PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW (The Effect of Temperature of Glycerol and Straw Cassette on Sperm Cryopreservation) F. AFIATI, E.M. KAIIN, M. GUNAWAN, S. SAID dan B. TAPPA Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911 ABSTRACT The goal of this research was to see the effect of temperature of added glycerol and the uses of straw cassette on sperm cryopreservation. Motility and abnormaality percentages of glycerolitation on cold temperature (43% and 12%) was significantly (P<0.05) higher than glycerolitation on room temperature (37% and 14%), but not percentage of live spermatozoa. Although, the use of straw cassette had higher motility and lower mortiliy, but statistically no significant effects to sperm quality. Sperm quality of frozen semen where glycerol was added on cold temperature and with or without using the straw cassette can be used at AI application. Key words: Sperm, glycerolitation, straw cassette, Ongole grade cattle ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh suhu penambahan gliserol dan penggunaan kaset straw pada proses pembekuan sperma. Persentase motilitas dan abnormalitas pada gliserolisasi di suhu dingin (43% dan 12%) berbeda nyata (P<0,05) dengan gliserolisasi pada suhu ruang (37% dan 14%), tetapi keduanya tidak berpengaruh pada persentase hidup spermatozoa. Walaupun penggunaan kaset straw memberikan nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kaset, tetapi secara statistik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas sperma. Kelayakan kualitas sperma layak IB masih dapat diperoleh dengan melakukan penambahan gliserol di suhu dingin (5 C) dengan atau tanpa kaset. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gliserolisasi di suhu dingin (5 C) memberikan hasil yang lebih baik. Kata kunci: Sperma, gliserolisasi, kaset straw, sapi PO PENDAHULUAN Pada proses pembekuan semen, masalah yang sering timbul pada umumnya disebabkan oleh pengaruh kejutan dingin terhadap sel yang dibekukan dan perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Pembekuan akan menginduksi kerusakan spermatozoa yang bersifat permanen, namun kerusakan tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan suatu bahan pelindung yang disebut krioprotektan. Krioprotektan merupakan agen protektif yang ditambah ke dalam pengencer pada proses pembekuan, yang terbagi menjadi intraselular dan ekstraselular. Gliserol, etilen glikol dan DMSO (dimethylsulfoxide) termasuk ke dalam intraselular, yaitu agen yang dapat langsung masuk dalam sel karena larut dalam lemak, sedangkan yang termasuk dalam ekstraseluler yaitu lipoprotein sukrosa, rafinosa dan lain-lain (SUPRIATNA dan PASARIBU, 1992). Krioprotektan akan mereduksi pengaruh letal proses pemaparan kriopreservasi sel sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi, selain itu berfungsi untuk mencegah terbentuknya kristal-kristal es akibat dehidrasi sel yang berlebihan dari dalam sel dan menstabilkan membran plasma sel sehingga dapat melindungi kerusakan fisik dan 67
fungsional spermatozoa selama proses pembekuan (LEIBO, 1992). Cara kerja gliserol menurut SALISBURY dan VANDEMARK (1985) adalah merubah bentuk dan pembentukan kristal es pada waktu pembekuan dengan menurunkan titik beku campuran tersebut, kemudian gliserol bersama bahan pengencer lainnya menembus dinding sel sperma untuk menggantikan air dan elektrolit-elektrolit dalam sel sampai terjadi keseimbangan. Didukung oleh SEVERIN (1965) dalam HIDAYAT (2001) yang menyatakan bahwa terjadi kerjasama sinergis di dalam sel spermatozoa antara kuning telur sebagai pelindung terhadap cold shock dan gliserol sebagai pelindung terhadap hipertonic shock. Gliserol mencegah pengumpulan molekulmolekul air dan kristalisasi es pada titik beku larutan. Selain itu gliserol akan memodifikasi kristal es yang terbentuk di dalam medium pembekuan sehingga menghambat kerusakan sel secara mekanis (SUPRIATNA dan