BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III RANCANGAN PENELITIAN

KIMIA ORGANIK (Kode : E-11) STUDI PRODUKSI MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONAT OIL) DENGAN CARA FERMENTASI MENGGUNAKAN Rhizopus oligosporus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

Judul PEMBUATAN MINYAK DARI SANTAN KELAPA DENGAN FERMENTASI. Kelompok B Pembimbing

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENGARUH SUHU DAN WAKTU INKUBASI PADA PEMBUATAN VCO DENGAN METODA ENZIMATIS DAN PENGASAMAN. Siti Miskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN PERBANDINGAN VOLUME STARTER DENGAN SUBSTRAT TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU VIRGIN COCONUT OIL (VCO) ABSTRAK

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAHAN DAN METODE. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Pembuatan Basis Krim VCO (Virgin Coconut Oil) Menggunakan Microwave Oven

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA. kelapa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu bagian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Disusun Oleh : Sulfahri ( ) Desen Pembimbing Ir. Sri Nurhatika, MP. Tutik Nurhidayati, S.Si.M.Si.

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN MINYAK KELAPA SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN RIMPANG JAHE SEBAGAI KATALISATOR

Pengaruh Hidrolisa Asam pada Produksi Bioethanol dari Onggok (Limbah Padat Tepung Tapioka) Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta ala dalam Al-Qur an Surat Al-

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN KONSENTRASI STARTER PADA KARAKTERISASI KIMIA VIRGIN COCONUT OIL YANG BERBAHAN DASAR KELAPA (Cocos nucifera)

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

OPTIMASI PEMBUATAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) DENGAN PENAMBAHAN RAGI ROTI (Saccharomyces cerevisiae) DAN LAMA FERMENTASI DENGAN VCO PANCINGAN

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah yang digemari, selain rasanya

Pengambilan Minyak Kelapa dengan Menggunakan Enzim Papain

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

PENGARUH KECEPATAN PUTAR PENGADUKAN DAN WAKTU PENDIAMAN TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK KELAPA MURNI (VCO)

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan bagi. perekonomian Indonesia, karena menghasilkan devisa negara, menyediakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANGKA PEROKSIDA PADA MINYAK KELAPA HASIL OLAHAN TRADISIONAL DAN HASIL OLAHAN DENGAN PENAMBAHAN BUAH NANAS MUDA

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol.

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990).

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

PROSEDUR PENELITIAN PEMBUAT MINYAK VCO (Virgin Coconut Oil) Oleh : Ngatemin Prodi Teknolologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

BIOTEKNOLOGI FERMENTASI

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB II LANDASAN TEORI

Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Kimia UNDIP 2009

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau santan dalam sayur-sayuran. Minyak kelapa murni mengandung asam laurat

PENGARUH TEMPERATUR DAN F/S TERHADAP EKSTRAKSI MINYAK DARI BIJI KEMIRI SISA PENEKANAN MEKANIK

OPTIMATION OF THE INCUBATION TIME FOR ENZYMATIC PRODUCTION OF COCONUT OIL USING THE FRUIT S LATEX OF Carica papaya L

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Besarnya ketergantungan

PENGARUH KONSENTRASI INOKULUM Saccharomyces cerevisiae PADA FERMENTASI ETANOL LIMBAH KULIT PISANG RAJA (Musa paradisiaca cv.raja)

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

FERMENTASI ETANOL DARI SAMPAH TPS GEBANG PUTIH SURABAYA

I. PENDAHULUAN. mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin banyak. Upaya pemenuhan

BAB 3 METODE PENELITIAN. 1. Neraca Analitik Metter Toledo. 2. Oven pengering Celcius. 3. Botol Timbang Iwaki. 5. Erlenmayer Iwaki. 6.

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

PENGAMBILAN MINYAK KELAPA SECARA FERMENTASI BERULANG DENGAN MENGGUNAKAN SEL AMOBIL SACCHAROMYCES CEREVICEAE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

PENGARUH KONSENTRASI RAGI DAN WAKTU FERMENTASI PADA PROSES PEMBUATAN BIOETANOL DARI AIR KELAPA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Seleksi Mikroorganisme Pada tahap ini digunakan 9 spesies mikroorganisme seperti tertera pada Tabel 4.1. Komposisi medium untuk pertumbuhan mikroorganisme terdiri dari air kelapa sebanyak 2 ml dan skim santan sebanyak 18 ml. Konsentrasi sel yang dimasukkan dalam medium inokulum sama yaitu 1 juta sel/ml. Sebanyak 10 ml medium inokulum ditambahkan ke dalam 30 ml krim santan sehingga volume total fermentasi adalah 40 ml. Percobaan ini dilakukan secara duplo. Hasil pengamatan perolehan minyak untuk tiap mikroorganisme selama 4 hari pada tempuhan 1 dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan pada tempuhan 2 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Variasi perolehan minyak untuk beberapa jenis mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 4.1. Tabel 4.1. Perolehan minyak tiap mikroorganisme pada tempuhan 1 Volume minyak (ml) Spesies Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Yield total (% -v/v) S. cerevisiae 11,5 12 12 12 30 C. tropicalis 5 6 6 6 15 T. famata 11 11 11 11 27,5 L. plantarum 6 7 8 8 20 S. lactis 8 9 9 9 22,5 A.aceti 8 8 8 8 20 R.oligosporus 7,5 8 8 9 22,5 A. oryzae 6,5 6,5 6,5 7 17,5 B. bassiana 3,5 4 4 4 10 ki-ka : T.famata S.cerevisiae L.plantarum R.oligosporus Gambar 4.1 Hasil percobaan untuk 4 mikroorganisme dengan perolehan minyak terbanyak B.56.3.04 36

