UNIVERSITAS INDONESIA STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

ISSN Jurnal Exacta, Vol. X No. 1 Juni 2012 KEANEKARAGAMAN DAN POPULASI BAMBU DI DESA TALANG PAUH BENGKULU TENGAH

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

Potensi Tanaman Bambu di Tasikmalaya

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusa sp.) DI KAWASAN TAHURA NIPA-NIPA KELURAHAN MANGGA DUA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

Jurnal Bakti Saraswati Vol. 05 No. 02. September 2016 ISSN :

Keanekaragaman Jenis Bambu di Gunung Ciremai Jawa Barat

Inventarisasi Bambu di Kelurahan Antirogo Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman yaitu kekayaan spesies dan kemerataan dari kelimpahan setiap

BAB III METODE PENELITIAN

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

I. PENDAHULUAN. Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sudah maju maupun di negara yang masih berkembang, di daerah dataran rendah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Alkohol 70% Mencegah kerusakan akibat jamur dan serangga

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

TINJAUAN PUSTAKA. dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kegunaan bambu SNI 8020:2014

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. ekosistem asli (alami) maupun perpaduan hasil buatan manusia yang

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan luar

TINJAUAN PUSTAKA. Di seluruh dunia terdapat 75 genus dan spesies bambu. Di

JENIS-JENIS POHON DI SEKITAR MATA AIR DATARAN TINGGI DAN RENDAH (Studi Kasus Kabupaten Malang)

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bambu termasuk salah satu tumbuh-tumbuhan anggota famili Gramineae. Tumbuhan bambu berumpun dan terdiri atas sejumlah

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKU DI KAWASAN HUTAN GIRIMANIK KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

KEANEKARAGAMAN BURUNG PANTAI DAN POTENSI MAKANAN DI PANTAI MUARA INDAH KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

Keanekaragaman Bambu dan Manfaatnya Di Desa Tabalagan Bengkulu Tengah

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dibagi menjadi 7 strata ketinggian. Strata IV ( m dpl) Karakter morfologi bambu tali dicatat (lampiran 2).

ANALISIS SOSIAL EKONOMI PEMANFAATAN DAN POTENSI TANAMAN BAMBU (Studi Kasus: Kelurahan Berngam, Kec. Binjai Kota, Kotamadya Binjai)

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ini

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

Pemetaan Pandan (Pandanus Parkins.) di Kabupaten dan Kota Malang

KARAKTERISTIK ORGAN REPRODUKSI DAN DISPERSAL TUMBUHAN INVASIF LANGKAP

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat

Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm/tahun. Hutan Hujan

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PADA INDUSTRI FREIGHT FORWARDING DENGAN INTEGRASI IPA DAN TAGUCHI TESIS

III. METODE PENELITIAN

FUNGSI TANAMAN BAMBU DALAM LANSEKAP BERDASARKAN KARAKTER FISIK DAN VISUAL. Oleh : RETNO ISMURDIATI

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Transkripsi:

UNIVERSITAS INDONESIA STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH TESIS SUYAMTO 0906576246 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPOK JUNI 2011

UNIVERSITAS INDONESIA STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains SUYAMTO 0906576246 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : SUYAMTO NPM : 0906576246 Tanda tangan : Tanggal : 30 Mei 2011 ii

JUDUL Nama : STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH : SUYAMTO NPM : 0906576246 MENYETUJUI, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja Drs. Wisnu Wardhana, M. Si Pembimbing I Pembimbing 2 2. Penguji Dr. Nisyawati Penguji I Dr. Andi Salamah Penguji II 3. Ketua Pascasarjana Biologi 4. Ketua Program Pascasarjana FMIPA UI FMIPA UI Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M. Biomed Dr. Adi Basukriadi, M.Sc. Tanggal Lulus: 30 Mei 2011 iii

HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: Nama : Suyamto NPM : 0906576246 Program Studi : Biologi Judul Tesis : Struktur Komunitas dan Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja (...) Pembimbing II : Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. (...) Penguji I : Dr. Nisyawati (...) Penguji II : Dr. Andi Salamah (...) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 30 Mei 2011 iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademika, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Suyamto NPM : 0906576246 Program Studi : Biologi Departemen : Biologi Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jenis karya : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Nonexclusive (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Struktur Komunitas dan Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonexclusive ini berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 11 Januari 2011 Yang menyatakan S u y a m t o v

Name : Suyamto (0906576246) Date : January, 11, 2011 Title : COMMUNITY STRUCTURE AND UTILIZATION OF BAMBOO IN THE PERSPECTIVE OF THE COMMUNITY OF SUBDISTRICT SRUMBUNG, MAGELANG DISTRICT CENTRAL JAVA PROVINCE Thesis Supervisors: Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja ; Drs. Wisnu Wardhana, M.Si. SUMMARY Subdistrict Srumbung is an area that belongs to Magelang District where the bamboo species diversity has not been revealed. Subdistrict Srumbung is located at the southwest of Mount Merapi, with the coordinate 7 o 32-7 o 34 S and 110 o 24-110 o 25 E. The border of the west Srumbung is the Dukun District, where as the southern and eastern of Srumbung is Salam district of Sleman Yogyakarta Province. The annual average temperature reaches 26 o -28 o C, situated at an altitude of 800-1000 m above sea level. Study on the community structure and utilization of bamboo held in 40 plots in the Subdistrict Srumbung, Magelang District, Central Java Province. This research was conducted on October 2010. The method used was purposive sampling method, with a sampling size of 10x10m located in Srumbung Subdistrict. The second method with the technique of semi-structural interviews with the Participant Rural Appraisal (PRA). Tools and matterials required are the meter rolls, plot stakes, plastic tape, GPS, maps of Srumbung Subdistrict, scissors / knife, newspaper, sasak, plastic bags, data sheets, and others. The following parameters : the frequency, importance value, density, diversity index, evenness, and dominance of both distribution patterns of bamboo culm and bamboo groves where collected. Temperatures of the Subdistrict Srumbung ranged from 21.1 o to 32.8 o C. The average rainfall is 51-532 mm per year, relative humidity 72% - 85%. The total area of Subdistrict Srumbung 5.317 km 2, which is 4.9% Magelang district. Srumbung is located southwest of Mount Merapi, including in a dangerous area I of Mount Merapi which is active at the moment. The topography of Srumbung vi

Subdistrict consists of plateaus and mountains adjacent to Mount Merapi, this condition makes the climate in the District Srumbung quite cool. Bamboo which is found in Subdistrict Srumbung are: Bambusa glaucophylla, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Gigantochloa apus, Gigantochloa sp., Phyllotachys aurea, Schizostachyum brachycladum. The highest abundance of bamboo culm and bamboo clump is Gigantochloa apus. The highest frequency was also found in Gigantochloa apus (0.5). The highest culm density recorded was Gigantochloa apus (2567.5 per ha), where are the highest clump recorded is Dendrocalamus asper (137.5 clumps per ha). Based on the culm and clump diversity, the highest recorded is found ats Gigantochloa apus (0.320), and Dendrocalamus asper (0.296). When the importance values was calculated, the highest record was Dendrocalamus asper (0.222), and the Gigantochloa atter (0.119) then followed by other species. The highest dominance values found at Gigantochloa apus (0.019), Dendrocalamus asper (0.016). The highest diversity of the clumps was recorded Dendrocalamus asper (0.00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0.0002), followed by another species. The results obtained by Shannon Wiener diversity index showed that bamboo species diversity is low or slightly high because its value is less than 1. But if we calculated the total value of the index biodiversity to all kinds of bamboo in the studied area, its index biodiversity value is between 1 and 3 (1.2047 / when counted individually). Based on index value Morista both culm and clump, generally evenly distributed and clustered. The differences occur in Bambusa vulgaris var. vulgaris and Gigantochloa atter, calculated culm or clumps, a pattern opposite. Such a distribution pattern of bamboo is still relatively, because there are bamboo species whose life clumps into one so it will be difficult to distinguish individual bamboo species that constitute them. From this study, it is found that the largest diameter of the bamboo found on Dendrocalamus asper (up to 22 cm), the smallest is Phyllotachys aurea (only about 2.5 cm). Clump diameter will affect the population pattern and harvesting system. Based on this study, the diameter of the largest clump is found at vii

Gigantochloa atter (reaching 480 cm). Where the smallest is Bambusa glaucophylla (up to 51 cm). In general, according to UVI test, the benefits value of bamboo found heavy construction material and it is collected from Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris, where as the others do not have benefits value for heavy construction. For light construction, they use: Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea and Gigantochloa atter. For equipment / furnishings, they use: Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea. For matting / craft / rigging, they use: Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocallamus asper. For traditional technology, they use : Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa sp., Gigantochloa atroviolacea. They never used Phyllotachys aurea and Bambusa glaucophylla. For traditional furniture, they use : Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper. For ritual / custom / weapons / aesthetics, they use : Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea; Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata,bambusa glaucophylla and Dendrocalamus asper. For fuel wood, they use : Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, and Gigantochloa atroviolacea has been used. For food the shoots of : Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, and Gigantochloa atroviolacea has been used. Utilization of bamboo in the Subdistrict Srumbung perspective, the most widely mentioned in the category is Dendrocalamus asper and Gigantochloa apus. xi + 73 hlm; gbr.; lamp.; tab. Bibl.: 38 (1981 2007) viii

KATA PENGANTAR Alhamdulillah berkat ridho Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Prof. Dr. Hj. Elizabeth Anita Widjaja selaku Pembimbing I dan Drs. Wisnu Wardhana M.Si., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu yang bermanfaat kepada Penulis. 2) Dr. Nisyawati selaku Penguji I dan Dr. Andi Salamah selaku Penguji II, atas kritik, saran, dan masukan yang sangat berguna bagi penulisan tesis ini. 3) Istri, ananda Naufal Ahmad Rizky Akbari dan Dzikri Novian Ahmad Raihan, keluarga di Srumbung dan Sleman yang telah menyemangati dalam penelitian maupun penyusunan tesis ini. 4) Teman-teman Pascasarjana Angkatan 09 UI, Pak Nas, Santi, Heni, Avi, Fauzan, Hendi dan seluruh teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. 5) Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed., selaku Ketua Program Pascasarjana Biologi. 6) Teman-teman pengajar Fakultas MIPA UNMA Banten, atas segala dukungan yang diberikan kepada Penulis. 7) Pengajar dan staf Pascasarjana Biologi UI atas ilmu yang diberikan, semoga bermanfaat untuk pengembangan Biologi Konservasi khususnya konservasi bambu di Indonesia. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, namun Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat, terutama untuk pengembangan konservasi bambu dengan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Depok 2011, Penulis ix

DAFTAR ISI SUMMARY... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENGANTAR PARIPURNA... 1 MAKALAH I : STRUKTUR KOMUNITAS BAMBU DI KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Pendahuluan... 3 Metode Penelitian... 5 Hasil... 10 Pembahasan... 22 Kesimpulan dan Saran... 27 Daftar Acuan... 28 vi ix x xi xi MAKALAH II: PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Pendahuluan... 36 Metode Penelitian... 38 Hasil... 42 Pembahasan... 53 Kesimpulan dan Saran... 57 Daftar Acuan... 58 DISKUSI PARIPURNA... 61 RANGKUMAN KESMPULAN DAN SARAN... 68 DAFTAR ACUAN... 71 x

