BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Untuk melihat kinerja suatu perusahaan, para stakeholder akan menjadikan

BAB 1 PENDAHULUAN. intellectual capital dianggap penting untuk. diungkap dan diperbincangkan, karena mengandung intangible asset yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pelaporan intellectual capital (IC) merupakan salah satu unsur dari

BAB I PENDAHULUAN. informasi yang memadai diberikan oleh perusahaan karena mempunyai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Agency theory digunakan sebagai grand theory dalam penelitian ini untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian dunia telah berkembang dengan pesat dan persaingan bisnis

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori agensi menjelaskan tentang pemisahan kepentingan atau

BAB I PENDAHULUAN. teknologi. Perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitif apabila dilakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang setelah munculnya PSAK No.19 (Revisi 2000) tentang aset

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy) merupakan suatu hal

BAB I PENDAHULUAN. memahami corporate governance. Jensen dan Meckling (1976) dalam Muh.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori keagenan adalah teori yang timbul dari adanya suatu hubungan

Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. suatu perusahaan dengan pihak pihak yang berkepentingan dengan data atau

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan melalui implementasi keputusan keuangan yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Dalam mengelola suatu perusahaan telah lama dikenal suatu istilah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. sekarang, perusahaan tidak bisa hanya dengan mengandalkan kekayaan fisiknya saja.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. penawaran umum kepada publik atau go public diwajibkan untuk menyampaikan

BAB I PENDAHULUAN. tidak. Bagi perusahaan yang terdaftar di pemerintah, mereka mempunyai badan usaha

BAB I PENDAHULUAN. saham, dengan pembagian dividen atau perolehan capital gain (Mahfoedz. dan Naim, 1996 dalam Purbandari, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu pencatatan

1 Universitas Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Teori keagenan (Agency Theory) menjadi dasar bagi perusahaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. (principal) dan manajemen (agent). Kondisi ini menimbulkan potensi terjadinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. tanggungjawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas

BAB I PENDAHULUAN. mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) No.1 (2012) laporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. manajer (agen). Manajemen ditunjuk sebagai pengelola perusahaan oleh pihak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kajian mengenai Corporate Governance meningkat dengan pesat seiring

Bab 1 PENDAHULUAN. sebuah perusahaan. Manajer dapat dikatakan sebagai agent dan pemegang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pembahasan kali ini mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu. beserta persamaan dan perbedaan, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN. terhadap good corporate governance yang selama ini kurang diperhatikan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh dari komponen corporate

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komite Cadbury mendefinisikan Corporate Governance sebagai sistem yang

BAB I PENDAHULUAN. Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnis antar perusahaan menjadi semakin ketat. Kondisi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di dunia, dikawasan Asia,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah keuangan merupakan salah satu masalah yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Corporate governance merupakan suatu sistem yang mengatur dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena perusahaan lebih terstruktur dan adanya pengawasan serta monitoring

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat krisis tahun , perusahaan perusahaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Perusahaan yang pada awalnya dikelola langsung oleh pemiliknya,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tekanan persaingan di antara pemain pasar yang ada dan new entrants,

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya tujuan utama didirikannya suatu perusahaan adalah untuk

PENGARUH PRAKTEK CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP AGENCY COST PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENURUNAN HIPOTESIS

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang digunakan sesuai dengan tujuan hipotesis yang dilakukan

I. PENDAHULUAN. Dalam perkembangan perusahaan yang semakin meningkat, pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. return atas investasinya dengan benar. Corporate governance dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang bekerja untuk mencapai tujuan. Tujuan utama perusahaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Semakin tinggi nilai perusahaan dianggap semakin sejahtera pula pemiliknya.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, modal intelektual telah berkembang dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tujuan para investor yaitu memperoleh return yang maksimal dari dana yang

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan kegiatan sosial yang dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengungkapan intellectual capital pada saat ini merupakan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan suatu perusahaan didirikan adalah untuk meningkatkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. itulah, pemerintah maupun investor memberikan perhatian yang lebih dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atas kepentingan mereka sendiri dan agen (manajer perusahaan) a) Pemegang saham dengan manajer.

