BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PADA TAHUN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertanggunggjawaban. Salah satu tujuan dari laporan pertanggungjawaban

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan otonomi daerah. Dimana otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Sektor Publik Akuntansi sektor publik merupakan akuntansi yang digunakan untuk organisasi nirlaba yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan perusahaan atau sektor privat. Akuntansi sektor publik terdiri atas akuntansi pemerintahan, akuntansi rumah sakit, akuntansi lembaga pendidikan, dan akuntansi organisasi nirlaba lain yang didirikan bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Di Indonesia perkembangan akuntansi pemerintahan secara pesat dipengaruhi oleh era reformasi yang pada akhirnya menghasilkan tiga paket undang-undang di bidang keuangan negara: 1. UU No.17 th 2003 tentang Keuangan Negara 2. UU No.1 th 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan 3. UU No.15 th 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara Ketiga UU tersebut akan mendorong pemerintah untuk mengelola keuangan negara dengan lebih baik dan membuat pertanggung jawabannya berupa laporan keuangan yang disusun berdasarkan suatu standar akuntansi pemerintahan. 11

12 2.1.1.1 Sektor Publik dan Pemerintah Pengertian sektor publik bervariasi dan cukup luas. Lane (1993) memberikan pengertian sektor publik dan sektor privat terkait dengan kepentingan (interest) yang timbul. Sektor publik terkait dengan kepentingan publik atau masyarakat (public interest), sedangkan sektor privat terkait dengan kepentingan individu atau kelompok individu sendiri (self interest). Kepentingan publik tersebut terkait dengan politik dan pemerintahan. Hal inilah yang membawa pengertian sektor publik lebih banyak difokuskan pada pemerintah (Jones and Pendlebury, 2000), meskipun lingkup sektor publik termasuk organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan (Freeman and Shoulders, 2000). Tujuan sektor publik dan pemerintah didirikan berbeda dengan tujuan entitas bisnis. Entitas bisnis didirikan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan secara maksimal (value maximization) dengan meningkatkan laba operasi secara berkelanjutan (sustainable operating incomes). Sementara, sektor publik atau pemerintah dibentuk dengan tujuan umum memberikan pelayanan publik atau mensejahterakan rakyat. Perolehan pendapatan pemerintah dilakukan secara umum dengan memungut pajak atau pungutan lainnya. Dalam disiplin keuangan publik (publik finance) pajak dipungut karena adanya eksternalitas dan barang publik. Sebagai contoh eksternalitas adalah adanya jasa polisi atau pemadam kebakaran (positive externalities) dan polusi yang ditimbulkan industri (negative externalities). Selain itu, dalam bermasyarakat barang-barang publik seperti jalan raya, jembatan, dan taman kota yang tidak ada rivalitas dalam penggunaannya dan tidak dapat dibebankan kepada tiap

13 penggunanya. Untuk itu, pendapatan dari pajak tersebut digunakan untuk belanja dalam rangka menghilangkan eksternalitas dan penyediaan barang publik demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Pertanggung jawaban perolehan pendapatan dari pajak tersebut dan pengalokasiannya dalam belanja-belanja dimaksud harus dibuat dengan menggunakan suatu sistem akuntansi pemerintahan dan diperiksa oleh lembaga pemeriksa eksternal. 2.1.2 Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Suryaningrat, 1985). Syafrudin (1991) mengatakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu. Manan (2001) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan, yaitu: 1. Pembagian dan pembatasan kekuasaan. Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal

14 yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah. 2. Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan masalahmasalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik. 3. Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktorfaktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan kehidupan yang sejahtera. 4. Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena mereka lah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.

15 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa : Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002) adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. 2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemda yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran.

16 2.1.3.1 Fungsi APBD Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : 1. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. 2. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah. 4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. 5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6. Fungsi stabilitasi memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

17 2.1.4 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) SiLPA atau Sisa Lebih Perhitungan Anggaran adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Laporan Realisasi Anggaran didalamnya terdapat penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan dari penerimaan kembali pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain, sedangkan pengeluaran pembiayaan dapat berupa pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan merupakan pembiayaan neto. Selisih antara Surplus/defisit dengan pembiayaan neto inilah yang disebut sebagai SiLPA, dimana SiLPA ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Struktur APBD, di dalamnya terdapat penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan. Selisih antara penerimaan anggaran dengan pengeluaran anggaran disebut surplus atau defisit. Surplus terjadi ketika penerimaan lebih besar daripada pengeluaran. Jika sebaliknya maka disebut defisit. Struktur pembiayaan terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan dapat berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan penerimaan kembali pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain, sedangkan pengeluaran pembiayaan dapat berupa pembentukan