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Peta lokasi penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah... 6 Gambar 1.2 Alat untuk penelitian... 7 Gambar 1.3 Letak plot sampling pada lokasi penelitian... 8 Gambar 1.4 Jenis-jenis bambu di Kecamatan Srumbung... 29 Gambar 1.4.1 Bambusa glauchophylla... 12 Gambar 1.4.2 Bambusa vulgaris var. striata... 13 Gambar 1.4.3 Bambusa vulgaris var. vulgaris... 14 Gambar 1.4.4 Dendrocalamus asper... 15 Gambar 1.4.5 Gigantochloa apus... 16 Gambar 1.4.6 Gigantochloa atroviolacea... 17 Gambar 1.4.7 Gigantochloa atter... 18 Gambar 1.4.8 Gigantochloa sp... 19 Gambar 1.4.9 Phyllotachys aurea... 10 Gambar 1.4.10 Schizostachyum brachycladum... 21 Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah... 42 Gambar 2.2 Pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung... 46 Gambar 2.2.1 Pemanfaatan G. atter dan G. apus... 46 Gambar 2.2.2 Pemanfaatan G. apus dan G. atter... 47 Gambar 2.2.3 Pemanfaatan G. atter dan G. apus... 48 Gambar 2.2.4 Pemanfaatan G. apus... 49 Gambar 2.2.5 Pemanfaatan G. apus... 50 Gambar 2.2.6 Pemanfaatan G. apus dan D. asper... 51 Gambar 2.2.7 Pemanfaatan berbagai jenis bambu... 52 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung rumpun 32 Lampiran 1.2 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung ndividu 33 Lampiran 1.3a Diameter rumpun, diameter buluh, nilai indeks Morista 34 Lampiran 1.3b Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun... 34 Lampiran 1.3c Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun dalam bentuk diagram... 34 Lampiran 1.4 Deskripsi bambu di Kecamatan Srumbung... 35 Lampiran 2.1a Nilai manfaat lokal bambu di Kecamatan Srumbung... 62 Lampiran 2.1b Pemanfaatan bambu dengan uji UVI (User Value Index) di Kecamatan Srumbung... 62 Lampiran 2.2 Data informan di Kecamatan Srumbung... 54 Lampiran 2.3 Pedoman wawancara semi struktural masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah... 57 Lampiran 2.4 Glosarium... 59 xi

PENGANTAR PARIPURNA Bambu merupakan salah satu kelompok rumput raksasa yang telah digunakan secara luas di Pulau Jawa. Bambu disini dipakai sejak lahir untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir hingga sebagai bahan bangunan, mebel, alat musik, makanan (rebung), keranjang anyaman, tikar, dinding rumah, perangkap ikan, senjata, pipa untuk saluran air dan untuk tanaman hias. Bambu diperoleh baik dari bambu liar maupun dari bambu yang ditanam di dekat pemukiman, terutama di daerah tebing yang tidak memungkinkan bagi penanaman tumbuhan lain (Whitten 1999). Bambu merupakan hasil hutan bukan kayu yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, namun mempunyai potensi yang sangat besar. Menurut Widjaja (2007 lihat Indrawan dkk. 2007), di Indonesia terdapat 157 spesies bambu. Bambu yang sudah dimanfaatkan, antara lain: Gigantochloa pseudoarundinaceae, Bambusa blumeana. Gigantochloa nigrociliata, Gigantochloa robusta, Gigantochloa atter, dan Dendrocalamus asper. Dalam mengenal bambu orang sering mengalami kesulitan, karena kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Untuk mendeskripsikan bambu, diperlukan ciri-ciri morfologi baik dari rebung, pelepah buluh dan daun, sistem percabangan rimpang dan perbungaan, walaupun bambu jarang berbunga. Bambu adalah tumbuhan yang batangnya beruas, berbuku, berongga, bercabang, berimpang. Rimpang bambu mempunyai 2 tipe, yaitu pakimorf (dicirikan oleh rhizome simpodial) dan leptomorf (dicirikan oleh rhizome monopodial). Buluh bambu berbentuk silinder, berdinding keras, berdiameter 0,5 20 cm, walaupun kadang-kadang diperoleh bambu yang berdiameter lebih dari 20 cm (Sutarno dkk. 1996; Chua et al. 1996). Struktur komunitas tumbuhan adalah suatu deskripsi atau pertelaan atau deskripsi masyarakat tumbuhan yang dapat memberi gambaran komposisi jenis dan kelimpahan. Struktur komunitas juga dapat mengetahui keanekaragaman jenis, struktur unit vegetasi, spesies dominan, frekuensi, daya adaptasi dan kondisi habitatnya (Wirakusuma 2003). Struktur komunitas..., Suyanto, 1 FMIPAUI, 2011

2 Kebutuhan bambu semakin hari semakin meningkat dan sudah menjadi komoditas ekspor yang cukup banyak pemanfaatannya. Hal tersebut dikarenakan kegunaan bambu yang multi manfaat serta semakin berkembangnya industri yang menggunakan bambu sebagai bahan baku. Adapun kegunaan bambu antara lain : pembuatan kertas, pembuatan konstruksi bangunan, alat pertanian, alat olah raga, alat rumah tangga, alat kesenian, mebel, industri anyaman, tanaman hias, dan bahan makanan (Dephut 1992). Kecamatan Srumbung adalah sebuah daerah Kabupaten Magelang yang mempunyai keanekaragaman bambu yang masih baik. Sampai tahun 1990-an jenis bambu yang sudah dikonservasi atau tumbuh secara alami, digunakan untuk menunjang kehidupan. Bambu ditanam di pekarangan, tegalan dan pada lahan marginal. Tepian sungai yang bertopografi miring hingga curam juga merupakan tempat penanaman bambu (Batubara 2002). Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui struktur komunitas bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah (Makalah I). 2) mengetahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah (Makalah II). Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini juga akan memperlihatkan/menggambarkan keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dengan kajian etnobotani, melalui pendekatan emik dan etik.

MAKALAH I STRUKTUR KOMUNITAS BAMBU DI KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH COMMUNITY STRUCTURE OF BAMBOO IN SUB DISTRICT SRUMBUNG MAGELANG CENTRAL JAVA PROVINCE Suyamto Suyamto35@yahoo.co.id ABSTRACT The study on the community structure of bamboo was done at sub district Srumbung Magelang Central Java Province. This study has been held on October 2010. Fourty plots have been made at sub district Srumbung. The research was done by using purposive sampling technique. From this study, it is shown that were 51 species of bamboo and non bamboo. There are 10 species of bamboo found in these plots. The highest frequency of bamboo Gigantochloa apus (0,5). The highest density is also Gigantochloa apus (2567,5 culm/ha) but Dendrocalamus asper (137,5 clump/ha). The highest density based on clump/ha is Gigantochloa apus (0,320 culm/ha) and Dendrocalamus asper (0,222 clump/ha). When the important value was calculated for clump/ha. The highest dominance is Gigantochloa apus (0,019 culm/ha), and Dendrocalamus asper (0,016 clump/ha). When the dominancy was calculated based on clump/ha. The diversity index showed a low diversity when calculated for culm/ha. The dispersal of bamboo culm and clump is colony and aggregate. The highest culm diameter is Dendrocalamus asper. The highest clump diameter is Gigantochloa atter. Key Words : Important value; Dendrocalamus asper; Gigantochloa apus; Gigantochloa atter; Diversity index. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dibutuhkan pemahaman tentang potensi keanakeragaman hayati secara luas. Penelaahan ekologi ke berbagai ekosistem merupakan langkah awal pengumpulan data dasar potensi keanekaragaman tersebut (Partomihardjo & Rahajoe 2004). 3

4 Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah kekayaan hidup di bumi yang terdiri atas tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, sedangkan keanekaragaman genetik tersebut disebabkan beranekaragamnya susunan genetiknya (Mc. Neely 1992; Rugayah dkk. 2004; Suprijatna 2008). Keanekaragaman hayati meliputi flora dan fauna di suatu kawasan (Sheil 2004) sebagai habitat hidupnya yang disebut keanekaragaman ekosistem (Indrawan dkk. 2007). Dalam penelitian ekologi tumbuhan, sering terjadi perbedaan terminologi, seperti tumbuh-tumbuhan, flora, dan vegetasi. Konsep komunitas tumbuhan dapat dipahami dari jenjang satuan biologi terbawah, seperti individu dan populasi. Sebaliknya konsep komunitas tidak merupakan penjumlahan populasi anggotanya (Ismal 1989; Wirakusumah 2003; Fachrul 2007; Indriyanto 2008). Struktur komunitas adalah susunan dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas. Struktrur komunitas memiliki karakteristik yang dapat diukur: keanekaragaman (biodiversitas), dominansi, persebaran, bentuk, dan struktur pertumbuhan serta kelimpahannya (Ewusie 1990; Wirakusumah 2003). Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi tinggi di Jawa, dan pemakaiannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk hasilhasil lain yang dapat diperdagangkan. Bambu termasuk dalam anak suku Bambusoideae suku Poaceae atau Gramineae atau suku rumput-rumputan (Widjaja 2001). Bambu oleh masyarakat suku Jawa dinamakan pring, suku Bali menamakan tiying, suku Sunda menamakan awi. Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi tinggi dan pemakaiannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun produk yang dapat diperdagangkan. Hasil penelitian Widjaja (1997), menunjukkan bahwa bambu di Indonesia bertambah 43 jenis baru, yang terdiri atas 6 jenis Bambusa, 3 jenis Dendrocalamus, 4 jenis Dinochloa, 13 jenis Gigantochloa, 2 jenis Nastus, 2 jenis Racemobamboos, 11 jenis Schizostachyum dan 2 jenis dalam marga monotipe Parabambusa dan Pinga. Dua marga baru (Fimbribambusa dan Neololeba) merupakan hasil pemisahan dari marga Bambusa Schreb. Diperkirakan bambu di dunia ada 1.200 1.300 jenis. Berdasarkan data penelitian Widjaja (2001), bambu di Indonesia diketahui terdiri dari 160 jenis. Di Pulau Jawa diperkirakan

5 hanya ada 60 jenis, 26 jenis merupakan jenis introduksi, 934 jenis merupakan jenis yang asli. Menurut Indrawan dkk. (2007) keanekaragaman jenis bambu di Indonesia termasuk tinggi. Penelitian bambu di Indonesia dimulai dari Maluku oleh Rhumphius (1756), selanjutnya oleh Kurz (1876) juga melakukan penelitian bambu di Pulau Bangka. Saat ini baru tercatat ada 160 jenis bambu, dan masih ada lebih 20 jenis yang masih perlu diteliti lebih lanjut, 88 jenis diantaranya adalah jenis endemik di Indonesia (Widjaja, kom. pri.). Ada 48 jenis bambu di Indonesia yang potensial untuk industri, tetapi yang sudah diproses untuk aneka kegunaan yang komersial baru 9 jenis saja (Kasmudjo 2010). Struktur komunitas tumbuhan, termasuk bambu, memiliki sifat kualitatif maupun kuantitatif. Deskripsi struktur komunitas dapat dilakukan dengan parameter kualitatif dan parameter kuantitatif. Parameter kualitatif komunitas tumbuhan, antara lain, dominansi, penyebaran, distribusi, kerapatan berdasarkan penaksiran kualitatif tumbuhan. Parameter kuantitatif antara lain kerapatan, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan nilai penting (Arief 1994; Soerianegara & Indrawan 1998; Indriyanto 2008). Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian struktur komunitas dan pemanfaatan bambu dapat digambarkan sehingga dapat dijadikan kawasan konservasi di daerah Kecamatan Srumbung. METODE PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Oktober 2010, sebelum erupsi besar Gunung Merapi. Lokasi penelitian dipilih di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Srumbung terletak di

6 sebelah barat daya Gunung Merapi, dengan koordinat 7 o 32-7 o 34 LS dan 110 o 24-110 o 25 BT. Kecamatan Srumbung berbatasan dengan Kecamatan Dukun, Kecamatan Salam serta Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Suhu tahunan berkisar antara 26 o -28 o C, terletak di ketinggian 800-1000 m dpl. Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah [Sumber: Dokumentasi pribadi]. Bahan dan Cara Kerja Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital (Kodak C653), buku identifikasi bambu, meteran gulung, pathok, tali tambang, peta Kecamatan Srumbung skala 1 : 60.000 (lihat gb. 1.1), gunting, sabit, label gantung, kantung plastik, GPS (Global Positioning System), kertas koran, lembar data, alat tulis, penggaris, sampel organ bambu (lihat gambar. 1.2). Universitas 20 cm Indonesia

7 Gambar 1.2 Alat untuk penelitian [sumber: Dokumentasi pribadi]. Cara kerja Pengamatan pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan, dengan tujuan mengenal lokasi dan mengenal jenis bambu sesuai nama lokal bambu. Kemudian ditentukan zona-zona terpilih berjumlah 40 plot, ukuran 10 m X 10 m. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive sampling di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah (lihat gb. 1.3) Analisis vegetasi, pengambilan data di lapangan dengan mengukur dan mencatat parameter, yaitu : nama jenis (spesies), frekuensi kehadiran setiap jenis, jumlah buluh, jumlah rumpun bambu, diameter buluh dan rumpun bambu, data lingkungan, yaitu kemiringan, topografi, kedudukan lokasi.

