BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Pengertian etika = moralitas

Pengertian Etika. Nur Hidayat TIP FTP UB 2/18/2012

PANCASILA sebagai SISTEM ETIKA. Modul ke: 09TEKNIK. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur

PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM

Oleh. Salamun Rohman Nudin, S.Kom., M.Kom Etika Profesi/ Teknik Informatika Untag Surabaya

ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA (I)

ETIKA BISNIS DAN PROFESI PPAK

BY. IRMA NURIANTI,SKM. MKes PRINSIP ETIKA DAN MORALITAS

Upaya Peningkatan Etika Pergaulan Melalui Bimbingan Kelompok Pada Siswa

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis

Makna Pancasila Sebagai Sistem Etika

Pertemuan 1 ETIKA BISNIS

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi

BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA. Henry Anggoro Djohan

PENDIDIKAN PANCASILA

ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. nasional yaitu membangun kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa

01ILMU ETIKA PROFESI. Etika dan Etiket dalam Humas. Frenia KOMUNIKASI.

BAB I Tinjauan Umum Etika

BAB I PENDAHULUAN. Di era modern ini, begitu pentingnya nilai dalam menjaga keharmonisan

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK

Pancasila Sebagai Sistem Etika. fitri dwi lestari

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA. Sebagai Sistem Etika. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik

Pendahuluan BAB I. A. Pengertian

Etika Dan Filsafat Komunikasi

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Etika. Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen

PENGERTIAN ETIKA PROFESI

Etika, Moral, Norma, Nilai,

Etika Profesi Public Relations

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA FAKULTI PENGAJIAN ISLAM

MODUL. Teori Etika Bisnis

multidimensional berkepanjangan, yaitu penyimpangan, pelecehan terhadap hukum dan etika secara umum; bisnis dan etika bisnis semakin semarak;

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan akhlak mulia bukanlah menjadi tugas semata-mata dari

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG

E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A 8/19/2010. Oleh : PRINSIP ETIKA MORAL DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEBIDANAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Masyarakat Agraris 2.2 Pekerjaan Tenaga Kerja Tani Padi

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI

ETIK UMB ETIKA PERGAULAN. Drs. SUMARDI, M. Pd. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi AKUNTANSI.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pelaksanaannya (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 6.

PENGERTIAN DAN NILAI ETIKA

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI

KONTRAK KULIAH ETIKA PROFESI D O S E N : M A I M U N A H, S S I, M K O M

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

MODUL 8 PANCASILA SEBAGAI ETIKA

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA

PENGERTIAN DAN PERANAN ETIKA PROFESI

Pancasila sebagai Sistem Etika-1

Etika Profesi INSINYUR. Dr. Dian Kemala Putri

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ETIKA DAN MORAL dalam Pembelajaran

ETIKA DI DALAM MASYARAKAT

BAB II AKHLAK DAN PERMASALAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. juga sebagai makhluk sosial. Dalam hidup bermasyarakat, manusia sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. kelakuan baik yang keluar karena adanya dorongan jiwa untuk melakukan hal

01FEB. Template Standar Business Ethics and Good Governance

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

PENGERTIAN ETIKA PROFESI

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul!!!

BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG

EKSPEKTASI DARI ETIKA DOSEN. Oleh Eva Imania Eliasa,M.Pd*

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

mens wordt eerst mens door samenleving met anderen yang artinya manusia itu baru

ETIKA POLITIK BERDASARKAN PANCASILA

Modul ke: PENDIDIKAN ETIK. Etiket Pergaulan. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Ikhwan Aulia Fatahillah, SH., MH.. Program Studi Manajemen

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

Catatan Kuliah Etika Profesi. 14 Mei 2012

Modul ke: ETIK UMB. AFIYATI SSi., MT. Fakultas FAKULTAS ILMU KOMPUTER. Program Studi TEKNIK INFORMATIKA

BAB II IMMANUEL KANT DAN POKOK PEMIKIRANNYA

Nilai, Norma dan Moral. Oleh Rendy Sueztra Canaldhy, S.IP., MPA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi ajaran agama dalam bentuk hubungan sosial kemasyarakatan

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. menuju kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. dan mengembangkan potensi atau kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang

Pertemuan 1. Pembahasan. 1. Norma 2. Budaya 3. Etika 4. Moral 5. Struktur Etika

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

BAB I. merupakan persoalan yang belum ada jawabannya secara tuntas.