BAB 1 PENDAHULUAN. melakukan perluasan usaha agar dapat terus bertahan dan bersaing. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menguasai informasi (Soewardjono, 2005 dalam Yenibra, 2014). Asimetri

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai agent dengan pemilik modal sebagai principal. Teori ini

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan membuat persaingan di dunia usaha semakin ketat. Pada era

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Lemahnya good corporate governance (GCG) yang ada di negara-negara di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Umumnya dalam pengelolaan perusahaan, laporan keuangan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diambil dalam rangka proses penyusunan laporan keuangan akan. mempengaruhi penilaian kinerja perusahaan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori sinyal (signaling theory) sebagai teori

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengambilan keputusan pendanaan yang aman dan menguntungkan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan go public merupakan istilah yang tidak asing lagi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa globalisasi dan pasar bebas sekarang ini, perusahaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan perusahaan dilakukan oleh dua pihak berbeda, dalam hal ini pihak principal

BAB II LANDASAN TEORI. (principal) yaitu investor dengan manajer (agent). Investor memberikan

BAB I PENDAHULUAN. disebut agency conflict disebabkan pihak-pihak yang terkait yaitu prinsipal

BAB II LANDASAN TEORI. Teori agensi didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan sebagai sekumpulan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba (Cheng, et.al.,

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal) melimpahkan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk. meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Agency Theory Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak di mana satu orang atau lebih (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Prinsipal akan memberikan informasi sukarela (voluntary disclosure) hanya jika tindakan tersebut meningkatkan kesejahteraan mereka atau dengan kata lain jika manfaat pengungkapan tersebut 85% lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu (Eisenhardt, 1989). Ketika agen bertindak untuk prinsipal, hal tersebut menyerupai perilaku seperti melakukan pekerjaan untuk kepentingan prinsipal atau bertindak sebagai perwakilan prinsipal atau karyawan (Mitnick, 1973) Doherty and Quinn (1999) mengungkapkan hal yang senada bahwa agency theory didasarkan pada konsep hubungan prinsipal-agen dimana di dalam hubungan tersebut prinsipal mewakili individu, atau kelompok individu, yang berada dalam kontrol satu set fungsi ekonomi atau aset dalam beberapa bentuk kepemilikan atau hak milik. Sedangkan Adams (1994) berpendapat bahwa teori agensi adalah bagian dari kelompok teori-teori positivis yang berasal dari literatur ekonomi keuangan. Ini menyimpulkan bahwa perusahaan terdiri dari hubungan kontrak antara pemilik sumber daya ekonomi (prinsipal) dengan manajer (agen) 9

10 yang dibebani menggunakan dan mengendalikan sumber-sumber milik perusahaan. Pendekatan klasik untuk memahami teori keagenan secara historis mengikuti rute hubungan prinsipal-agen, yang mengasumsikan bahwa prinsipal dan agen akan berusaha untuk memaksimalkan posisi mereka melalui interpretasi Menurut Zu and Kaynak (2012) asumsi penting yang mendasari teori agensi adalah bahwa : Ada konflik tujuan potensial antara prinsipal dan agen Masing-masing pihak bertindak berdasarkan kepentingan sendiri Sering ada asimetri informasi antara prinsipal dan agen Agen cenderung lebih menolak resiko daripada prinsipal Efisiensi adalah kriteria efektivitas Maijoor (2000) menyatakan bahwa isu-isu corporate governance seperti pemantauan mekanisme (monitoring mechanism) sangat berhubungan dengan teori keagenan. Teori ini menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan fungsi manajemen menyebabkan konflik antara principal dengan agen dimana manajer dapat mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan para pemegang saham/prinsipal (Ugurlu, 2000). Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini dapat menciptakan asimetri informasi dan mengakibatkan biaya agensi (agency cost) (Farrer and Ramsay, 1998). Dalam hubungan keagenan, biasanya prinsipal akan berusaha untuk meminimalkan biaya agensi, seperti penentuan, penghargaan dan monitoring, serta pembuatan kebijakan perilaku agen, sementara agen bekerja untuk memaksimalkan penghargaan dan mengurangi kontrol prinsipal (Fleisher, 1991). Menurut