8 Gambar 1.3 Letak Plot Sampling pada Lokasi Penelitian telah diolah kembali [sumber: Google Earth, 2010] Pembuatan herbarium dilakukan dengan mengambil sampel tumbuhan yang terdiri dari cabang, ranting, daun dan bunga. Sampel bambu yang diambil, antara lain, clumpring (pelepahbuluh), ranting, dan cabang daun, serta foto bagian-bagian yang penting, misalnya rebung, buluh, serta tempat hidup. Identifikasi jenis-jenis tumbuhan dilakukan dengan mengacu pada Flora of Java, Flora Pegunungan di Jawa, dan hasil identikit jenis-jenis bambu di Jawa, dan diidentifikasikan di Herbarium Bogoriense Puslitbiologi LIPI Cibinong. Analisis Data 1. Dihitung indeks nilai penting (INP) (Soerianegara & Indrawan 1998; Indriyanto 2008): a. Kerapatan = Jumlah buluh dan/atau rumpun Luas plot b. Kerapatan relatif (%) = Kerapatan dari suatu spesies bambu X 100% Kerapatan seluruh jenis bambu

9 c. Frekuensi = Jumlah plot diketemukan suatu jenis bambu Jumlah seluruh plot d. Frekuensi relatif (%) = Frekuensi dari suatu spesies bambu X 100% Frekuensi dari seluruh bambu 2. Indeks keanekaragaman jenis bambu berdasarkan rumus Shannon Wiener (Soerianegara & Indrawan 1998): H = - Pi ln Pi H = indeks keanekaragaman jenis bambu; Pi = peluang kepentingan untuk setiap spesies bambu (=ni/n); 3. Nilai penting dari bambu = kerapatan relatif + frekuensi relatif ni = nilai penting dari spesies bambu yang ditemukan; N = total nilai penting 4. Indeks kesetaraan (eveness): J = H Hmax dimana : J = uji kesetaraan (eveness) H= indeks Shannon Wiener Hmax = lns (S = jumlah total jenis) 5. Pola distribusi bambu dengan Indeks Morista, yaitu = N X 2 - X ( X) 2 - X Dimana = Indeks Morista, N = jumlah seluruh buluh atau rumpun, X = jumlah buluh atau rumpun per sampel. 6. Indeks dominansi (ID) Shimpson (Indriyanto 2008), yaitu ID = (ni/n) 2 Dimana: ID = nilai indeks dominansi dari bambu; ni = nilai penting tiap spesies bambu ke i; N = total nilai penting;

10 Kriteria Nilai Setelah diketahui nilai-nilai sesuai rumus di atas maka dianalisis kelas-kelas sesuai hasil perhitungan, yaitu untuk kerapatan, berhubungan dengan nilai kelimpahan berdasarkan penafsiran kualitatif, yaitu nilainya jarang (1-4), kadangkadang (5-14), sering (15-29), melimpah (30-90), sangat melimpah (>100) (Rugayah dkk. 2004; Indriyanto 2008). Untuk nilai indeks keanekaragaman jenis, kriterianya adalah H < 1 = keanekaragaman rendah; 1<H<3 = keanekaragaman sedang; H > 3 = keanekaragaman tinggi. Untuk indeks kesetaraan kriterianya adalah 0 J 0,4 = kesetaraan rendah; 0,4 J 0,6= kesetaraan sedang; 0,6 J 1,0 = kesetaraan tinggi. Pola distribusi mengikuti kriteria : apabila nilai = 1,00 pola distribusi acak, bila < 1,00 pola distribusi merata dan bila > 1,00 pola distribusi mengelompok. Untuk Indeks Dominansi Simpson kriterianya adalah 0 < C 0,5 = dominansi rendah; 0,5 < C 0,75 = dominansi sedang; 0,75 < C 1,00 = dominansi tinggi. HASIL Karakteristik Lingkungan Suhu udara di wilayah Kecamatan Srumbung berkisar 21,1-32,8 o C. Curah hujan berkisar antara 51 532 mm per tahun, kelembapan udara relatif 72% - 85%. Luas total Kecamatan Srumbung 5.317 km 2, merupakan 4,9% luas dari Kabupaten Magelang. Srumbung berada di sebelah barat daya Gunung Merapi, termasuk daerah Bahaya I dari ancaman Gunung Merapi yang masih aktif. Topografi wilayah Kecamatan Srumbung terdiri dari dataran tinggi, pegunungan dan berbatasan langsung dengan Gunung Merapi, kondisi demikian menjadikan iklim di Kecamatan Srumbung berudara sejuk (Depbudpar 2005). Menurut Dove & Martopo (1987) keadaan topografi di lereng Gunung Merapi, termasuk Kecamatan Srumbung tidak datar. Kemiringan tanah rata-rata mencapai 30%, dengan permukaan tanah banyak mengandung pasir dan batuan

11 vulkanik. Semakin mendekati Gunung Merapi, kandungan pasir semakin tinggi sehingga daya peresapan air tanah juga semakin tinggi. Apabila dilihat dari jenis tanah, tanah di Gunung Merapi digolongkan ke dalam 3 jenis tanah. Jenis tanah pertama adalah tanah alluvial kelabu yang memiliki tekstur tidak liat dan mengandung pasir. Jenis tanah ini terdapat di sepanjang aliran sungai. Jenis tanah yang kedua adalah tanah alluvial yang berwarna kelabu kekuning-kuningan dengan tekstur agak liat. Jenis tanah ketiga adalah tanah latozol cokelat tua kemerah-merahan. Bahan induk tanah tersebut terdiri dari tanah vulkanis intermedier. Tanah gembur hampir secara keseluruhan terdapat di lokasi penelitian. Data curah hujan kurang dari 60 mm sampai 100 mm (iklim tidak basah) (Triyoga 2010). Komposisi Floristik Berbagai jenis tumbuhan, termasuk bambu, yang hidup dalam suatu habitat saling berinteraksi sesamanya dan lingkungannya akan membentuk komunitas. Komposisi floristik dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun komunitas. Daftar floristik sangat berguna sebagai salah satu parameter keanekaragaman jenis tumbuhan. Komposisi jenis tumbuhan, termasuk bambu, yang ditemukan di wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, tercatat 51 (lima puluh satu) jenis yang tergolong dalam jenis bambu dan bukan bambu (lihat lampiran 1.1, 1.2). Tumbuhan berperawakan pohon yang tercatat di Kecamatan Srumbung yang berupa bambu dihitung sebagai buluh dan rumpun. Dalam kajian ekologi tumbuhan, famili Graminae (rumput-rumputan) dinyatakan sebagai rumpun. Adapun jenis-jenis bambu yang ditemukan di Kecamatan Srumbung adalah : Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Bambusa glaucophylla, dan Schizostachyum brachycladum.adapun pohon lainnya adalah : Artocarpus heterophyllus, Mangifera odorata, Albizia sp, Albizia moluccana, Musa paradisiaca, Arenga pinnata, Areca catechu, Cocos nucifera, Dysoxylum parasiticum, Neolitsea zeylanica, Lansium domesticum, Eugenea malaccensis, Coffea arabica, Dalbergia latifolia, Citrus sp, Eugenea aquea, Pinus merkusii, Cananga ordorata, Hibiscus rosasinensis, Sauropus

12 rhamnoides, Mutinea calabura, Citrus aurantium, Manihot esculenta, Cinnamomum iners, Caesalpinia crista, Nephelium lappaceum, Eugenia cumini, Gnetum gnemon, Durio zibethinus, Baccaurea racemosa, Pithecellobium jiringa, Ficus ampelas, Melia azedarach, Swietenia macrophylla, Erythrina lithosperma, Erythrina ovalifolia, Codiacum variegatum, Morinda citrifolia, Salaca edulis, Hibiscus tiliaceus, dan Canophyllum inophyllum. Berdasarkan hasil penelitian dari 51 jenis tumbuhan hanya ditemukan 10 (sepuluh) jenis bambu. Untuk pembahasan selanjutnya hanya dibatasi pada bambu sebagai objek penelitian. Karakteristik khas jenis-jenis bambu yang ditemukan di Kecamatan Srumbung dapat dilihat dalam lampiran 1.4 dan gambar 1.4, sedangkan pertelaannya adalah : Bambusa glaucophylla : rumpun tegak padat, rebung hijau tertutup bulu hitam, tersebar tidak rapat, buluh muda hijau licin, pelepah buluh mudah luruh tertutup bulu cokelat tua hingga hitam, kuping pelepah buluh membundar dengan ujung agak melengkung keluar. Bambusa vulgaris var. striata: menyerupai Bambusa vulgaris var. vulgaris, hanya warna buluh kuning, rebung juga kuning. Bambusa vulgaris var. vulgaris : rumpun tumbuh tegak dan tidak terlalu rapat, warna buluh hijau, rebung hijau tertutup bulu cokelat hingga hitam, buluh muda hijau mengkilat, pelepah buluh tertutup bulu hitam hingga cokelat tua, kuping pelepah buluh membulat dengan ujung melengkung keluar. Dendrocalamus asper : rumpun tegak dan padat, rebung hitam keunguan tertutup bulu warna cokelat hingga kehitaman, buluh tegak dengan ujung melengkung, buku-bukunya dikelilingi akar udara, buluh muda bagian bawah tertutup bulu hitam seperti beludru, pelepah buluh mudah luruh. Gigantochloa apus : rumpun rapat dan tegak, rebung hijau tertutup bulu hitam dan cokelat, buluh muda hijau kekuningan tertutup bulu cokelat tersebar, pelepah buluh tidak mudah luruh. Gigantochloa atroviolacea : warna buluh hitam, rebung hijau kehitaman dengan pucuk jingga, buluh muda dengan bulu hitam hingga cokelat, pelepah buluh mudah luruh. Gigantochloa atter : warna buluh hijau, rebung hijau hingga keunguan tertutup bulu hitam, pelepah buluh tertutup bulu hitam, kuping pelepah buluh membulat. Gigantochloa sp. : buluh bambu padat, rebung warna hitam, ruas bagian atas pelepah buluh ditutupi oleh bulu cokelat yang lebat, sedangkan di bawah pelepah buluh ditutupi oleh bulu cokelat muda yang jarang, buku-bukunya ditutupi oleh akar udara, pelepah buluh berwarna hitam kecokelatan.

13 Phyllotachys aurea : rumpun tegak dengan cabang terdiri atas 2 cabang, rebung hijau dengan pelepah bertutul-tutul, pelepah buluh mudah luruh. Schizostachyum brachycladum: rumpun padat dan tegak, percabangan sama besar, warna buluh kuning, buluh muda tertutup bulu putih tersebar, pelepah buluh tertutup bulu cokelat, tidak mudah luruh.

12 Gambar 1.4. Jenis-jenis bambu di Kecamatan Srumbung: 10 cm 30 cm (1) (2) 2,5 cm 2,5 cm (4) (3) Gambar 1.4.1 Bambusa glaucophylla Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh dan ranting daun (3) Pelepah buluh yang masih melekat (4) Pelepah buluh

13 100 cm 10 cm (1) (2) 10 cm 9 cm (3) (4) Gambar 1.4.2 Bambusa vulgaris var. Striata Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Percabangan (4) Rebung

14 25 cm 10 cm (1) (2) 10 cm 12 cm (3) (4) Gambar 1.4.3 Bambusa vulgaris var. vulgaris Keterangan: (5) Perawakan (6) Pelepah buluh (7) Percabangan (8) Rebung

15 50 cm 18 cm (1) (2) 50 cm 16 cm (3) (4) Gambar 1.4.4 Dendrocalamus asper Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Perawakan yang berlumut (4) Rebung

16 150 cm 100 cm (1) (2) 12 cm 12 cm (3) (4) Gambar 1.4.5 Gigantochloa apus Keterangan: (1) Perawakan (2) Tunas (3) Pelepah buluh (4) Rebung

17 10 cm 150 cm (1) (2) 45 cm 10 cm 11 cm (3) (4) Gambar 1.4.6 Gigantochloa atroviolacea Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Diameter buluh (4) Rebung

18 50 cm 10 cm (1) (2) 21 cm 3 cm 12 cm (3) (4) Gambar 1.4.7 Gigantochloa atter Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Ranting daun (4) Rebung

19 20 cm 12 cm 4 cm (1) (2) 13 cm 15 cm (3) (4) Gambar 1.4.8 Gigantochloa sp. Keterangan: (1) Percabangan (2) Ranting daun (3) Pelepah buluh (4) Rebung

20 50 cm 8 cm (1) (2) 10 cm (3) (4) Gambar 1.4.9 Phyllotachys aurea Keterangan: (1) Perawakan (2) Percabangan (3) Ranting daun (4) Rebung

