BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

Tabel 8. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Kategori Persepsi Jumlah Responden (orang) Presentase (%)

PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG PARIT

BAB III PENDEKATAN LAPANG

BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT

PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

IV. KONDISI UMUM LOKASI

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Oleh. Firmansyah Gusasi

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE


SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Resume Manajemen Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Pengertian Persepsi Definisi persepsi secara sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 978). Rakhmat (2005) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sombowidjojo (999) mendefinisikan persepsi sebagai pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, penciuman, pendengaran, serta pengalaman masa lalu. Setiap individu dapat menafsirkan sesuatu obyek secara berbeda tergantung dari sudut pandang pribadi masing-masing. Hal ini berimpilikasi pada bervariasinya persepsi seseorang terhadap obyek yang sama. 2.2 Organisasi Persepsi Atkinson et. al. (983: 20) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan. Persepsi berupa proses penggabungan stimulus sederhana (sensasi) yang diterima oleh panca indera manusia sehingga stimulus-stimulus tersebut memberikan makna tertentu bagi manusia. Organisasi persepsi adalah suatu contoh bagaimana satu bagian dari sebuah stimulus muncul sehubungan dengan stimulus lain (Atkinson et. al., 983: 209). Sarwono (982) mengemukakan persepsi sebagai kemampuan seseorang untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, atau dapat dikatakan persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan pengamatan. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip yaitu: () Wujud dan latar: Obyek-obyek yang kita amati di sekitar kita selalu muncul sebagai wujud dengan hal-hal lainnya sebagai latar. (2) Pola pengelompokkan: Hal- hal tertentu cenderung kita kelompokkelompokkan dalam persepsi kita, dan bagaimana cara kita

9 mengelompokkannya itu akan menentukan bagaimana kita mengamati hal-hal tersebut. Adanya organisasi persepsi tersebut, dan karena manusia selalu belajar dari pengalaman, maka lambat laun tersusunlah pola pengamatan yang menetap dalam diri kita masing-masing. Dengan adanya ketetapan pola pengamatan ini, sesuatu yang sekarang terlihat sebagai hitam, besok juga akan dilihat sebagai hitam dan tidak berganti menjadi merah atau hijau. Di lain pihak, organisasi dalam persepsi menyebabkan pula kadang-kadang kita salah menafsirkan obyek yang kita amati. Pengalaman persepsi kita tidak berdiri sendiri; pengalaman tersebut membentuk dunia benda yang dapat dikenali, benda-benda abadi; sehingga kita akan menjumpai benda yang sama. Kita biasanya menghayati benda yang kita kenal sebagai benda yang permanen dan stabil yang tidak terpengaruh oleh kondisi penerangan, posisi darimana kita melihatnya, atau jaraknya dari kita (Atkinson et. al., 983: 2). Persepsi lebih dari suatu proses menafsirkan pesan, persepsi merupakan suatu proses kognitif untuk membentuk suatu pola pengamatan atas berbagai stimulus yang diterima melalui indera manusia. Persepsi membentuk suatu pola keajegan dalam diri manusia atas suatu obyek. Apabila kita telah mengenal suatu obyek A berdasarkan stimulus yang diterima dan terbentuk persepsi atas obyek tersebut, maka suatu saat kita menemukan obyek A persepsinya tidak akan berubah kecuali ada sesuatu yang mempengaruhi pola keajegan kita atas obyek A. 2.3 Persepsi Sebagai Proses Pengambilan Keputusan dan Tindakan Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan).

