TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA BULAN DI INDONESIA ADITIANTI

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Warung Anak Sehat (WAS)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekologi Anak Sekolah Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya yang tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-empat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB 1 : PENDAHULUAN. memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini manifestasi dari infeksi system gastrointestinal yang dapat disebabkan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan titipan illahi dan merupakan suatu investasi bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang. pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan kegiatan yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh kali sehari, ada yang sehari 2-3 kali sehari atau ada yang hanya 2

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diare adalah

BAB I PENDAHULUAN juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada bayi dan balita. United Nations Children's Fund (UNICEF) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah kondisi dimana terjadi buang air besar atau defekasi

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya lebih dari satu milyar kasus gastroenteritis atau diare. Angka

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG

Penyakit diare hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusia (Dinkes Sumut,

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMBUR LUBUK MENGKUANG KABUPATEN BUNGO TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) Gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai dengan umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (Shrimpton 2006). Pada keadaan stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Menurut Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Menurut WHO 2005, indikator tinggi badan menurut umur kurang dari -2 SD median National Center for Health Statistic/ World Health Organization (NCHS/WHO) didefinisikan sebagai kejadian stunting. Indeks Antropometri Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Indeks antropometri lebih praktis, cukup teliti, dan mudah dilakukan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana. Menurut Gibson (1990) antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan 5

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Menurut Jahari & Abunain (1986) indeks antropometri untuk memantau status gizi merupakan suatu pilihan alternatif cara yang termudah. Disamping mudah penggunaannya, biaya operasionalnya pun lebih mudah dibandingkan pemeriksaan laboratorium dan klinis. Untuk mengukur status gizi secara antropometri dianjurkan menggunakan tiga ukuran yaitu berat badan, tinggi badan dan umur. Selanjutnya, ketiga ukuran tersebut dikombinasikan membentuk tiga indikator status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator-indikator tersebut lalu dibandingkan dengan standar baku yang ditetapkan. Menurut Husaini (1988) masing-masing indikator mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indikator TB/U adalah : 1. Merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau 2. Pengukuran objektif dan memberikan hasil yang sama jika dilakukan berulang-ulang 3. Alat pengukuran mudah dibawa dan dapat dibuat secara lokal 4. Ibu yang keberatan jika anaknya diukur sangat jarang 5. Paling baik untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun Kekurangan indikator TB/U adalah : 1. Dalam menilai intervensi, harus disertai dengan indikator lain seperti BB/U 2. Membutuhkan beberapa tekhnik pengukuran seperti : alat ukur panjang badan untuk anak umur < 2 tahun dan alat ukur TB untuk anak umur > 2 tahun 3. Lebih sulit untuk dilakukan, bila kader/pertugas belum mempunyai pengalaman 4. Memerlukan dua orang untuk mengukur anak 5. Umur kadang-kadang sulit untuk didapatkan secara pasti Jahari (1988) menambahkan bahwa tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. 6

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Martorell 1985 dalam Jahari 1988). Oleh karena itu indeks TB/U, di samping digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Tinggi Badan tidak terpengaruh oleh keadaan yang terjadi dalam waktu singkat. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan kerangka tubuh. Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu tanda yang ditemukan pada penderita KEP. Ketinggalan pertumbuhan akibat gangguan gizi yang terjadi pada masa anak-anak sulit dikejar dan akan terlihat akibatnya pada umur-umur selanjutnya bahkan pada waktu dewasa. Dengan demikian, tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk status energi dan protein masa lalu (Abunain & Jahari 1987). Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan (Riyadi 2001). Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada balita dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang disebabkan kurangnya asupan gizi. Kekurangan energi dan protein dalam jangka panjang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut UNICEF (1990) status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsumg dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan 7

kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan. Besar Keluarga Karakteristik Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan (Sanjur 1982). Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anak-anaknya dengan lebih baik. Dengan semakin bertambahnya anggota keluarga, jika pangan yang tersedia terbatas akan menyebabkan berkurangnya pangan yang didapat anak, sehingga dapat menimbulkan gangguan status gizi pada anak balita. Selain itu, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah kelompok yang paling rawan terhadap gizi 8

kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989). Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Jumlah anggota keluarga berperngaruh terhadap terjadinya stunting pada anak. Semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga, terjadinya stunting semakin besar (Soehardjo 1989) Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran pangan sehari-hari semakin sulit. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas pangan yang diperoleh semakin tidak mencukupi untuk anggota keluarga termasuk anak balita. Besar keluarga merupakan faktor risiko terjadinya kurang gizi pada anak di negara berkembang Menurut Adeladza (2009) besarnya keluarga dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi pada anak di negara berkembang. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang besar lebih banyak yang mengalami kurang gizi. Sumberdaya yang tersedia jika anggota keluarga tersebut besar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak seperti terbatasnya asupan makanan pada anak. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi (Rahmawati 2006). Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua marupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak, pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu 9

membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah baik (Amelia 2001). Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Menurut Adeladza (2009), pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak. Anak yang berasal dari ibu yang tidak berpendidikan lebih berisiko untuk mengalami underweight dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan seseorang sangat berhubungan dengan pendapatan yang didapatnya. Pekerjaan yang baik dan sesuai dengan bidangnya akan mendapatkan pendapatan yang sesuai. Menurut Patrick & Nicklas (2005), pendapatan sangat berhubungan dengan pola makan. Pendapatan yang tinggi berhubungan dengan konsumsi vitamin pada anak dan pola makan keluarga Anak yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah di Inggris memiliki asupan energi dan zat gizi lainya banyak yang berasal dari makanan selingan Saat ini, kaum wanita yang memasuki dunia kerja semakin besar. Ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk 10

melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Bila ini terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah maka pola asuh makan anak akan terpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu terutama pada masa usia prasekolah (Lusiasari & Susanto 1990). Pengeluaran Salah satu cara untuk melihat tingkat kesejahteraan atau status ekonomi rumah tangga adalah dengan mengetahui rata-rata pengeluaran rumah tangga yang bersangkutan. Salah satu hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernest Engel menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan (BPS 2008). Sementara itu Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa dari hasil analisis data sekunder SUSENAS ditemukan adanya kecenderungan bahwa samakin besar pengeluaran pangan rumah tangga maka akan semakin rendah proporsi energi dari pangan padi-padian, lemak/minyak, serta buah-buahan. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (BPS 2008). Penyakit Infeksi Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah atau pengaruh metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum definisi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan (Suhardjo 1989). Keadaan gizi kurang dan infeksi bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi manghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi dalam tubuh. 11

Antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk (Suhardjo 1989). Adeladza (2009) menyatakan terdapat interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas bayi dan anak akan terganggu. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare. Menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Sementara itu, menurut Bomela (2007), rendahnya kualitas air berhubungan dengan terjadinya water borne disease seperti diare, yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kehilangan berat badan. Lokasi toilet juga berhubungan dengan higiene lingkungan di rumah. Sanitasi Lingkungan Lingkungan yang baik merupakan prakondisi untuk hidup sehat bagi masyarakat (Depkes 1991). Menurut Notoatmodjo (1997), kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Ruang lingkup sanitasi lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan tinja, penyediaan air bersih, pembuangan sampah dan sebagainya. Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan 12

fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Syarief (1997) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan. Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa penyakit infeksi dari infeksi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang energi protein. Menurut Bomela (2007) faktor lingkungan yang turut mempengaruhi status gizi adalah sumber air, tipe rumah dan lokasi toilet. Menurut Sukarni (1989) keadaan perumahan mempunyai hubungan yang erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama yang menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan. Air yang bersih berperan penting dalam menjaga kesehatan karena beberapa bibit penyakit tertentu dapat ditularkan oleh air yang terkontaminasi. Air bersih dapat diperolah melalui : (1) sumur pompa tangan, (2) penampungan air hujan jika sumber mata air yang lain tidak ada, (3) mata air yang dirawat, dan (4) sumur gali tertutup. Agar memenuhi syarat kesehatan sebagai sumber air utama rumah tangga, maka sumber air harus dilindung dari bahaya-bahaya pengotoran. Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik dikatakan baik, jika air tidak berwarna, berbau, tidak berasa, jernih dan suhu sebaiknya berada di bawah suhu udaha sehingga terasa nyaman. Syarat kimia dikatakan baik, jika tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO 2, H 2 S, NH 4, dan lain-lain. Syarat bakteriologi dikatakan baik jika tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan (Sukarni 1989). 13

Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia ialah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut situs resmi organisasi kesehatan dunia (WHO), dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantarnya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Penyakit diare, secara spesifik, sebagian besar diakibatkan oleh air yang tidak bersih, sanitasi, dan higiene yang buruk (Anonymous 2007). Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Agar sampah tidak membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu dalam hal penyimpanan, pengumpulan dan pembuangan. Untuk penyimpanannya, diperlukan tempat sampah di setiap rumah. Sementara itu, yang dimaksud dengan air limbah terdiri dari kotoran manusia, dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Pengaturan air limbah sangat diperlukan diantaranya agar : (1) mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, (2) menjaga kebersihan makanan agar tidak terkontaminasi, (3) melindungi air minum dari ternak dan (4) mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit (Sukarni 1989). Jamban ialah tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan sehingga tinja tidak kontak langsung dengan lingkungan sekitar. Jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sukarni 1989). Berdasarkan data BPS tentang aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi hingga tahun 2006 tingkat rumah tangga di Indonesia yang menggunakan jamban pribadi baru mencapai 60% atau sekitar 31,8 juta. Dari angka tersebut, kualitas jamban yang baik yang klosetnya berbentuk leher angsa baru mencapai 62% saja. Rumah tangga yang mempunyai tangki pembuangan tinja juga baru mencapai 41% (Permanasari, Luciasari & Purwanto 2009) Perilaku pembuangan kotoran manusia masih merupakan suatu kebiasaan yang kurang menunjang upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembuangan yang tidak baik berperan dalam pencemaran tanah dan 14