PASARIBU, 1992). Walaupun penggunaan gliserol sebagai krioprotektan sangat penting bagi hidup sperma sebelum proses pembekuan, namun penggunaan agen ini bila berlebihan bersifat toksik bagi sel sperma. Gliserol memungkinkan sperma dapat dibekukan dan disimpan pada suhu -196ºC. Gliserol dapat menekan terjadinya kerusakan enzim-enzim yang terdapat dalam spermatozoa yang sangat penting dalam proses fertilisasi (SINGH, et al. 1996). Penurunan suhu, pembekuan dan penyimpanan pada suhu di bawah 0 C merupakan cara untuk pengawetan sperma dan memperpanjang daya hidup spermatozoa (SALAMON dan MAXWELL, 1993). Menurut MAXWELL dan WATSON (1987) selama proses pembuatan dan penyimpanan semen beku dapat mengurangi motilitas dan merusak integritas membran plasma spermatozoa, sehingga dapat menurunkan tingkat fertilitas. Setelah pengenceran, semen mengalami masa keseimbangan (ekuilibrasi), yaitu periode yang diperlukan spermatozoa untuk menyesuaikan diri dengan bahan pengencer, sehingga pada waktu pembekuan kematian spermatozoa yang berlebihan dapat dihindari dan kualitasnya dapat dipertahankan semaksimal mungkin (TOELIHERE, 1993). Adaptasi terhadap bahan pengencer dimaksudkan agar sperma terhindar dari cold shock saat pembekuan. Menurut HAFEZ (2000), ekuilibrasi dapat mencegah pengaruh negatif gliserol terhadap antibiotika yang ditambahkan ke dalam pengencer dan lama waktu yang disarankan berkisar 4 6 jam. Selama proses gliserolisasi suhu akan berperan penting namun suhu yang tepat untuk proses ini belum diketahui pasti, oleh karena itu dalam paper ini akan dibahas cara memperbaiki teknik pembekuan sperma dengan melihat pengaruh suhu penambahan gliserol dan penggunaan kaset straw dalam proses pembekuan sperma. MATERI DAN METODE Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah semen sapi Peranakan Ongole (PO), medium BO, penstrep, kuning telur, gliserol, medium Tris, sentrifus, hemasitometer, mikroskop, straw 0,25 ml dan lain-lain. Gliserolisasi dan penggunaan kaset pada pembekuan semen Semen segar yang telah dikoleksi dan dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis dicuci dengan sentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm selama 10 menit dalam suhu 26-27 C. Pencucian diharapkan mampu membersihkan sperma dari sperma-sperma yang mati dan kotoran-kotoran pada saat proses penampungan. Endapan yang terkoleksi kemudian dievaluasi kembali dan dibekukan dengan pengencer Tris yang mengandung 20%(v/v) kuning telur dan 8%(v/v) gliserol. Pengenceran dilakukan dengan metode dua tahap, sedangkan pencampuran larutan semen dengan larutan gliserol (gliserolisasi) dilakukan pada suhu ruang (27 C) dan suhu dingin (5 C). Semen yang telah mendapat perlakuan gliserol disiapkan ke dalam straw dengan konsentrasi 30 x 10 6 /0,25 ml, kemudian dibagi ke dalam dua kelompok (dengan kaset dan tanpa kaset straw). Masa keseimbangan (equilibrasi) dilakukan pada suhu 5 C selama ± 2 jam. Pembekuan dilakukan dengan metode KAIIN et al. (2004) dengan modifikasi penggunaan kaset straw, sedangkan pencairan kembali (thawing) dilakukan menurut metode SAID et al. (2004). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan (suhu ruang dan suhu dingin) dan (dengan kaset dan tanpa kaset). 68
Masing-masing perlakuan mendapat 5 kali pengulangan. Kualitas spermatozoa yang diamati meliputi motilitas spermatozoa, spermatozoa hidup dan abnormalitas spermatozoa menurut metode TOELIHERE (1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh suhu gliserolisasi terhadap persentase motilitas, persentase hidup dan persentase abnormal sapi PO seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh suhu gliserolisasi terhadap kualitas semen beku sapi PO Gliserolisasi Motilitas Hidup Abnormal Suhu 5 C 43 a 39 a 12 a Suhu ruang (27ºC) 37 b 34 a 14 b Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf UJBD 0,05 Perbedaan suhu gliserolisasi ternyata berpengaruh terhadap kualitas semen beku sapi