HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Performa Ayam Petelur Strain ISA-Brown Umur Minggu

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien Bungkil Biji Jarak Pagar Fermentasi

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5.

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Sumber : Dokumentasi Penelitian (2010)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

I. PENDAHULUAN. yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat makanan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan tempat asal dari itik ini. Itik Tegal memiliki kelebihan dibanding

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ayam Kampung Super dan Produktivitasnya. Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014), populasi ayam kampung di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam tipe petelur yang jantan dikenal dengan sebutan ayam jantan tipe medium,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan menggunakan bahan pakan sumber kalsium (ISA, 2009). kerabang maka kalsium dapat diserap sampai 72% (Oderkirk, 2001).

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna, 2006). Karakteristik ayam broiler yang baik adalah ayam aktif, lincah,

PENDAHULUAN. telurnya karena produksi telur burung puyuh dapat mencapai

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara khusus untuk diambil

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sumber :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Onggok Terfermentasi Bacillus mycoides terhadap

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan waktu, pertambahan jumlah penduduk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peubah* Konsumsi Ekstrak Daun Konsumsi Saponin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masuk tetua tersebut ke wilayah Indonesia (Prasetyo et al., 2006). Itik ini berasal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler tidak dibedakan jenis kelamin jantan atau betina, umumnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Ayam Broiler Awal Penelitian

Performa Ayam Broiler dengan Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum

Pengaruh Penggunaan...Trisno Marojahan Aruan

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena

TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat saat ini mengenal tiga tipe ayam yaitu ayam tipe ringan, tipe medium

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

I. PENDAHULUAN. dan diusahakan sebagai usaha sampingan maupun usaha peternakan. Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Hidup dan Karkas

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak

Tabel 8. Pengaruh Tepung Kulit Pisang Uli terhadap Serat Kasar, Lemak Kasar, dan Beta-Karoten Ransum Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes,familyPhasianidae dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kisaran rataan temperatur kandang hasil pengukuran di lokasi selama penelitian adalah pada pagi hari 26 C, siang hari 32 C, dan sore hari 30 C dengan rataan kelembaban relatif (RH) sebesar 84,70%. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat dikatakan bahwa suhu kandang selama penelitian tidak optimum untuk pemeliharaan ayam petelur karena berdasarkan Leeson dan Summers (2001), kisaran suhu kandang yang optimum untuk ayam petelur yaitu berkisar antara 22 ºC sampai 27ºC. Keadaan ini dapat mempengaruhi performa dari ayam petelur salah satunya terhadap konsumsi ransum dari ayam petelur. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa jika faktor managemen sudah dikontrol dengan baik, maka konsumsi ransum dipengaruhi oleh bangsa ayam, temperatur lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan kandungan energi ransum. Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur Pengaruh pemberian 7,5% bungkil biji jarak pagar fermentasi pada ransum terhadap performa ayam petelur strain ISA-Brown (konsumsi ransum, produksi telur, bobot telur, konversi dan mortalitas) umur 18-24 minggu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Performa Ayam Petelur Strain ISA-Brown Umur 18-24 Minggu Peubah Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Produksi telur hen day (%) Produksi massa telur (g/ekor) Berat telur (g/butir) Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 79,15 ± 1,59 72,90 ± 0,96 71,57 ±,92 71,20 ± 4,97 70,35 ± 2,82 19,44 ± 8,69 1,17 ± 0,83 6,26 ± 2,77 8,47 ± 6,56 4,47 ± 4,83 467,41 ±29,95 25,69 ± 2,73 108,49 ± 8,86 191,62 ±20,95 100,32 ±15,73 48,18 ± 1,35 42,89 ± 3,77 47,29 ± 1,87 44,54 ± 3,48 44,97 ± 1,47 Konversi pakan (g/g) 12,46 ± 7,64 90,52 ± 28,94 19,35 ± 4,24 25,96 ± 13,10 59,85 ± 30,91 Umur pertama bertelur (minggu) 19 21 20 18 19 Keterangan : R0= ransum tanpa BBJ fermentasi, R1= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi, R2= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton, R3 = ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g fitase/ ton, dan R4= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton + 200 g fitase/ ton. 22

Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum ayam petelur umur 18-24 minggu yang diberi 7,5% bungkil biji jarak pagar (BBJP) fermentasi secara umum lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Tabel 8). Perlakuan R4 memiliki rataan konsumsi ransum yang paling rendah diantara perlakuan yang menggunakan 7,5% BBJP fermentasi lainnya. Konsumsi ransum yang lebih rendah diduga karena masih adanya racun dan antinutrisi yang terkandung dalam bungkil biji jarak pagar yang berupa curcin dan phorbolester. Kandungan curcin pada BBJP yang difermentasi Rhizopus oligosporus adalah sebesar 0,0675% (Farhanudin, 2009). Kandungan phorbolester pada BBJP yang digunakan pada penelitian adalah 0,015 mg/g BBJP. Senyawa yang berbahaya tersebut menyebabkan respon berupa mekanisme pertahanan diri dari tubuh sehingga terjadinya penurunan konsumsi ransum (Makkar dan Becker, 1997b). Selain itu penurunan konsumsi ransum disebabkan oleh serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol (Amrullah, 2003). Bau dan rasa bungkil biji jarak pagar juga dapat menurunkan palatabilitas ransum (Aregheore et al., 2003). Konsumsi ransum ayam petelur umur 18-24 minggu disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Grafik Konsumsi Ransum Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Gambar 4 menunjukkan konsumsi ransum dari setiap perlakuan dari mulai ayam berumur 18 sampai 24 minggu secara umum mengalami peningkatan. Sesuai dengan Amrullah (2004) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum meningkat sangat cepat pada ayam yang memproduksi telur pertama dan akan terus meningkat, namun laju peningkatannya lebih rendah dibandingkan empat hari pertama bertelur. 23

Produksi Telur Hen Day Produksi telur harian (HD) ayam petelur strain ISA-Brown selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum, pemberian 7,5% BBJP fermentasi pada ayam petelur umur 18-24 minggu dapat menurunkan produksi telur harian (HD) yang berarti bahwa produksi telur harian pada ayam yang diberi 7,5% BBJP fermentasi lebih rendah daripada ayam yang diberi ransum kontrol. Produksi telur harian yang lebih rendah dari kontrol diduga oleh adanya racun berupa phorbolester yang terkandung dalam BBJP. Kandungan phorbolester BBJP yang digunakan pada penelitian adalah 0,015 mg/g BBJP atau 0,0011 mg/g ransum. Hasil penelitian Sumiati et al. (2009) menunjukkan bahwa ayam kampung masih dapat mentolerir ransum yang mengandung BBJP fermentasi Rhizopus oligosporus sebanyak 5% dengan kandungan phorbolester sebesar 0,00075 mg/g ransum. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh yang nyata antara perlakuan terhadap performa ayam kampung dan tidak terjadi kematian selama penelitian tersebut berlangsung. Namun, pemberian 7,5% BBJP fermentasi pada ayam petelur pada penelitian ini dapat menurunkan produksi telur dan mengakibatkan kematian, sehingga diduga bahwa ayam petelur lebih sensitif terhadap phorbolester dan curcin dibandingkan dengan ayam kampung. Goel et al. (2007) menyatakan bahwa phorbolester pada konsentrasi yang rendah sekalipun secara biologis akan memberikan pengaruh yang sangat luar biasa. Phorbolester berpengaruh terhadap aktivitas beberapa enzim, biosintesis protein, DNA, poliamin, proses diferensiasi sel, dan ekspresi gen. Produksi telur harian yang lebih rendah dari kontrol juga disebabkan oleh adanya curcin. Curcin dapat berfungsi sebagai pengikat dari glycoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukan sel. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. N-glycosidase merupakan enzim glycosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, antibakteri, dan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Selain itu curcin bersifat inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). Pada ayam yang diberi perlakuan R3 memiliki produksi telur harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur harian pada ayam yang diberi 24

