1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lapisan Ozon merupakan salah satu komponen yang ada di atmosfer, terutama di lapisan stratosfer yang berada di ketinggian antara 10-50 kilometer dari permukaan bumi. Ozon merupakan molekul yang terdiri atas 3 atom Oksigen (O 3 ) yang jumlahnya sangat kecil di udara. Dan dari setiap milyar molekul udara yang ada di atmosfer hanya terdapat 12 000 molekul ozon. Konsentrasi molekul ozon inilah yang disebut lapisan ozon. Keberadaan lapisan ozon di atmosfer ada di dua lapisan, yaitu di lapisan troposfer (10%) yang bersifat negatif karena merupakan akumulasi dari pencemar udara yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan lapisan ozon yang kedua berada di lapisan stratosfer (90%). Lapisan ozon di stratosfer mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting, yaitu menjadi penyerap radiasi sinar Ultra Violet (UV) yang sangat berbahaya yang berasal dari sinar matahari. Ada tiga jenis sinar UV, yaitu sinar UV-A (315-400 nm), UV-B (280-315 nm) dan UV-C (100-280 nm). Seluruh radiasi sinar UV-C, dan 90% dari sinar UV-B dapat diserap oleh ozon dan oksigen, sedangkan untuk sinar UV-A tidak terlalu dipengaruhi oleh atmosfer. Dengan demikian, hanya sinar UV-A dan UV-B saja yang dapat mencapai permukaan bumi. Penurunan konsentrasi lapisan ozon dapat meningkatkan radiasi sinar UV-B yang mencapai permukaan bumi (Aucamp 2006). Ketebalan lapisan ozon berubah-ubah sesuai musim dan geografi. Pengukuran konsentrasi molekul ozon dilakukan menggunakan Dobson Spektrofotometer, yang diambil dari nama seorang ahli meteorologi Inggris yang bernama G.M.B. Dobson. Satuan dari ketebalan atau konsentrasi lapisan ozon adalah Dobson Unit (DU). Konsentrasi ozon yang disebut sebagai normal adalah apabila berada pada konsentrasi 300 350 DU. Bila konsentrasi ozon berada dibawah 200 DU, maka sudah terjadi penipisan konsentrasi molekul ozon, kondisi ini yang disebut sebagai lubang ozon (Sivasakthivel and Reddy 2011). Pengamatan data ozon global dan lubang ozon di wilayah kutub selatandari tahun ke tahun dilakukan oleh NASA Ozone Watch. Gambar 1.1 menyajikan data luasan lubang ozon mulai dari tahun 1979 sampai 2012, dan dari gambaran tersebut diketahui bahwa bumi pernah mengalami fenomena lubang ozon dengan luas terbesar yaitu 26.6 juta km 2 yang terjadi pada tahun 2006. Gambar 1.2 menyampaikan konsentrasi molekul ozon dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2012, dan dari hasil seri data tersebut diperoleh data konsentrasi molekul ozon yang paling rendah terjadi pada tahun 1994 yaitu 92.3 DU.