18 dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan ini disebut pembiayaan netto. SiLPA merupakan selisih dari surplus/defisit dengan pembiayaan netto. SiLPA dapat digunakan sebagai indikator efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD sekaligus terjadi pembiayaan neto positif, atau pembiayaan neto lebih besar dari defisit APBD. Pasal 137 menyatakan bahwa Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk: 1. Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja; 2. Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung; 3. Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. 2.1.5 Luas Wilayah 2.1.5.1 Pengertian Wilayah Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Wilayah dapat diartikan sebagai suatu ruang pada permukaan bumi. Pengertian permukaan bumi dapat menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan vertikal, termasuk yang ada di bawah

19 permukaan bumi. Wilayah sering dibedakan artinya dengan kata daerah atau kawasan. Wilayah diartikan sebagai satu kesatuan ruang yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memerhatikan soal batas dan kondisinya. Daerah dapat didefinisikan sebagai bagian ruang di permukaan bumi dengan batas secara jelas berdasarkan jurisdiksi administrasi. Pengertian kawasan dapat disamakan dengan istilah area yang mempunyai batas-batas yang jelas berdasarkan unsur-unsur yang sama. 2.1.5.2 Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional 1. Wilayah Formal (Formal Regions/Homogenous Region) merupakan wilayah yang dipandang dari suatu aspek tertentu yang mempunyai sifat-sifat dan ciriciri yang relatif sama. 2. Wilayah Fungsional (Functional Regions/Nodul Regions) adalah suatu wilayah yang mempunyai ketergantungan antara daerah pusat dengan daerah belakangnya, atau suatu wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar (daerah belakangnya). Contohnya, wilayah kota dengan wilayah belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan hierarki jalur transportasi.

20 2.1.5.3 Perencanaan Pembangunan Wilayah Untuk kepentingan perencanaan, wilayah harus dapat dibagi ke dalam suatu kesatuan agar dapat dibedakan dengan kesatuan lain. Pembagian wilayah tergantung pada titik awal ruang wilayah yang kita maksudkan. Apabila titik awal adalah ruang yang luas dan ingin dianalisis dalam bentuk sub bagiannya, yang kita lakukan adalah membagi wilayah yang luas ke dalam beberapa sub wilayah yang lebih sempit sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Sebaliknya, apabila titik awalnya adalah wilayah yang kecil-kecil dan ingin dikelompokkan dalam beberapa kesatuan yang lebih besar, maka harus mengikuti kriteria yang digunakan. Satuan yang baru itu tetap juga dinamakan wilayah, tetapi dengan tambahan ciri atau karakter tertentu sehingga dapat kita bayangkan luasnya, lebih kecil atau lebih besar daripada luas titik awalnya. Misalnya, wilayah negara republik indonesia dapat dibagi atas provinsi, provinsi dapat dibagi atas kabupaten. Kabupaten dibagi atas kecamatan. Di sisi lain, kita bisa beranjak dari wilayah yang kecil, misalnya beberapa desa atau keluruhan digabung menjadi kecamatan, kecamatan digabung menjadi kabupaten, dst. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan berdasarkan wilayah administrasi pemerintah, kesamaan kondisi, ruang lingkup pengaruh ekonomi, dan wilayah perencanaan atau program. 2.1.6 Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dimana aset tersebut

21 dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan untuk dijual (PMK No. 91/PMK.06/2007). Menurut Halim (2007), Belanja Modal adalah: Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset tetap lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Dari pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu tahun periode akuntansi, termasuk pengeluaran yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Aset tetap yang dimiliki merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada 3 cara untuk memperoleh aset tetap, yaitu dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain dan membeli. Biasanya, pemerintah melakukan proses pembelian dengan melalui sebuah proses lelang atau tender.

22 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, belanja modal dapat dikategorikan menjadi 5 (lima) kategori utama yaitu: 1. Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan atau pembelian baik nama, sewa tanah, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan atau penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin yang memberi manfaat lebih dari 12 bulan. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran untuk pengadaan atau penggantian dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan atau peningkatan pembangunan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan, irigasi, dan jaringan yang menambah kapasitas sampai dalam kondisi siap pakai.