perlakuan R1, R2, dan R4. Hal tersebut diduga karena adanya suplementasi enzim fitase. Hasil penelitian Lim et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg pada ransum ayam petelur ISA-brown umur 21-41 minggu mampu memperbaiki produksi telur, menurunkan produksi telur yang pecah dan lembek serta menurunkan ekskresi mineral P. Produksi telur harian ayam petelur umur 18-24 mingggu disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Grafik Produksi Telur Hen Day Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Secara umum produksi telur harian pada ayam penelitian semakin meningkat setiap minggunya. Pada ayam diberi perlakuan kontrol grafik produksinya ada diatas perlakuan lainnya yang menggunakan BBJP fermentasi hal ini terjadi karena masih adanya phorbolester dan curcin dalam ransum, selain itu juga karena konsumsi yang lebih rendah dari kontrol. Konsumsi yang lebih rendah menyebabkan menurunnya konsumsi energi, protein dan mineral yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan telur. Penurunan konsumsi protein dapat menurunkan penyerapan kalsium, dimana kalsium tersebut berpengaruh terhadap proses pembentukan kalsium karbonat pada kerabang telur. Piliang dan Djojosoebagjo (2006), menyatakan bahwa ternak yang mengkonsumsi protein dalam konsentrasi yang cukup tinggi akan mempermudah penyerapan kalsium. Rataan konsumsi energi dan protein pada ayam penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. 25

Tabel 9. Rataan Konsumsi Energi dan Protein Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Per Ekor Per Hari Perlakuan Rataan Konsumsi Konsumsi Energi Konsumsi Protein Ransum (g/ekor/hari) Metabolis (kkal/ekor/hari) 1 (g/ekor/hari) 2 R0 79,15 229,72 15,20 R1 72,90 211,75 13,92 R2 71,56 207,86 13,66 R3 71,20 206,80 13,59 R4 70,35 204,33 13,43 1 Dihitung dari konsumsi ransum x kandungan energi ransum 2 Dihitung dari konsumsi ransum x kandungan protein ransum Konsumsi energi metabolis pada penilitian ini berkisar antara 204,33-229,72 kkal/ekor/hari dan konsumsi protein berkisar antara 13,43-15,20 g/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein tersebut lebih rendah dari yang direkomendasikan oleh Leeson dan Summers (2005), bahwa kebutuhan protein untuk ayam umur 18-32 minggu adalah 20 g/ekor/hari dan kebutuhan energi metabolis (EM) sebesar 260 kkal/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein pada ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi dari R1, R2, R3, dan R4. Hal tersebut menyebabkan produksi hen day dari ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi dari produksi hen day R1, R2, dan R4. Konsumsi energi metabolis dan protein terkecil yaitu pada ayam yang diberi ransum R4, akan tetapi produksi hen day dari R4 masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi hen day pada R1. Kondisi tersebut diduga karena adanya suplementasi enzim selulase dan fitase pada ransum R4. Adanya enzim selulase pada ransum akan membantu pemecahan selulosa menjadi glukosa (Kim, 1995), sehingga ikatan selulosa yang merupakan komponen dari serat kasar dapat dipecahkan. Produksi Massa Telur Produksi massa telur ayam yang diberi ransum kontrol memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan R1, R2, R3, dan R4 (Tabel 8.). Hal tersebut karena adanya kandungan racun pada ransum perlakuan R1, R2, R3, dan R4 yang berupa curcin dan phorbolester yang dapat menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk pembentukan telur. Pada ayam yang diberi perlakuan R3 memiliki produksi massa telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi massa telur pada ayam yang diberi 26

perlakuan R1, R2, dan R4. Hal tersebut diduga karena adanya suplementasi enzim fitase yang dapat menghidrolisis asam fitat sehingga fosfor menjadi lebih tersedia untuk ternak dalam memenuhi kebutuhannya terutama untuk produksi telur. Hasil penelitian Lim et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg ransum dalam ransum petelur ISA-Brown umur 21-30 minggu nyata (p<0,05) meningkatkan ketersediaan mineral fosfor (dari 33,5% menjadi 44,1%). Baruah et al. (2004) menyatakan asam fitat dapat mengikat mineral fosfor dan mineral lainya yang bervalensi 2 seperti K, Mg, Ca, Zn, Fe, dan Cu. Selain itu asam fitat juga dapat membentuk komplek dengan protein dan asam amino sehingga dapat mengurangi kecernaan protein. Protein dan asam amino dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi telur. Penelitian Sumiati (2005) melaporkan bahwa secara statistik produksi massa telur harian tidak nyata dipengaruhi oleh suplementasi enzim fitase maupun mineral ZnO, akan tetapi produksi massa telur harian tertinggi (36,56 g/ekor/hari) diperoleh pada ayam yang diberi ransum dengan suplementasi 252 mg ZnO/kg dan 300 U fitase/kg ransum. Produksi massa telur pada ayam petelur umur 18-24 minggu disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Grafik Produksi Massa Telur Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Gambar 6. menunjukkan bahwa produksi massa telur pada ayam yang diberi perlakuan kontrol mengalami peningkatan disetiap minggu, sedangkan pada perlakuan lainnya mengalami fluktuatif. Pada ayam yang diberi perlakuan R1, R2, dan R3 mengalami penurunan pada minggu ke-19 dan ayam yang diberi perlakuan R4 mengalami penurunan produksi massa telur pada minggu ke-20. Produksi massa 27