2 Luas lubang ozon (km2) 30 25 20 15 10 5 0 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 Tahun a Sumber: diolah dari data ozon total oleh NASA Ozone Watch 2013 Gambar 1.1 Luas lubang ozon tahun 1979-2012 250 Konsentrasi molekul ozon di atmosfir (DU) 200 150 100 50 0 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 Tahun a Sumber: diolah dari data ozon total oleh NASA Ozone Watch 2013 Gambar 1.2 Konsentrasi molekul ozon pada kurun waktu 1979-2012 Penipisan lapisan ozon dapat mengakibatkan radiasi sinar UV-B tidak terserap dengan efektif sehingga memberikan dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Sivasakthivel and Reddy (2011) menyampaikan berbagai dampak yang dapat terjadi
akibat penipisan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon akan meningkatkan radiasi UV-B yang dapat menyebabkan kerusakan sistem mata, katarak, kanker kulit, penurunan sistem kekebalan tubuh. Penipisan ozon juga berpengaruh terhadap tanaman yaitu dapat mengakibatkan perubahan atau mutasi terhadap komposisi spesies, bentuk tanaman, kualitas produktifitas tanaman, keseimbangan sistem kompetitif suatu spesies dan mengubah keragaman hayati suatu ekosistem. Pada sistem perairan, meningkatnya paparan radiasi sinar UV-B akibat tidak diserap oleh lapisan ozon secara efektif juga dapat menganggu sistem distribusi fitoplankton yang merupakan dasar siklus makanan di sistem perairan, dan lebih lanjut dapat mengganggu siklus rantai makanan di perairan yang akan berpengaruh terhadap produktifitas perikanan ataupun sumber protein bagi manusia. Penipisan lapisan ozon juga memberikan dampak kurang baik terhadap kualitas udara karena pengurangan ozon stratosfir dan peningkatan paparan radiasi sinar UV-B akan meningkatkan disosiasi foto yang lebih tinggi dari gas-gas yang penting dalam proses kimia di troposfir. Selain itu, material bangunan juga dapat terkena dampak peningkatan radiasi sinar UV-B berupakerusakan terhadap bahan polimer sintetik, mengurangi umur hidup suatu jenis material, menyebabkan diskolorisasi atau warna menjadi cepat kusam. Dampak terhadap perubahan iklim, bervariasi tergantung di bagian mana terjadi perubahan molekul ozon, karena selain menyerap radiasi sinar matahari, ozon juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan temperatur di permukaan bumi. Tingginya intervensi manusia melalui penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO) menyebabkan terganggunya keseimbangan produksi dan penguraian molekul ozon di stratosfer. Potensi suatu BPO dalam menyebabkan kerusakan lapisan ozon diistilahkan sebagai Ozone Depleting Potential (ODP). Sedangkan Global Warming Potential (GWP)merupakan satuan potensi suatu bahan yang dapat mengakibatkan pemanasan global. Berbagai jenis BPO selain dapat merusak ikatan molekul ozon juga dapat memicu terjadinya pemanasan global, bahkan nilai potensinya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Gas Rumah Kaca (GRK) lain seperti CO 2 dan CH 4. Protokol Montreal yang merupakan perangkat global yang disepakati secara internasional telah melarang produksi dan konsumsi CFC, halon, CTC, TCA dan metil bromida untuk penggunaan tertentu. Salah satu jenis bahan alternatif sementara yang digunakan untuk menggantikan jenis BPO yang sudah dihapuskan tersebut, adalah Hydrochlorofluorocarbon (HCFC). HCFC mempunyai nama kimia chlorodifluoromethane atau difluoromonochloromethane dengan formula molekul CHClF 2 merupakan salah satu jenis BPO yang banyak digunakan setelah Chlorofluorocarbon (CFC) dilarang untuk diproduksi dan digunakan sejak 1 Januari 2011 sesuai jadwal penghapusan yang diatur dalam Protokol Montreal. Jenis HCFC bermacam-macam, dengan nilai ODP yang bervariasi antara 0.02 (HCFC- 123) sampai 0.11 (HCFC-141b) dan GWP yang berkisar antara 76 (HCFC- 123) sampai 2270 (HCFC-142b) (Berglof 2010). Salah satu sektor pengguna yang menjadi konsumer terbesar HCFC adalah sektor pendingin (refrigerasi). 3