0 Sarwono (2003) juga mengatakan bahwa persepsi bukan hanya bersifat kategorial-inferensial, melainkan juga persepsi bervariasi dapat dipercaya. Di sini lah pentingnya pengambilan keputusan dalam persepsi. Menurut Bruner, persepsi yang paling sederhana pun menuntut suatu pengambilan keputusan. Keputusan menentukan kategori dan kategori menentukan arti. Selanjutnya, keputusan yang satu menyebabkan harus dibuat keputusan yang berikutnya dan yang berikutnya lagi dan seterusnya sehingga kita akan menemukan serangkaian keputusan dalam suatu persepsi. Rangkaian keputusan ini disebut proses pengurungan (bracketing process) di mana terjadi penyempitan kategori secara bertahap sampai pada akhirnya obyek yang dipersepsikan itu mendapatkan tempatnya yang tepat dalam sistem kategori seseorang. Zimbardo (975: 232) dalam bukunya mengemukakan bahwa persepsi memberikan suatu makna terhadap hal-hal dan persepsi membuat suatu arahan dalam perilaku orang. Tanpa proses organisasi pada persepsi, kita tidak akan melihat objek, ruang, kejadian-kejadian, gerakan, orang, atau hubunganhubungan, dan akan mengarahkan kita pada suatu dunia yang tidak bermakna, sensasi-sensasi yang acak. It is our perceptual processes that enable us to find stability and continuity in a world of constant change. Perception is the ordering principle that gives kaleidoscopic sensory input and meaningful unity to separated elements, making possible an organized direction to our behavior. Without the organizing processes of perception, we would not see objects, space, events, movement, people, or relationships, but would drift through a world of meaningless, random sensations (Zimbardo, 975: 232). Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (984) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan suatu stimulus dimana

dieruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut melakukan tindakan. Persepsi merupakan suatu proses dalam pembentukan perilaku karena persepsi merupakan proses kognitif manusia dalam menafsirkan atau mengartikan sesuatu baik berupa obyek fisik maupun obyek sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang persepsi penting dilakukan untuk dapat menjelaskan perilaku atau tindakan seseorang. 2.4 Definisi Mangrove Mangrove didefinisikan menjadi dua konsep. Konsep pertama, yaitu sebagai suatu kesatuan kelompok dari spesies tanaman sepanjang tahun yang berasal dari beberapa famili tumbuhan beserta hubungannya dengan makhluk hidup lain (biotik) dan lingkungannya (abiotik), namun berbagai spesies tumbuhan tersebut memiliki kemiripan karakteristik fisiologis dan kemiripan struktur adaptasi dengan habitatnya. Sementara itu konsep yang kedua, hutan mangrove didefiniskan sebagai suatu kompleks dari komunitas tumbuhan, batas pelindung pantai tropis. Komunitas tumbuhan tersebut umumnya termasuk ke dalam jenis pohon, biasanya spesies dari famili Rhizophoraceae, bersatu dengan pohon lain dan perdu atau semak yang tumbuh dalam daerah pengaruh pasang air laut (IUCN, 993). Mangrove juga didefinisikan sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp.) dan bakau (Rhizophora spp.) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau semak-semak/rumput-rumputan yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di laut (Nybakken, 992). Sementara itu menurut Murdiyanto (2003), hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar.

2 Berdasarkan beberapa definisi mangrove yang telah dikemukakan, mangrove merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Mangrove terdiri dari berbagai spesies tanaman (pada sebagian besar daerah di Indonesia d idominasi oleh Rhizophora spp. dan Avicennia spp.) yang memiliki sifat khusus yaitu dapat beradaptasi tumbuh pada air asin (laut), fauna, dan organisme lain (seperti jamur dan mikroorganisme) beserta komponen abiotik (seperti udara, air, tanah) dimana satu sama lain berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang memiliki habitat di perbatasan antara wilayah daratan dan lautan (pesisir) sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dengan melihat definisi tesebut, mangrove bukanlah hanya berisi sekumpulan tanaman, namun lebih dari itu merupakan suatu ekosistem wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu. Tabel. Fungsi Ekologi dan Fungsi Sosial-Ekonomi Hutan Mangrove Fungsi Ekologi Fungsi Sosial-Ekonomi - Melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan - Mempercepat pembentukan tanah - Mengendalikan banjir - Menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai ke laut - Sebagai plasma nutfah dan habitat berbagai organisme lain (hewan darat, hewan air, dan mikroorganis me) - Feeding ground, nursery ground, spawning ground, berbagai hewan terutama larva ikan dan udang - Hasil kayu-kayu bernilai ekonomi seperti untuk kayu bangunan dan tannin - Bahan baku pembuatan kertas - Sarana rekreasi - Tempat pemijahan ikan dan udang (yang merupakan komoditas tangkapan nelayan) Sumber: Dikutip dari (Cooper, Harrison, dan Ramm., 995 dalam Murdiyanto, 2003) dan (Haryadi, 995) 2.5 Fungsi Mangrove Fungsi mangrove diklasifikasikan menjadi dua, yaitu fungsi ekologi dan fungsi sosial ekonomi. Tabel memuat fungsi ekologi dan fungsi sosial ekonomi mangrove. Mangrove tidak hanya memiliki fungsi ekologi namun juga fungsi ekonomi walaupun fungsi ekonomi tersebut tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu singkat. Hal ini karena profibilitas mangrove yang sangat besar baru dapat dirasakan dalam jangka waktu lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan satu hektar tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap

3 satu hektar hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 977) 8. 2.6 Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan (Sylvofishery) Model Empang-Parit Pengelolaan tambak ramah lingkungan (Sylvofishery) model empang-parit 9 adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan, pertanian, dan perikanan dimana bagia n dari andil yang diperuntukkan bagi pemeliharaan ikan (caren) letaknya mengelilingi bagian dari andil yang ditanami tanaman hutan payau (rabak). Dapat dilihat sketsa sylvofishery model empang-parit pada Gambar. 0 Keterangan Gambar: a. pintu air untuk pemeliharaan ikan b. saluran air pasang surut bebas untuk hutan c. empang tempat pemeliharaan ikan lebar maksimum 5 meter d. areal tegakan hutan dengan pasang surut bebas e. tanggul Gambar. Sketsa Gambar Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit 8 http://fppb.ubb.ac.id/?page=artikel_ubb&&nama_menu=&&id=269 diakses pada 24 Mei 200 pukul.35 9 Pasal 2 Bab Pengertian Umum Naskah Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) antara Perum Perhutani KPH Purwakarta dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Mina Wana Lestari Desa Sedari, Kecamatan CIbuaya, Kabupaten Karawang Tahun 2007. 0 http://library.usu.ac.id/download/fp/06008763.pdf diakses pada tanggal 26 Mei 200 Pukul 6.55 WIB.

4 Model empang-parit ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu: () cahaya matahari yang menyinari cukup baik; (2) biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan secara bertahap setiap pemeliharaan. Sementara itu, beberapa hambatannya adalah pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak. Model empang-parit yang umumnya dikatakan sistem tradisional ini dalam pelaksanaannya kurang disukai oleh petani. Beberapa alasan yang dikemukakan petani pada saat diskusi pelatihan budidaya tambak sistem wanamina pada tanggal 2 November 2006 antara Universitas Lampung (Unila) dengan petani di Desa Margasari, yaitu: a) Tambak yang ditumbuhi mangrove pada bagian pelatarannya akan menghilangkan fungsi pelataran sebagai tempat pertukaran oksigen. b) Mangrove yang ada di tambak akan menjadi sarang hama, seperti biawak, ular, lingsang, burung elang, dan lain-lain. c) Kawasan budidaya tambak akan menjadi sempit, sehingga mengurangi produksi yang akan dipanen nantinya. Terlihat bahwa menurut petani model empang-parit kurang menguntungkan secara ekonomi. Kebanyakan petani hanya memikirkan keuntungan ekonomi dari tambak ini tanpa melihat sisi ekologi nya. Padahal tujuan dari pengelolaan tambak ramah lingkungan ini sudahlah jelas tidak hanya keuntungan ekonomi semata tetapi bagaimana mempertahankan tegakan hutan mangrove yang kondisinya semakin mengkhawatirkan. 2.7 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mina Wana Lestari LMDH Mina Wana Lestari merupakan salah satu LMDH yang aktif melakukan pengelolaan tambak ramah lingkungan. LMDH ini termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH Cikiong), Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Perum Perhutani mempercayakan LMDH Mina Wana Lestari untuk mengelola petak hutan mangrove seluas 2.840,95 hektar yang menjadi pangkuan Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, melalui perjanjian kerjasama PHBM http://mangrove.unila.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3 diakses pada tanggal 24 Mei 200 pukul 5.35 WIB.