telur yang semakin meningkat terjadi pada perlakuan kontrol (R0). Grafik R1, R2, R3, dan R4 berada dibawah grafik R0 yang berarti bahwa produksi massa telur R1, R2, R3, dan R4 setiap minggu selalu lebih rendah dari produksi massa telur R0. Produksi yang lebih rendah tersebut disebakan oleh konsumsi ransum yang lebih rendah dari konsumsi ransum R0 dan masih adanya kandungan racun pada ransum R1, R2, R3 dan R4. Dapat dilihat juga pada gambar 6. bahwa ayam yang diberi perlakuan enzim selulase dan fitase (R2 dan R3) berada diatas grafik produksi telur pada ayam yang diberi ransum tanpa penambahan enzim (R1), namun pemberian enzim fitase terlihat lebih baik dibandingkan pemberian enzim selulase. Hal ini terjadi karena enzim fitase bekerja di organ tembolok dan proventrikulus dengan ph 3-4. Enzim fitase ini mempunyai kisaran suhu untuk melakukan aktivitasnya yaitu dari suhu 37 C sampai 55 C dan diatas suhu 55 C enzim fitase ini tidak aktif (Wyss et al., 1998), sehingga pada saat masuk usus, fosfor dan mineral lainnya yang terikat oleh asam fitat sudah dapat digunakan oleh ternak. Sedangkan enzim selulase kemungkinan bekerja pada daerah sekum sehingga manfaatnya kurang terasa karena sebagian besar penyerapan zat makanan terjadi di usus. Berat Telur Berat telur rata-rata pada ayam yang diberi 7,5% BBJP fermentasi diberi perlakuan kontrol secara umum lebih rendah dibandingkan yang diberi perlakuan kontrol. Hal tersebut karena masih adanya curcin atau phorbolester dalam bungkil jarak BBJP yang kemungkinan menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan sehingga menekan konsumsi pakan. Selain itu, phorbolester dan curcin berpengaruh terhadap penyerapan nutrisi dalam saluran pencernaan (Becker dan Makkar, 1998). Adanya kombinasi racun phorbolester dan curcin yang terakumulasi pada organ tubuh menyebabkan kemampuan ayam untuk memanfaatkan zat nutrisi untuk produksi telur rendah. Amrullah (2004) menyatakan bahwa protein yang akan digunakan pada proses pembentukan telur sebesar 55%-60% dari protein yang dikonsumsi. Berat telur pada ayam yang diberi ransum R1 paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut karena adanya phorbolester dan curcin yang terkandung dalam BBJP yang digunakan serta tidak adanya suplementasi enzim 28

selulase maupun fitase. Enzim tersebut berfungsi untuk membantu menghidrolisis selulosa dan asam fitat yang terkandung dalam ransum. Tidak adanya enzim tersebut menyebabkan ketersediaan zat makanan rendah untuk pembentukan telur. Kornegay (2001) menyatakan bahwa fitat dapat terikat dengan protein atau asam amino pada ph rendah dan ph netral, dimana komplek fitat-protein ini akan menurunkan kegunaan dari protein dan asam amino. Hartini dan Choct (2010), melaporkan bahwa polisakarida selain pati (seperti selulosa) menyebakan efek yang besar terhadap laju aliran digesta, performa dan saluran pencernaan ayam petelur. Dengan adanya suplementasi enzim fitase dan selulase tersebut, pengaruh negatif yang disebabkan oleh selulosa dan asam fitat dapat diatasi. Pada penelitian ini berat telur yang dihasilkan berkisar 42,89-48,18 g/butir. Berat telur terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur ternak. Amrullah (2004) menjelaskan bahwa pada dua bulan pertama masa prosuksi, tidak hanya persentase telur yang meningkat, bobot badan dan bobot telur juga akan meningkat atau bertambah. Berat telur ayam penelitian pada umur 18-24 minggu disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Grafik Rataan Berat Telur Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Berat telur pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 mengalami peningkatan disetiap minggu. Dilihat dari grafik diatas, ayam yang diberi ransum R1 memiliki rataan berat telur yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rataan berat telur yang lebih rendah mungkin karena pada R1 tidak ada penambahan enzim 29

