BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN EMPATI NASKAH PUBLIKASI. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan. Bahkan hubungan seksual yang sewajarnya dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN KOMUNIKASI KELOMPOK DENGAN RESOLUSI KONFLIK PADA SISWA SLTA S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dimana usianya berkisar antara tahun. Pada masa ini individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa dewasa awal adalah suatu masa dimana individu telah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan. ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm dan stres, sehingga remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun (Santrock, 2005). WHO (dalam Sarwono 2013) juga menetapkan batas

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. norma-norma yang berlaku di masyarakat (Shochib, 2010). keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak dapat

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Lestari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau kemapuan untuk merasakan (kondisi emosi), dan perilaku merupakan tindakan yang tampak. Kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku membentuk sikap individu (Azwar, 2011). Keseimbangan hubungan tersebut akan mendorong munculnya kepribadian yang sehat. Ketidakseimbangan interaksi antar ketiga kemampuan manusia tersebut mendorong perilaku menyimpang diantaranya adalah perkelahian dan kekerasan (Drost, 2006). Menurut Drost (2006), alasan pokok timbulnya perkelahian dan kekerasan antarsiswa adalah bahwa mereka tidak dididik memahami dan merasakan pandangan dan perasaan orang lain, dan juga tidak pernah dilatih untuk mengendalikan diri dan hubungan dengan dunia luar bersifat egosentris. Untuk mencegah hal buruk terjadi perlu adanya rasa empati. Pembentukan empati ini hanya bisa dicapai lewat pendidikan dalam keluarga dan di sekolah. Berita-berita tentang kekerasan bahkan pembunuhan sadis akhir-akhir ini marak kembali, pelakunya pun diketahui orang-orang dekat korban. Motif kekerasan ataupun pembunuhan disebabkan oleh dendam, rasa sakit hati, dan juga 1

2 salah satu cara untuk melenyapkan siapapun atau apapun yang dianggap menjadi sumber masalahnya bagi pelaku. Ketidakmampuan seseorang untuk menyadari segala aspek yang ada dalam dirinya bahkan mendorong munculnya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang pada remaja dewasa ini semakin lama semakin luas ruang lingkupnya. Kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan sepanjang tahun 2013 lebih dari 70 kasus pembunuhan saja. Sejumlah kasus pembunuhan sadis mewarnai tindak kriminalitas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Tercatat 74 orang dibunuh dengan beragam modus dan motif pada 2013. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 72 orang (Saputra, 2014). Di awal tahun 2014, kasus kekerasan dan pembunuhan sadis kembali terjadi, hal tersebut terjadi dipicu rasa cemburu dan sakit hati oleh pelaku. Data yang diperoleh dari DetikNews.com (Amelia, 2014), akhir Januari 2014 lalu terdapat 5 kasus pembunuhan yang terjadi di sekitar Jakarta dan pelakunya adalah orang terdekat korban. Sampai akhir bulan April 2014 terhitung lebih dari 15 kasus kekerasan maupun pembunuhan sadis terus terjadi di Indonesia dan kasuskasus tersebut terjadi karena dipicu oleh dendam dan rasa sakit hati kepada korban (Ilham, 2014). Pada pertengahan bulan Mei 2014 ini, terjadi pembunuhan di kabupaten Wonogiri. Kasus pembunuhan yang menimpa dua pelajar perempuan tingkat SMA di kecamatan Jatisrono ini ditemukan tewas di perbatasan Wonogir-Pacitan. Pelaku pembunuhan tidak lain adalah salah satu kekasih korban. Salah satu korban yang juga kekasih pelaku diduga tengah hamil, dan itu yang juga menjadi