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

Pancasila. Pancasila sebagai sistem etika. Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI

MATERI KULIAH ETIKA BISNIS. Pokok Bahasan: Pancasila sebagai Landasan Etika Bisnis

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Makna Nilai,Moral,Akhlak,Etika, dalam Pendidikan Umum

Pertemuan 1 TINJAUAN UMUM

PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mewujudkan Negara yang lebih maju dan beradab. Mahasiswa

Business Ethic & Good Governance

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin

II. TINJAUAN PUSTAKA

HERU SASONGKO, S.FARM.,APT.

MATERI PERTEMUAN II. Kerangka Dasar Agama Islam Dan Ajaran Hukum Islam (Bagian Pertama)

Pert ke 12. Oleh: Mohklas, SE., M.Si STIE PENA SEMARANG Semarang, Maret 2014

Transkripsi:

15 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Moral Moral berasal dari bahasa Latin, mores yaitu jamak dari kata mos yaitu adat kebiasaan. 1 Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dan sebagainya). 2 Sedangkan menurut istilah, moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. 3 Beberapa pengertian lain tentang moral di antaranya, a) menyangkut kegiatankegiatan manusia yang dipandang sebagai baik buruk, benar salah, tepat tidak tepat; b) sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil dan pantas; c) memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh keinsafan akan benar dan salah dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan orang lain sesuai dengan kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah; d) menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain. 4 1 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 8. 2 Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 654. 3 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008), 92. 4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 672. 15

16 Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner s Dictionary of Current English. Dalam buku tersebut dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut: a. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk; b. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah; c. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik. 5 Berbicara tentang moral merupakan pembicaraan tentang masalah yang tidak kecil, sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates yakni mengenai bagaimana seharusnya kita hidup. 6 Sebagai makhluk sosial tentunya kita harus mempertimbangkan baik buruk dari perbuatan kita. Setiap tindakan harus dapat memberi manfaat baik bagi individu maupun bagi sosial. Maka sebelum bertindak, seseorang harus berpikir dan mempertimbangkan dampak dari perbuatannya. Dari beberapa pengertian moral di atas, dapat dinyatakan konsep minimun moralitas yaitu usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni apa yang paling baik menurut akal serta memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena tindakan itu. 7 Sedangkan Immanuel Kant mendefinisikan moralitas sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum 5 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 92-93 6 James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 17. 7 Ibid., 40.

17 lahiriah bukan karena hal itu membawa akibat menguntungkan kita atau karena takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita. Kant menegaskan bahwa kesungguhan sikap moral kita baru tampak ketika kita bertindak demi kewajiban itu sendiri. 8 Bagi Kant, kewajibanlah yang lantas menjadi tolok ukur tindakan seseorang termasuk kategori tindakan moral atau tidak. Kant membagi moralitas ke dalam dua bagian: 9 a. Moralitas Heteronom Moralitas heterenom adalah sikap menaati kewajiban dan melaksanakannya bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak pelaku sendiri. Hal ini senada dengan imperatif hipotesis yang mengatakan bahwa anda harus melakukan ini dan itu jika anda ingin mencapai tujuan ini dan itu. Misalnya, karena hendak mencapai tujuan yang diinginkannya atau karena perasaan takut kepada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap semacam ini menurut Kant, dapat menghancurkan nilai moral. b. Moralitas Otonom Moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik, bukan karena ingin mencapai tujuan tertentu atau takut terhadap penguasa. Moralitas 8 S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 47. 9 Ibid., 48.