23 5. Belanja Modal Fisik Lainnya. Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan terhadap aset tetap lainnya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal di atas. 2.2 Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya sangatlah penting untuk diungkapkan karena dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna bagi penulis. Nurcahyani (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Kemandirian Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa Kemandirian Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil pengujian secara parsial Kemandirian Daerah tidak berpengaruh signifikan, sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Penelitian lainnya dilakukan oleh Kusnandar (2010) mengenai Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian menunjukkan secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan PAD, SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal pada α = 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa DAU yang dalam proporsi penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan paling besar namun hanya digunakan untuk

24 pengeluaran rutin, seperti untuk gaji pegawai. Sedangkan PAD walaupun kecil dalam proporsi penerimaan namun sangat perpengaruh pada alokasi belanja modal, hal ini mengindikasikan bahwa PAD merupakan sumber penting pendapatan yang akan dialokasikan dalam pembangunan infrastruktur daerah. Ardhini (2010) melakukan penelitian melakukan penelitian mengenai Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Persperktif Teori Keagenan (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa tengah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan SiLPA keuangan daerah berpengaruh terhadap kenaikan rasio belanja modal dikarenakan jumlah efisiensi SiLPA yang semakin besar tidak mencerminkan pelaksanaan keuangan daerah sesuai dengan porsinya masing- masing. Variabel Luas Wilayah memiliki t hitung sebesar - 2,515 dan nilai sig sebesar 0,014. Nilai sign 0,014 < α (0,05), hal ini berarti variabel Luas wilayah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Luas wilayah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik. Berikut adalah tabel ringkasan penelitian sebelumnya: Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya Sama/beda No. Peneliti (Tahun) Judul Subjek Penelitian Metlit Variabel dengan penelitian sebelumnya 1 Dodik Pengaruh Pemerintah Penelitian DAU (x1), Penelitian Siswantoro Dana Daerah menggunakan PAD (x2), sekarang hanya Kusnandar Alokasi Kabupaten pendekatan SiLPA memiliki 2 (2010) Umum, /kota kuantitatif dengan (x3), Luas variabel x,

25 Pendapatan seluruh alat yang Wilayah yaitu SiLPA Asli Daerah, Indonesia digunakan dalam (x4), dan Luas Sisa Lebih penelitian ini Belanja Wilayah. Selain Pembiayaan adalah analisis Modal (y) itu, subjek Anggaran, regresi linear penelitian yang dan Luas berganda dengan dilakukan Wilayah teknik estimasi sekarang adalah terhadap yang digunakan kabupaten/kota Belanja untuk mencari di Provinsi Modal persamaan regresi Jawa Barat. menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square OLS) untuk menganalisis pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah dalam hubungannya dengan alokasi Belanja Modal. 2 Ardhini Pengaruh Kabupaten Teknik yang Rasio Penelitian (2011) Rasio /kota di digunakan untuk Kemandiri sekarang Keuangan Provinsi mencari nilai an Daerah menggunakan Daerah Jawa persamaan regresi (x1), Rasio subjek yang terhadap Tengah yaitu dengan Efektifitas berbeda, yakni Belanja analisis Least Keuangan kabupaten/kota Modal untuk Squares (kuadrat Daerah di Provinsi Pelayanan terkecil) dengan (x2), Rasio Jawa Barat. Publik meminimalkan Efisiensi Variabel yang dalam jumlah dari Keuangan diteliti hanya Perspektif kuadrat Daerah SiLPA dan Teori kesalahan. (x3), Luas Wilayah Keagenan Metode analisis SiLPA terhadap data yang (x4), Luas Belanja Modal.

