang dibuat tetap mengakibatkan CNO tidak banyak mempengaruhi bentuk kurva oil blend yang dihasilkan namun penggunaan 1%(w/w) CNO menurunkan kurva SFC yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kurva SFC PO/PS. Karakter SFC oil blend PO, PS, dan CNO dengan peningkatan proporsi PS 1 8 6 CNO/PO/PS=1/9/ CNO/PO/PS=1/7/2 CNO/PO/PS=1/5/4 CNO/PO/PS=1/3/6 CNO/PO/PS=1/1/8 PS CNO PO 4 2-2 5 1 15 2 25 3 35 4 45 Suhu ( C) Gambar 9. Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit (PO), stearin (PS) dan minyak kelapa (CNO) dengan variasi proporsi PS 2-8% Kurva SFC oil blend CNO/PO/PS dari hasil percobaan pada berbagai suhu observasi memiliki linieritas yang tinggi baik (R 2 >.99). Proporsi stearin dalam oil blend mengakibatkan kurva SFC yang dihasilkan memiliki keteraturan. Suhu observasi 3⁰C menghasilkan kurva nilai selisih SFC yang paling rendah dengan nilai rata-rata 1.6%SFC. Sementara pada suhu observasi 1⁰C, 2⁰C, dan 4⁰C masing-masing secara berurutan menghasilkan rata-rata selisih nilai 3.432%SFC, 2.368%SFC, dan 1.146%SFC. Pada suhu observasi 1⁰C justru menghasilkan jarak yang paling jauh antara kurva SFC percobaan dengan teoritis ditunjukkan oleh selisih nilai SFC tertinggi. Pada tiap-tiap suhu observasi, nilai SFC percobaan yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai SFC secara teoritis. Secara keseluruhan, hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut berbeda nyata pada taraf signifikansi α=.5. 34

Solid Fat Content (%) SFC (%) 8 Kurva SFC oil blend CNO/PO/PS experiment dan teoritical pada berbagai suhu 7 6 5 4 3 2 1 1/9/ 1/7/2 1/5/4 1/3/6 1/1/8 Fraksi CNO/PO/PS T1.E T2.E T3.E T4.E T1.T T2.T T3.T T4.T Gambar1. Kurva SFC hasil eksperimen (E) dan secara teoritis (T) untuk oil blend antara minyak kelapa (CNO), minyak sawit (PO), dan stearin (PS) dengan variasi proporsi PS -8% pada suhu observasi 1ºC (T1), 2 ºC (T2), 3 ºC (T3), dan 4 ºC (T4) 1 Karakter SFC oil blend PO, PS, dan CNO dengan proporsi CNO meningkat 8 6 4 CNO/PO/PS=1/45/45 CNO/PO/PS=2/4/4 CNO/PO/PS=3/35/35 CNO/PO/PS=4/3/3 CNO/PO/PS=5/25/25 CNO PO PS 2-2 5 1 15 2 25 3 35 4 45 Suhu ( C) Gambar 11. Karakter SFC oil blend minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dengan variasi proporsi CNO 1-5% 35