5 Plus. LMDH ini telah melakukan kerjasama dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dengan model empang-parit selama 3 tahun. Pesanggem didefinisikan sebagai petani yang mengerjakan usahatani dalam kawasan hutan payau yang terkait dalam perjanjian kerjasama dengan Perhutani (Perum Perhutani, 2007). Mereka adalah masyarakat desa-desa di Kecamatan Cibuaya dan Kecamatan Ciwaru yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari dan menggarap tambak ramah lingkungan model empang-parit. Para pesanggem ini memiliki kewajiban untuk memelihara tanaman payau yang ditanam Perhutani di tambak yang dikelola. Mereka juga diwajibkan membayar uang ganti rugi atas tambak yang mereka kelola dengan masa perjanjian selama satu tahun. Setelah itu, mereka harus memperpanjang masa perjanjian dan membayar lagi uang ganti rugi. Uang ganti rugi tersebut berbeda-beda tiap pesanggem tergantung kelasnya. Kriteria penentuan kelas 2, yaitu berdasarkan: a) Kerapatan Tegakan b) Luas Pengaruh Pasang-surut c) Lebar parit (5m) dengan memakai pola empang-parit Sementara itu, kelas klasifikasi pesanggem dalam pengelolaan tambak, yaitu: a) Kelas I = Rp60.400 per ha/tahun b) Kelas II = Rp77.200 per ha/tahun c) Kelas III = Rp94.000 per ha/tahun d) Kelas IV = Rp44.400 per ha/tahun 2.8 Pengertian Partisipasi Participation is a process through which stakeholders influence and share control over development initiatives, decisions, and resources which affect them. 3 Participation can take different forms, ranging from information-sharing and consultant methods to mechanisms for collaboration and empowerment that give 2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Asisten Perum Perhutani/KBKPH Cikiong pada tanggal 29 Mei 200 3 The World Bank (994) dalam Participation and Social Assessment: Tools and technique Compiled by Jennifer Rietbergen-McCracken and Deepa Narayan tahun 998 hlm. 4.

6 stakeholders more influence and control. 4 Participation means involving local people in the development of plans and activities designed to change their lives. In its most development form, participation is continous process of negotiation and decision making that occurs at various levels and with all stakeholders (Jennings, 2000 dalam Evans et al., 2006). Partisipasi adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan saling mempengaruhi dan berbagi kekuasaan pada inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan-keputusan, dan sumberdaya-sumberdaya yang berpengaruh terhadap mereka. Partisipasi dapat terwujud dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dari berbagi informasi dan metode konsultasi hingga mekanisme untuk kolaborasi dan pemberdayaan yang memberikan pemangku kepentingan pengaruh dan kekuasaan yang lebih besar. Partisipasi berarti mengikutsertakan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang dirancang untuk merubah hidup mereka. Dalam banyak bentuk pembangunan, partisipasi adalah proses berkelanjutan pada negosiasi dan pengambilan keputusan yang terjadi pada berbagai tingkatan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Beberapa definisi partisipasi tersebut pada dasarnya menjelaskan titik utama partisipasi, yaitu: () keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan; (2) masyarakat lokal sebagai salah satu pemangku kepentingan (subyek pembangunan), bukan sebagai obyek pembangunan; (3) pemangku kepentingan yang terlibat memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sama; (4) keterlibatan dalam kegiatan pembangunan untuk merubah hidup (memperbaiki kualitas hidup) pemangku kepentingan khususnya masyarakat lokal. Pemangku kepentingan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan. Dalam banyak kegiatan pembangunan di Indonesia, pihak-pihak yang terlibat tersebut umumnya adalah pemerintah, swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun dalam penelitian ini, pemangku kepentingan yang teridentifikasi adalah masyarakat (tergabung dalam LMDH) dan pemerintah baik pusat (Perum Perhutani) maupun daerah (Pemerintahan Desa Sedari). 4 The World Bank (996) dalam Mc Cracken and Narayan (998) Ibid.

7 2.9 Bentuk-bentuk Tahapan Partisipasi dalam Praktek Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat tidak lagi menjadi obyek pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan, dimana masyarakat berperan aktif menyelesaikan masalahnya sendiri. 5 Partisipasi dalam prakteknya terdiri dari empat bentuk tahapan (Pamudji, 997 dalam Asnawati, 2004), yaitu: () Partisipasi dalam perencanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk kehadiran, menyampaikan pendapat, dan pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk penyediaan dana, pengadaan sarana, dan berkorban waktu dan tenaga sejak persiapan kegiatan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan kegiatan yang berupa pemeliharaan hasil-hasil kegiatan. (3) Partisipasi dalam pengendalian kegiatan monitoring, pengawasan, dan evaluasi. (4) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan. Cohen dan Uphoff (977) dalam Makmur (2005) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: () Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini adalah pada perencanaan suatu kegiatan. (2) Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab tahapan ini adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. 5 Buku Intisari Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan halaman 3. Editor: Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Gita Chandrika Napitupulu, Wahuyu Mulyana, Frieda Fidi. Yogyakarta, 25-26 Juli 2008.