Tabel 4.2. Perolehan minyak tiap mikroorganisme pada tempuhan 2 Volume minyak (ml) Spesies Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Yield total (%-v/v) S. cerevisiae 8 9,5 10 10 25 C. tropicalis 8 8 8 9 22,5 T. famata 8 10 10 10 25 L. plantarum 8 9 10 10 25 S. lactis 8 9 9,5 9,5 23,75 A. aceti 6 7 7 7 17,5 R. oligosporus 8 10 11 11 27,5 A.oryzae 6 8 8 9 22,5 B.bassiana 6 6 7 7 17,5 Percobaan tempuhan 1 dan 2 menunjukkan hasil yang berbeda. Pada tempuhan 1, yield minyak terbanyak dihasilkan oleh S. cerevisiae yaitu sebesar 30 %, diikuti oleh T. famata dan R. oligosporus dengan yield masing-masing sebesar 27,5 % dan 22,5%. Pada tempuhan 2, yield terbanyak dihasilkan oleh R. oligosporus yaitu sebesar 27,5 %, diikuti S. cerevisiae, T. famata, dan L. plantarum dengan yield yang sama yaitu sebesar 25 %. Jika pertimbangan pemilihan mikroorganisme hanya didasarkan pada yield saja, pemilihan sulit dilakukan. Hal ini disebabkan hasil percobaan kedua tempuhan menunjukkan kedekatan yield yang diperoleh oleh beberapa mikroorganisme seperti S. cerevisiae, R. oligosporus, dan T. famata. Puertollano, et.al. (1970) menggunakan Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus delbrueckii sebagai pembandingnya. Medium yang digunakan adalah yeast extract, tripton, sukrosa, laktosa, dan kombinasi ketiganya. Hasil percobaannya menunjukkan bahwa L. plantarum memberikan yield yang lebih baik dibandingkan dengan L. delbrueckii. Pada percobaan ini juga digunakan L. plantarum tetapi yield yang dihasilkannya lebih rendah jika dibandingkan dengan yield yang dihasilkan S. cerevisiae. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan medium dan jenis kelapa yang digunakan. Pertimbangan lain yang dapat dilakukan adalah didasarkan pada ciri fisik minyak yang dihasilkan. Akan tetapi, pertimbangan ini pun tidak dapat digunakan karena minyak yang dihasilkan oleh hampir semua mikroorganisme sama-sama jernih, protein dan minyak sama-sama terpisah sempurna, serta baunya sama-sama harum. B.56.3.04 37

Pemilihan mikroorganisme juga dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan penggunaan minyak yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan minyak kelapa yang memenuhi standar mutu minyak pangan. Jadi, penggunaan minyak ini adalah untuk makanan dan kesehatan. Karena itu, dasar pertimbangan yang dapat diambil adalah kemungkinan mikroorganisme yang dipilih menghasilkan metabolit atau senyawa lain yang berguna atau bahkan berbahaya bagi kesehatan manusia. Untuk mengetahui keberadaan mikroorganisme dalam minyak, dilakukan pengamatan mikroskopik pada bagian dasar tabung yang ditunjukkan oleh endapan berwarna putih (Gambar 4.1), bagian air, dan bagian minyak. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada bagian minyak dan bagian air tidak terdapat mikroorganisme. Pada bagian dasar terdapat sel-sel yang bentuknya tidak teratur (seperti pecah), mungkin sel-sel mikroorganisme mati karena telah kehabisan nutrien. Jadi, minyak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. S. cerevisiae biasa digunakan untuk memproduksi etanol dalam proses pembuatan bir. Selain itu, S. cerevisiae digunakan dalam pembuatan ragi roti dan single-cell protein (SCP). Selain menghasilkan enzim protease, ragi ini juga menghasilkan enzim invertase, α-galaktosidase, dan β-glukonase. Ketiga enzim ini digunakan dalam industri bir. R. oligosporus biasa digunakan dalam pembuatan tempe. Mold ini juga menghasilkan enzim amiloglukosidase. Enzim ini menghidrolisis glukosa untuk memproduksi sirup glukosa yang digunakan dalam industri bir (Wiseman,1977). Fermentasi santan menjadi minyak kelapa dilakukan dalam kondisi mikroaerofilik (sedikit udara bebas) sehingga ada kemungkinan terbentuknya alkohol. Akan tetapi, alkohol yang terbentuk larut dalam air dan tidak akan berada dalam minyak karena kelarutan alkohol dalam air sangat besar (Perry,1997). Jadi, minyak kelapa yang dihasilkan tidak akan mengandung alkohol. Produksi minyak kelapa dengan proses fermentasi memerlukan penanganan yang lebih cermat daripada proses fisik maupun mekanik. Hal ini disebabkan proses fermentasi melibatkan makhluk hidup yaitu mikroorganisme sebagai biokatalis yang juga B.56.3.04 38

bertumbuh. Penanganan fermentasi menggunakan ragi lebih mudah daripada penanganan fermentasi menggunakan mold, karena ragi bersifat uniseluler dan mold bersifat multiseluler (berfilamen). Pada tahap seleksi mikroorganisme ini terpilih Saccharomyces cerevisiae atas dasar pertimbangan yield, ciri fisik, dan keamanan minyak yang dihasilkan, serta pengendalian fermentasi yang lebih mudah. 4.2. Formulasi Medium Inokulum Berdasarkan hasil tahap seleksi, S. cerevisiae digunakan untuk tahap-tahap percobaan selanjutnya.tahap percobaan yang dilakukan setelah seleksi mikroorganisme adalah formulasi medium inokulum. Variasi yang dilakukan pada tahap ini adalah variasi komposisi medium inokulum yaitu perbandingan antara air kelapa dengan skim santan yang digunakan seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.3. Tabel 4.3 Variasi komposisi medium inokulum Variasi Formulasi medium inokulum Air kelapa Skim santan 1 1 5 2 1 7 3 1 9 4 1 11 Formulasi medium inokulum terbaik ditandai dengan jumlah sel S. cerevisae terbanyak untuk jangka waktu yang sama yaitu 16 jam. Perhitungan jumlah sel S. cerevisae dilakukan dengan metode counting chamber. Konsentrasi sel yang dimasukkan dalam medium untuk semua variasi sama yaitu sebesar 100.000 sel/ml. Percobaan ini dilakukan secara duplo. Hasil pengamatan pertumbuhan S. cerevisiae tempuhan 1 ditunjukkan oleh Gambar 4.2 dan tempuhan 2 ditunjukkan oleh Gambar 4.4. Perubahan ph medium selama pertumbuhan untuk tempuhan 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.5. B.56.3.04 39