21 50 cm 10 cm (1) (2) 3 cm 40 cm 8 cm (3) (4) Gambar 1.4.10 Schizostachyum rachycladum Keterangan: (1) Perawakan (2) Percabangan (3) Ranting daun (4) Pelepah buluh

22 PEMBAHASAN Keanekaragaman bambu yang tersebar di seluruh dunia terdiri 77 genus dan 1.300 spesies. Wilayah Asia, daerah tropis dan sub tropis ada 24 genus, 270 spesies, mayoritas adalah Bambusa. Di Asia beriklim sedang terdapat 20 genus dan 320 spesies, mayoritas genus Sasa. Wilayah Afrika terdapat 3 genus dengan 3 spesies endemik, Madagaskar terdapat 6 genus 20 spesies endemik. Australia terdapat 2 genus dengan 3 spesies endemik, Pasifik terdapat 2 genus dengan 4 spesies dan di Amerika tropis terdapat 20 genus dan 410 spesies, mayoritas genus Chusquea (Dransfield & Widjaja 1995). Menurut Widjaja (2001), berbagai jenis bambu yang tumbuh di Pulau Jawa, hanya 14 jenis yang asli tumbuh liar, yaitu Bambusa blumeana, B. jacobsii, Dinochloa scandens, D. matmat, Fimbribambusa horsfieldii, Gigantochloa hasskarliana, G. manggong, G. nigrociliata, Nastus elegantissimus, Schizostachyum aequiramosum, S. iraten, S. silicatum, S. zollingeri, dan Schizostachyum sp. Di antara jenis-jenis asli yang tumbuh di Jawa tersebut, 9 jenis merupakan jenis endemik, yaitu B. jacobsii, Dinochloa scandens, D. matmat, Fimbribambusa horsfieldii, G. Manggong, Nastus elegantissimus, Schizostachyum aequiramosum, S. silicatum, dan Sizostachyum sp. Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi, natalitas, dan dispersal. Di Kecamatan Srumbung struktur komunitas juga dipengaruhi oleh faktor antroposentris. Untuk kelimpahan, bambu dibedakan menjadi rumpun dan buluh. Kelimpahan buluh tertinggi tercatat adalah Gigantochloa apus, dan Dendrocalamus asper. Kelimpahan menunjukkan nilai kehadiran buluh bambu di daerah tersebut banyak. Untuk kelimpahan rumpun yang tertinggi adalah Gigantochloa apus, dan Dendrocalamus asper. Rincian kelimpahan bambu baik buluh dan rumpun disajikan dalam lampiran 1.1, 1.2. Tingginya kelimpahan bambu dipengaruhi oleh kemampuan jenis dan buluh beradaptasi pada lingkungan, juga oleh campur tangan manusia. Frekuensi dipakai sebagai parameter yang dapat menunjukkan distribusi dan kehadiran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Menurut Raunkiaer (lihat Fachrul

23 2007), frekuensi tumbuhan dibagi menjadi 5 (lima) kelas. Berdasarkan hasil penelitian bambu, semua nilai frekuensi termasuk kelas A, karena hanya 0 20% saja. Frekuensi tertinggi didapatkan pada Gigantochloa apus (0,5), dan Dendrocalamus asper (0,4) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Nilai frekuensi tersebut menunjukkan kehadiran Gigantochloa apus dapat ditemukan di hampir setiap plot penelitian, karena dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya selain itu adanya bambu tersebut yang bukan asli Indonesia namun tumbuh meliar, diperkirakan karena pernah digunakan sebagai pemukiman penduduk. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukan bekas sumur dan bekas rumah. Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa jenis bambu dengan kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Kerapatan rumpun tertinggi tercatat pada Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha), Gigantochloa apus (105 rumpun per ha) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Nilai kerapatan buluh per rumpun tercatat tertinggi adalah Phyllotachys aurea (762.711,864 buluh/ha), Bambusa glaucophylla (484.848,485 buluh/ha), disusul jenis bambu lainnya (lihat lampiran 1.3b). Phyllotachys aurea, mempunyai rumpun yang lebih padat dengan diameter lebih kecil, diduga karena jarang dipanen. Bambu tersebut awal mulanya ditanam untuk mengurangi erosi di lereng Gunung Merapi kemudian baru dimanfaatkan pada tahun 1990-an. Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa apus adalah bambu yang disukai oleh masyarakat, sehingga banyak dipanen. Oleh sebab itu kerapatannya lebih rendah dari Phyllotachys aurea. Dendrocalamus asper mempunyai kerapatan yang juga sedikit, karena bambu tersebut sering dipanen namun buluhnya pertumbuhannya lambat. Bila dihitung buluhnya, kerapatan tertinggi tercatat pada Gigantochloa apus (2.567,5 buluh/ha), Dendrocalamus asper (1.485 buluh/ha). Hal tersebut menunjukkan bahwa buluh bambu pada setiap plot mempunyai jumlah kehadiran tinggi, karena dapat menyesuaikan pada kondisi lingkungan tanah disekitarnya. Buluh bambu Gigantochloa apus yang mempunyai kerapatan tertinggi ditemukan pada tanah yang gembur dari bagian tanah vulkanik di daerah Kecamatan Srumbung. Bambu Dendrocalamus asper lebih disukai masyarakat karena

24 manfaatnya lebih banyak, misalnya untuk usuk dan reng, sisanya dipakai untuk lanjaran atau turus. Menurut Widjaja (2009) tingginya jumlah buluh dapat disebabkan karena keteraturan dalam penebangan, sehingga produktivitas buluh tinggi. Walaupun jenis tersebut banyak disukai oleh masyarakat untuk dipakai sebagai bahan berbagai keperluan. Dominansi adalah suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi komunitas karena banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhan yang dominan. Nilai dominansi bambu dalam penelitian ini menggunakan Indeks Shimpson. Nilai dominansi tertinggi bila dihitung berdasarkan buluh adalah Gigantochloa apus (0,019), dan Dendrocalamus asper (0,016) (lihat lampiran 1.2). Bila dihitung dominansi rumpun nilai tertinggi tercatat adalah Dendrocalamus asper (0,00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0,0002), baru disusul bambu-bambu yang lainnya (lihat lampiran 1.1). Gigantochloa apus dapat dikatakan dominan di antara bambu-bambu lain yang ada, walaupun nilainya kecil, tidak terjadi tekanan ekologis karena kondisi lingkungan yang baik (stabil). Nilai penting menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lain dalam suatu komunitas yang diteliti, dalam hal ini bambu. Karena dalam suatu komunitas bersifat heterogen, data parameter jenis dari nilai frekuensi, kerapatan, dan dominansi tidak dapat menggambarkan keseluruhan. Nilai penting bambu yang tercatat dalam penelitian bila dihitung buluh yang tertinggi adalah Gigantochloa apus (0,320), Dendrocalamus asper (0,296). Nilai tersebut menunjukkan bahwa Gigantochloa apus dapat dikatakan mendominasi bambu dibandingkan jenis bambu yang lain yang ada di Kecamatan Srumbung. Nilai penting akan mempengaruhi indeks keanekaragaman bambu, walaupun juga dipengaruhi oleh pemanfaatan atau alih fungsi lahan tanaman budidaya, misalnya salak. Bila dihitung rumpun nilai penting yang tercatat yang tertinggi adalah Dendrocalamus asper (0,222), Gigantochloa atter (0,119). Keanekaragaman jenis bambu di Pulau Sumba, sebagai pembanding ditemukan, antara lain Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Dinochloa costermansiana, Dinochloa sp., Gigantochloa atter, Nastus reholttumianus, Phyllostachys aurea, Schizostachyum brachycladum, dan Schizostachyum lima (Widjaja & Karsono 2004). Sementara itu hasil inventarisasi

25 jenis-jenis bambu di Tigawasa Bali, ditemukan jenis bambu yang sama di Kecamatan Srumbung yaitu Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, dan Schizostachyum brachycladum (Arinasa 2009). Indeks keanekaragaman merupakan parameter yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan. Dalam suatu komunitas umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka makin tua atau semakin stabil suatu komunitas makin tinggi keanekaragaman jenis tumbuhannya. Hasil penelitian indeks keanekaragaman Shannon Wiener diperoleh bahwa keanekaragaman jenis bambu rendah atau sedikit karena nilainya kurang dari 1. Tetapi bila dihitung nilai total indeks keanekagaman seluruh jenis bambu dalam komunitas tumbuhan yang diteliti termasuk melimpah karena nilainya di antara 1-3 (1,2047 untuk indeks penghitungan buluh). Bila dihitung rumpun, walaupun jumlah nilai indeks keanekaragaman jenis bambu dijumlah total tetap termasuk keanekaragaman yang sedikit atau rendah (0,8393) (lihat lampiran 1.2). Indeks keanekaragaman yang ditunjukkan mempunyai nilai yang rendah, komunitas tumbuhan bambu dalam kondisi lingkungan stabil, kurang mengalami tekanan ekologis, disamping karena karakter bambu yang bisa hidup di lingkungan basah maupun kering. Keanekargaman bambu rendah, sebab rumpun bambu tidak bisa hidup antara bambu satu dengan yang lainnya, dan jenis tumbuhan lain tidak dihitung dalam keanekaragaman bambu tersebut. Pola persebaran dari jenis bambu dalam objek penelitian, menggambarkan letak dan kedudukan dari buluh atau rumpun terhadap buluh atau rumpun lainnya. Dalam suatu komunitas tumbuhan, pola persebaran populasi buluh/rumpun mempunyai pola tertentu pada habitatnya, ada 3 kemungkinan pola persebaran tersebut, yaitu acak (random), berkelompok (agregat) dan merata (teratur/seragam). Pola persebaran bambu berdasarkan nilai Indeks Morista baik buluh maupun rumpun, umumnya berpola merata dan mengelompok. Perbedaan mencolok terjadi pada Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atter, terjadi perbedaan nilai bila dihitung buluh atau rumpun, yang polanya berkebalikan. Pola persebaran bambu yang demikian masih bersifat relatif, karena ada jenis bambu yang hidupnya merumpun rapat menjadi satu sehingga akan sulit dibedakan buluh-buluh jenis bambu yang menyusunnya (lihat lampiran 1.3.a).

26 Pola persebaran bambu yang mencolok dipengaruhi oleh kerapatan buluh dalam rumpun, dan jenis Bambusa vulgaris var. vulgaris lebih dapat beradaptasi terhadap lingkungan dibandingkan Gigantochloa atter. Bambusa vulgaris var. vulgaris dapat hidup di lingkungan yang tergenang sewaktu-waktu, terbukti bambu tersebut banyak ditemukan di tepian sungai. Diameter buluh bambu akan mempengaruhi waktu pemanenan yang terbaik oleh penduduk. Dari hasil penelitian diameter buluh bambu yang terbesar adalah Dendrocalamus asper (hingga 22 cm), yang terkecil adalah Phyllotachys aurea (hanya mencapai 2,5 cm). Diameter rumpun dipengaruhi pola dan cara pemanenan oleh penduduk. Dari hasil penelitian diameter rumpun terbesar adalah Gigantochloa atter (mencapai 480 cm), terkecil adalah Bambusa glaucophylla (mencapai 51 cm) (lihat lampiran 1.3.a). Dendrocalamus asper mempunyai diameter terbesar bila hidup di lingkungan tanah yang gembur dan tanah vulkanis, bila hidup ditanah agak berpasir dengan batuan-batuan berdiameter kecil Dendrocalamus asper cenderung kecil. Berdasarkan hasil penelitian tercatat jenis-jenis bambu mempunyai nilai E mendekati 0, artinya jenis-jenis bambu tersebut semakin tidak merata. Nilai kesetaraan bambu dari hasil penelitian penyebarannya tidak merata, artinya tidak setiap di plot akan ditemukan jenis bambu tersebut. Dari keanekaragaman jenis bambu yang berjumlah 10, (yaitu Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Bambusa glaucophylla, dan Schizostachyum brachycladum), 2 jenis diantaranya merupakan jenis introduksi. Berdasarkan informasi penduduk, kedua jenis bambu introduksi tersebut adalah bambu kuning/gading (Schizostachyum brachycladum) dan bambu gringsing (Bambusa glaucophylla). Schizostachyum brachycladum merupakan bambu introduksi dari luar daerah karena dibawa oleh penduduk pada waktu acara adat pernikahan, secara tidak sengaja dibuang di kebun penduduk dan tumbuh menjadi rumpun bambu. Bambusa glaucophylla, merupakan bambu introduksi yang dibawa oleh penduduk untuk ditanam sebagai tanaman hias yang dibawa dari daerah lain. Padahal Phyllotachys aurea juga merupakan bambu introduksi pada

27 waktu zaman Jepang, yang berfungsi sebagai penahan erosi di kawasan lereng Gunung Merapi (Dransfield & Widjaja 1995). Menurut informasi penduduk Phyllotachys aurea dimanfaatkan sebagai alat-alat dalam keperluan sehari-hari, dan juga sebagai alat olah raga untuk lempar lembing. Tetapi pengambilan bambunya bukan berasal dari daerah penelitian, dan berasal dari wilayah kawasan lereng Gunung Merapi yaitu di Kecamatan Dukun. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Komposisi floristik di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dari hasil penelitian, tercatat 51 jenis tumbuhan yang terdiri dari 10 jenis bambu dan 41 jenis non-bambu. 2. Dari 10 jenis bambu yang tercatat, 7 jenis bambu merupakan bambu yang tumbuh alami di lokasi penelitian yaitu Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striasa, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, dan Gigantochloa sp. 3 jenis bambu termasuk bambu introduksi, yaitu Schizostachyum brachycladum, Bambusa glaucophylla, dan Phyllotachys aurea. 3. Kerapatan bambu yang tertinggi bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (2.567,5 per ha), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha). Nilai penting bambu yang tertinggi, bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (0,320), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (0,222). Dominansi bambu yang tertinggi, bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (0,019), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (0,00085). Gigantochloa apus merupakan jenis yang merajai di daerah Kecamatan Srumbung baik dalam hal jumlah rumpun maupun jumlah buluh. 4. Indeks keanekaragaman bambu baik buluh maupun rumpun termasuk kategori rendah. Bila digabung nilai keanekaragaman seluruh jenis bambu termasuk kategori melimpah.