18 otonom ini disebut juga imperatif kategoris, yang mengatakan bahwa jenis tindakan tertentu mesti bersifat objektif, apa pun yang menjadi tujuannya. Sistem etika Kant, seperti yang dirumuskan dalam karyanya, Metaphysic of Morals (1785), memiliki siknifikansi sangat historis. Kant tidak memiliki kaitan dengan utilitarianisme atau doktrin yang memberi moralitas sebuah tujuan di luar doktrin itu sendiri. Dia menginginkan metafisika moral yang sepenuhnya mandiri yang tidak bercampur-aduk dengan fisik atau hiperfisik teologi manapun. Kant menegaskan bahwa nilai moral hanya ada selama manusia bertindak dengan berlandaskan rasa kewajiban. Seorang pedagang yang jujur untuk kepentingannya sendiri, atau seseorang yang berperilaku baik karena dorongan kebaikan, tidak bisa dikatakan berbudi. Esensi moralitas berasal dari konsep hukum; karena meski segala sesuatu di alam ini bertindak sesuai ketentuan atau hukum, hanya makhluk bernalar yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum, misalnya dengan kehendak. 10 Di dalam Grundlegung Kant berkata bahwa hanya makhluk yang mempunyai budi sajalah yang mampu melakukan tindakan moral, karena hanya makhluk yang memiliki budi sajalah yang mempunyai gagasan mengenai hukum dan secara sadar 10 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 927.

19 mampu menyesuaikan dan mendasarkan perbuatannya atas prinsip-prinsip yang ada. Kemampuan ini dinamakan kehendak yang sama artinya dengan budi praktis. 11 Sedangkan moralitas atau yang sering disebut ethos adalah sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya. Sebuah tindakan yang baik secara moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang mengafirmasikan hukum moral. Buruk menurut moral adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral. 12 Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dikatakan bermoral jika dia memiliki tingkah laku yang baik. B. Ciri-ciri Moral 1. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai moral mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab. Jika seseorang yang telah terikat dengan aturan moral maka ia harus bertanggung jawab dengan aturan tersebut. 13 11 Ibid., 49. 12 Loren Bagus, Kamus Filsafat, 673. 13 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 153.

20 2. Berkaitan dengan Hati Nurani Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan dari hati nurani. Salah satu ciri moral bahwa hati nurani akan menuduh kita bila kita meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. 14 3. Mewajibkan Kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi manusia sebagai manusia. Oleh karena itu nilai moral berlaku juga untuk setiap manusia. Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tetapi nilai-nilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Oleh karena itu kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, tidak mungkin orang mendapat dispensasi. 15 4. Bersifat Formal Nilai moral direalisasikan dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah laku moral. Misalnya seorang pedagang berperilaku moral sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Nilai moral tidak memiliki isi tersendiri. Tidak ada 14 Ibid.,155. 15 Ibid., 156.

21 nilai moral yang murni, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang dimaksudkan bahwa nilai moral bersifat formal. 16 C. Metode Pembentukan Moral Metode pembentukan moral: 1. Metode Integrated Metode integrated adalah metode dengan sistem peribadatan, yang erat kaitannya dalam aspek islam dan rukun iman. Misalnya dengan memasukkan mata pelajaran agama dalam sekolah-sekolah umum. 2. Metode Pembiasaan Metode pembiasaan adalah metode praktis dalam pendidikan dan pembinaan. Misalnya dalam sekolah atau pondok pesantren seorang murid dibiasakan untuk sholat berjama ah, sedekah, dan lainnya. 3. Metode Keteladanan Metode keteladanan adalah salah satu metode dengan memberikan teladan bagi anak didik dalam hal moral. Di sini, seorang pendidik tidak hanya menyuruh tetapi juga memberikan contoh atau teladan bagi anak didiknya, begitu juga seorang kiai dengan santrinya. keteladanan menjadi penting karena orang yang diteladani 16 Ibid., 158.

