BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN. sehingga banyak teori-teori tentang kejahatan massa yang mengkaitkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara mengenai anak, adalah merupakan hal yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan ( Wetmatigsheid Van

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB I PENDAHULUAN. lebih menciptakan rasa aman dalam masyarakat. bermotor dipengaruhi oleh faktor-faktor yang satu sama lain memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

Presiden, DPR, dan BPK.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari

BAB I PENDAHULUAN. dominan. Hal ini ditandai dengan jumlah alat transportasi darat lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu orang. Tujuan dari perbuatan pidana dalam melakukan aksinya, yaitu mengambil barang milik orang lain adalah untuk dimilikinya secara melawan hukum, tidak diketahui oleh orang lain dan tidak tertangkap tangan. Pelaku perbuatan pidana pencurian sudah profesional sifatnya dalam hal melakukan perbuatan pidana itu. Dalam melakukan aksinya, pelaku perbuatan pidana tersebut sudah melakukan perencanaan dengan sangat matang dan apabila di dalam beraksi tersebut si korban melakukan perlawanan, pelaku pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan kata lain, para penjahat di dalam melakukan aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. Ditinjau dari segi jumlah pelaku dari perbuatan pidana pencurian itu sudah terorganisir dengan rapinya, terbukti pelaku dari kasus perbuatan pidana tersebut lebih dari satu orang. Baik kedudukan mereka sebagai pelaku utama, sebagai penadah dari hasil pencurian, maupun sebagai pelaku yang membantu terlaksananya perbuatan pidana pencurian tersebut. 1

2 Pada dasarnya rumusan bentuk perbuatan pidana pencurian dengan kekerasan itu dijumpai di dalam Pasal 365 KUHP 1. Pasal tersebut menegaskan bahwa: Diancam dengan pidana penjaran paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. Rumusan bentuk perbuatan pidana penyertaan diatur di dalam Pasal 55 KUHP 2 dan Pasal 56 KUHP 3, yang bunyinya : Pasal 55 KUHP 4 : Ayat 1 : Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana : Ke-1 : mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Ke-2 : mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Ayat 2 : Terhadap penganjuran hanya perbuatan yang dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Isi Pasal 56 KUHP 5 adalah : Di pidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan : Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Ancaman pidana terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan cukup berat, yaitu sembilan tahun. Lebih-lebih perbuatan pidana itu dilakukan oleh 1 2 3 4 Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1983, KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, hal. 142 Ibid., hal 34 Ibid., hal 35 Ibid., hal 34

3 dua orang atau lebih dengan bersekutu, dan akibat dari perbuatan pidana itu hilangnya nyawa seseorang, maka ancaman pidananya akan lebih berat lagi, yaitu diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, Pasal 365 (1, 2 sub 2e, 3) KUHP 6. Masalah ancamannya yang begitu berat terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu dan perbuatan pidana itu dilakukan ada pelaku pembantunya, maka ancaman hukuman bagi orang atau pelaku yang membantu melakukan perbuatan pidana itu lebih ringan dari pelaku utama perbuatan pidana itu sendiri, yaitu dikurungkan dengan sepertiganya, Pasal 57 ke-1 KUHP 7. Bantuan-bantuan dan sebagainya itu harus diberikan pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Perbuatan dengan sengaja memberikan bantuan itu dapat berupa bantuan material, moral maupun intelektual. Pembantuan (Medeplictigheid) itu mempunyai sifat ketergantungan, sehingga di dalam kualifikasi dan hal dapat dihukumnya perbuatan itu tergantung pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatannya. 8 Walaupun sudah ada undang-undang yang memberi ancaman begitu berat terhadap pelaku perbuatan pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang dan perbuatan pidana itu dilakukan oleh lebih dari dua orang dengan bersekutu serta perbuatan pidana penyertaan, tetapi 5 6 7 8 Ibid, hal 35 Ibid, hal.142-143 Ibid, hal 35 P.A.F. Lamintang, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Penerbit Sinar Baru, hal 60