4 Pertumbuhan ekonomi yang makin pesat terutama di sektor retail mendorong makin tingginya permintaan terhadap peralatan pendingin komersial untuk mengawetkan sayuran, ikan, daging, buah-buahan dan produk lainnya yang memerlukan suhu tertentu dalam penyimpanannya. Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) menyampaikan bahwa selama tahun 2010 2012 terjadi peningkatan permintaan peralatan pendingin. Data asosiasi tersebut disajikan dalamtabel 1.1. Tabel 1.1 Jumlah permintaan peralatan pendingin selama tahun 2010-2012 a Tahun Jumlah b (unit) 2010 3 500 000 2011 3 900 000 2012 4 500 000 a Sumber: Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia; b Merupakan angka prediksi Menurut ARPI, pada tahun 2010 tercatat penggunaan bahan pendingin sebanyak 235 Metrik Ton (MT), dan diperkirakan pada tahun 2012 akan mengalami kenaikan menjadi 300 MT. Pelarangan konsumsi CFC mendorong perusahaan manufaktur untuk menggunakan HCFC sebagai penggantinya karena harganya yang cukup ekonomis dibandingkan dengan jenis bahan pengganti lain, kemudian secara teknis juga tidak perlu terlalu banyak melakukan modifikasi sehingga dari sisi investasi juga lebih murah. Jumlah impor HCFC yang masuk ke Indonesia selama kurun waktu 1992 2010 terus mengalami kenaikan. Gambaran analisis trend produksi dan konsumsi HCFC di Indonesia disajikan dalam Gambar 1.3. Total konsumsi HCFC sampai tahun 2009 mencapai 5832 MT, dengan rincian HCFC-22 sebanyak 4327 MT (75%) dan HCFC 141-b sebanyak 1186 MT (20%). Untuk sektor refrigerasi atau pendingin dibagi menjadi sub sektor manufacturing dan servicing. Terdapat 33 perusahaan manufaktur refrigerasi yang menggunakan HCFC, dan perusahaan yang berada dalam 3 grup perusahaan besar menjadi konsumer terbesar yaitu 60%. Tabel 1.2 Konsumsi HCFC sektor manufaktur refrigerasi pada tahun 2009 Sub Sektor Penggunaan Konsumsi HCFC (MT) HCFC-22 HCFC 141-b Total Komersial (<12 HP) Industri (>12 HP) a Sumber : KLH 2010 Peralatan pendingin retail dan perlengkapan pendingin dapur Ruang pendingin industri, gudang berpendingin 39 28 67 53 60 113 Total 92 88 180
5 Konsumsi HCFC (MT) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun a Sumber: Diolah dari data laporan konsumsi HCFC kepada Sekretariat Ozon, UNEP 2011; Gambar 1.3Konsumsi HCFC di Indonesia tahun 1992-2012 Total konsumsi HCFC pada tahun 2009 untuk sektor refrigerasi sebesar 1703 MT, dan 33% diantaranya dikonsumsi oleh sektor manufaktur refrigerasi yaitu sebesar 578 MT, dan sisanya 64% atau 1125 MT digunakan di sektor servis/pemeliharaan peralatan refrigerasi. Pada sub sektor refrigerasi komersial, HCFC-22 digunakan sebagai refrigeran atau bahan pendingin, dan HCFC-141b sebagai bahan pengembang pada proses insulasi. Data konsumsi HCFC untuk sektor manufaktur refrigerasi dapat dilihat pada Tabel 1.2. Pada Meeting of Parties (MOP) ke-19 yang dilaksanakan di Montreal, Canada pada tanggal 17 sampai dengan 21 September 2007 dihasilkan keputusan yang cukup krusial yaitu percepatan penghapusan bahan perusak ozon jenis HCFC. Decision XIX/6 menetapkan bahwa negara berkembang yang termasuk dalam negara Artikel 5 menurut Protokol Montreal mempunyai kewajiban menghapuskan HCFC 100% pada tahun 2030 (2.5% untuk kebutuhan servicing sampai tahun 2040), dan untuk negara maju yang termasuk dalam negara Non Artikel 5 mempunyai kewajiban menghapus 100% konsumsi dan produksinya pada tahun 2020 (Kozakiewicz 2010). Salah satu alasan keputusan percepatan penghapusan konsumsi dan produksi HCFC adalah selain karena masih punya potensi merusak molekul ozon juga memicu adanya pemanasan global. HCFC sebagai bahan perusak ozon mempunyai nilai ODP yang berkisar antara 0.02 (HCFC-123) sampai 0.11 (HCFC-141b), sementara itu HCFC juga mempunyai nilai GWP yang cukup tinggi yaitu 76 (HCFC-123) sampai 2270 (HCFC-142b) (Kozakiewicz 2010). Dalam dokumen pedoman kebijakan HCFC dan pilihan pengaturannya (Kozakiewicz 2010) dinyatakan bahwa negara-negara Artikel 5 diharapkan dapat mengadopsi teknologi yang ramah ozon dan ramah iklim, meningkatkan efisiensi energi, mendorong lapangan kerja, dan