26 digunakan dalam Wilayah penelitian ini (x5), DAK adalah Analisis (x6), Kuantitatif yang Belanja merupakan Modal (y) analisis perhitungan terhadap angkaangka dan perbandingan untuk menarik kesimpulan. 3 Mochamad Analisis Kabupaten Metode yang Tingkat Metode Fajar Pengaruh /kota di digunakan dalam Ketergantu penelitian yang Hidayat Kinerja Provinsi penelitian ini ngan (x1), digunakan (2013) Keuangan Jawa adalah Regresi Efektivitas sekarang Daerah Timur. data panel dengan PAD (x2), menggunakan terhadap menggunakan SiLPA metode regresi Alokasi pendekatan (x3), Ruang linear Belanja Random Effect Fiskal (x4), berganda, Modal Model (REM). Belanja dengan subjek Modal (y) kabupaten/kota yang ada di provinsi Jawa Barat dengan menggunakan SiLPA dan menambahkan Luas Wilayah sebagai variabel x2. 4 Haryanto Pengaruh Pemerintah Model analisis SiLPA Penelitian (2013) Informasi kabupaten data yang (x1), Arus sekarang SiLPA yang digunakan dalam Kas menggunakan APBD dan terdaftar di penelitian ini Operasi pemerintah Arus Kas Departeme adalah model (x2), Arus daerah terhadap n Dalam regresi linear Kas kabupaten/kota

27 Penganggara Negeri per berganda, yaitu Investasi di provinsi n Belanja 31 menggunakan (x3), Arus Jawa Barat Modal Desember regresi. Kas sebagai subjek. Berdasarkan 2007 Pembiayaa Variabel yang Klasifikasi n (x4), diteliti adalah Pemerintah Belanja SiLPA dan Daerah Modal (y) Luas Wilayah menurut terhadap Permendagri Belanja Modal. Nomor 21 tahun 2007 2.3 Kerangka Pemikiran 2.3.1 Pengaruh SiLPA terhadap Belanja Modal SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya sampai dengan akhir tahun anggaran yang belum diselesaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar (2010) menyatakan bahwa Selisih Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif dan signifikan pada α=1%, hal ini mengindikasikan bahwa SiLPA tahun sebelumnya sangat berpengaruh pada alokasi belanja tahun berikutnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2013) menunjukkan bahwa tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya dengan arah hubungan positif. Hubungan yang

28 positif berarti bahwa semakin besar tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu maka semakin besar pula alokasi belanja modal di tahun berikutnya. Nurcahyani (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa secara parsial Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2012) yang menyimpulkan bahwa variabel SiLPA berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal. Pasal 137 menyatakan bahwa Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk: 1. Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja; 2. Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung; 3. Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Poin ke-2 dalam pasal 37 menyatakan bahwa salah satu kegunaan dari SiLPA adalah untuk mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung, yang mana belanja modal termasuk kategori belanja langsung. Hal ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yakni Sisa Lebih Perhitungan Anggaran memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Belanja Modal. 2.3.2 Pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Modal Luas wilayah berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal, hal ini mengindikasikan bahwa alokasi belanja modal yang dilakukan oleh daerah sangat

29 dipengaruhi oleh luas daerah itu sendiri. Luas wilayah suatu daerah dapat dijadikan ukuran suatu daerah untuk mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan terutama berupa pembangunan infrastruktur berupa jalan dan jaringan. Pembangunan infrastruktur berupa jalan akan mempermudah akses ke suatu daerah dan dapat memperlancar transportasi sehingga dapat memperlancar arus barang dari daerah satu ke daerah yang lain. Lancarnya arus barang dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya, dan hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian daerah itu sendiri (Kusnandar, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2012) menyatakan bahwa Variabel Luas Wilayah memiliki t hitung sebesar -2,515 dan nilai sig sebesar 0,014. Nilai sign 0,014 < α (0,05), hal ini berarti variabel Luas wilayah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Luas wilayah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal. Menurut Abdullah dan Halim (2006), alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa ada beberapa variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah, dua diantaranya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa besar atau tidaknya kebutuhan suatu daerah akan fasilitas publik juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dari daerah itu sendiri. Apabila jumlah penduduk atau

30 kepadatan penduduk dalam suatu wilayah tergolong sedikit, maka secara otomatis fasilitas publik yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah tersebut akan lebih sedikit apabila dibandingkan dengan daerah yang memiliki jumlah dan kepadatan penduduk yang lebih banyak. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dibuat skema guna mempermudah pemahaman mengenai hubungan antar variabel dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 2012 sebagaimana terdapat pada gambar berikut: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Belanja Modal Luas Wilayah Gambar 2.1 Paradigma Penelitian 2.4 Hipotesis Hipotesis adalah dugaan sementara yang perlu diuji kebenarannya. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) H 1 : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

31 2) H 2 : Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 3) H 3 : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran dan Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.