1.20E+07 1.00E+07 jumlah sel/ml 8.00E+06 6.00E+06 4.00E+06 2.00E+06 variasi 1 variasi 2 variasi 3 variasi 4 0.00E+00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 waktu pertumbuhan (jam) Gambar 4.2 Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae tempuhan 1 6 5 4 ph 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 waktu pertumbuhan (jam) Gambar 4.3 Perubahan ph medium inokulum tempuhan 1 untuk semua variasi 8.00E+06 7.00E+06 6.00E+06 jumlah sel/ml 5.00E+06 4.00E+06 3.00E+06 2.00E+06 1.00E+06 variasi 1 variasi 2 variasi 3 variasi 4 0.00E+00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 waktu pertumbuhan (jam) Gambar 4.4 Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae tempuhan 2 B.56.3.04 40

6 5 4 ph 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 waktu pertumbuhan (jam) Gambar 4.5 Perubahan ph medium inokulum tempuhan 2 untuk semua variasi Hasil yang didapat dari tempuhan 1 dan 2 sama. Gambar 4.2 dan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa variasi ke-3 yaitu komposisi medium inokulum dengan perbandingan air kelapa terhadap skim santan sebesar 1 berbanding 9 merupakan formulasi medium inokulum terbaik. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah sel S. cerevisiae per ml pada akhir fase logaritmik paling banyak daripada jumlah sel pada variasi lainnya. Dari kurva pertumbuhan tempuhan 1 dan 2 diperoleh bahwa pertumbuhan ragi mengalami fase stasioner (relatif tidak mengalami pertumbuhan lagi) setelah memasuki jam ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi cukup berlangsung selama 12 jam. Hasil percobaan ini menunjukkan adanya kesamaan dengan literatur yang menyatakan bahwa proses fermentasi berlangsung antara 10-14 jam (Sastramihardja,1984). Medium air kelapa yang digunakan cukup baik untuk kelangsungan proses fermentasi. Hal ini terlihat pada kurva yang tidak mengalami fase adaptasi dan langsung memasuki fase logaritmik seperti yang ditampilkan oleh Gambar 4.2 dan Gambar 4.4. Fase logaritmik pertumbuhan ragi dimulai pada jam ke-4 sampai jam ke-8 ditandai dengan laju pertumbuhan yang berlangsung secara cepat. Selama percobaan ini berlangsung dilakukan pengukuran ph dengan menggunakan indikator ph universal (0-14). Dari Gambar 4.3 dan 4.5 diketahui bahwa terjadi B.56.3.04 41

penurunan ph selama fermentasi. Hal ini disebabkan pembentukan asam selama proses fermentasi. Pembentukan asam terjadi karena terdapatnya kandungan glukosa pada santan kelapa dan didukung dengan kondisi fermentasi yang bersifat mikroaerofilik. S. cerevisiae dapat mengubah glukosa menjadi asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat. Siklus glikolisis turut menjelaskan mengapa pembentukan asam pada proses fermentasi dapat terjadi. (Sukandar, 2001). 4.3. Penentuan Jumlah Inokulum Tahap percobaan ini bertujuan untuk menentukan jumlah inokulum yang diperlukan untuk memecah sejumlah krim santan. Pada tahap ini dilakukan 4 variasi perbandingan inokulum terhadap krim santan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 4.4. Tabel 4.4 Variasi perbandingan inokulum terhadap krim santan Variasi Perbandingan Inokulum Krim santan 1 1 2 2 1 3 3 1 4 4 1 5 Medium inokulum yang digunakan berupa campuran air kelapa dan skim santan dengan perbandingan yang telah diperoleh pada tahap formulasi medium inokulum yaitu 1 : 9. Medium inokulum yang telah diinokulasi S. cerevisiae ditambahkan ke dalam krim santan sesuai variasi pada Tabel 4.4. Semua variasi ini menggunakan basis volum sama yaitu 800 ml dan diinkubasi pada temperatur 30 o C. Percobaan dilakukan secara duplo. Hasil pengamatan perolehan minyak pada tempuhan 1 dan 2 disajikan dalam Tabel 4.5 dan 4.6. Tabel 4.5 Hasil percobaan tiap variasi jumlah inokulum tempuhan 1 Variasi 1 2 3 4 ph campuran awal 6,28 6,28 6,28 6,28 Hari ke- Vol.minyak Vol.minyak Vol.minyak (ml) (ml) (ml) 1 150 225 235 200 2 175 250 250 225 3 175 250 250 225 ph minyak 6 6 6 6 ph blondo 4,5 4,5 4,5 4,5 ph air 4 4 4 4 Vol.minyak (ml) B.56.3.04 42