11 Probohudono (2012) prinsipal dapat membatasi masalah agensi dengan menetapkan insentif untuk agen (agency costs) dan dengan menciptakan biaya monitoring yang dirancang untuk mengontrol perilaku agen. Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari : 1. Pengeluaran monitoring oleh prinsipal 2. Pengularan terikat oleh agen 3. Kerugian residual 2.1.2 Intellectual Capital Disclosure Intellectual capital adalah istilah yang diberikan untuk mengkombinasikan intangible asset dari pasar, property intelektual, infrastruktur dan pusat manusia yang menjadikan suatu perusahaan dapat berfungsi (Abeysekera, 2006). Intellectual capital adalah materi intelektual (pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekuatan akal kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna (Stewart, 1997). Definisi yang dibuat oleh para pakar tidak sama, namun dapat diambil kesimpulan bahwa intellectual capital merupakan bagian dari intagible asset. Hal ini sesuai dengan pendapat Mouritsen (1998) yang menyebutkan bahwa intellectual capital menyangkut kapasitas pengetahuan luas yang dimiliki oleh organisasi. Pengetahuan yang luas bagi organisasi ini bermanfaat bagi organisasi dalam menyikapi perubahan-perubahan tertentu dalam dunia bisnisnya.

12 Secara umum berbagai pendapat para pakar dan organisasi tersebut dapat disimpulkan bahwa intellectual capital secara garis besar terdiri dari ( Sveiby, 1997) : 1. Human Capital Fitz-Enz (2000) mendeskripsikan human capital sebagai kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke pekerjaan, misalnya intelegensi, energi, sikap positif, keandalan, dan komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan, imajinasi, kreatifitas dan bakat dan 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu semangat tim dan orientasi tujuan. 2. Structural Capital Structural Capital merupakan aset perusahaan yang berupa pemilikan sistem software, jaringan distribusi, dan supply chain perusahaan. Petras (1996) menyebutkan bahwa structural capital juga meliputi kemampuan perusahaan dalam menjangkau pasar. 3. Relational Capital Relational capital atau customer capital merupakan hubungan baik yang dijalin oleh perusahaan dengan pihak luar (Petras, 1996), dan juga pengetahuan mengenai rantai alur pasar suatu produk, pelanggan, pemasok, dan menjalin hubungan baik dengan pemerintah (Bontis, 2000). Di Indonesia sendiri, fenomena intellectual capital mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang asset tak berwujud (Ulum, Ghozali, dan Chariri, 2008). Menurut PSAK No. 19, asset tak

13 berwujud adalah asset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif (IAI, 2007). Ada empat kriteria yang harus dipenuhi agar suatu asset dapat dikategorikan sebagai asset tak berwujud: (a) asset tersebut dapat diidentifikasi, implikasinya asset tersebut dapat dijual, dipertukarkan, atau disewakan; (b) perusahaan memiliki kontrol atas asset tersebut; (c) asset tak berwujud akan memberikan manfaat bagi perusahaan di masa yang akan datang; (d) harga perolehan asset tersebut dapat diukur secara andal. 2.1.3 Corporate Governance Corporate governance merupakan sesuatu yang secara langsung mempengaruhi operasional perusahaan atau sebagai sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Secara singkat,corporate governance dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengendalikan perusahaan (Cadbury, 1992). Sedangkan Sternberg (2004) memandang corporate governance secara lebih khusus, yakni sebagai alat bagi para pemegang saham dalam menentukan dan memperbaiki pencapaian tujuan mereka. Rezaee (2007) mengemukakan pendapat bahwa manfaat atau fungsi dari corporate governance antara lain sebagai berikut : a. Fungsi Pengawasan (Oversight Function) b. Fungsi Pengelolaan (Managerial Function) c. Fungsi Kepatuhan (Compliance Function) d. Fungsi Audit Internal ( Internal Audit Function)