selulase maupun fitase sehingga mineral maupun protein yang terikat oleh asam fitat dan serat kasar yang berupa selulosa tidak dapat dicerna secara maksimal oleh ayam. Konversi Pakan Konversi ransum pada ayam yang diberi 7,5% BBJP fermentasi lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol. Nilai konversi yang tinggi disebabkan oleh rendahnya efisiensi pakan. Ayam yang memiliki konversi ransum paling tinggi diantara perlakuan yang diberi 7,5% BBJP fermentasi adalah ayam yang diberi perlakuan R1. Konversi yang tinggi terjadi karena pada perlakuan R1 memilki produksi hen day dan produksi telur massa paling rendah diantara ayam yang diberi perlakuan 7,5% BBJP fermentasi lainnya. Semakin rendah konversi ransum, maka efisien ternak tersebut dalam mengubah ransum untuk mengasilkan produksi semakin tinggi. Konversi ransum yang tinggi juga dapat terjadi karena kandungan phorbolester dan curcin yang terdapat dalam bungkil biji jarak yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum dan rendahnya produksi telur. Konversi ransum ayam petelur selama penelitian dapat dilihat pada Tabel. 8. Gambar 8. Grafik Konversi Ransum Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Konversi ransum pada perlakuan R1 dan R4 mengalami fluktuatif. Hal ini terjadi karena produksi telur massa yang cenderung fluktuatif pada perlakuan tersebut. Pada perlakuan R0, R2 dan R3 konversi ransum cenderung menurun pada setiap minggu. Konversi ransum ini sangat jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Siregar (2003), bahwa konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam 30

petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan protein kasar 15% dan 18%, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Penelitian Lim et al. (2003) melaporkan bahwa konversi ransum yang dihasilkan oleh ayam petelur starin ISA-brown umur 21-30 minggu yang diberi ransum yang mengandung fosfor tersedia 0,25% adalah 2,63, dengan adanya suplementasi enzim 300 U fitase /kg ransum turun menjadi 2,56. Hasil penelitian Sumiati (2005) menunjukkan bahwa ayam petelur strain ISA-Brown yang diberi ransum dengan suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum dan suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 15 memiliki konversi ransum sebesar 2,66. Berdasarkan Isapoultry (2005), konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 2,13. Perbedaan nilai konversi pada penelitian ini dengan nilai konversi penelitian Sumiati (2005), Siregar (2003) dan Lim et al. (2003) disebabkan oleh banyak faktor yaitu ternak, ransum dan lingkungan yang berbeda. Menurut Anggorodi (1995), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur lingkungan, daya cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi ransum. Umur Pertama Bertelur Ayam yang diberi 7,5% BBJP fermentasi lebih lambat bertelur dibandingkan ayam yang diberi perlakuan R0, kecuali pada perlakuan R3 (Tabel 7). Ayam yang diberi perlakuan R0 mulai bertelur pada umur 19 minggu, sedangkan pada perlakuan R3 ayam mulai bertelur pada umur 18 minggu. Hal ini mungkin terjadi karena adanya suplementasi enzim fitase pada ransum perlakuan R3. Lim et al. (2003), melaporkan bahwa suplementasi enzim fitase ke dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, lemak kasar, P, Zn, Mg, dan Cu, serta dapat meningkatkan retensi nitrogen, mineral Ca, P, Mg, dan Zn yang dibutuhkan untuk pembentukan telur. Walaupun ayam yang diberi perlakuan R3 lebih awal bertelur dibandingkan dengan perlakuan R0, namun R3 memiliki berat telur yang lebih kecil dari R0. Amrullah (2004), menyatakan bahwa ayam yang bertelur pada umur dini (lebih awal) akan menghasilkan berat telur yang rendah. Ayam yang diberi perlakuan R1 mulai bertelur pada umur 21 minggu, perlakuan R2 pada umur 20 minggu dan pada perlakuan R4 pada umur 19 minggu. 31