Tabel 4.6 Hasil percobaan tiap variasi jumlah inokulum tempuhan 2 Variasi 1 2 3 4 ph campuran awal 6-6,5 6-6,5 6-6,5 6-6,5 Hari ke- Vol.minyak Vol.minyak Vol.minyak Vol.minyak (ml) (ml) (ml) (ml) 1 175 225 225 200 2 200 225 225 200 3 200 225 225 200 ph minyak 5,5-6 5,5-6 5,5-6 5,5-6 ph blondo 4,5 4,5 4,5 4,5 ph air 4 4 4 4 Hasil percobaan menunjukkan bahwa kedua tempuhan memberikan hasil yang sama. Minyak yang terbanyak diperoleh pada perbandingan inokulum terhadap krim santan sebesar 1 berbanding 3 dan 1 berbanding 4. Variasi yang terbaik dipilih berdasarkan pertimbangan perolehan minyak yang terbanyak. Pada percobaan ini dipilih variasi 2 dengan perbandingan inokulum terhadap krim sebesar 1 berbanding 3 dengan alasan efisiensi karena dengan jumlah krim santan yang lebih banyak tetap dihasilkan minyak dengan jumlah yang sama dengan variasi 2. Jumlah minyak yang dihasilkan variasi 1 lebih sedikit daripada jumlah minyak yang dihasilkan variasi 2. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan minyak semakin tinggi sejalan dengan semakin banyaknya krim santan yang ditambahkan. Pada variasi 1 penambahan substrat masih dapat dilakukan untuk mencapai perolehan minyak yang maksimum. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku untuk variasi 2, 3, dan 4. Pada variasi 2 dan 3, jumlah minyak yang dihasilkan sama, bahkan menurun pada variasi 4. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi terjadi pada variasi 2 karena dengan jumlah krim santan pada variasi 2 yang lebih sedikit daripada variasi 3, dihasilkan minyak dengan perolehan yang sama. Penurunan perolehan minyak pada variasi 4 kemungkinan disebabkan adanya inhibisi substrat dan keterbatasan jumlah inokulum untuk melakukan pemecahan santan menjadi minyak. Perbedaan yield untuk masing-masing variasi pada tempuhan 1 dan 2 disebabkan oleh bahan baku kelapa yang digunakan. Perbedaan waktu pembelian kelapa dan pemetikan kelapa dapat dijadikan alasan mengapa yield yang dihasilkan berbeda, meskipun B.56.3.04 43

perbedaan sudah dipersempit dengan membeli kelapa di satu tempat yang sama yaitu di Pasar Balubur, Taman Sari (Bandung). Menurut Puertollano, et.al. (1970), kelapa yang diperoleh dari pasar tidak seragam dan selalu berubah. Secara umum, kelapa tersebut sudah tua, tapi berbeda dalam hal umur saat panen dan lama penyimpanan, sehingga tidak mungkin mendapatkan kelapa yang sama umur dan ketuaannya. Hal ini mempengaruhi komposisi dan kandungan senyawa dalam kelapa. Nilai ph blondo (protein kelapa) yang dihasilkan mencapai 4 karena selama proses pemecahan emulsi, karbohidrat yang terdapat dalam krim santan dikonversi menjadi asam-asam organik. Pembentukan asam-asam organik ini mengganggu ph isoelektrik protein sehingga akumulasi asam-asam organik menyebabkan pemecahan dan pengendapan protein. Protein yang mengalami proses pengendapan inilah yang disebut blondo. 4.4. Penentuan Kondisi Operasi Fermentasi Optimum 4.4.1 Penentuan Temperatur Optimum Tahap ini bertujuan untuk menentukan temperatur fermentasi optimum. Variasi temperatur yang dicoba adalah 25 o C, 30 o C, 35 o C, dan 40 o C. Pada tahap-tahap sebelumnya fermentasi dilakukan pada temperatur 30 o C sesuai dengan literatur yang kami gunakan (Sastramihardja,1984). Temperatur optimum pertumbuhan S. cerevisae juga diketahui berada pada rentang 30-40 o C (Jong,1987). Percobaan dilakukan secara duplo. Fermentasi dilakukan selama 20 jam karena perolehan minyak relatif tidak berubah setelah 12 jam. Menurut Sastramihardja (1984), proses fermentasi berlangsung selama 10-14 jam. Hasil pengamatan pada percobaan tempuhan 1 tertera pada Tabel 4.7. B.56.3.04 44

Tabel 4.7 Hasil percobaan tiap variasi temperatur tempuhan 1 Variasi 1 2 3 4 Temperatur ( o C) 25 30 35 40 ph inokulum awal 6,28 6,28 6,28 6,28 ph campuran awal 6,36 6,36 6,36 6,36 Hari ke- Vol.minyak (ml) Vol.minyak (ml) Vol.minyak (ml) Vol.minyak (ml) 1 225 225 225 225 2 225 225 225 225 ph minyak 6,47 6,47 6,47 6,47 ph blondo 4,5-5 4,5-5 4,5-5 4,5-5 ph air 4,09 4,02 3,89 3,97 Dari Tabel 4.7, dapat disimpulkan bahwa perolehan minyak tidak dapat digunakan untuk menentukan temperatur optimum proses karena perolehan minyak sama untuk semua variasi. Aktivitas enzim protease untuk memecah santan menjadi alternatif penentuan temperatur optimum proses. Aktivitas enzim optimum ditandai dengan semakin cepatnya santan terpecah menjadi tiga lapisan yaitu minyak, blondo, dan air. Karena itu, pada percobaan tempuhan kedua dilakukan pengamatan timbulnya minyak setiap jam. Hasil pengamatan perolehan minyak untuk tiap variasi dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.6. Tabel 4.8 Hasil percobaan tiap variasi temperatur tempuhan 2 Variasi 1 2 3 4 ph inokulum awal 6,58 6,5 6,58 6,58 ph campuran awal 6,52 6,57 6,57 6,52 Volume minyak (ml) 200 200 225 225 ph minyak 6,25 6,25 6,25 6,25 ph blondo 5 4,5-5 5 4,5-5 ph air 4,53 4,36 4,26 4,14 Selama proses fermentasi, dapat diamati bahwa kemunculan minyak ditandai dengan adanya butir-butir putih yang timbul pada krim (lapisan atas). Untuk variasi 2, 3, dan 4 butir-butir putih ini timbul pada jam ke-4. Hal lain yang teramati adalah minyak terlihat pertama kali antara jam ke-6 dan jam ke-7 pada variasi ke-2, 3, dan 4. Akan tetapi, pembentukan minyak dan pemecahan blondo paling cepat terjadi pada variasi 3 (35 o C) diikuti variasi 2 (30 o C) dan kemudian variasi 4 (40 o C). Untuk variasi 1, minyak baru terlihat jelas pada jam ke-11 dan jam ke-12. B.56.3.04 45