14 e. Fungsi Pemberian Nasehat hukum & Keuangan (Legal & Financial Advisory) f. Fungsi audit Eksternal ( External Audit Function) g. Fungsi Monitoring (Monitoring Function) Menurut Hastuti (2005), corporate governance diperlukan untuk mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik dan manajer. Corporate governance pada dasarnya berisi prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip tersebut antara lain : 1. Keadilan (fairness) yang meliputi : (a) Perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham (b) Perlakuan yang sama bagi para pemegang saham. 2. Transparansi (transparancy) yang meliputi : (a) Pengungkapan informasi yang bersifat penting (b) Informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas (c) Penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien. 3. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability) yang meliputi meliputi pengertian bahwa : (a) Anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham (b) Penilaian yang bersifat independen terlepas dari manajemen (c) Adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu.

15 4. Pertanggungjawaban (responsibility) meliputi : (a) Menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang berkepentingan (b) Para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hakhak mereka (c) Dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan (d) Jika diperlukan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan. 2.2 Penelitian-Penelitian Sebelumnya Terkait penelitian sebelumnya mengenai Intellectual Capital Disclosure, Li, Pike dan Haniffa (2008) meneliti mengenai hubungan antara Intellectual Capital Disclosure dengan Corporate Governance di Inggris dengan sampel 100 perusahaan listing di bursa efek Inggris. Hasilnya dari 5 variabel independen dan 3 variabel kontrol hanya 1 variabel independen yakni role duality yang tidak memiliki hubungan dengan Intellectual Capital Disclosure, sedangkan variabel lainnya memiliki hubungan positif terhadap Intellectual Capital Disclosure. Hidalgo, Garcia-Meca dan Martinez (2011) melakukan penelitian terkait mengenai hubungan antara Intellectual Capital Disclosure dengan Corporate Governance dengan 2 variabel independen yakni board size dan ownership structure. Hasil yang berbeda dengan penelitian Li, Pike dan Haniffa dimana penelitian ini menghasilkan hubungan yang negatif antara peningkatan

16 kepemilikan saham investor institusional terhadap Intellectual Capital Disclosure, sedangkan peningkatan board size menjadi 15 orang memiliki hubungan positif terhadap Intellectual Capital Disclosure. Pada periode yang sama, Taliyang dan Jusop (2011) juga meneliti hubungan Corporate Governance dengan Intellectual Capital Disclosure dengan sampel 150 perusahaan listing di Malaysia. Corporate Governance diproksikan dengan board composition, role of duality, size of audit committee, dan frequency of audit committee meetings. Hasil penelitian ini adalah hanya 1 variabel yang berpengaruh positif terhadap tingkat Intellectual Capital Disclosure, yakni frequency of audit committee meetings. Sedangkan 3 variabel lainnya yakni board composition, role of duality, dan size of audit committee tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Intellectual Capital Disclosure. Penelitian ini juga menghasilkan temuan lain bahwa perusahaan-perusahaan di Malaysia sadar akan pentingnya Intellectual Capital Disclosure namun mereka tidak menyadari/tidak mengerti bagaimana mengukur, melaporkan dan mengungkapkan informasi ini di dalam laporan tahunan mereka. Setelah itu, Ramadan dan Majdalany (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance terhadap Intellectual Capital Disclosure dengan sampel annual report tahun 2010 bank-bank yang telah listing dalam bursa efek di Uni Emirat Arab. Item-item Corporate Governance yang digunakan sebagai variabel independen antara lain bank size, leverage, profitability, board size dan ownership structure. Hasilnya menunjukkan bahwa bank size dan leverage berpengaruh positif terhadap Intellectual Capital Disclosure, sedangkan profitability berpengaruh negatif terhadap tingkat

17 Intellectual Capital Disclosure. Variabel lainnya seperti board size, ownership structure, market listing age dan bank age tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat Intellectual Capital Disclosure di Uni Emirat Arab. 2.3 Kerangka Pemikiran Variabel independen dalam penelitian ini adalah Corporate Governance, yang diproksikan dengan Board composition, Ownership Structure dan Role duality. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital Disclosure, dan Profitability, Company Size, Leverage, Auditor, Country sebagai variabel kontrol. GAMBAR 1 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN Board Composition (+) H 1 Role Duality Managerial Ownership Country (-) H 2 (-) H 3 (+) H 4 1. Profitability 2. Size 3. Leverage 4. Auditor Intellectual Capital Disclosure Variabel Kontrol