PO, karena menurut MOCÉ et al. (2003) spermatozoa sangat cepat terpengaruh oleh perubahan suhu yang berbeda baik selama proses pendinginan ataupun pembekuan. Gliserolisasi pada suhu 5 C memberikan persentase motilitas dan persentase abnormal yang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dengan gliserolisasi pada suhu 27 C, tetapi keduanya tidak berbeda nyata terhadap persentase hidup. Walaupun menurut TAMBING (1999) penambahan gliserol ke dalam pengencer tris tidak mempengaruhi persentase motilitas sperma sebelum pembekuan (pengenceran dan equilibrasi), tetapi pada suhu rendah laju metabolisme suatu sel hidup akan turun secara dramatis, sehingga dapat mempertahankan daya tahan sperma dan setiap penurunan suhu sebesar 10 C laju sel akan mengalami penurunan sebesar 50%. Perbedaan kualitas sperma diduga berhubungan dengan sifat toksik dari gliserol dan lamanya kontak antara gliserol dengan sperma, karena gliserol dapat memberikan perlindungan tetapi dapat menyebabkan kerusakan pada struktur sperma selama proses pembekuan, tetapi perlindungan efektif diperoleh setelah kontak yang singkat dengan sperma (SALAMON dan MAXWELL, 1995). Perbedaan yang terjadi pada perlakuan gliserolisasi dapat disebabkan oleh sperma yang disimpan pada suhu dingin (5 C) tidak menghasilkan produk-produk buangan sebanyak apabila sperma disimpan pada suhu yang lebih tinggi (PARKS dan GRAHAM, 1992). Selain gliserol, kuning telur dalam pengencer menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas sperma, karena menurut SITUMORANG (1994) dalam HIDAYAT (2001) walaupun kuning telur dapat memberikan perlindungan terhadap sel spermatozoa tetapi kuning telur juga dapat merupakan racun terutama pada suhu ruang. Reaksi gliserol dan sperma pada suhu ruang dimungkinkan menjadi penyebab adanya perbedaan kualitas sperma, karena temperatur merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan laju metabolisme dan daya tahan sperma menurun bila terjadi peningkatan pada temperatur semen, selain cahaya lampu yang dapat menimbulkan reaksi photokimia pada semen yang akan menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat menghambat laju metabolisme (BEARDEN dan FUQUAY, 2000). Tingkat pendinginan (cooling rate) mempengaruhi kerusakan pada membran sel spermatozoa selama proses kriopreservasi semen. Prinsip utama cooling rate adalah kecepatan optimal yang dapat memberi kesempatan air keluar dari sel secara kontinyu bertahap sebagai respon sel terhadap kenaikan konsentrasi larutan ekstraseluler yang semakin tinggi diantara kristal-kristal es yang terbentuk (SUPRIATNA dan PASARIBU, 1992). Menurut DHAMI dan SAHNI (1993) dalam AMALIA (2002) cooling rate yang sangat lambat maupun cepat akan mengakibatkan penurunan motilitas sperma, penurunan viabilitas sperma dan peningkatan pengeluaran enzim-enzim intraseluler ke ekstraseluler. Pengaruh penggunaan kaset straw pada proses pembekuan dengan gliserolisasi suhu 5 C terhadap persentase motilitas, persentase hidup dan persentase abnormal sapi PO setelah thawing seperti terlihat pada Tabel 2. Kualitas sperma setelah thawing tidak hanya ditentukan oleh pejantan dan kualitas sperma sebelum pembekuan, tetapi parameter lain seperti jenis krioprotektan dan konsentrasinya, proses pembekuan dan thawing 69
serta tipe pengemasan dan lain-lain (MOCE et al., 2003). Tipe pengemasan kaset straw yang digunakan selama proses pembekuan semen tidak memberikan pengaruh terhadap persentase motilitas, persentase hidup dan persentase abnormal. Tetapi keduanya memberikan nilai yang baik, dimana nilai-nilai tersebut masih dapat memenuhi syarat dalam katagori program IB, yaitu masih memenuhi kriteria standar minimum quality control dengan nilai post thawing motility (PTM) minimal 40% (ANONIMUS, 2000). Biasanya pada proses pembekuan semen akan terjadi kematian sperma sampai 30% dari jumlah sperma segar atau setelah diencerkan dan kerusakan akibat pengaruh cold shock (GOLDMAN