28 5. Pola persebaran bambu umumnya berpola merata dan mengelompok, namun bila ditinjau dari nilai kesetaraannya (eveness) umumnya semakin rendah (mendekati nilai 0). 6. Diameter buluh bambu yang terbesar yaitu Dendrocalamus asper (mencapai 22 cm), diameter rumpun terbesar yaitu Gigantochloa atter (mencapai 480 cm). Saran 1. Untuk kepentingan konservasi bambu diperlukan pemahaman pemanfaatan bambu yang berkelanjutan berdasarkan kondisi populasi bambu yang ada. 2. Untuk mengetahui produktivitas bambu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor kematian dari tunas bambu, sehingga pemanfaatan yang berkelanjutan bisa diprediksi. DAFTAR ACUAN Arief, A. 1994. Hutan, Hakikat dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xii + 152 hlm. Arinasa, I.B.K. 2004. Keanekaragaman dan penggunaan jenis-jenis bambu di Desa Tigawasa, Bali. Buletin Biodiversitas 6(1): 17 21. Arinasa, I.B.K. 2009. Etnobotani dan keanekaragaman jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dinding di Bali. Ekakarya Bali - LIPI, Denpasar: 8 hlm. Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. USU, Medan: 6 hlm. Chua, K. S., B.C. Shoog & H.T.W Tan. 1996. The bamboos of Singapore. IPGRI, Singapura: v+70 hlm. Curtis, J.T. & G. Cottam. 1967. Plant ecology workbook, laboratory, field and reference manual. Minnesota USA: i+163 hlm. Depbudpar. 2005. Tempat-tempat spiritual di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Klaten dan Kabupaten Magelang). Depbudpar: ii+252 hlm. Dove, M.R. & S. Martopo. 1997. Manusia dan Alang-alang di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: ii+166 hlm

29 Dransfield, S. & E.A. Widjaja. 1995. Plants resources of South East Asia (7). Bamboos. Prosea. Bogor: 125 hlm. Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi tropika. ITB. Bandung: 20a+362 hlm. Fachrul, M. F. 2007. Metode sampling bio ekologi. Bumi Aksara, Jakarta: vii+197 hlm. Harahap, S.A. 2009. Manual, survei & monitoring Endangered species di Taman Nasional Gunung Halimun Salak : iii+83 hlm. Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriyatna. 2007. Biologi konservasi. Yayasan Obor, Jakarta: xii+627 hlm. Indriyanto. 2008. Ekologi hutan. Bumi Aksara, Jakarta: v+209 hlm. Ismal, G. 1989. Ekologi Tumbuhan dan Tanaman Pertanian. Angkasa Raya. Padang: 188 hlm. KLH. 1994. Petunjuk pembibitan bambu dengan stek batang. KLH. Jakarta : ii+45 hlm. Kasmudjo. 2010. Teknologi Hasil Hutan. Cakrawala Media, Yogyakarta: xxv+239 hlm. LAPAN. 2006. Berita Indraja. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 51 hlm. LAPAN. 2006. Pemantauan peningkatan aktivitas Gunung Api Merapi berdasarkan citra satelit penginderaan jauh. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 10 hlm. Mangoendihardjo, S. 2000. Konservasi budidaya bambu dan salak dalam pengembangan wisata agro, alami dan budidaya di Kabupaten Sleman, DIY. Yayasan Kehati, Yogyakarta: 9 hlm. Martinus, S. & R.S. Hartono. 2008. Kamus nomenklatur zoologi dan botani. Andi, Yogyakarta: xi+173 hlm. Mc. Neely, D.A. 1992. Ekonomi dan keanekaragaman hayati. Yayasan Obor, Jakarta: xxvii+262 hlm. Mc. Neely, J.A. 1995. Biodiversity, bamboo and conservation in Asia. IV International Bamboo Congress. Bali. Indonesia: 17 hlm. Partomihardjo, T. & J.S. Rahajoe. 2004. Pengumpulan data ekologi tumbuhan. Litbang Biologi LIPI, Bogor: xii+138 hlm.

30 Rivai, M.A. 1993 Perikehidupan alam sepanjang jalan pegunungan. UNESCO- MAB Indonesia, Bogor: iv+44 hlm. Rugayah, E.A. Widjaja & Praptiwi. 2004. Pedoman pengumpulan data keanekargaman flora. Pusat Penelitian Biologi LIPI,. Bogor: xii+138 hlm. Sastrapradja, D. 1980. Beberapa jenis bambu. LBN LIPI, Bogor: 95 hlm. Sastrapradja, D., E.A. Widjaja, J.P. Mogea & E. Sudarmonowati. 2000. Diantara alunan bambu dan bisikan rotan. Naturindo, Bogor: vii+77 hlm. Simon, H. 2007. Metode inventore hutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 562 hlm. Sheil, D. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. CIFOR, Bogor: ix+38 hlm. Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1998. Ekologi hutan Indonesia. IPB, Bogor: 83 hlm. Steenis, Van C.G.G.J. 2005. Flora untuk sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita, Jakarta: xii+421 hlm. Steenis, Van C.G.G.J. 2006. Flora pegunungan Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: ix+253 hlm. Suprijatna, J. 2008. Melestarikan alam Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta: ix +712 hlm. Sutarno, H., S.S. Harjadi & Sutiono. 1996. Paket modul partisipasif: budidaya bambu guna meningkatkan produktifitas lahan. Yayasan Prosea Indonesia, Bogor: v + 50 hlm. Triyoga, L.S. 2010. Merapi dan orang Jawa, persepsi dan kepercayaannya. Grasindo. Jakarta : xxiv + 186 hlm. Untung, K. 1998. Strategi nasional dan rancang tindak pelestarian bambu dan pemanfaatannya secara berkelanjutan di Indonesia. KLH, Jakarta: viii+39 hlm. Vivekanandan, K., A.N. Rao & V. R. Rao. 1998. Bamboo and rattan genetic resources in certain Asian Countries. Serdang. Malaysia: ix+189 hlm. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo. Jakarta: ixx+949 hlm.

31 Widodo, J., I.G.S. Merta & N.N. Wadnyana. 2004. Ekologi dan potensi sumber daya perikanan Lembata NTT. Pusat Perikanan Tangkap Jakarta: iv+88 hlm. Widjaja, E.A. 1994. Ex situ conservation of Indonesian endemic bamboo. Kebun Raya Bogor: 135 hlm. Widjaja, E.A. 1997. New taxa Indonesia bamboos. Reinwardtia 11(2) : 57 152. Widjaja, E.A. 2001a. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: xi+99 hlm. Widjaja, E.A. 2001b. Identikit jenis-jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: xi+35 hlm. Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa & I.W. Sumantra. 2004. Panduan membudidayakan bambu. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: vi+57 hlm. Widjaja, E.A., M.A. Rifai, B. Subianto & D. Nandika. 1994.Strategi penelitian bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor: 193 hlm. Widjaja, E.A., Sunaryo & Hamzah. 2009. Tegakan bambu di kebun rakyat Kota madya Salatiga. Berita Biologi 9(5): 629 635. Wirakusumah, S. 2003. Dasar-dasar ekologi bagi populasi dan komunitas. UI Press Jakarta: xvii+148 hlm. Yani, A.P. 1994. Pemanfaatan bambu di Provinsi Bengkulu. Universitas Bengkulu. Bengkulu: 4 hlm. Yayasan Kehati, 2009. Kloning lipatgandakan bambu. Yayasan Kehati. Yogyakarta: 2 hlm. Zar, J.H. 2010. Biostatistical analysis. New Jersey. USA: xi+678 hlm.

32 Lampiran 1.1 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung rumpun No. Nama jenis Nama lokal % FR KR INP F Pi ID H J 1 Gigantochloa sp. bambu brongkol 0,007 0,019 0,026 0,025 0,011 0,000012 0,0496 0,0126 2 Dendrocalamus asper bambu petung 0,119 0,013 0,222 0,400 0,092 0,00085 0,2195 0,0558 3 Gigantochloa atroviolacea bambu wulung 0,037 0,056 0,033 0,125 0,014 0,00002 0,0598 0,0152 4 Gigantochloa ater bambu legi 0,059 0,06 0,119 0,200 0,035 0,000012 0,1173 0,0298 5 Bambusa vulgaris var vulgaris bambu ampel hijau 0,059 0,049 0,108 0,200 0,045 0,0002 0,1395 0,0355 6 Bambusa vulgaris var striata bambu ampel kuning 0,015 0,013 0,028 0,050 0,012 0,000014 0,0531 0,0035 7 Gigantochloa apus bambu apus 0,015 0,078 0,093 0,50 0,039 0,00015 0,1265 0,0322 8 Phyllotachys aurea bambu cendani 0,022 0,019 0,041 0,075 0,017 0,00003 0,0693 0,0176 9 Bambusa glaucophylla bambu gringsing 0,007 0,007 0,014 0,025 0,00058 4 x 10-7 0,0043 0,0011 10 Schizostachyum brachycladum bambu kuning 0,007 0,019 0,00089 0,025 0,00004 1,6 x 10-7 0,0004 0,0001 11 Artocarpus heterophyllus nangka 0,126 0,056 0,182 0,425 0,076 0,00058 0,1959 0,0498 12 Mangifera odorata pakel 0,015 0,056 0,0206 0,050 0,00086 7,4 x 10-7 0,0061 0,002 13 Albizia sp andra 0,037 0,172 0,203 0,125 0,085 0,00072 0,0996 0,0253 14 Albizia moluccana sengon 0,037 0,017 0,054 0,125 0,022 0,000048 0,084 0,0214 15 Musa paradisiaca pisang 0,074 0,069 0,143 0,250 0,059 0,00035 0,167 0,0425 16 Arenga pinnata aren 0,022 0,009 0,024 0,075 0,00099 9,8 x 10-7 0,007 0,002 17 Areca catechu pinang 0,015 0,013 0,035 0,050 0,015 0,00002 0,063 0,016 18 Cocos nucifera kelapa 0,089 0,035 0,124 0,300 0,052 0,00027 0,1537 0,0391 19 Dysoxylum parasiticum cepogo 0,03 0,009 0,039 0,100 0,016 0,000026 0,0598 0,0152 20 Neolitsea zeylanica tejo 0,037 0,017 0,054 0,125 0,022 0,000048 0,084 0,0214 21 Lansium domesticum duku 0,022 0,006 0,0276 0,075 0,011 0,000012 0,0496 0,0126 22 Eugenea malaccensis jambu bol 0,007 0,019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 23 Coffea arabica kopi 0,081 0,091 0,172 0,275 0,072 0,00052 0,1894 0,0482 24 Dilbergia latifolia sonokeling 0,022 0,007 0,029 0,075 0,012 0,000014 0,0531 0,0135 25 Citrus sp jeruk 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 26 Eugenea aquea jambu air 0,015 0,0037 0,0187 0,050 0,00078 6,1 x 10-7 0,0056 0,0014 27 Pinus merkusii cemara gunung 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 28 Cananga ordorata kenanga 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 29 Hibiscus rosasinensis kembang sepatu 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 30 Sauropus rhamnoides katuk 0,007 0,0019 0,018 0,025 0,00075 5,6 x 10-7 0,0053 0,0013 31 Mutinea calabura talok 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 32 Citrus aurantium jeruk pecel 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 33 Manihot esculenta ketela pohon 0,007 0,039 0,046 0,025 0,019 0,000036 0,0753 0,0192 34 Cinnamomum iners sampang 0,037 0,009 0,046 0,125 0,019 0,000036 0,0753 0,0192 35 Caesalpina crista kelengkeng 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 36 Nephelium lappaceum rambutan 0,015 0,0037 0,0187 0,050 0,00079 6,2 x 10-7 0,005 0,0013 37 Eugenea cumini salam 0,015 0,0037 0,0187 0,050 0,00079 6,2 x 10-7 0,005 0,0013 38 Gnetum gnemon melinjo 0,022 0,056 0,079 0,075 0,032 0,0001 0,0068 0,0017 39 Durio zibethinus durian 0,007 0,0037 0,0107 0,025 0,00045 2,025 x 10-7 0,0035 0,0009 40 Baccaurea racemosa mundung 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 41 Pithecellobium jiringa jengkol 0,007 0,0037 0,0107 0,025 0,00045 2,025 x 10-7 0,0035 0,001 42 Ficus ampelas rempelas 0,03 0,0037 0,0337 0,100 0,014 0,00002 0,06 0,0153 43 Melia azedarach mindi 0,007 0,024 0,031 0,025 0,013 0,00002 0,0565 0,0144 44 Swietenia macrophylla mahoni 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 45 Erythrina lithosperma dadap 0,007 0,026 0,033 0,025 0,0138 0,00002 0,0591 0,015 46 Erythina ovalifolia cangkring 0,015 0,0037 0,0187 0,050 0,00078 6,1 x 10-7 0,0056 0,0014 47 Codiacum variegatum puring 0,007 0,056 0,063 0,025 0,026 0,000068 0,0949 0,0241 48 Morinda citrifolia pace 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008 49 Zalaca edulis salak 0,015 0,099 0,114 0,200 0,047 0,00022 0,1437 0,0365 50 Hibiscus tiliaceus waru 0,03 0,009 0,039 0,100 0,016 0,000026 0,0662 0,0168 51 Canophyllum inophyllum nyamplung 0,007 0,0019 0,00089 0,025 0,0004 1,6 x 10-7 0,0031 0,0008