8 (3) Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan program selanjutnya. (4) Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Partisipasi dalam arti sesungguhnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam setiap bentuk tahapan partisipasi, tidak terkecuali masyarakat lokal. Pada kegiatan pembangunan di Indonesia, partisipasi masyarakat cenderung masih rendah karena masih adanya perbedaan sikap antara masyarakat dengan golongan elit (Utomo, 984). Utomo (984) mengemukakan bahwa pengertian mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa paling sedikit mencakup dua aspek yang penting, yaitu bahwa peserta partisipasi (masyarakat lokal) seyogyanya turut menentukan dalam pengambilan keputusan dan turut melaksanakannya; walaupun antara golongan elit dan masyarakat bawahan masih terdapat perbedaan sikap dalam menilai kepentingan mengembangkan partisipasi tersebut sebagai berikut: () Ahli dari golongan elit menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui masyarakat. (2) Rakyat atau masyarakat golongan bawah belum terbiasa dengan pola hidup moderen, sehingga partisipasi mereka rendah tingkatannya bahkan lebih menunjukkan partisipasi yang tinggi dalam kegiatan ritus kolektif yang tradisionil. (3) Ada kontradiksi antara usaha mengembangkan partisipasi dengan usaha mencapai target secepat-cepatnya. Akibatnya maka ada gejala umum pada masyarakat pedesaan hanya ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja, atau berpartisipasi secara semu, yaitu hanya mengikuti kehendak atasan yang tidak sepenuhnya mereka mengerti kegunaannya.

9 2.0 Hubungan Persepsi dan Partisipasi Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, persepsi dan partisipasi memiliki hubungan. Susiatik (998), Haryanto (2003), Zulfarina (2003), Erwina (2005), dan Kholiq (2009) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa persepsi masyarakat berhubungan positif dengan tingkat partisipasinya. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi dan partisipasi dalam beberapa kegiatan pembangunan memiliki hubungan. Namun, berbeda halnya dengan penelitian Amrijono (993), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi dan sikap masyarakat dalam menanggapi keberadaan taman lingkungan berkorelasi negatif pada tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan. Hal ini menurutnya karena ada variabel luar yang tidak ikut diteliti namun berpengaruh pada partisipasi masyarakat tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan persepsi dan partisipasi masih perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana kedua konsep ini berhubungan. Persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove perlu dikaji untuk dilihat hubungannya terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Hutan mangrove cenderung masih dipersepsikan salah karena hutan mangrove sering diklasifikasikan sebagai lahan kosong yang tidak memiliki manfaat sehingga lebih baik dikonversi menjadi pertambakan (Murdiyanto, 2003). Pemerintah dan masyarakat cenderung tidak memikirkan aspek ekologi dalam mengelola wilayah pesisir. Pemerintah memiliki persepsi terhadap penentuan prioritas penggunaan wilayah pesisir pada kegiatan industri (aspek ekonomi). Sementara itu, masyarakat lebih dominan dalam kegiatan tambak karena aspek sosial dimana tambak merupakan tradisi turun temurun (Sugiarti, 2000) ditambah lagi dengan pemenuhan kebutuhan yang semakin sulit dan udang menjadi primadona pada tahun 980an sehingga tambak menjadi marak dan yang menjadi korbannya adalah hutan mangrove. Pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit merupakan pengelolaan tambak yang mengutamakan kelestarian mangrove karena proporsi rabak (bagian yang ditanami hutan payau) lebih besar dari bagian caren (bagian pemeliharaan ikan) sesuai pada Gambar. Tujuan dari pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit ini pun adalah menuju suatu tegakan hutan yang