et al., 1991). Nilai persentase hidup yang dihasilkan dalam penelitian masih di bawah HIDAYAT (2001) 51,25%; BALKIS (2002) 79,69% dan 50,69%, masing-masing untuk straw produksi Singosari dan Lembang, tetapi masih lebih tinggi bila dibanding hasil penelitian DJONI (2003) yaitu hanya sebesar 9,4%. Tabel 2. Pengaruh penggunaan kaset pada proses pembekuan terhadap kualitas semen beku sapi PO Perlakuan straw Motilitas Hidup Abnormal Dengan kaset 43 a 39 a 12 a Tanpa kaset 41 a 31 a 11 a Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf UJBD 0,05 KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu pada saat gliserolisasi berpengaruh pada kualitas sperma beku, dimana suhu dingin (5 C) nyata lebih tinggi dibandingkan suhu ruang (27 C). Selanjutnya penggunaan kaset pada pembekuan sperma tidak berbeda nyata dengan yang tanpa kaset, namun penggunaan kaset sangat memudahkan dalam proses pembekuan dan sebelum evaluasi (thawing). DAFTAR PUSTAKA AMALIA, Y. 2002. Motilitas dan Membran Plasma Utuh Spermatozoa pada Semen Cair Kemasan Straw Minitub dan Semen Beku Kambing Saanen dalam Pengencer Tris dan Laktosa Kuning Telur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. ANONIMUS. 2000. Petunjuk teknis pengawasan mutu bibit ternak. Direktorat Pembibitan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. BALKIS, R.A.F. 2002. Kajian Kualitas Semen Beku pada Beberapa Bangsa Sapi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. BEARDEN, H.J. dan J.W. FUQUAY. 2000. Applied Animal Reproduction. 4th ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. pp: 158 171. DJONI, A. 2003. Pengaruh Metode dan Lama Tahwing Terhadap Kualitas Semen Beku Sapi Bali. Skripsi. Fakultas Pertanian UNHALU. GOLDMAN, E.E., J.E. ELLINGTON, F.B. FARREL dan R.H. FOOTE. 1991. Use of fresh and frozen thawed bull sperm in vitro. Theriogenology 35: 204 209. HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 6 th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. HIDAYAT, C.R. 2001. Kualitas Spermatozoa Setelah Pembekuan pada Konsentrasi Kuning Telur Tinggi dan Fraksinya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. KAIIN, E.M., S. SAID, F. AFIATI, M. GUNAWAN dan B. TAPPA. 2004. Daya tahan hidup sperma beku sapi PO setelah thawing. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI (in press). LEIBO, T. 1992. A one-step methode for direct non surgical transfer on frozen thawed bovine embryos. Theriogenology 21: 767 787. MAXWELL, W.M.C. dan P.F. WATSON. 1987. Recent progress in the preservation of ram and semen. Anim. Reprod. Sci. 42: 55 65. MOCE, E., J.S. VICENTE dan R. LAVARA. 2003. Effects of freezing-thawing protocols on the performance of semen from three rabbit lines after artifiacial insemination. Theriogenology 60: 115 123. PARKS, J.E. dan J.K. GRAHAM. 1992. Effect of cryopreservation procedures on sperm membrane. Theriogenology 38: 209 222. SAID, S., E.M. KAIIN, F AFIATI, M. GUNAWAN dan B. TAPPA. 2004. Pengaruh metode dan lama thawing terahadap kualitas semen beku sapi PO. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI (in press). 70
SALAMON, S. dan W.M.C. MAXWELL. 1995. Frozen storage of ram semen. Processing, freezing, thawing and fertility after cervical insemination. Anim. Reprod. Sci. 37: 85 99. SALISBURY, G.W. dan N.L. VAN DEMARK. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan. J. DJANUAR. Gadjah Mada University Press. SINGH, M.P., A.K. SINHA, B.K. SINGH and R.L. PRASAD. 1996. Effects of cryopreservation procedures on sperm membrane. Theriogenology 38: 209 222. SUPRIATNA, I., dan F. PASARIBU. 1992. Invitrofertilization, transfer embrio dan pembekuan embrio. PAU-IPB, Bogor. TAMBING, S.N. 1999. Efektivitas Berbagai Dosis Gliserol di dalam Pengencer Tris dan Waktu Equilibrasi Terhadap Kualitas Semen Beku Kambing PE. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor TOELIHERE, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa Bandung. 71