Ayam perlakuan R1, R2 dan R4 lebih lambat bertelur diduga karena adanya racun dan antinutrisi pada BBJP yang berupa phorbolester dan curcin. Mortalitas Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan adalah jumlah ayam yang mati selama penelitian (mortalitas). Kematian ayam yang diberi BBJP fermentasi mulai terjadi pada minggu ke 4 pemeliharaan (ayam umur 21 minggu). Menurut hasil pemeriksaan patologi anatomi dari Fakultas Kedokteran Hewan ditemukan bahwa kematian ayam petelur pada penelitian ini diduga karena ayam terinfeksi marek berdasarkan temuan adanya follikulitis, proventrikulitis, kebengkakan hati dan limpa. Marek menyebabkan ayam dalam keadaan imunosupresi sehingga mudah terserang penyakit lain. Selain itu pada ayam yang mati ditemukan erosi pada gizzard yang diduga bersumber dari pakan. Mortalitas ayam setiap minggu selama penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Mortalitas Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Umur Ayam (minggu) Selama Perlakuan 18 19 20 21 22 23 24 Penelitian R0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 R1 0,00 0,00 0,00 7,50 2,70 2,78 5,71 17,50 R2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,00 5,00 R3 0,00 0,00 0,00 2,50 7,69 2,78 5,71 17,50 R4 0,00 0,00 0,00 2,50 2,56 2,63 2,70 10,00 Keterangan: R0= ransum tanpa BBJ fermentasi, R1= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi, R2= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton, R3 = ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g fitase/ ton, dan R4= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton + 200 g fitase/ ton. Pemberian 7,5% bungkil biji jarak fermentasi menyebabkan kematian pada ayam. Mortalitas dari ayam petelur yang diberi bungkil biji jarak cukup tinggi yaitu 5-17,5%. Menurut North dan Bell (1990) tingkat mortalitas pada ayam petelur selama satu siklus produksi tahun pertama yang normal berkisar 10-15%. Mortalitas yang cukup tinggi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi racun berupa phorbolester dan curcin yang terkandung dalam ransum. Makkar dan Becker (1997) menyatakan bahwa curcin tidak menyebabkan toksisitas dalam jangka pendek, tapi jika bergabung dengan toksin yang lain seperti phorbolester maka efek toksik akan meningkat. Akan tetapi yang menjadi penyebab utama kematian pada ayam karena adanya racun phorbolester dalam ransum, karena racun ini menyebabkan toksik pada 32

ternak walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Makkar dan Becker (1997) melaporkan bahwa ternak yang mengkonsumsi BBJP mengalami kerusakan pada organ hati, ginjal, jantung, paru-paru, sistem gastrointestinal, pembuluh darah, sistem nervers, dan susmsum tulang. Mortalitas tertinggi terjadi pada ayam yang diberi perlakuan R1 dan R3. Hal Mortalitas yang tinggi terjadi karena lebih tingginya konsumsi racun phorbolester dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Konsumsi phorbolester selama penelitian dapat dilihat pada Tabel. 11. Tabel 11. Konsumsi Phorbolester pada Ayam Petelur Umur 18-24 Minggu Perlakuan Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Kandungan BBJP Ransum (%) Kandungan Phorbolester (µg/g) * Konsumsi Phorbolester (µg/ekor) R0 79,15 0 0 0,00 R1 72,90 7,5 15,28 83,55 R2 71,56 7,5 15,28 82,01 R3 71,20 7,5 15,28 81,59 R4 70,35 7,5 15,28 80,62 Keterangan: R0= ransum tanpa BBJP fermentasi, R1= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi, R2= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton, R3 = ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g fitase/ ton, dan R4= ransum mengandung 7,5% BBJ fermentasi + 200 g selulase/ ton + 200 g fitase/ ton. *Kandungan phorbolester dalam 1 gram BBJP fermentasi BBJP = Bungkil Biji Jarak Pagar Konsumsi phorbolester pada R1, R2, R3 dan R4 berturut-turut 83,55 µg/g, 82,01 µg/g, 81,59 µg/g dan 80,62 µg/g. Phorbolester diketahui dapat menirukan aktivitas diacygliserol (DAG) secara berlebihan, yaitu mengaktifkan protein kinase C yang mengatur jalur penyaluran sinyal dan aktivitas metabolisme sel (Goel et al., 2007). Phorbol secara berlebihan dalam mengaktifkan protein kinase C dan perkembangan sel memperkuat terjadinya karsinogen. 33