33 Lampiran 1.2 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung individu No. Nama jenis Nama lokal % FR KR INP F Pi ID H J 1 Gigantochloa sp. bambu brongkol 0,007 0,02 0,022 0,025 0,00095 9,025 x 10-7 0,0066 0,002 2 Dendrocalamus asper bambu petung 0,119 0,177 0,296 0,400 0,128 0,016 0,2631 0,0669 3 Gigantochloa atroviolacea bambu wulung 0,037 0,013 0,14 0,125 0,061 0,00037 0,1126 0,0286 4 Gigantochloa ater bambu legi 0,059 0,0157 0,216 0,200 0,093 0,00087 0,221 0,0562 5 Bambusa vulgaris var vulgaris bambu ampel hijau 0,059 0,076 0,135 0,200 0,058 0,00034 0,1651 0,042 6 Bambusa vulgaris var striata bambu ampel kuning 0,015 0,017 0,032 0,050 0,014 0,00002 0,0598 0,0152 7 Gigantochloa apus bambu apus 0,015 0,305 0,32 0,50 0,139 0,019 0,2741 0,0697 8 Phyllotachys aurea bambu cendani 0,022 0,04 0,062 0,075 0,027 0,000074 0,0975 0,0248 9 Bambusa glaucophylla bambu gringsing 0,007 0,0071 0,0141 0,025 0,00061 3,7 x 10-7 0,0045 0,0011 10 Schizostachyum brachycladum bambu kuning 0,007 0,0024 0,00094 0,025 0,00004 1,6 x 10-9 0,0004 0,0001 11 Artocarpus heterophyllus nangka 0,126 0,0097 0,1357 0,425 0,059 0,00035 0,167 0,0425 12 Mangifera odorata pakel 0,015 0,0009 0,0159 0,050 0,00069 4,8 x 10-7 0,005 0,0013 13 Albizia sp andra 0,037 0,027 0,064 0,125 0,0278 0,000077 0,0996 0,0253 14 Albizia moluccana sengon 0,037 0,0027 0,397 0,125 0,017 0,000029 0,0693 0,0176 15 Musa paradisiaca pisang 0,074 0,011 0,085 0,250 0,037 0,00014 0,122 0,031 16 Arenga pinnata aren 0,022 0,0021 0,0241 0,075 0,00074 5,5 x 10-7 0,0053 0,0117 17 Areca catechu pinang 0,015 0,0015 0,0165 0,050 0,01 0,0001 0,0461 0,00135 18 Cocos nucifera kelapa 0,089 0,0056 0,0946 0,300 0,041 0,00016 0,131 0,0333 19 Dysoxylum parasiticum cepogo 0,03 0,0015 0,0315 0,100 0,014 0,00002 0,0598 0,0152 20 Neolitsea zeylanica tejo 0,037 0,0027 0,0397 0,125 0,917 0,00003 0,0693 0,0176 21 Lansium domesticum duku 0,022 0,0009 0,0229 0,075 0,00099 9,8 x 10-7 0,0068 0,0017 22 Eugenea malaccensis jambu bol 0,007 0,0003 0,0073 0,025 0,0003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 23 Coffea arabica kopi 0,081 0,0015 0,096 0,275 0,042 0,00018 0,1331 0,03385 24 Dilbergia latifolia sonokeling 0,022 0,0012 0,0232 0,075 0,01 0,0001 0,0461 0,0136 25 Citrus sp jeruk 0,007 0,0003 0,0073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 26 Eugenea aquea jambu air 0,015 0,0006 0,0156 0,050 0,00068 4,6 x 10-7 0,005 0,0013 27 Pinus merkusii cemara gunung 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 28 Cananga ordorata kenanga 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 29 Hibiscus rosasinensis kembang sepatu 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 30 Sauropus rhamnoides katuk 0,007 0,0015 0,0085 0,025 0,00004 1,6 x 10-9 0,0004 0,0001 31 Mutinea calabura talok 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 32 Citrus aurantium jeruk pecel 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 33 Manihot esculenta ketela pohon 0,007 0,0006 0,012 0,025 0,00052 2,7 x 10-7 0,004 0,001 34 Cinnamomum iners sampang 0,037 0,0015 0,0385 0,125 0,017 0,00029 0,0693 0,0176 35 Caesalpina crista kelengkeng 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 36 Nephelium lappaceum rambutan 0,015 0,0006 0,0156 0,050 0,00068 4,6 x 10-7 0,005 0,0013 37 Eugenea cumini salam 0,015 0,0006 0,0156 0,050 0,00068 4,6 x 10-7 0,005 0,0013 38 Gnetum gnemon melinjo 0,022 0,0009 0,0229 0,075 0,00099 9,8 x 10-7 0,0068 0,0018 39 Durio zibethinus durian 0,007 0,0006 0,00076 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 40 Baccaurea racemosa mundung 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 41 Pithecellobium jiringa jengkol 0,007 0,0006 0,00076 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 42 Ficus ampelas rempelas 0,03 0,0006 0,0306 0,100 0,013 0,000017 0,0565 0,0144 43 Melia azedarach mindi 0,007 0,0004 0,00074 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 44 Swietenia macrophylla mahoni 0,007 0,0003 0,00073 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 45 Erythrina lithosperma dadap 0,007 0,0044 0,00074 0,025 0,00003 9 x 10-10 0,0003 0,00008 46 Erythina ovalifolia cangkring 0,015 0,0006 0,0376 0,050 0,016 0,000026 0,0662 0,0168 47 Codiacum variegatum puring 0,007 0,0009 0,0569 0,025 0,025 0,0000625 0,0622 0,0234 48 Morinda citrifolia pace 0,007 0,0003 0,00022 0,025 0,00001 1,0 x 10-10 0,0001 0,000025 49 Zalaca edulis salak 0,015 0,0158 0,1148 0,200 0,05 4,84 x 10-8 0,1498 0,0381 50 Hibiscus tiliaceus waru 0,03 0,0015 0,0105 0,100 0,00046 6,76 x 10-10 0,0031 0,0008 51 Canophyllum inophyllum nyamplung 0,007 0,0003 0,00022 0,025 0,00001 1,0 x 10-10 0,0001 0,000025

34 Lampiran 1.3a Diameter rumpun, diameter buluh, nilai indeks Morista No. Jenis bambu Nama lokal Diameter (cm) Indeks Morista Rumpun Buluh Rumpun Keterangan Buluh Keterangan 1 Gigantochloa sp. bambu brongkol 60-151 11-15,5 0,071 Merata 0,018 Merata 2 Dendrocalamus asper bambu petung 79-320 6-22 2,1553 Mengelompok 1,371 Mengelompok 3 Gigantochloa atroviolacea bambu wulung 31-245 5,5-14 0,6407 Merata 0,468 Merata 4 Gigantochloa atter bambu legi 70-480 4-15 0,7291 Merata 1,86 Mengelompok 5 Bambusa vulgaris var. vulgaris bambu ampel hijau 30-220 4-15 4,8806 Mengelompok 0,257 Merata 6 Bambusa vulgaris var. striata bambu ampel kuning 120-190 6-11 0,0348 Merata 0,013 Merata 7 Gigantochloa apus bambu apus 26-250 4-19 1,379 Mengelompok 4,097 Mengelompok 8 Phyllotachys aurea bambu cendani 14-79 1-2,2 0,5581 Merata 0,071 Merata 9 Bambusa glaucophylla bambu gringsing 12-51 2,5 0,0113 Merata 0,0022 Merata 10 Schizostachyum brachycladum bambu kuning 220 6-10 0,0007 Merata 0,0025 Merata Lampiran 1.3b Kerapatan Bambu dalam Buluh per Rumpun No. Jenis Bambu Nama lokal Buluh Luas Rumpun Kerapatan (buluh/rumpun) m 2 Ha Buluh/m 2 Buluh/Ha 1 Gigantochloa sp. bambu brongkol 68 9,674 9,7 x 10-4 7,029 70.103,09 2 Dendrocalamus asper bambu petung 594 187,9535 0,0188 3,1603 31.595,75 3 Gigantochloa atroviolacea bambu wulung 347 36,936 3,7 x 10-3 9,395 93.783,78 4 Gigantochloa ater bambu legi 692 46,168 4,6 x 10-3 15,008 150.434,78 5 Bambusa vulgaris var vulgaris bambu ampel hijau 257 41,915 4,2 x 10-3 6,131 61.190,48 6 Bambusa vulgaris var striata bambu ampel kuning 57 17,449 1,745 x 10-3 3,267 32.664,76 7 Gigantochloa apus bambu apus 1.027 74,79 7,5 x 10-3 13,732 136.933,33 8 Phyllotachys aurea bambu cendani 135 1,767 1,77 x 10-4 76,401 762.711,86 9 Bambusa glaucophylla bambu gringsing 24 0,495 4,95 x 10-5 48,485 484.848,49 10 Schizostachyum brachycladum bambu kuning 8 3,799 3,8 x 10-4 2,106 21.052,63 Lampiran 1.3c Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun dalam bentuk diagram 1200 1000 800 600 400 200 0 Jumlah buluh Kerapatan buluh Keterangan Lampiran: F : Frekuensi FR : Frekuensi Relatif KR : Kerapatan Relatif INP : Indeks Nilai Penting Pi : Peluang kepentingan ID : Indeks Dominansi