20 berbasis ekosistem, yaitu kondisi hutan yang memiliki manfaat secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Oleh karena itu, kajian persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove penting dilakukan untuk menjelaskan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan korelasi antara variabel tersebut. 2. Kerangka Pemikiran Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dalam penelitian ini didefinisikan menjadi tiga, yaitu: () persepsi pesanggem mengenai ekosistem hutan mangrove; (2) persepsi pesanggem mengenai fungsi ekologi hutan mangrove; dan (3) persepsi pesanggem mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove. Masing-masing variabel tersebut dirinci lagi indikator-indikatornya agar dapat diukur dan pada akhirnya dapat menilai apakah persepsi mereka mengenai hutan mangrove adalah negatif atau positif. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove ini diduga memiliki hubungan korelasi dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove. Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove 2. Persepsi Mengenai Fungsi Ek ologi Hutan Mangrove 3. Persepsi Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan Model Empang-Parit. Tahap Perencanaan 2. Tahap Pelaksanaan 3. Tahap Monitoring/evaluasi 4. Tahap Menik mati Hasil Keterangan: = Alur Berhubungan Gambar 2. Kerangka Pemikiran Partisipasi masyarakat dalam prakteknya terdiri dari empat bentuk tahapan (Pamudji, 997 dalam Asnawati, 2004; Cohen dan Uphoff, 977 dalam Makmur, 2005), yaitu: () tahap perencanaan; (2) tahap pelaksanaan; (3) tahap monitoring/evaluasi; (4) tahap menikmati hasil. Masing-masing bentuk tahapan tersebut dirinci lagi indikator-indikatornya agar dapat diukur dan pada akhirnya

2 dapat menilai apakah partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit adalah rendah atau tinggi. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat tiap tahapan partisipasi berasal dari Naskah perjanjian kerjasama PHBM Plus antara Perum Perhutani KPH Purwakarta dengan LMDH Mina Wana Lestari (2007) tentang pelaksanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Persepsi pesanggem mengenai ekosistem hutan mangrove, persepsi pesanggem mengenai fungsi ekologi hutan mangrove, dan persepsi pesanggem mengenai fungsi sosial ekonomi hutan mangrove dilihat hubungan korelasinya dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang parit. Analisis hubungan variabel ini penting dilakukan bagi peningkatan partisipasi pesanggem dalam kegiatan pembangunan yang diadakan Perum Perhutani. Apabila memang berhubungan, maka salah satu usaha yang dapat ditempuh oleh Perum Perhutani agar pesanggem berpartisipasi aktif dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dan melestarikan mangrove adalah dengan memperbaiki persepsi pesanggem terhadap hutan mangrove. Dengan berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit, yaitu mengikuti setiap bentuk tahapan dengan baik, pesanggem mendapatkan manfaat ganda, yaitu mendapatkan manfaat langsung dari hutan mangrove dan dapat memelihara ikan atau udang di tambak. 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar 2. yang telah dibuat, penelitian ini memiliki hipotesis: Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. 2.3 Definisi Operasional Definisi operasional adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengukur suatu variabel dalam penelitian. Definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Persepsi Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Variabel/Indikator Definisi Kategori (Skor) Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran. Persepsi Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Penilaian dan pandangan responden mengenai ekosistem hutan mangrove.. Negatif (8-9) 2. Positif (20-32) 8 Ordinal a. Hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies tunbuhan. terdiri dari berbagai spesies tumbuhan yang unik. STS () 2 b. Hutan mangrove terdiri dari berbagai spesies hewan. terdiri dari berbagai spesies hewan. STS () 3 c. Hutan mangrove terdiri dari komponen abiotik. terdiri dari tanah, air, dan udara yang memiliki fungsi tertentu. STS () d. Hutan mangrove memiliki habitat hanya di wilayah pesisir. memiliki habitat hanya di wilayah pesisir. STS () 2 2. Persepsi Mengenai Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Penilaian dan pandangan responden mengenai fungsi ekologi hutan mangrove.. Negatif (8-44) 2. Positif (45-72) 8 Ordinal 22

24 Kategori (Skor) Variabel/Indikator Definisi Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran a. Melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan. melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan. STS () 6 b. Mempercepat pembentukan tanah. mempercepat pembentukan tanah. STS () 2 c. Mengendalikan banjir. dapat mencegah terjadinya banjir. STS () 2 d. Menstabilkan tanah menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai ke laut. STS () 2 e.sebagai plasma nutfah dan habitat berbagai organisme. sebagai tempat keanekaragaman hayati bagi berbagai makhluk hidup. STS () 3 f. Feeding ground, nursery ground, spawning ground berbagai hewan terutama larva ikan dan udang. sebagai tempat mencari makan, pemeliharaan, pemijahan, perlindungan berbagai hewan terutama ikan dan udang. STS () 3 3. Persepsi Mengenai Fungsi Sosial-ekonomi Hutan Mangrove. Penilaian dan pandangan responden mengenai fungsi sosialekonomi hutan mangrove.. Negatif (6-5) 2. Positif (6-24) 6 Ordinal a. Hasil kayu-kayu bernilai ekonomi. menghasilkan kayu-kayu bernilai ekonomi. STS () 2 23