250 200 Variasi 1 (T = 25 C) Variasi 2 (T = 30 C) Variasi 3 (T = 35 C) Variasi 4 (T = 40 C) Volume minyak (ml) 150 100 50 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 waktu fermentasi (jam) Gambar 4.6 Volume minyak yang terbentuk tiap jam untuk tiap variasi temperatur Dari Gambar 4.6 diketahui bahwa pada jam ke-7, perolehan minyak tertinggi terdapat pada variasi 3 yaitu sebanyak 150 ml. Pada akhir proses fermentasi, volume minyak yang diperoleh pada variasi ke-3 dan variasi ke-4 sama yaitu sebanyak 225 ml. Sedangkan variasi ke-1 dan variasi ke-2 menghasilkan minyak dalam jumlah yang lebih sedikit yaitu sebanyak 200 ml. Jadi, dapat disimpulkan bahwa temperatur optimum fermentasi adalah 35 o C berdasarkan perolehan minyak dan waktu tercepat untuk menghasilkan minyak. Hasil percobaan ini menunjukkan kinerja enzim protease pada S. cerevisae mencapai kondisi optimum pada temperatur 35 o C. Pendapat ini didukung oleh Yang dan Wang (1999) yang menyatakan bahwa enzim protease yang dihasilkan Streptomyces rimosus bekerja secara optimum pada temperatur 35-45 o C. Fenomena yang sama juga dapat dijumpai pada enzim protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme Aspergillus, Rhizopus, maupun Saccharomyces (Yang dan Chiu,1986 ; Yang dan Huang,1994). Namun, temperatur 35 o C ditetapkan sebagai temperatur optimum fermentasi karena hasil percobaan yang menunjukkan bahwa pada temperatur ini aktivitas enzim protease paling baik. Selain itu, pengaruh efisiensi energi juga menjadi pertimbangan penetapan temperatur 35 o C sebagai temperatur optimum daripada temperatur 40 o C. Energi yang dibutuhkan untuk memanaskan dari suhu ruang menjadi 35 o C lebih sedikit dibandingkan dengan untuk memanaskan menjadi 40 o C. B.56.3.04 46

Percobaan penetapan temperatur optimum pemecahan emulsi santan menggunakan mikroorganisme yang berbeda juga dilakukan oleh Puertollano, et.al. (1970). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada temperatur 40 o C, pemecahan emulsi dan pemisahan minyak berlangsung lebih cepat daripada temperatur yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pada temperatur 30 o C dan 50 o C, pemisahan minyak terjadi setelah inkubasi selama 23 jam. Pada temperatur 40 o C, pemisahan minyak terjadi selama 4-8 jam. Aroma kelapa yang lezat timbul selama berlangsungnya proses fermentasi. Puertollano menggunakan L. plantarum sebagai mikroorganisme untuk mempercepat pemisahan minyak. Perbedaan karakteristik mikroorganisme juga dapat menjadi alasan perbedaan temperatur optimum operasi. Setiap mikroorganisme masing-masing memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan dan aktivitas enzimnya. Jadi, temperatur optimum operasi sangat bergantung pada jenis mikroorganisme yang digunakan. 4.4.2 Penentuan ph Optimum Setelah menentukan temperatur optimum fermentasi, kondisi lain yang dioptimumkan adalah kadar keasaman (ph). Pada tahap ini, variasi ph yang dipilih adalah 5 ; 5,78 ; 6,58-6,68 ; dan 7,36. Variasi ph pada nilai 6,58-6,68 merupakan ph santan awal sebelum difermentasi. Sama halnya dengan penentuan temperatur optimum, variasi ph yang dipilih adalah variasi yang menghasilkan minyak paling cepat dengan jumlah yang besar. Percobaan penentuan ph optimum dilakukan secara duplo. Hasil percobaan tempuhan 1 ditunjukkan oleh Gambar 4.7 dan Gambar 4.8. B.56.3.04 47

250 Volume minyak (ml) 200 150 100 50 Variasi 1 (ph = 5) Variasi 2 (ph = 5.26) Variasi 3 (ph = 6,58) Variasi 4 (ph = 7,04) 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 waktu fermentasi (jam) Gambar 4.7 Volume minyak yang terbentuk tiap jam untuk tiap variasi ph tempuhan 1 Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Variasi 4 Gambar 4.8 Hasil pengamatan jam ke-7 tempuhan 1 Pada percobaan tempuhan 1 terjadi pergeseran ph dari variasi yang telah ditentukan. Hal ini terjadi karena pada nilai ph yang diinginkan, jumlah penambahan baik asam maupun basa cukup besar. Karena itu, penambahan dihentikan sampai ph campuran bergeser + 0,5 dari ph campuran tanpa penambahan asam/basa. Hasil percobaan B.56.3.04 48