35 Lampiran 1.4a : Deskripsi bambu di Kecamatan Srumbung. No. Jenis Bambu Nama lokal Ciri morfologi Ciri pembeda dengan yang lain 1 Bambusa glaucophylla bambu gringsing 2 Bambusa vulgaris var striata bambu ampel kuning 3 Bambusa vulgaris var vulgaris bambu ampel hijau 4 Dendrocalamus asper bambu petung 5 Gigantochloa apus bambu apus 6 Gigantochloa atter bambu legi 7 Gigantochloa atroviolacea bambu wulung 8 Gigantochloa sp. bambu brongkol 9 Phyllotachys aurea bambu cendani 10 Schizostachyum brachycladum bambu kuning Rebung hijau dengan buluh hitam tersebar, buluh agak berbiku-biku dengan diameter mencapai 2,5 cm, dinding tepis, gundul, percabangan muncul di seluruh buku-buku, cabang langsung tumbuh di permukaan tanah, pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh bercuping melengkung keluar, daun pelepah buluh tegak, dan menyegitiga dengan pangkal menyempit. Buluh tegak, warna kuning mengkilap, percabangan horizontal, rebung kekuningan, pelepah buluh kuning, mudah luruh, kuping bercuping keluar, daun pelepah buluh tegak dengan pangkal melebar. Seperti Bambusa vulgaris var striata, hanya buluh berwarna hijau Mempunyai buluh yang ditumbuhi bulu-bulu coklat, bagian atas tertutup lilin putih; rebung hitam tertutup bulu hitam lebat; buluh tebal dan ujung melengkung, pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh bercuping dengan bulu kejur, ligula terkoyak daun pelepah buluh terkeluk balik dengan pangkal sempit Rumpun rapat tegak dan lurus; rebung hijau tertutup bulu coklat dan hitam; cabang lateral lebih besar dari cabang lain, ujung buluh melengkung, pelepah buluh tertutup bulu hitam atau coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai dengan bulu kejur, gundul dengan ligula menggerigi dan daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit Rumpun padat tegak dan lurus; rebung hijau hingga keunguan, tertutup bulu hitam, buluh ujungnya melengkung, buluh muda dengan bulu hitam tersebar, gundul ketika tua; daun pelepah buluh terkeluk balik, mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat, ligula menggeligi, daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal sempit Rumpun tegak lurus dan rapat; rebung hijau kehitaman dengan ujung jingga tertutup bulu coklat hingga hitam, buluh muda dengan bulu hitam hingga coklat gundul ketika tua, percabangan tumbuh jauh di permukaan tanah, ujung melengkung pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat, daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal menyempit Buluh padat, ruas atas pelepah buluh ditutupi bulu coklat lebat, bawah pelepah buluh ditutupi bulu coklat yang jarang, buku-bukunya ditutupi akar udara, pelepah buluh hitam kecoklatan Rumpun monopodial dan tegak; rebung hijau dengan pelepah bertutul tutul, pangkal buluh ruas bervariasi dengan ujung melengkung, buluh muda ditutupi lilin putih; pelepah buluh tipis bertutul hitam, kuping pelepah buluh tidak tampak, daun pelepah buluh menggaris, kecil, tersebar atau terkeluk balik Pelepah buluh kotor melekat pada buluhnya, rebung hijau dengan ujung pelepah buluh kecoklatan, buluh berdinding tipis, percabangan tumbuh jauh diatas permukaan tanah, pelepah buluh tertutup buluh coklat, tidak mudah luruh, daun pelepah buluh tegak Daun bergaris putih Buluh berwarna kuning bergaris hijau Warna buluh hijau mengkilap dengan cabang horizontal Buluh muda dan rebung berbeludru Pelepah buluh tidak mudah luruh Kuping pelepah buluh dengan ujung melengkung keluar Warna buluh hijau ketika muda dan menjadi kehitaman atau keunguan dan kemudian hitam tua atau ungu tua ketika tua Rebung berwarna hitam Percabangan terdiri dari 2 cabang yang tumbuh mendatar (dikotom), kuping pelepah buluh tidak ada Percabangan sama besar, kuping pelepah buluh bercuping kecil tertutup bulu berkejur

36 MAKALAH II PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH THE BAMBOO UTILIZATION IN THE PERSPECTIVE OF THE COMMUNITY AT SUB DISTRICT SRUMBUNG, MAGELANG DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE Suyamto Suyamto35@yahoo.co.id ABSTRACT The utilization of Bamboo in the perspective community at sub district Srumbung, Magelang district, Central Java Province research was done at October 2010. Semistructural was used in this research. From this study, it showed that 121 bamboo have been utilized, with 22 emik category and 9 ethic category. The highest bamboo utilized is Gigantochloa apus then Dendrocalamus asper, although mostly bamboos have been utilized by Srumbung community. The highest utilization of bamboo in this community is for heavy construction. The uses of pranata mangsa of Javanese calender has been applied untill now to harvest bamboo in order to prevent the sterm borer and to get a better quality. Therefore, the conservation of bamboo will be controlled by harvesting system which need the traditional calendar and local wisdom. Key words : Emik, Ethic, Pranata mangsa, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus PENDAHULUAN Permasalahan mendasar dalam rangka konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari bambu adalah kurangnya informasi mengenai potensi dan kondisi ekologi bambu di suatu wilayah. Potensi dapat ditinjau dari pemanfaatan berkelanjutan, dan kondisi bambu dapat ditinjau dari cakupan data populasi dan produktivitas termasuk keanekaragaman jenis bambu. Bambu merupakan salah satu sumber daya alam dan sebagai salah satu plasma nutfah penyusun keanekaragaman hayati ekosistem alam, yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan. Secara ekologis, bambu bermanfaat karena cepat 36

37 tumbuh, sehingga dimanfaatkan untuk usaha konservasi tanah dan air, pencegah polusi dan meningkatkan peluang usaha. Karena kurang memperoleh perhatian dari pemerintah terutama pemerintah daerah setempat, dunia usaha dan masyarakat, upaya pengembangan dan pemanfaatan bambu dengan segala potensinya masih terbatas (Batubara 2002). Penelitian tentang bambu dan teknologi pengolahan bambu, kurang diminati peneliti. Keterbatasan informasi tentang bambu menyebabkan pengusaha besar tidak mengetahui prospek ekonomi pemanfaatan bambu. Bambu adalah salah satu tumbuhan kelompok rumput-rumputan (Gramineae) yang potensial dan banyak memberikan manfaat. Manfaat bambu antara lain untuk tanaman hias/taman, penangkal erosi, pagar, sumber makanan, konstruksi, kayu bakar, mebel dan kerajinan (Dransfield & Widjaja 1995; Batubara 2002; Dephut 2006; Kasmudjo 2010). Penduduk Indonesia memanfaatkan bambu sejak lahir sampai akhir hayat yakni digunakan untuk memotong tali pusat bayi, sunatan hingga kremasi jenazah. Kegunaannya sangat erat dengan budaya yang berada di Indonesia. Bambu terutama di Jawa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat (Mangoendiharjo dkk. 1995; Widjaja 2001a; Widjaja 2001b; Widjaja 2004). Kegunaan bambu selain di Pulau Jawa belum banyak diungkap, karena budaya masyarakatnya yang agak berbeda. Penduduk di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) sudah memanfaatkan bambu untuk membuat rumah, penampi beras, kipas, alat penangkap ikan, kursi bambu (Widjaja 2001b). Penduduk pulau Bali dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari bambu, karena bambu selalu diperlukan dalam berbagai acara dalam agama Hindu dan adat istiadat orang Bali (Widjaja 2005). Kehidupan masyarakat pedesaan di Bali, tidak dapat dilepaskan dari tanaman bambu. Bambu di Pulau Bali sudah dikenal sejak abad ke-9. Berbagai hasil kerajinan anyaman bambu terkenal di desa di Pulau Bali seperti dalam pembuatan gedek juga jenis produk anyaman bambu tertentu (Arinasa 2004; Arinasa 2009). Bambu merupakan salah satu hasil tanaman kayu yang bisa tumbuh di hutan sekunder dan hutan terbuka. Bambu juga merupakan salah satu tanaman ekonomi di Indonesia yang banyak tumbuh di kebun masyarakat dan pedesaan.

38 Tumbuhan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara intensif namun belum menjadi tumbuhan yang dapat meningkatkan devisa negara. Lima puluh persen jenis bambu di Indonesia telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk dikembangkan (Widjaja & Karsono 2004; Wiratno dkk. 2004; Iskandar & Budiawati 2005). Menurut Suriawira (2003), bambu dapat dimanfaatkan sebagai penolak bala, penduduk ada yang sengaja menyimpan batangnya yang sudah kering di atas pintu atau jendela atau dijadikan bagian untaian kalung anak yang sakit-sakitan. Lebih dari 100 jenis bambu yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu legi (Gigantochloa atter), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu ampel (Bambusa vulgaris), bahkan rebungnya dapat dimakan dan diekspor (Zulkifli 1997; Batubara 2002). Menurut Chua et al. 1996 dan Mc. Neely 1995, bambu dapat dimanfaatkan dan bernilai budaya seperti untuk senjata, kesenian, lukisan, alat musik, konstruksi, makanan dan bahan-bahan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, dan jenis-jenisnya yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil penelitian diharapkan akan diketahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dengan kajian etnobotani, melalui pendekatan emik dan etik. METODE PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010, sebelum erupsi besar Gunung Merapi. Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Srumbung terletak di sebelah barat daya Gunung Merapi, dengan koordinat 7 o 32-7 o 34 LS dan 110 o 24-110 o 25 BT. Perbatasan di sebelah barat adalah Kecamatan Dukun, sebelah selatan Kecamatan

39 Salam serta sebelah timur Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Suhu rata-rata tahunan mencapai 26 o -28 o C, terletak di ketinggian 800-1000 m dpl. Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Bahan dan Cara Kerja Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital (Kodak C653), gambar organ bambu dalam kamera, pedoman wawancara (lihat lampiran 2.4), peta Kecamatan Srumbung skala 1 : 60.000 (lihat gb. 2.1), alat tulis, penggaris, sampel organ bambu.

40 Cara kerja Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober 2010 di 40 zona yang diwakili 40 plot dengan wawancara semistruktural di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Teknik yang dilakukan dengan PRA (Participant Rural Appraisal), dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui wawancara langsung di lokasi penelitian. Penelitian mencakup observasi dan koleksi semua jenis bambu yang dimanfaatkan, nama lokal, cara pemanfaatan juga mengumpulkan informasi bambu yang bermanfaat menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung. Wawancara semi struktur dilakukan terhadap masyarakat Kecamatan Srumbung untuk mengetahui bagaimana pengetahuan pemanfaatan bambu menurut persepsi mereka. Wawancara dilakukan dengan mengumpulkan dan membawa informan kunci yang dibawa ke plot-plot lokasi penelitian. Wawancara dilakukan di daerah unit plot sampling yang dekat dengan kebun bambu milik masyarakat. Mengikuti informan untuk menjelaskan pemanfaatan bambu adalah sebagai observasi partisipan. Informan diambil berdasarkan persepsi dari kategori usia, jenis kelamin, pekerjaan dan juga status sosial dalam masyarakat. Pemilihan para informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Awal penelitian mulai dari informan kunci kemudian informan lain baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Penetapan informan sesuai dengan kategori umur (lihat lampiran 2.4). Perbedaan antara informan dan responden, responden biasanya dengan kuesioner dan dengan wawancara langsung, informan biasanya dengan teknik wawancara langsung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Deskripsi hasil penelitian berupa penyajian tabel yang berkaitan dengan pemahaman pemanfaatan berbagai jenis bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung. Pendekatan masyarakat meliputi pendekatan emik yaitu berdasarkan informasi dari informan kunci, seperti tokoh adat, tokoh masyarakat atau masyarakat biasa. Kemudian analisa dilakukan dengan pendekatan etik yaitu persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung berdasar kajian secara ilmiah sesuai data di lapangan.