25 Variabel/Indikator Definisi Kategori (Skor) Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran b. Bahan baku pembuatan kertas. penghasil bahan baku pembuatan kertas. STS () c. Sarana rekreasi. dapat dijadikan tempat rekreasi. STS () d. Tempat pemijahan ikan dan udang merupakan tempat berkembang biak benih ikan dan udang yang dapat digunakan untuk benih di tambak. STS () 2 4. Partisipasi Tahap Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove. Tingkat keterlibatan responden dalam proses perencanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.. Rendah (0-25) 2. Tinggi (26-40) 0 Ordinal a. Penentuan ketua dan pengurus LMDH sebagai lembaga pengelola tingkat masyarakat. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan ketua dan pengurus LMDH sebagai lembaga pengelola tambak ramah lingkungan tingkat masyarakat. TP () b. Keikutsertaan pada setiap pertemuan. Tingkat keterlibatan responden dalam pertemuan awal tahun membahas naskah perjanjian. TP () c. Penentuan luas tambak, letak parit, rabak, dan jenis ikan yang dibudidayakan. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan luas tambak, letak parit, rabak, dan jenis ikan yang dibudidayakan. TP () 4 24

26 Variabel/ Indikator Definisi Kategori (Skor) Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran d. Penentuan spesies tanaman payau yang ditanam. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan jenis tanaman payau yang ditanam pada rabak. TP () e. Penentuan waktu pelaksanaan kegiatan. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan waktu pelaksanaan kegiatan pengelolaan tambak. TP () f. Penentuan sanksi. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan sanksi, denda, atau hukuman yang diberikan kepada pesanggem apabila melakukan pelanggaran. TP () g. Penentuan sistem bagi hasil. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penentuan sistem bagi hasil antara pesanggem dan Perum Perhutani. TP () 5. Partisipasi Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove. a. Pemberantasan organisme pengganggu tanaman. b. Penyulaman tanaman payau yang mati. c. Pencegahan/pelarangan perlakuan yang dapat merusak/mematikan tanaman payau. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pelaksanaan pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pemberantasan hama dan penyakit tanaman payau. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penyulaman tanaman payau yang mati. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pencegahan/pelarangan kepada setiap pihak yang akan merusak/mematikan tanaman payau.. Rendah (8-20) 2. Tinggi (2-32) TP () TP () TP () 8 4 2 Ordinal 25

27 Variabel/Indikator Definisi Kategori (Skor) Jumlah Pernyataan Skala Pengukuran d. Pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pembayaran bagi hasil kepada Perum Perhutani. TP () 6. Partisipasi Tahap Monitoring Pengelolaan Tambak Mangrove. Tingkat keterlibatan responden dalam proses monitoring/evaluasi pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.. Rendah (0-25) 2. Tinggi (26-40) 0 Ordinal a. Pemantauan jalannya pengelolaan tambak. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pemantauan jalannya pengelolaan tambak. TP () b. Pelaporan masalah-masalah yang terjadi pada pengelolaan tambak. Tingkat keterlibatan responden dalam proses pelaporan apabila ada masalah-masalah di lapangan berkaitan pengelolaan tambak. TP () 3 c. Pemberian kritik dan saran terhadap pihak Perum Perhutani. Tingkat keterlibatan responden dalam memberikan kritik dan saran kepada Perum Perhutani sebagai perbaikan pengelolaan tambak. TP () 6 7. Partisipasi Tahap Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove. a. Penerimaan andil garapan. Tingkat keterlibatan responden dalam proses menikmati hasil pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit. Tingkat keterlibatan responden dalam proses penerimaan luas lahan garapan sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.. Rendah (2-5) 2. Tinggi (6-8) TP () 2 Ordinal b. Penerimaan hasil panen tambak Tingkat keterlibatan responden dalam menerima seluruh hasil panen dari tambak yang dikelola. TP () Keterangan Skala Likert: SS (Sangat Setuju); CS (Cukup Setuju); KS (Kurang Setuju); STS (Sangat Tidak Setuju); S (Selalu); Sr (Sering); Jr (Jarang); TP (Tidak Pernah) 26