3 pemicu pelaku membunuh kekasihnya karena ingin lari dari tanggung jawab (Trianto, 2014). Peneliti juga melakukan interview pada tanggal 16-17 Mei 2014 kepada siswa dan penjaga kantin untuk masing-masing sekolah di beberapa sekolah menengah atas di daerah Wonogiri bagian timur. Salah seorang siswi kelas XI memberikan penjelasan bahwa dalam berteman mereka tidak berbaur dengan semuanya, hanya dengan dengan beberapa orang yang dianggapnya dekat misal sebangku atau sekitar tempat duduk saja. Walaupun mengenal dengan teman lain, tetapi tidak selalu bersama hanya saling menyapa. Jika ada salah seorang teman tidak menyukai orang lain, maka teman yang lain juga menjadi tidak suka dengan orang itu, dan selalu menyindir ketika bertemu dengan orang tersebut. Bahkan mereka memiliki julukan atau penggilan yang buruk untuk orang yang tidak disukainya. Berdasarkan keterangan dari 1 SMA dan 2 SMK sekolah menengah atas atau kejuruan menyatakan setiap tahun pasti ada siswa yang melakukan pelanggaran seperti pemerasan terhadap siswa lain. Pengakuan dari seorang pemilik kantin di sekolah juga menyatakan bahwa siswa tahun ajaran baru yang menjadi korban pemerasan oleh kakak tingkatnya. Pemilikik kantin memberikan keterangan bahwa beberapa minggu lalu, seorang siswa kelas X menjadi korban kekerasan (ditendang) oleh kakak tingkatnya karena tidak mau membelikan rokok di salah satu SMK. Seorang siswa perempuan memberikan keterangan bahwa salah seorang temannya menjadi korban pencemaran nama baik dengan

4 digosipkan hamil oleh kakak tingkat yang merupakan mantan dari pacar temannya tersebut. Menurut Kasandra (dalam Saleh, 2014) cara-cara kekerasan dianggap menjadi trend yang biasa, dan dianggap cara terbaik dan termudah demi terselesaikannya masalah pelaku. Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan fisik misalnya memukul, menendang dan anak perempuan banyak menggunakan relasional atau emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan kekerasan verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan. Ada tiga pokok yang paling bersalah dalam kekerasan yang dilakukan oleh pelaku pada orang lain, yaitu keluarga, media, dan pemerintah. Fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa menipisnya empati di kalangan remaja akan membawa dampak negatif dalam perkembangannya. Empati adalah radar sosial yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (Goleman, 2000). Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain. Dalam menumbuhkan rasa empati tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi, antara lain pola asuh orang tua, keluarga, usia, dan jenis kelamin. Menurut Piaget

5 dan Kohlberg (dalam Gunarsa, 2008) empati adalah kemampuan seseorang untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Tidak adanya rasa empati menimbulkan orang nekat bertindak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengabaikan kebutuhan orang lain. Menurut Le Doux (dalam Setyastuti, 2001), tindakan nekat yaitu tindakan yang dilakukan tanpa didahului oleh pertimbangan yang cukup rasional dan dapat terjadi apabila seseorang membiarkan emosinya mendorong lahirnya suatu tindakan tanpa memberi kesempatan kepada inteleknya untuk melakukan intervensi. Goleman (2000) kemampuan mengindra perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang jarang mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata; sebaliknya mereka memberitahu lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara-cara nonverbal lain. Menurut Semiun (2006), keluarga sebagai lingkungan dimana seseorang tumbuh dan berkembang memiliki peranan yang sangat penting bagi penyesuaian diri seseorang. Keluarga merupakan wadah untuk membentuk karakteristik dan penyesuaian diri seseorang, oleh karena itu pola asuh orang tua juga sangat berperan penting didalamnya. Pola asuh yang lebih menunjukkan kasih sayang kepada anak, secara langsung melatih anak untuk peka terhadap perasaan orang lain. Shapiro (1997), empati tumbuh melalui cara membesarkan anak dengan kepedulian dan kasih sayang. Menurut Gunarsa (2008), dalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak dan