41 Pertanyaan yang dipakai sudah direncanakan Peneliti, misalnya nama lokal bambu, pemanfaatan bambu dalam persepsi masyarakat dan urutan pemanfaatan sesuai jawaban informan di lapangan. Dalam wawancara semi struktural, teknik dikombinasikan dengan metode PRA (Participant Rural Appraisal). Peneliti berperan sebagai fasilitator untuk mengetahui persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung terhadap pemanfaatan bambu. Metode partisipasi masyarakat adalah bentuk peran aktif anggota masyarakat sebagai informan dalam pemanfaatan sumber daya/potensi bambu. Wawancara partisipasi masyarakat digunakan untuk mengumpulkan data bagaimana pemanfaatan jenis-jenis bambu menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung. Juga dapat untuk mengumpulkan informasi mengenai bagian organ bambu yang digunakan, fungsi bagian organ tersebut dalam persepsi masyarakat. Untuk mempermudah digunakan pedoman dan panduan wawancara semi structural (lihat lampiran 2.4). Pendekatan kualitatif pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung dengan metode peringkat nilai manfaat. Luas area cuplikan disesuaikan dengan plot unit sampling pada waktu mencari nilai keanekaragaman jenis bambu. Wawancara semi struktural dilakukan dengan partisipasi dan pertanyaan yang sama. Misalnya 3 orang informan untuk setiap plot yang ditentukan. Kemudian dibuat matriks yang memuat jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang sama tentang persepsi sesuai kategori dalam pemanfaatan bambu. Nilai manfaat bambu dapat ditentukan dengan rumus : Keterangan: Uvis Uis setiap informan Nis nis Uis Uvis = t=1 nis : pendugaan nilai manfaat setiap jenis bambu dari setiap informan : manfaat yang disebut dari setiap jenis bambu di setiap kejadian oleh :jumlah kejadian dari setiap jenis bambu oleh setiap informan.

42 Setelah ditentukan nilai manfaat bambu dalam persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung kemudian dibuat matriks menurut definisi manfaat lokal (emik). Langkah selanjutnya dibuat pemanfaatan bambu sesuai keterangan informan dan dibuat hasil rata-rata untuk dianalisis. HASIL Kondisi Penduduk Menurut BPS Kabupaten Magelang tahun 2007, penduduk Kecamatan Srumbung terdiri atas 3,74% dari penduduk Kabupaten Magelang. Jumlah penduduk dewasa/tua, laki-laki 16.138 orang, perempuan 16.268 orang; penduduk anak/remaja laki-laki 5.593 orang, perempuan 5.279 orang. Jumlah populasi penduduk Kecamatan Srumbung 43.278 orang. Menurut data tahun 2007, jumlah populasi penduduk Kecamatan Srumbung mengalami penurunan yaitu 31.170 orang dengan jumlah kepala keluarga 9.116 (BPS 2007). Mata pencaharian penduduk Kecamatan Srumbung pada usia produktif antara lain : petani, buruh tani, pedagang, buruh, pegawai negeri (sipil, TNI, POLRI). Tingkat pendidikan dimulai dari tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, perguruan tinggi (lihat lampiran 2.2). Sistem religi yang dianut sebagian besar adalah Islam, kemudian Kristen, Katolik, penganut kepercayaan tradisional yang sering disebut sebagai adat Kejawen. Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kajian etnobotani sebagai suatu konsep pendekatan dari segi etnologi dan botani belum banyak dilakukan. Segi etnologi menjelaskan hubungan yang erat antara kehidupan kelompok masyarakat dengan sumber daya alam tumbuhan yang ada di lingkungan, termasuk sejarah pemanfaatan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut. Segi botani, lebih menekankan konsep masyarakat terhadap tumbuhan yang dikenal, yang lebih utama adalah peran dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai sumber bahan pangan, perumahan, obat tradisional, bahan untuk ritual dan

43 pelengkap berbagai upacara tradisional serta bahan teknologi tradisional (Wardah dkk. 2001). Pemanfaatan bambu di Indonesia terbanyak terdapat pada suku Jawa, Bali dan Melayu di Sumatera. Secara umum dapat dikatakan bambu banyak digunakan untuk bahan bangunan, termasuk diantaranya dinding, rangka atap, rangka dinding, jembatan dan tangga. Manfaat lain untuk membuat peralatan dalam kehidupan sehari-hari, untuk membuat kertas, yang dipakai dalam upacara keagamaan umat Budha dan Konghucu. Bambu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat desa dan kota untuk menunjang keperluan dasar yang menunjang kehidupan, bahkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bambu digunakan sebagai salah satu senjata yang dikenal dengan bambu runcing, masyarakat Kecamatan Srumbung menyebut dengan nama tumbak cucukan. Meskipun termasuk dalam tumbuhan perdu, tetapi berkayu, beberapa jenis bambu yang secara ekonomi penting dapat ditanam pada jurang-jurang atau daerah-daerah yang rusak sebagai penahan erosi, masyarakat Srumbung menamakan sebagai tambak kali. Hampir semua bambu yang ditemukan bermanfaat sebagai penahan erosi terutama daerah tebing-tebing sungai. Sebagai tanaman yang merakyat, bambu memiliki status dan nilai sosial yang mendalam maknanya. Mengingat besarnya keanekaragaman budaya yang dimiliki suku-suku di Indonesia, pengalihan teknologi dan penyebarluasan budaya pemanfaatan bambu dari suatu daerah ke daerah lain tidaklah sama. Pemanfaatan bambu menurut perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, secara emik dikategorikan dalam 22 kategori dan secara etik dikategorikan menjadi 9, yang terdiri dari 121 macam manfaat (lihat lampiran 2.1). Sembilan kategori manfaat bambu, menurut Sheil dkk. 2004 adalah konstruksi berat (nilai 9), konstruksi ringan (nilai 8), peralatan/perkakas (nilai 7), anyaman/kerajinan/tali temali (nilai 6), teknologi tradisional (nilai 5), mebel tradisional (nilai 4), ritual/adat/senjata/estetika (nilai 3), kayu bakar (nilai 2) dan makanan (nilai 1). Bila nilainya 0 berarti tidak mempunyai nilai manfaat menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung dengan analisis UVI (User Value Index).

44 Dua puluh dua kategori emik (lihat gambar 2.2) yang dimaksud adalah : 1. Konstruksi rumah : usuk, reng, kaso, gedek, blandar, tlikur, omah keong, pengeret, pyan. 2. Konstruksi kandang hewan : kandang ayam, kandang burung, kandang kambing, kandang unggas. 3. Keranjang (wadah) : keranjang untuk merumput, keranjang salak, keranjang mbako, wadah gereh, posong, wadah buah. 4. Makanan : rebung, sayuran. 5. Alat penghasil bunyi (musik) : kentongan, suling, angklung, gambang, koplokan. 6. Bahan/alat permainan : gangsing, kitiran, egrang, topeng mainan, pistol mainan, rangka layangan (lagrangan), meriam bambu (long bumbung). 7. Tiang (penyangga) : tiang cor, tiang antena, cagak, tiang bendera, penyangga pipa (pancuran). 8. Mebel tradisional dan sarananya : amben, lincak, kursi, brak, meja, galar, dingklik. 9. Alat dan sarana rumah tangga : alat-alat dapur, pogo, tompo, wakul, canthing minyak. 10. Kerajinan : tepas, besek, anyaman, hiasan, kepang, brongsong. 11. Konstruksi seperti rumah : gubuk, dangau, panggung, kakus, gapura. 12. Pegangan alat : gayoan, garan kelut, garan irus, garan payung, garan sapu. 13. Kayu bakar : umleng, ingis-ingis, romot. 14. Tali temali : tali (umum), tali slondokan, tali tempe, tali pincuk, biting, pasangan kebo, keloan sapi. 15. Senjata : bambu runcing, tumbak cucukan. 16. Sarana jemuran : ongkek, rigen, pemean. 17. Sarana/ritual keagamaan : conthang, geladak, sajen. 18. Sarana pertanian/perkebunan : turus/ anjaran, sujen, tutus, anjang-anjang, lemi. 19. Sarana makan : tusuk sate, sumpit. 20. Pagar : gethek, palangan salak. 21. Penunjang sarana rumah tinggal : payung topeng, payung mundhuk, tangga, ondho lanang. 22. Teknologi tradisional/manfaat lain : welat, pancuran, gapit, bumbung, wot, tambak kali, capitan, celengan, pathok, bei, ancik-ancik, portal, penutup sirtu, penutup kolam, gethekan, irig/krepyak, estetika, nama wilayah, tongkat pramuka. Sembilan kategori etik yang dimaksud adalah 1. Konstruksi berat : konstruksi rumah. 2. Konstruksi ringan : konstruksi kandang hewan, konstruksi seperti rumah. 3. Peralatan/perkakas : alat/bahan permainan, alat/sarana rumah tangga, pegangan alat, sarana jemuran, sarana pertanian/perkebunan, sarana makan, penunjang sarana rumah tangga. 4. Anyaman/kerajinan/tali temali : keranjang (wadah), kerajinan, tali temali. 5. Teknologi tradisional : pagar, tiang

45 (penyangga), alat penghasil bunyi (musik). 6. Mebel tradisional. 7. Ritual/adat/senjata/estetika/manfaat lain. 8. Kayu bakar. 9. Makanan. Secara umum berdasarkan uji UVI, nilai manfaat bambu urutannya sebagai konstruksi berat adalah Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris. Konstruksi ringan : Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa atter. Peralatan/perkakas : Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea. Anyaman/kerajinan/tali temali : Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocalamus asper. Teknologi tradisional : Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa sp., Gigantochloa atroviolacea. Mebel tradisional : Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper. Ritual/adat/senjata/estetika : Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea; Bambusa vulgaris var. vulgaris; Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa glaucophylla, Dendrocalamus asper. Kayu bakar : Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea. Makanan : Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atroviolacea.

Gambar 2.2. Pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung: 46 50 cm 11 cm (1) (2) 60cm Bambu 14 cm (3) (4) 50 cm 100 cm (5) Gambar 2.2.1 Pemanfaatan G. atter dan G. Apus Keterangan: (1) Gigantochloa atter sebagai bahan gedek (4) G. atter sebagai kenthongan (2) G. atter dan G. apus sebagai conthang (5) G. atter dan G. apus sebagai wot (3) G. atter sebagai antena (6) G. atter sebagai getekan (6)

47 40cm 18 cm (1) (2) 100 cm 120 cm 50 cm (3) (4) 100 cm 50 cm (5) (6) Gambar 2.2.2 Pemanfaatan G. atter, G. apus, dan G. Atroviolacea Keterangan: (1) G. atter sebagai penutup sirtu; (4) G. atter dan G. apus sebagai bei (2) G. atter sebagai ondho lanang; (5) G. atter dan G. apus sebagai penahan tanah dan pagar (3) G. atter sebagai krepyak atau irig; (6) G. atter dan G. atroviolacea sebagai gapura

48 10 cm 40 cm (1) (2) 30 cm 40 cm (3) (4) 30 cm 12 cm (5) (6) Gambar 2.2.3 Pemanfaatan G. atter dan G. Apus Keterangan: (1) G. atter sebagai portal; (4) G. apus sebagai anyaman keranjang (2) Kulit G. apus sebagai gedek tipe anyaman kembar; (5) G. atter sebagai bahan gedek (3) G. apus sebagai pagar rumah; (6) G. apus sebagai tali tempe

49 40 cm 70 cm (1) (2) 30 cm 10 cm (3) (4) 25 cm 30 cm (5) (6) Gambar 2.2.4 Pemanfaatan Gigantochloa apus Keterangan (1) G. apus sebagai kandang ayam (4) G. apus sebagai gedek tipe sasag (2) G. apus sebagai bahan kandang (5) G. apus sebagai umleng (3) G. apus sebagai bahan kandang ayam (6) G. apus sebagai gedek tipe nam kembar

50 8 cm 10 cm (1) (2) 15 cm 30 cm (3) (4) 20 cm 40 cm (4) (6) Gambar 2.2.5 Pemanfaatan Gigantochloa apus Keterangan: (1) G. apus sebagai omah keong (4) G. apus untuk posong (2) G. apus sebagai wadah gereh (5) G. apus untuk tangga (3) Kulit G. apus tua untuk gedek tipe sasag (6) G. apus untuk gethek

51 60 cm 18 cm (1) (2) 30 cm 60 cm (3) (4) 25 cm 60 cm (5) Gambar 2.2.6 Pemanfaatan G. apus dan D. asper Keterangan: (1) G. apus sebagai bahan turus (4) D. asper sebagai turus (2) D. asper sebagai pengeret (5) D. asper sebagai baki (tempat benih) (3) G. apus sebagai bagian garu (6) D. asper sebagai usuk (6)

52 100 cm 18 cm 100 cm (1) (2) 12 cm 40 cm (3) (4) 20 cm 60 cm (5) (6) Gambar 2.2.7 Pemanfaatan berbagai jenis bambu Keterangan: (1) D. asper sebagai bumbung (4) B. vulgaris var.striata sebagai brak (2) G. atroviolacea sebagai nama daerah (5) B. vulgaris var.vulgaris sebagai pancuran (3) D. asper sebagai kayu bakar (6) Bambu sebagai kandang ternak