6 memberikan kontribusinya untuk pengembangan ekonomi hijau. Protokol Montreal melalui program penghapusan BPO telah mendorong tidak hanya perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga terhadap peningkatan ekonomi yang seimbang antara ekonomi secara definitif maupun ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan. Dari sisi ekonomi, penggantian teknologi HCFC harus mampu mendorong inovasi yang terus menerus untuk melakukan alih teknologi yang benar-benar bersih memberikan pengaruh negatif paling minimal terhadap lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Proses inovasi untuk menciptakan teknologi non-hcfc yang lebih efisien tidak hanya dari sisi ekonomi produksi tetapi juga ekonomi secara makro melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi sosial, proses alih teknologi HCFC menjadi teknologi baru yang non-hcfc dapat mendorong dilaksanakannya kegiatan pelatihan bagi pemangku kepentingan sehingga turut meningkatkan pengetahuan dan pendidikan tenaga kerja karena makin banyak teknologi baru yang perlu dipelajari. Dengan adanya alih teknologi maupun penghapusan HCFC dapat membantu mengurangi risiko masyarakat terhadap efek sosial berupa penyakit akibat dampak tidak langsung dari penipisan ozon maupun bahaya langsung dari penggunaan HCFC. Dari sisi lingkungan, tentunya sudah pasti penghapusan HCFC mendorong upaya konservasi dan pemulihan terhadap kualitas lingkungan atmosfer, dan mengurangi pemanasan global mengingat BPO juga merupakan GRK. Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutan di KTT G20 yang diselenggarakan di Pittsburgh, USA pada bulan September 2009 menyampaikan komitmen Indonesia untuk secara sukarela menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kondisi Bussiness As Usual (BAU) dan 41% apabila ada skenario bantuan pendanaan dan teknologi. Untuk mewujudkan hal tersebut telah disusun suatu Rencana Aksi Nasional (RAN) yang melibatkan berbagai sektor yang mempunyai kontribusi besar dalam emisi GRK. belum dilakukan penghitungan potensi penghapusan HCFC dalam mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK 26% tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi kontribusi penghapusan HCFC melalui alih teknologi non-hcfc yang rendah karbon, dengan memperhatikan aspek sosial dan ekonomi mikro pada sektor refrigerasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dengan berbagai program dan peraturan yang telah diterbitkan dan dilaksanakan, yang dikombinasikan dengan kondisi sesungguhnya dari industri refrigerasi atau pendingin maka program penghapusan HCFC dapat diketahui potensi keberhasilannya dan faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan dan faktor kendala yang dapat menghalangi keberhasilan program tersebut. Namun demikian selain sektor-sektor yang telah ditentukan tersebut, ada suatu upaya pengurangan emisi GRK yang belum masuk dalam perencanaan yaitu melalui penghapusan BPO, salah satunya jenis HCFC. Hal tersebut karena belum dilakukan penghitungan potensi penghapusan
HCFC dalam mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK 26% tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Lapisan ozon merupakan lapisan pelindung bumi yang mulai mengalami degradasi akibat penggunaan bahan perusak ozon secara luas di seluruh dunia. Berbagai dampak negatif sudah mulai dapat dirasakan saat ini, seperti makin menurunnya ph air hujan (hujan asam) yang disebabkan oleh bahan pencemar udara dan perubahan proses kimia atmosfer salah satu akibat makin tinggi radiasi ultra violet matahari di atmosfer. Selain itu makin meningkatnya kasus kanker dan katarak, perubahan kondisi ekosistem perairan dengan makin berkurangnya jumlah plankton. Keseimbangan proses pembentukan dan peruraian molekul ozon terganggu akibat makin tingginya tingkat akumulasi bahan perusak ozon di atmosfer. Kondisi lapisan ozon di Indonesia memang masih berada dalam kondisi yang belum mengkhawatirkan tetapi secara