6 tidak lepas dari pola pengasuhan orang tua. Proses-proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa yang dialami dan diterima selama masa kanak-kanaknya secara sedikit demi sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, sesuai pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak. Kehidupan para remaja, terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi empati seseorang, seperti pola asuh, jenis kelamin, keluarga, ekonomi, budaya, sosial-politik, atau pendidikan. Namun faktor yang paling berpengaruh untuk meningkatkan empati adalah pola asuh orang tua. Mula-mula anak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarganya mengikuti pola asuh yang diterapkan keluarganya (Surbakti, 2009). Casmini (dalam Septiari, 2012) berpendapat bahwa pola asuh orang tua merupakan bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Para orang tua tidak boleh menghukum dan mengucilkan anak, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Orang tua juga perlu untuk melakukan penyesuaian perilaku mereka terhadap anak, dan didasarkan atas kedewasaan perkembangan anak karena setiap anak memiliki kebutuhan dan mempunyai kemampuan yang berbeda. Senjaya (2011), secara garis besar ada tiga macam pola asuh orang tua untuk mendidik anak yaitu pola asuh otoriter dimana

7 orangtualah yang menentukan semuanya. Pola asuh permisif yaitu orang tua cenderung membiarkan anak berkembang dengan sendirinya, sedangkan pola asuh demokratis yaitu dalam mendidik anak orang tua menggunakan penjelasan mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan. Dari model-model pengasuhan di atas, pola asuh demokratis adalah pola pengasuhan yang paling tepat digunakan oleh orang tua untuk mengasuh dan mendidik anaknya, karena pola asuh ini menempatkan anak dan orang tua sejajar. Tidak ada hak anak yang dilanggar juga hak orangtua yang dilanggar, kewajiban anak dan orangtua sama-sama dituntut dalam pola asuh demokratis ini. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, koperatif terhadap orang-orang lain, serta berpartisipasi aktif dalam tugas keluarga dan juga kegiatan bersenangsenang dalam keluarga (Baumrind dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Septiari (2012) juga menjelaskan pola asuh yang paling tepat diberikan kepada anak adalah pola asuh demokratis. Dengan penerapan pola asuh demokratis orang tua tidak secara sepihak memutuskan berdasarkan keinginannya sendiri. Sebaliknya orang tua juga tidak begitu saja menyerah pada keinginan anak. Ada negosiasi antara orang tua dan anak mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak, agar anak bisa mengontrol dirinya sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama. Berbagai penelitian tentang empati memang telah banyak dilakukan dan semakin berkembang. Penelitian yang dilakukan sebelumnya, telah menggunakan

8 subjek remaja pada siswa SMP dan lebih fokus dalam membandingkan dari berbagai SMP yang telah ditentukan. Menurut pengetahuan peneliti, dalam menghubungkan pola asuh demokratis dengan empati belum dilakukan pada siswa SMA. Maka dari itu, peneliti berusaha meneliti hubungan antara pola asuh demokratis dengan empati pada siswa SMA kelas XI. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian yaitu, adakah hubungan antara pola asuh demokratis dengan empati pada siswa SMA? Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dengan Empati. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan empati. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah kajian tentang pola asuh demokratis dengan empati yang penting bagi dunia pendidikan, juga memberikan manfaat teoritis untuk psikologi pendidikan, kepribadian, sosial, dan perkembangan.

9 2. Manfaat Praktis a) Bagi Sekolah Penelitian ini diharapkan agar sekolah lebih memperhatikan pembelajaran pendidikan karakter dan budi pekerti pada anak-anak dan juga diharapkan berguna bagi para pendidik akan memberikan alternatif cara untuk meningkatkan kemampuan empati pada anak didiknya. b) Bagi Orang Tua Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada orang tua untuk mendidik, memilih dan menerapkan pola asuh demokratis bagi anaknya sehingga nantinya akan menjadi anak yang selalu lebih baik lagi dan berempati terhadap lingkungannya. c) Bagi Siswa Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi siswa dalam upaya untuk meningkatkan empati siswa terhadap lingkungannya.