SFC (%) 8 Kurva SFC oil blend CNO/PO/PS experiment dan teoritical pada berbagai suhu observasi 7 6 5 4 3 2 1 1/45/45 2/4/4 3/35/35 4/3/3 5/25/25 Fraksi CNO/PO/PS T1.E T2.E T3.E T4.E T1.T T2.T T3.T T4.T Gambar 12. Kurva SFC hasil eksperimen (E) dan secara teoritis (T) untuk oil blend antara minyak kelapa (CNO), minyak sawit (PO), dan stearin (PS) dengan proporsi CNO 1% -5% pada suhu observasi 1ºC (T1), 2 ºC (T2), 3 ºC (T3), dan 4 ºC (T4) Formulasi oil blend CNO/PO/PS selanjutnya dilakukan dengan CNO sebagai variabel yaitu dengan proporsi minyak kelapa (CNO) yang semakin meningkat dari 1% hingga 5%. Sedangkan proporsi antara minyak sawit (PO) dan stearin (PS) dibuat tetap dengan perbandingan 1:1. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh CNO di dalam oil blend tersebut. Sehingga formulasi yang dilakukan yaitu oil blend dengan proporsi CNO/PO/PS dalam persentase (w/w) yaitu 1/45/45; 2/4/4; 3/35/35; 4/3/3; dan 5/25/25 seperti yang tercantum pada Tabel 11. Kurva SFC hasil oil blend dengan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil percobaan dengan tiga jenis minyak pada oil blend menunjukkan bahwa peningkatan proporsi CNO dalam oil blend CNO/PO/PS akan menurunkan nilai SFC yang dihasilkan seperti yang dihasilkan pada oil blend PO/CNO. Karakter kurva SFC CNO yang curam juga mempengaruhi bentuk kurva yang dihasilkan dalam oil blend. Kurva yang dihasilkan menjadi lebih curam bila dibandingkan dengan kurva oil blend CNO/PO/PS dengan proporsi CNO tetap pada Gambar 9. Hasil pengamatan perlakuan oil blend CNO/PO/PS dengan proporsi CNO yang semakin meningkat dapat pula disajikan berdasarkan suhu observasinya seperti pada Gambar 12 sehingga dapat terlihat perbandingan kurva SFC yang dihasilkan pada suhu observasi yang berbeda baik kurva secara eksperimen maupun secara teoritis. Kurva SFC yang dihasilkan memiliki linieritas yang tinggi baik pada suhu observasi 2⁰C, 3⁰C, dan 4⁰C yaitu dengan nilai R 2.991. Kurva SFC pada suhu observasi 1⁰C mengalami penyimpangan dengan bentuk kurva cekung dengan rata-rata selisih nilai yang cukup tinggi (9.184%SFC). Pada suhu yang sama, kurva SFC oil blend PO/CNO juga mengalami penyimpangan. Pada suhu 2⁰C, kurva SFC percobaan yang dihasilkan memiliki jarak terjauh dengan kurva SFC teoritis dibandingkan pengujian pada ketiga suhu observasi lainnya yaitu hingga mencapai selisih nilai SFC sebesar 2.29%. Selisih nilai yang cukup 36

tinggi memperlihatkan bahwa kurva SFC yang dihasilkan berbeda dengan kurva SFC secara teoritis. Hal ini juga diperkuat dengan hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut berbeda nyata pada taraf signifikansi α=.5. Hasil dari karakterisasi oil blend yang telah dilakukan dapat dikombinasikan dengan formulasi oil blend produk yang telah dimiliki oleh PT SMII. Beberapa jenis margarin yang diproduksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu margarin dengan tekstur keras untuk pembuatan produk cookies, margarin tekstur lunak untuk pembuatan produk bakery dan spread, serta margarin cair untuk keperluan pembuatan cake. Proses pembuatan margarin tekstur keras umumnya menggunakan minyak hasil hidrogenasi (hydrogenated oil) untuk meningkatkan nilai SFC dan titik cair sesuai yang diinginkan. Proses hidrogenasi yang digunakan memiliki peluang mengubah konfigurasi ikatan rangkap cis dalam minyak menjadi trans. Isu kesehatan menyangkut asam lemak trans yang terkait dengan penggunaan hydrogenated oil mulai menjadi perhatian konsumen. Stearin sebagai produk turunan minyak sawit yang secara alami dengan nilai kurva SFC dan titik cair yang tinggi dapat membantu dalam proses formulasi produk margarin tekstur keras tersebut dan mengurangi penggunaan hydrogenated oil. PT SMII juga memproduksi berbagai jenis shortening baik shortening yang bersifat plastis dan semi solid untuk produk-produk cake atau roti maupun flake shortening yang digunakan untuk produk pastry. PT SMII juga memproduksi beberapa jenis filler shortening. Minyak kelapa merupakan salah satu pilihan yang banyak digunakan oleh industri cookies sebagai komponen filler shortening karena sifatnya yang baik di mouth feel. Karakteristik minyak kelapa yang dihasilkan akan memberikan informasi dalam proses pembuatan oil blend. Penelitian yang dilakukan bukanlah tanpa cacat. Beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi nilai SFC yang dihasilkan antara lain konsistensi suhu. Alat NMR digunakan di dalam ruang dengan suhu sejuk (23-24ºC), sehingga pada suhu inkubasi 1ºC dan 2ºC tidak selalu tepat. Selisih waktu disaat tabung SFC diangkat dari water bath hingga dimasukkan dalam alat NMR juga dapat mempengaruhi nilai SFC yang dihasilkan. 2. Slip Melting Point Minyak dan lemak merupakan campuran trigliserida sehingga memiliki titik cair yang tidak tepat. Minyak sawit memiliki kisaran slip melting point 31.3-37.6⁰C dengan nilai ratarata 34.2⁰C sedangkan stearin memiliki kisaran slip melting point 44.5-56.2⁰C (Basiron, 25). Minyak kelapa memiliki kisaran slip melting point 24-26⁰C (Canapi et.al., 25). Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa dengan masing-masing slip melting point adalah 34.5⁰C, 49.1-49.7⁰C, dan 23.93⁰C. Titik cair dari beberapa campuran trigliserida umum dapat dikategorikan ke dalam empat zona cair yaitu pada suhu chilled, room, body, dan heated. Trigliserida pada zona chilled akan tetap berwujud cair pada kondisi dingin, sementara trigliserida zona room akan tetap berwujud cair hanya jika dikonsumsi pada suhu ruang atau suhu lebih tinggi. Trigliserida pada zona cair ketiga akan mencair pada suhu sekitar suhu tubuh untuk memberikan efek cooling di mulut. Trigliserida yang mencair pada suhu tinggi yaitu pada zona heated akan membantu mempertahankan plastisitas hingga suhu pemanggangan atau pemasakan tercapai. (O Brien, 24) 37