menunjukkan bahwa variasi 3 (ph campuran tanpa pengaturan) menghasilkan minyak dengan waktu fermentasi tercepat yaitu pada jam ke-5. Variasi 4 dengan ph 7,04 juga menghasilkan minyak pada jam ke-5. Akan tetapi, pada jam tersebut jumlah minyak yang dihasilkan pada variasi 3 jauh lebih banyak daripada variasi 4. Hal ini menunjukkan variasi 3 memecah emulsi menjadi minyak dengan waktu tercepat. Sedangkan, variasi 1 dan 2 (dalam kondisi asam) baru menghasilkan minyak berturutturut pada jam ke-8 dan ke-7. Hal ini disebabkan S. cerevisiae yang terdapat dalam inokulum memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi ph yang baru. Seperti yang telah diketahui, ph inokulum sama dengan ph krim santan sehingga ragi dapat langsung bekerja memecah emulsi menjadi minyak. Akan tetapi, ketika ph campuran krim dan inokulum diubah, ragi memerlukan waktu untuk beradaptasi. Semakin jauh jarak ph dari kondisi awalnya, semakin lama waktu yang diperlukan untuk beradaptasi. Pada percobaan tempuhan 2, dilakukan variasi ph pada nilai ph 5 ; 5,78 ; 6,68 ; dan 7,36. Hasil percobaan tempuhan 2 dapat dilihat pada Gambar 4.9 dan 4.10. 250 200 Volume minyak (ml) 150 100 50 Variasi 1 (ph = 5) Variasi 2 (ph = 5,78) Variasi 3 (ph = 6,68) Variasi 4 (ph = 7,36) 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 waktu fermentasi (jam) Gambar 4.9 Volume minyak yang terbentuk tiap jam untuk tiap variasi ph tempuhan 2 B.56.3.04 49

Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Variasi 4 Gambar 4.10 Hasil pengamatan antara jam ke-5 dan jam ke-6 tempuhan 2 Hasil percobaan tempuhan 2 sama dengan tempuhan 1. Variasi 3 menghasilkan minyak pada jam ke-6, begitu pun dengan variasi 2. Akan tetapi, jumlah minyak yang dihasilkan variasi 3 jauh lebih banyak daripada variasi 2. Sedangkan, variasi 1 dan 4 baru menghasilkan minyak berturut-turut pada jam ke-8 dan ke-7. Hasil ini sedikit berbeda dibandingkan dengan hasil tempuhan 1. Pada tempuhan 1, variasi 4 sudah menghasilkan minyak pada jam yang sama dengan variasi 3. Hal ini disebabkan perbedaan ph variasi 4 tempuhan 1 yang jauh lebih sedikit dari ph campuran sebenarnya daripada perbedaan ph variasi 4 dengan ph campuran sebenarnya pada tempuhan 2. Selain temperatur, aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman (ph) medium. Pada analisis temperatur optimum, diketahui bahwa enzim protease yang diproduksi oleh Streptomyces rimosus memiliki temperatur optimum pada 35-45 o C di mana aktivitas enzim paling tinggi. Menurut Yang dan Wang (1999), enzim ini memiliki ph optimum antara 6-7. Fenomena yang sama juga ditemukan pada produksi B.56.3.04 50

enzim protease dari Aspergillus, Rhizopus, dan Saccharomyces (Yang dan Chiu, 1986 ; Yang dan Huang, 1994). 4.4.3 Penentuan Kadar Oksigen Optimum Optimasi kondisi fermentasi lain yang ditentukan adalah pengaruh kadar oksigen. Pada percobaan penentuan kadar oksigen ini digunakan temperatur dan ph optimum yang telah diketahui pada percobaan sebelumnya. Kadar oksigen optimum ditentukan dengan memvariasikan volume kerja pada fermentor (dalam percobaan ini digunakan labu Erlenmeyer 1 L). Fermentasi ini dilakukan pada kondisi mikroaerofilik yaitu kondisi yang membutuhkan udara dalam jumlah yang sedikit selama proses fermentasi. Udara yang digunakan berasal dari oksigen terlarut yang terdapat dalam medium fermentasi dan ruang kosong yang terdapat pada fermentor. Variasi volum kerja yang dipilih adalah 60%-v, 70%-v, 80%-v, dan 90%-v dari volum fermentor. Kadar oksigen optimum ditentukan dari variasi yang menghasilkan minyak kelapa paling cepat dengan jumlah yang besar. Percobaan dilakukan secara duplo. Hasil percobaan tempuhan 1 dan tempuhan 2 ditunjukkan oleh Gambar 4.11 dan Gambar 4.12. 250 200 Volume minyak (ml) 150 100 50 Variasi 1 (60%-v ) Variasi 2 (70%-v ) Variasi 3 (80%-v ) Variasi 4 (90%-v ) 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 waktu fermentasi (jam) Gambar 4.11 Volume minyak yang terbentuk tiap jam pada variasi kadar oksigen tempuhan 1 B.56.3.04 51

250 Volume minyak (ml) 200 150 100 50 Variasi 1 (60%-v ) Variasi 2 (70%-v ) Variasi 3 (80%-v ) Variasi 4 (90%-v ) 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 waktu fermentasi (jam) Gambar 4.12 Volume minyak yang terbentuk tiap jam pada variasi kadar oksigen tempuhan 2 Dari Gambar 4.11 dan Gambar 4.12, diketahui bahwa pada tempuhan 1 dan tempuhan 2 jumlah minyak yang dihasilkan tiap variasi sama. Semakin besar volume kerja, semakin banyak pula minyak yang dihasilkan karena krim santan yang dipecah menjadi minyak semakin banyak. Pemecahan emulsi santan menjadi minyak pada tiap variasi cenderung terjadi pada waktu yang sama yaitu pada jam ke-7. Akan tetapi, pada tempuhan 1 untuk variasi 90%-v, pemecahan emulsi terjadi lebih cepat yaitu pada jam ke-6. Selain waktu, dasar pertimbangan lain yang digunakan adalah perolehan minyak yang dinyatakan dalam persentase volum minyak/volum kerja. Tempuhan 1 dan tempuhan 2 menghasilkan persentase perolehan minyak yang sama untuk tiap variasi, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.13. %-yield (vol. minyak/vol.kerja 32.0% 30.0% 28.0% 26.0% 24.0% 22.0% 20.0% 500 600 700 800 900 1000 Volume kerja (ml) Gambar 4.13 Perolehan minyak untuk tiap variasi kadar oksigen tempuhan 1 dan 2 B.56.3.04 52