global, Indonesia juga mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam merusak lapisan ozon melalui konsumsi BPO di berbagai sektor usaha dan berbagai kegiatan. Salah satu jenis BPO yang punya potensi menguraikan ikatan molekul ozon dan menyebabkan pemanasan global adalah HCFC. Pengguna terbesar HCFC adalah sektor refrigerasi atau pendingin, baik manufaktur maupun servis. Oleh karena itu sektor ini juga menjadi salah satu prioritas dalam program penghapusan ozon. Untuk mendukung upaya penghapusan HCFC yang akan dimulai periode pembekuannya pada tahun 2013, maka perlu segera dicari teknologi baru yang non-hcfc. Sudah banyak pilihan teknologi non-hcfc yang dikembangkan oleh berbagai pihak, yang perlu dilihat dari semua aspek baik teknis, ekonomi dan sosialnya. Pilihan-pilihan tersebut harus dilihat tidak hanya dari kontribusinya terhadap pemulihan kondisi lapisan ozon tetapi juga dalam pencegahan pemanasan global. Secara internasional sudah ada Protokol Montreal yang mengatur jadwal pengurangan produksi dan konsumsi HCFC secara bertahap sampai penghapusan total pada tahun 2030. Mengingat potensinya yang dapat mengakibatkan dual impact yaitu mengurangi kerusakan lapisan ozon dan pemanasan global, maka implementasi program penghapusan HCFC harus memperhatikan kedua dampak tersebut. Selain dampak lingkungan perlu juga dipertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap kehidupan sosial dan perkembangan ekonomi negara secara makro dan mikro. Namun dalam penelitian ini hanya akan melihat dampak ekonomi secara mikro saja. Berbagai aspek ini perlu dianalisis lebih jauh untuk melihat kontribusinya terhadap penerapan ekonomi hijau yang sudah menjadi komitmen pemerintah yaitu mengembangkan rencana pembangunan negara yangprogrowth, pro-job dan pro-poor dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Dari hasil perumusan masalah tersebut, diperoleh beberapa pertanyaan yang akan menjadi obyek penelitian yaitu: a. Faktor-faktor apa saja yang dapat memberikan pengaruh paling 7
8 signifikan terhadap keberhasilan program alih teknologi dari HCFC menjadi non-hcfc. b. Seberapa besar potensi keberhasilan proses alih teknologi HCFC dari sisi sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan, karena berkaitan dengan potensi kontribusi industri terhadap keberhasilan program penghapusan HCFC. 1.3 Tujuan Penelitian Dari uraian perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan: a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh penting pada keberhasilan program alih teknologi HCFC menjadi non-hcfc. b. Mengetahui potensi HCFC dari aspek sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan yang ada di industri manufaktur refrigerasi. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang terkait, yaitu: a. Bagi pengambil keputusan: memberi masukan dalam menyusun kebijakan dan program yang tepat dalam implementasi penghapusan HCFC yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi untuk sektor refrigerasi b. Bagi pelaku industri: mempunyai pilihan dalam proses alih teknologi HCFC yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap lingkungan, sosial dan perekonomian secara mikro c. Bagi masyarakat: mempunyai pilihan memilih produk yang ramah ozon dan iklim, dan mendapatkan lingkungan yang lebih baik. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup potensi keberhasilan dari program alih teknologi dari HCFC menjadi non-hcfc yaitu jumlah konsumsi HCFC secara nasional, jumlah konsumsi industri manufatur refrigerasi yang diteliti berdasarkan jumlah produksi dan penggunaan HCFC untuk masing-masing peralatan, serta dampak dari alih teknologi dari sisi pengurangan emisi GRK dari sumber HCFC yang digunakan pada peralatan yang diproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program alih teknologi, serta dampak yang dihasilkan dari program tersebut dilihat dari sisi ekonomi, sosial, teknis dan lingkungan. Lingkup wilayah penelitian mencakup industri manufaktur refrigerasi di Jabodetabek.