Titik Cair ( C) Titik Cair ( C) Lemak dan minyak tidak terdiri dari trigliserida tunggal atau bahkan zona likuid tunggal, rasio dari masing-masing trigliserida akan menentukan perilaku leleh dari minyak. Produk minyak yang terlihat padat pada kenyataannya juga terdiri dari fraksi cair yang tersuspensi di fraksi padatan. Oleh karena itu, digunakan slip melting point (SMP) untuk melihat karakteristik minyak. 5 4 3 a Karakter slip melting point oil blend PO dan PS e g h h/i i j f b c d 2 1 1/ 9/1 8/2 7/3 6/4 5/5 4/6 3/7 2/8 1/9 /1 PO/PS Gambar13. Karakter slip melting point Oil Blend antara minyak sawit (PO) dan stearin (PS) Hasil formulasi oil blend antara minyak sawit (PO) dan stearin (PS) dengan berbagai proporsi masing-masing yang berbeda akan menghasilkan slip melting point yang berbeda pula. Pada Gambar13 terlihat karakter slip melting point pada berbagai formulasi tersebut. Pada hasil formulasi PO/PS=3/7 dan PO/PS=2/8 menghasilkan slip melting point yang tidak berbeda nyata. Sama halnya dengan formulasi proporsi PO/PS=1/9 dengan PO/PS=2/8. Selain ketiga formulasi tersebut, masing-masing formulasi menghasilkan nilai slip melting point yang berbeda nyata terhadap formulasi lainnya. 35 i Karakter slip melting point Oil blend PO dan CNO 3 25 h g f e d c b b a d 2 15 1 5 1/ 9/1 8/2 7/3 6/4 5/5 4/6 3/7 2/8 1/9 /1 PO/CNO Gambar14. Karakter slip melting point Oil Blend antara minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO) 38

Titik Cair ( C) Titik Cair ( C) Formulasi oil blend antara minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO) menghasilkan nilai slip melting point yang beragam dan cenderung semakin menurun seiring meningkatknya proporsi CNO. Berdasarkan Gambar13 dapat dilihat bahwa seluruh formulasi saling berbeda nyata satu sama lain kecuali beberapa formulasi. Slip melting point antara formulasi PO/CNO=5/5 dan PO/CNO=/1 menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata seperti halnya antara formulasi PO/CNO=3/7 dan PO/CNO=2/8. Karakter slip melting point Oil Blend PO, PS dan CNO dengan peningkatan proporsi PS 5 4 a b c d e 3 2 1 1/9/ 1/7/2 1/5/4 1/3/6 1/1/8 CNO/PO/PS Gambar15. Karakter slip melting point Oil Blend antara minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dengan proporsi PS 2-8% Karakter slip melting point Oil Blend PO, PS dan CNO dengan peningkatan proporsi CNO a 4 b 35 c e 3 d 25 2 15 1 5 1/45/45 2/4/4 3/35/35 4/3/3 5/25/25 CNO/PO/PS Gambar16. Karakter slip melting point Oil Blend antara minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dengan proporsi CNO1%-5% Karakter slip melting point (SMP) pada oil blend dengan formulasi tiga jenis minyak menghasilkan nilai SMP yang berbeda nyata antara masing-masing formulasi seperti pada Gambar15 dan Gambar16. Penambahan stearin (PS) pada formulasi dengan peningkatan proporsi 2% secara berturut-turut secara nyata dapat menghasilkan titik cair dengan nilai yang berbeda. Hal yang sama juga berlaku pada formulasi yang menggunakan penambahan minyak kelapa (CNO) dengan peningkatan proporsi 1% untuk masing-masing formulasinya, menghasilkan SMP yang saling berbeda secara nyata satu sama lain. 39