sumber air bersih yang dibutuhkan manusia untuk minum, masak, mandi dan mencuci. Akibat langsung, yaitu meningkatnya insiden penyakit-penyakit tertentu seperti diare, kolera, serta tipus yang ditularkan melalui air yang terkontaminasi. Selain itu kotoran manusia di permukaan tanah lama-kelamaan menjadi kering. Setelah kering terbawa tiupan angin bersama-sama debu dan menyebar kemana-mana sambil membawa kuman penyakit seperti bakteri, telur cacing, kista amuba dan lain-lain. Di samping itu lalat dan insekta lainnya bisa hinggap di atas tinja dan selanjutnya hinggap di atas makanan sambil membawa kuman penyakit seperti tersebut di atas. Penurunan kondisi higiene lingkungan akan menyebabkan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kusnodiharjo 1997). Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Brotojoyo 2006). Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia (BPS 2004). Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Dasawisma, yang kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan. Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan 15

kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak. Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. Upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan status gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu (Hidayat, Hermina & Fuada 2009). Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Puskesmas adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan Puskesmas umumnya berada di bawah dinas kesehatan kabupaten/kota. Pondok Bersalin Desa (POLINDES) Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang merupakan wujud nyata bentuk peran serta masyarakat didalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk KB di desa. Latar belakang sebagai bentuk peranserta masyarakat, polindes seperti halnya posyandu, dikelola oleh pamong setempat, dalam hal ini kepala desa melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Namun berbeda dengan posyandu yang pelaksanaan pelayanan dilakukan oleh kader dan didukung oleh petugas puskesmas, polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada keberadaan bidan. Hal ini karena pelayanan di Polindes merupakan pelayanan 16

profesi kebidanan Faktor penghambat tumbuh kembang Polindes antara lain kesulitan mendapatkan lokasi yang strategis, kesulitan menggali peran serta masyarakat, bidan tidak tinggal di desa, budaya masyarakat melahirkan di tolong oleh dukun dan melahirkan dirumahnya sendiri (Depkes 2006). Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) Pengertian Posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan dan keluarga berencana yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Sasaran Posyandu adalah bayi/balita, ibu hamil/ibu menyusui dan wanita usia subur (WUS) dan pasangan usia subur (PUS) (Sembiring 2004). Tujuan penyelenggaraan Posyandu adalah : (1) Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu ( ibu Hamil, melahirkan dan nifas); (2) Membudayakan NKKBS; (3) Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB beserta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera dan (4) Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera. Kegiatan Pokok Posyandu adalah : (1) KIA; (2) KB; (3) lmunisasi; (4) Gizi dan (5) Penggulangan Diare. Pelaksanaan posyandu umumnya setiap sebulan sekali Dalam pelaksanaannya, dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5 (lima) meja yaitu : (1) Meja I : Pendaftaran; (2) Meja II : Penimbangan ; (3) Meja III : Pengisian KMS ; (4) Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS dan (5) Meja V : Pelayanan Keluarga berencana dan imunisasi (Sembiring 2004). Perilaku Higienis Cuci tangan merupakan salah satu kebiasaan yang tercakup dalam perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Meski terkesan sepele, cuci tangan memiliki manfaat besar. Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian 17

telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya. Banyak orang yang menyepelekan dan melupakan aktifitas mencuci tangan setelah melakukan suatu pekerjaan dan sebelum makan sehingga mereka berisiko terserang penyakit yang berasal dari kuman di tangan (Adytama 2009). Cuci tangan efektif mencegah penyakit dengan catatan dilakukan secara benar. Syaratnya menggunakan air dan sabun antiseptik yang bisa membunuh kuman, dilakukan pada seluruh bagian telapak dan jari-jari tangan, serta menggunakan air yang mengalir. Cuci tangan sebaiknya dilakukan pada saat sebelum makan, sesudah beraktivitas dari luar, sebelum menghidangkan makanan, sesudah dari toilet/kamar mandi, dan sesudah memegang hewan. Praktik cuci tangan pakai sabun pada waktu tertentu, yaitu sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, setelah menceboki pantat anak, dan sebelum menyiapkan makanan bisa mengurangi prevalensi diare sampai 40% (Adytama 2009). 18