18 2.4 Pengembangan Hipotesis 2.4.1 Board composition Langberg dan Sivaramakrishnan (2008) mengatakan bahwa komposisi dewan (board composition) yang lebih baik mempunyai kecenderungan untuk menjadikan laporan keuangan lebih akurat yang nantinya akan mengarah pada meningkatnya kemampuan analis untuk menginterpretasikan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Menurut Boediono (2005), komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas. Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta corporate governance di dalam perusahaan. Adanya direksi dari luar dapat menengahi masalah yang terjadi antar manajer internal dan melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan agency problem yang serius antara manajer dengan claimant residual, seperti penetapan kompensasi eksekutif dan pencarian pengganti manajer puncak (Fama and Jensen, 1983). Oleh karena itu, suatu dewan yang efektif untuk pemantauan relatif mempunyai lebih banyak komposisi direksi dari luar, struktur kepemilikan ganda dan ukuran yang kecil (Jensen, 1993). Hasil penelitian dari Li, Pike dan Haniffa (2008) juga memberi bukti bahwa board composition memiliki hubungan positif terhadap intellectual capital disclosure H 1 = Board composition memiliki hubungan positif terhadap Intellectual Capital Disclosure

19 2.4.2 Role duality Salah satu aspek tata kelola yang berpotensi menimbulkan masalah adalah epribadian yang dominan dalam memimpin sebuah perusahaan dapat merugikan kepentingan pemegang saham, dan fenomena ini telah ditemukan terkait dengan pengungkapan yang buruk (Forker, 1992). Pemusatan pengambilan keputusan yang dihasilkan dari peran dualitas (role duality) akan merusak pengawasan dewan dan peran pemerintahan, termasuk kebijakan pengungkapan. Pemisahan peran akan memberikan dampak penting yakni pemeriksaan dan keseimbangan pada perilaku manajemen (Blackburn, 1994). Penelitian Gul dan Leung (2002) juga memberikan bukti bahwa peran dualitas berpengaruh negatif terhadap voluntary disclosures. Menurut Jensen (1993), memiliki individu yang berbeda yang memegang jabatan CEO dan chairperson (chairman) akan meningkatkan kemampuan monitoring direksi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : H 2 = Role duality memiliki hubungan negatif terhadap Intellectual Capital Disclosure 2.4.3 Managerial ownership Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya saham yang dimiiki oleh manajemen dalam perusahaan. Tingkat pengungkapan informasi akan berkurang bila kepemilikan dimiliki oleh pihak manajemen karena permintaan akan informasi juga akan berkurang (Chau dan Gray, 2002). Asosiasi negatif antara managerial ownership dan pengungkapan dapat terjadi karena dengan semakin

20 besarnya managerial ownership, monitoring yang dilakukan oleh pemegang saham telah dilakukan sendiri oleh manajemen sehingga manajemen tidak perlu banyak melakukan pengungkapan kepada pihak lainnya. Peminimalisasian pengungkapan tersebut merupakan bentuk pengurangan agency cost akibat adanya managerial ownership (Eng dan Mak, 2003). Penelitian Ruland et al. (1990) juga menemukan adanya asosiasi negatif antara managerial ownership dengan tingkat pengungkapan. Sama halnya dengan Eng dan Mak (2003) yang juga menemukan asiosiasi negatif antara managerial ownership dengan pengungkapan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : H 3 = Managerial ownership memiliki hubungan negatif terhadap Intellectual Capital Disclosure 2.4.4 Country Meek, Roberts and Gray (1995) mengungkapkan bahwa country (negara/wilayah) merupakan salah satu faktor yang dapat menjelaskan tingkat voluntary disclosure (pengungkapan sukarela). Penelitian Probohudono (2012) juga membuktikan bahwa country berpengaruh secara positif terhadap Risk Index Disclosure, kaitannya dengan voluntary disclosures H 4 = Country berpengaruh secara positif terhadap tingkat Intellectual Capital Disclosure