22 menjadi semacam magnet yang menumbuhkan semangat untuk berbuat baik sebagai orang yang diteladani. 4. Metode Retrospeksi Metode retrospeksi adalah menganggap bahwa diri sendiri sebagai orang yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya. 17 D. Faktor-Faktor Keberhasilan Pembentukan Moral Menurut Zakiyah Darajat, jika ingin mengetahui moral anak yang sesuai dengan kehendak agama, maka ketiganya yakni pendidikan keluarga, sekolah masyarakat harus bekerja sama, dan tidak bertentangan. 18 1. Keluarga Keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seorang anak. terutama seorang ibu. Jika keluarga atau orang tua mendidik anaknya dengan baik dan penuh perhatian maka hal itu akan berdampak baik bagi anak. Pendidikan sejatinya dimulai sejak dini, begitu pula mengenai moral atau akhlak. Seorang anak akan senantiasa meniru akhlak orang tuanya, dan apa yang diajarkannya. Seperti pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya yang mengindikasikan bahwa akhlak anak tidak jauh berbeda dengan akhlak orang tuanya, karena anak adalah cerminan orang tua. 17 Hamzah Tualeka, dkk., Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 136-146. 18 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 62.

23 2. Sekolah Di sekolah atau lembaga pendidikan seorang anak dididik oleh pendidik sebagai pengganti orang tua. Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru, kiai, dosen, usta>dh, usta>dhah dan sejenisnya. Peran seorang pendidik sangat berpengaruh terhadap anak didiknya. Seorang pendidik tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mendidik akhlak dan moralnya. Seorang pendidik juga tidak cukup mengajar dan mendidik tetapi juga mendoakan anak didiknya agar selalu berada dalam jalur agama yang benar. 3. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang menentukan baik buruknya akhlak seseorang. Lingkungan adalah tempat seseorang berinteraksi dengan orang lain, yakni dengan tetangga, teman, sahabat dan orang di sekitarnya. Jika seseorang berada dalam lingkungan yang baik dan berteman dengan orang baik maka ia akan menjadi baik pula, begitu juga sebaliknya. E. Hubungan Moral, Etika dan Susila Moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, dan sopan santun. Istilah tersebut dalam bahasa Arab sering disebut dengan kata akhla>q, bentuk plural dari khuluq artinya budi pekerti atau moralitas. Pada mulanya disandingkan diproyeksikan sebagai sandingan kata khalq artinya ciptaan. Kata alkhuluq bersifat immateri dan permanen. Sedangkan al-khalq sebagai mitra

24 keberadaan manusia yang bersifat material, kasatmata, dan temporer. Meski demikian, kedua kata tersebut tidak dapat dipisahkan. Meniadakan salah satunya berarti akan memudarkan jati diri manusia, karena manusia sejati dan paripurna merupakan pengungkapan spiritual dari ahsani taqwi>m, yaitu suatu bentuk formulasi ciptaan Tuhan yang mempunyai nilai terbaik, dibuktikan dari bertemunya al-khuluq dengan al-khalq. 19 Dengan kata lain, manusia (ciptaan/khalq) harus memiliki moral (akhla>q) yang baik. Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan secara istilah, etika adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. 20 Persamaan etika dan moral adalah sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Sedangkan perbedaannya adalah etika menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral menggunakan menggunakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada pada 19 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), 41. 20 Farid Ma ruf, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Ahmad Amin (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 3.

25 dataran konsep-konsep sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. 21 Moral dan etika sama artinya tetapi ada sedikit perbedaan dalam pemakaian sehari-hari. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Sedangkan susila berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik, bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang bersusila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang asusila adalah orang yang berkelakuan buruk. 22 Ketiganya (moral, etika dan susila) memiliki hubungan yang erat. Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa moral, etika dan susila adalah sama, yakni menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Sedangkan perbedaannya terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. 23 Dalam perkembangannya istilah moral sering didahului kata kesadaran. Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya sesuai dengan norma yang berlaku. Orang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur karena tindakan 21 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 93. 22 Ibid., 96. 23 Ibid., 97.

26 moral itu berdasarkan atas kesadaran yang timbul dalam diri pelakunya, bukan berdasar pada kekuatan apapun dan bukan pula karena paksaan. Kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Orang yang memiliki perasaan wajib tersebut akan senantiasa berusaha menegakkan kebenaran, kejujuran, keadilan dan kesamaan meskipun tidak ada orang lain yang menyuruhnya. Kedua, kesadaran moral yang berwujud rasional dan objektif, yaitu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat dan dapat disetujui. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran moralnya, seseorang bebas untuk menaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri. 24 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa moral lebih mengacu pada nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sistem tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai sesuatu yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketenteraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai tersebut telah mendarahdaging dalam diri seseorang maka akan membentuk kesadaran moral sendiri. Orang yang seperti itu akan mudah melakukan perbuatan tanpa harus ada dorongan dari pihak luar, dan orang yang demikian adalah orang yang memiliki kesadaran moral atau orang yang bermoral. 24 Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 54.