Gambar 4.13 menunjukkan bahwa semakin besar volume kerja, persentase perolehan minyak semakin kecil. Akan tetapi, perbedaan ini tidak terlalu signifikan untuk tiap variasi. Rentang persentase yield untuk semua variasi hanya berada pada nilai 27,78 % - 29 %. Hal ini menunjukkan bahwa tiap variasi cenderung menghasilkan minyak dengan persentase yang sama. Untuk menentukan variasi dengan kadar oksigen optimum, dilakukan percobaan dengan menggunakan volum kerja 100%-v. Pada percobaan ini, hampir tidak ada ruang kosong yang tersedia pada fermentor sehingga kondisi fermentasi menjadi anaerob. Hasil percobaan menunjukkan bahwa persentase perolehan minyak hanya 22,5%. Hal ini didukung dengan pernyataan Puertollano, et.al. (1970) bahwa pada saat labu Erlenmeyer diisi penuh dan ditutup dengan penutup karet, perusakan emulsi terjadi lebih lama. Pada keadaan ini, gas yang diproduksi oleh mikroorganisme memberikan tekanan yang besar pada penutup karet sehingga minyak tumpah dari wadah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa fermentasi yang terjadi pada rentang volum kerja 60-90%-v dan ditutup dengan penutup karet menghasilkan minyak dengan kecepatan yang sama dan persentase perolehan yang cenderung sama pula. Akan tetapi, fermentasi yang dilakukan pada kondisi anaerob menghasilkan minyak dengan perolehan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi sebaiknya dilakukan tidak pada kondisi aerob maupun anaerob, melainkan mikroaerofilik. Pemilihan rentang volum kerja (60% - 90%-v) yang digunakan tergantung dari jumlah minyak yang ingin diperoleh. 4.5. Analisis Kualitas Minyak Kelapa 4.5.1 Analisis Sifat Fisik Sifat fisik minyak kelapa yang dianalisis adalah berat jenis dan indeks bias. Pengukuran kedua sifat fisik ini dilakukan pada temperatur ruang. Berat jenis diukur dengan menggunakan piknometer. Pengukuran berat jenis bertujuan untuk mengetahui panjang rantai kimia yang terkandung dalam minyak kelapa. Semakin besar nilai berat jenis minyak kelapa, semakin panjang rantai kimia yang terkandung dalam minyak kelapa. B.56.3.04 53

Indeks bias diukur dengan menggunakan refraktometer. Pengukuran nilai indeks bias berguna untuk menguji kemurnian suatu lemak. Semakin besar nilai indeks bias, semakin rendah tingkat kejernihan produk. Indeks bias meningkat dengan makin panjangnya rantai karbon, derajat ketidakjenuhan, dan suhu yang semakin tinggi (Winarno, 2002). Standar nilai yang digunakan sebagai pembanding adalah Codex Standard 210-1999. Standar ini berlaku pada temperatur 40 o C. Oleh karena itu, perlu dilakukan konversi nilai densitas dan indeks bias yang didapat pada temperatur ruang menjadi nilai untuk temperatur 40 o C dengan persamaan menurut Sudarmadji (1989) yang terdapat pada Lampiran A.1. Hasil pengukuran berat jenis dan indeks bias minyak kelapa ditunjukkan pada Tabel 4.9 Tabel 4.9 Berat jenis dan indeks bias minyak kelapa Karakteristik Nilai Standar Sampel Densitas relatif (40 0 C/air 20 o C) 0,908-0,921 0,931 Indeks bias (40 0 C) 1,448-1,450 1,448 Densitas minyak hasil percobaan memiliki nilai sedikit lebih besar daripada nilai standar. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan kimia dalam sampel sebagian besar tersusun oleh senyawa kimia berantai sedang. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis komposisi asam-asam lemak sampel yang menunjukkan bahwa kandungan asam laurat dalam sampel minyak sebesar 49,18 %-b dan kandungan asam-asam lemak dengan rantai yang lebih panjang dari asam laurat sebesar 28,53 %-b. Selain itu, pemisahan minyak dari air dan blondo yang tidak sempurna memungkinkan masih adanya kandungan lain yang menambah massa minyak. Indeks bias minyak hasil percobaan memiliki nilai yang berada dalam rentang nilai standar. Hasil pengukuran indeks bias sampel menyatakan bahwa sampel minyak memiliki kemurnian yang sama dengan standar. 4.5.2 Analisis Sifat Kimia Sifat kimia minyak kelapa yang dianalisis yaitu angka asam, angka penyabunan, angka B.56.3.04 54

iodium, angka peroksida, dan kandungan asam lemak bebas (sebagai asam laurat) dalam minyak kelapa. Hasil analisis sifat kimia sampel minyak dan standar, dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Sifat kimia minyak kelapa Karakteristik Nilai Standar Sampel Angka asam (mg KOH/gr minyak) < 4 0,28 Angka penyabunan (mg KOH/gr minyak) 248-265 248,08 Angka iodium 6-10,6 7,86 Angka peroksida < 10 9,18 Asam lemak bebas (sebagai asam laurat) < 0,2 0,16 Standar yang digunakan sebagai pembanding adalah Codex Standard 210-1999. Hasil analisis sampel pada semua sifat fisik di atas berada dalam rentang nilai standar. Hal ini menunjukkan minyak hasil percobaan telah memenuhi standar yang ditetapkan. Menurut Sudarmadji (1989), angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisis minyak atau pengolahan yang kurang baik semakin besar. Makin tinggi asam lemak, makin rendah kualitasnya. Angka asam sampel berada pada nilai 0,28. Nilai ini berada jauh di bawah nilai standar. Hal ini menunjukkan bahwa sampel minyak berkualitas tinggi. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai asam lemak bebas (sebagai asam laurat). Angka penyabunan digunakan untuk mengukur berat molekul rata-rata seluruh asam lemak yang terdapat dalam minyak. Berat molekul minyak ditentukan oleh panjang rantai karbon asam-asam lemak dalam minyak. Semakin kecil angka penyabunan, berat molekul semakin kecil, yang berarti panjang rantai karbon asam-asam lemak dalam minyak semakin pendek. Hal ini sesuai dengan kandungan asam lemak tertinggi dalam minyak kelapa yang merupakan asam lemak rantai menengah. Angka penyabunan sampel berada pada batas bawah nilai standar. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam-asam lemak dalam sampel minyak didominasi oleh asam lemak rantai menengah. Hal ini didukung oleh hasil analisa komposisi asam-asam lemak rantai pendek dan menengah yang mencapai 93,7 %-b. B.56.3.04 55