4 pada kenyataannya kasus demi kasus dari perbuatan pidana tersebut masih saja terjadi. Kasus kejahatan tersebut apabila sudah dilimpahkan ke pengadilan, diproses dan dijatuhi vonis oleh hakim, maka terkadang dan bahkan sering berbeda antara putusan hakim satu dengan putusan hakim lainnya, dalam menerapkan pasal berapa yang sesuai dijatuhkan kepada pelaku kejahatan itu. Bahkan apabila terdakwa pelaku kejahatan itu melakukan upaya hukum setelah penjatuhan keputusan pidana oleh hakim, terkadang juga bantuanbantuan dan sebagainya itu harus juga diberikan pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan upaya hukum setelah penjatuhan keputusan pidana oleh hakim, terkadang juga berbeda hakim Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung di dalam menerapkan Pasal yang dijatuhkan. Dari apa yang diuraikan di atas, maka penulis memandang perlu dan tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai masalah perbuatan pidana pembantuan yang berakibat hilangnya nyawa seseorang, dan mengambil judul: PEMBANTUAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar). B. PEMBATASAN MASALAH Dalam hal ini penulis akan memberikan pembatasan dalam menguraikan masalah yang ada, yaitu hanya pada perbuatan pidana pembantuan, yang lebih jelasnya mengenai kasus perbuatan pidana

5 pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang, di mana perbuatan pidana ini dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu yang pernah terjadi atau pernah ditangani di Pengadilan Negeri Karanganyar. Hingga saat ini di Pengadilan Negeri Karanganyar baru memeriksa satu kasus yang berkaitan dengan pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. Oleh sebab itu, demi mempertajam analisis dan penelitian ini, maka penulis mengambil satu kasus lagi sebagai bahan komparasi. Kasus kedua sebagai pembanding adalah kasus pembantuan pencurian dengan kekerasan biasa yang tidak menyebabkan matinya orang. C. PERUMUSAN MASALAH Dengan mendasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukakan, maka untuk memberikan gambaran yang terang mengenai masalah ini, selanjutnya penulis mengemukakan perumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dari pelaku perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang?

6 D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan penelitian secara objektif adalah : a. Mengetahui masalah pertanggungjawaban pidana dari pelaku perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. b. Mengetahui tentang sikap hakim dalam memutus perkara perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. b. Tujuan penelitian secara subjektif adalah menjadi sumbangan pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang sama bagi aparat penegak hukum di wilayah hukum Karanganyar dalam melaksanakan tugas mulia dari negara. 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat sebagai bahan bacaan (literatur), di samping literaturliteratur yang sudah ada. b. Kegunaan Praktis Diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.

7 E. KERANGKA PEMIKIRAN dibawah ini: Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan menurut bagan Pasal pasal dalam KUHP HAKIM PELAKU PERBUATAN Suatu perbuatan harus memenuhi berbagai unsur dalam pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP baru bisa disebut perbuatan pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur tertentu dalam suatu pasal KUHP. Apabila seorang pelaku perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang setidaknya harus memenuhi unsur-unsur pembantuan dalam pidana yang sering disebut turut serta (Pasal 55 dan 56 KUHP) dan unsur pencurian dengan kekerasan yang berakibat matinya orang (Pasal 365 KUHP). Masing-masing unsur tersebut di atas, masih dianalisa kembali berdasarkan sub-sub unsur yang diatur dalam KUHP. Misalnya unsur pembantuan adalah bagian dari unsur penyertaan yang terdiri dari berbagai bentuk penyertaan, dan unsur pencurian yang bisa dikategorikan dalam beberapa kategori pencurian dengan pemberatan. Pemberatan dalam pencurian terdiri dari berbagai jenis yang masih dapat dirunut lebih lanjut.