27 F. Moral dan Agama Agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Dalam kehidupan seharihari, motivasi yang terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Atas pertanyaan mengapa perbuatan ini atau itu tidak boleh dilakukan, hampir selalu diberikan jawaban spontan karena agama melarang atau karena hal itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Contoh konkrit adalah masalah moral yang aktual seperti hubungan seksual sebelum perkawinan. Menghadapi masalah itu banyak orang mengambil sikap: aku ini orang beragama dan agamaku melarang perbuatan itu; aku akan berdosa bila melakukan hal itu. Cara seseorang hidup biasanya ditentukan berdasarkan keyakinan keagamaan. 25 Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama meliputi dua macam aturan. Di satu pihak cukup banyak aturan tentang makanan yang haram, puasa, ibadah, dan sebagainya. Di pihak lain, ada aturan etis lebih umum yang melampaui kepentingan salah satu agama saja, seperti larangan membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain. 26 Ajaran moral dalam satu agama sangat penting karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan, dengan kata lain dasarnya adalah wahyu. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan. Namun, nilai dan norma moral tidak secara eksklusif diterima karena alasan keagamaan. Ada juga alasan- 25 Bertens, Etika, 37-38. 26 Ibid., 38.

28 alasan lebih umum untuk menerima aturan moral yaiu alasan rasional. Dalam etika filosofis atau filsafat moral justru diusahakan untuk menggali alasan-alasan rasional bagi nilai-nilai dan norma-norma yang dipakai sebagai pegangan bagi perilaku moral. 27 Jika agama berbicara tentang topik-topik etis, maka pada umumnya ia berkhotbah. Artinya ia berusaha memberi motivasi serta inspirasi agar umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Jika filsafat berbicara tentang topik-topik etis, maka sebenarnya ia berargumentasi. Artinya, ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk dengan menunjukkan alasan rasionalnya. Demikian juga ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa. Orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan karena melanggar perintah- Nya. Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi. 28 G. Moral dan Hukum Moral berhubungan erat dengan dengan hukum. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah Quid leges sine moribus? apa artinya undang-undang, jika tidak disertai moralitas? Hukum tidak akan berarti jika tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa 27 Ibid., 28 Ibid., 39-40.

29 moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya, karena itu hukum selalu harus diukur dengan norma moral. 29 Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang saja jika tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Hukum juga mengatur konsekuensi lebih detail dari prinsip moral. Hukum harus membatasi diri dengan mengatur hubungan-hubungan antar manusia yang relevan. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. 30 Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia. Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriyah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas yang sangat ditekankan oleh filsuf Jerman Immmanuel Kant. Hukum hanya meminta legalitas, artinya kita memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriyah sesuai dengan hukum. Sikap batin dalam hal itu tidak penting. Misalnya, saya membayar pajak karena saya takut akan menghadapi tindakan dari yang berwajib. Sebagai motifasi, alasan itu tidak begitu luhur namun untuk hukum sudah cukup. Hukum hanya menuntut bahwa saya memenuhi peraturannya dan tidak menghiraukan dengan sikap apa saya memenuhinya. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dari sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian terbesar dapat dipaksakan. Orang yang 29 Ibid., 43. 30 Ibid., 44.

30 melanggar hukum akan terkena hukumannya. Tapi, norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan di bidang etis tidak akan efektif juga karena paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena perbuatannya kurang baik. Jika kesalahannya diketahui oleh umum, maka sanksi moral ini bisa meluas lagi, sejauh pelakunya merasa malu terhadap orang-orang di sekitarnya. Perbedaan mengenai sanksi itu berkaitan dengan suatu perbedaan lain lagi. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan kehendak negara. Sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Masyarakat dapat mengubah hukum dengan cara demokratis tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.