Angka iodium adalah ukuran empirik banyaknya ikatan rangkap di dalam asam-asam lemak penyusun minyak kelapa. Semakin tinggi angka iodium, ikatan rangkap dalam asam-asam lemak semakin banyak, yang berarti kandungan asam-asam lemak tak jenuh semakin tinggi. Sampel minyak memiliki angka iodium yang kecil yaitu 7,86. Hal ini dibuktikan dengan tidak terdeteksinya kandungan asam lemak jenuh yaitu asam oleat dan linoleat pada sampel. Angka peroksida digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dengan mengukur senyawa hasil oksidasi, dalam hal ini peroksida. Kerusakan minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis, baik enzimatik maupun nonenzimatik. Di antara kerusakan minyak yang mungkin terjadi, ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa (Sudarmadji, 1989). Angka peroksida sampel minyak cukup tinggi (mendekati batas maksimum standar) yaitu 9,18. Hal ini mungkin disebabkan penyimpanan minyak di ruang terbuka dan terkena sinar, walaupun tidak secara langsung, yang mungkin menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Lama penyimpanan diperkirakan selama 2-3 minggu sebelum pengujian sampel. Selain itu, sebelum disimpan minyak tidak dipasteurisasi terlebih dahulu. Menurut Puertollano,et.al. (1970), pasteurisasi dapat membunuh mikrooganisme kontaminan dan mempertahankan kestabilan terhadap oksidasi ketika disimpan. 4.5.3 Analisis Komposisi Asam-asam Lemak Komposisi asam-asam lemak dalam sampel dianalisis menggunakan alat GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry). Sebelum diinjeksikan ke dalam kolom, sampel minyak lebih dulu dimetilasi. Tujuan proses metilasi adalah untuk membuat minyak lebih mudah menguap sehingga dapat dideteksi dengan GCMS. Minyak yang akan diuji diinjeksikan sebanyak 1 μl. Di dalam kolom, masing-masing komponen penyusun minyak memiliki karakteristik sendiri yang sudah tersimpan dalam GCMS. Komposisi asam laurat dalam minyak dinyatakan oleh komposisi metil laurat dalam hasil perhitungan GCMS. B.56.3.04 56

Selain dengan menyuntikkan sampel yang dimetilasi dengan GCMS, terdapat cara lain untuk mengetahui komposisi asam laurat pada minyak kelapa. Caranya adalah dengan memasukkan hanya standar metil laurat ke dalam GCMS dan kemudian menyuntikkan sampel. Pada proses ini yang terbaca hanya kandungan metil laurat pada minyak kelapa. Dari hasil perhitungan penentuan kadar asam laurat dari minyak kelapa dengan menggunakan standar murni, diperoleh kadar asam laurat sebenarnya adalah 49,48 %-b minyak. Kadar asam laurat dalam sampel sudah memenuhi nilai standar (Codex Standard 210-1999) yaitu sebesar 45,1-53,2 %-b. Hal ini menunjukkan bahwa minyak kelapa yang diperoleh dengan cara fermentasi menggunakan S. cerevisiae berkualitas baik. Semakin tinggi kadar asam laurat, kualitas minyak yang dihasilkan semakin baik. Perbandingan komposisi asam-asam lemak dalam sampel dan minyak kelapa yang dijual di pasaran oleh CV Bintang Kelapa dengan nama Cocosbran Virgin Coconut Oil (Cocosbran VCO) dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11. Perbandingan komposisi asam-asam lemak minyak kelapa Asam lemak Komposisi (%) Codex Stan. Sampel Cocosbran VCO Asam lemak jenuh Asam kaproat 0,05-0,7 Tidak Teridentifikasi - Asam kaprilat 4,6-10 9,41 7,2 Asam kaprat 5,0-8,0 8,61 6,5 Asam laurat 45,1-53,2 49,18 50,3 Asam miristat 16,8-21 17,12 18,3 Asam palmitat 7,5-10,2 7,35 8,4 Asam stearat 2,0-4,0 4,06 3 Asam lemak tak jenuh Asam oleat 5,0 10,0 Tidak Teridentifikasi 5,3 Asam linoleat 1,0 2,5 Tidak Teridentifikasi 1 Dari Tabel 4.11, diketahui bahwa kandungan asam laurat pada sampel minyak kelapa adalah sebanyak 49,18 %-b minyak. Persentase ini masih berada pada rentang nilai standar yaitu 45,1 % 53,2 %-b minyak. Berdasarkan perbandingan minyak kelapa dari penelitian, standar, dan Cocosbran VCO dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa hasil B.56.3.04 57

percobaan memenuhi standar, terutama dalam hal kandungan asam laurat. Namun, kandungan asam laurat pada minyak ini masih lebih rendah dibandingkan dengan produk Cocosbran VCO. Hal ini disebabkan proses pembuatan Cocosbran VCO dilakukan dalam skala menengah dan secara mekanik sehingga produk yang dihasilkan lebih seragam. Produksi minyak kelapa dengan fermentasi menghasilkan ketidakseragaman produk. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan umur dan ketuaan kelapa. Proses ini juga membutuhkan waktu yang relatif lebih lama sehingga cocok diaplikasikan pada industri skala kecil. B.56.3.04 58