8 Hal-hal inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara. Seorang Hakim harus mengambil sikap guna memutuskan keyakinannya akan suatu peristiwa subjektif dengan opini objektif semata-mata didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yuridis yang tertuang dalam KUHP. Keunikan permasalahan pertanggungjawaban perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang inilah yang akan dianalisis oleh Penulis dalam bab-bab selanjutnya. Pada bab III, penulis akan menyertakan data pembanding tentang satu kasus lainnya di Pengadilan Negeri Karanganyar yang berkaitan dengan pembantuan pencurian dengan kekerasan namun yang tidak menyebabkan matinya orang. Dasar pemikiran penulis, diharapkan dengan adanya pembanding satu kasus lagi dapat memperjelas deskripsi dan mempertajam analisa penulis terhadap penelitian ini. F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini mendasarkan pada penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti mengenai tindak pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang.

9 2. Metode Pendekatan Dalam melakukan penelitian ini digunakan pendekatan secara yuridis empirik yaitu pendekatan terhadap obyek penelitian dengan bertumpu pada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Pada saat melakukan analisis disertakan satu kasus sebagai pembanding yang berfungsi memperjelas deskripsi dan mempertajam analisa. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data ditempuh beberapa metode : a. Wawancara Metode ini dilakukan dengan bertanya langsung kepada responden yang telah dipilih untuk mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan penelitian. b. Kepustakaan Teknik pengumpulan data ini dengan cara mengumpulkan bahanbahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan obyek yang diteliti, yang dapat diperoleh Peneliti ditempat dimana data-data yang berupa dokumen itu berada. 4. Sumber Data Sumber data sekunder dalam penelitian hukum normatif atau doktrinal menurut Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum, yurisprudensi dan traktat. b. Bahan hukum sekunder, yaitu rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

10 c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia dan seterusnya. 9 5. Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif 10 yang nantinya dilakukan untuk mengupas sejelas mungkin hal-hal yang menjadi fokus permasalahan. G. SISTEMATIKA SKRIPSI Guna memudahkan mempelajari skripsi ini, maka penulis perlu memberikan gambaran secara garis besar mengenai apa yang ditulis dalam tiap bab, sebelum diuraikan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Dalam bab I yang merupakan bab pendahuluan dari keseluruhan bab, diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika skripsi. Dalam bab II berisi tinjauan pustaka yang akan menguraikan tentang pelaku dan keturutsertaan. Disini akan dikemukakan mengenai pengertian pelaku, pengertian dan bentuk-bentuk keturutsertaan, pengertian membantu melakukan perbuatan pidana, syarat-syarat perbuatan pidana pembantuan serta perbedaan antara beberapa bentuk keturutsertaan. Kemudian dibahas pula tentang pencurian, yang menguraikan mengenai pengertian perncurian, unsur- 9 Soeryono Soekanto dan Sri Mamu dji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali, hal 12.

11 unsur pencurian, jenis-jenis pencurian, pengertian pencurian dengan kekerasan, unsur-unsur pencurian dengan kekerasan, perumusan pencurian dengan kekerasan dan akibat yang ditimbulkan pencurian dengan kekerasan. Bab II ini akan diakhiri dengan uraian mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Dalam bab III diuraikan tentang hasil penelitian dan analisis, yang meliputi pertanggungjawaban pidana dari pelaku perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang dan sikap hakim dalam memutus perkara perbuatan pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. Karena Pengadilan Negeri Karanganyar hingga penelitian ini ditulis baru memutus satu kasus pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang, maka penulis memberikan satu data kasus yang hamper mirip guna memperjelas deskripsi dan mempertajam analisa. Kasus pendamping ini akan dianalisa bersama-sama kasus utama guna memberikan gambaran yang jelas tentang pertanggungjawaban pidana pembantuan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang. Dalam bab IV penulis mencoba menarik kesimpulan dari masalah yang telah dibahas dan juga saran-saran dengan harapan semoga dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah ini guna dipakai sebagai bahan untuk mengadakan penyempurnaan. 10 Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Grafika, hal 66