BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita *

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan

ANATOMI GIGI. Drg Gemini Sari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita *

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. prevalensi yang terus meningkat akibat fenomena perubahan diet (Roberson dkk.,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. empat tipe, yaitu atrisi, abrasi, erosi, dan abfraksi. Keempat tipe tersebut memiliki

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan. Harmas Yazid Yusuf 1

BAB I PENDAHULUAN. palatum, lidah, dan gigi. Patologi pada gigi terbagi menjadi dua yakni karies dan

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat dari sisa makanan oleh bakteri dalam mulut. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kalsium merupakan kation dengan fosfat sebagai anionnya, absorbsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. protein, berbagai vitamin dan mineral (Widodo, 2003). Susu adalah cairan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Kata kunci: hipersensitivitas dentin, strontium chloride hexahydrate 10%, sodium monofluorophosphate, visual analogue scale.

BAB II TINJUAN PUSTAKA. odontoblast. Pada tahap awal perkembangannya, odontoblast juga. pertahanan (Walton & Torabinejad, 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

I.PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Permasalahan. bersoda dan minuman ringan tanpa karbonasi. Minuman ringan berkarbonasi

BAB I PENDAHULUAN. Dokter gigi sering mengalami kesulitan dalam merestorasi gigi pasca

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB I PENDAHULUAN. karies gigi (Wahyukundari, et al., 2009). Berdasarkan hasil riset dasar yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karies. Hal ini dipengaruhi oleh morfologi dan kandungan mineral penyusun gigi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cukup tinggi. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, indeks DMF-T Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

MEKANISME ERUPSI DAN RESORPSI GIGI

PENTINGNYA OLAH RAGA TERHADAP KEBUGARAN TUBUH, KESEHATAN GIGI DAN MULUT.

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

BAB II TINJAUAN TEORETIS. renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya

STRUKTUR ANATOMI DAN FUNGSI PULPA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu bagian gingiva secara klinis

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

KARAKTERISTIK GIGI YANG TERPAPAR ASAM SUNTI (Averrhoa bilimbi L)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL

BAB I PENDAHULUAN. bagi tubuh. Fungsi gigi berupa fungsi fonetik, mastikasi dan. ataupun yang hilang bisa berdampak pada kesehatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melalui mulut, dan pada kalangan usia lanjut. 2 Dry mouth berhubungan dengan

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi

BAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu masalah gizi yang paling umum di Amerika merupakan faktor

umumnya, termasuk kesehatan gigi dan mulut, mengakibatkan meningkatnya jumlah anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawatan saluran akar merupakan salah satu perawatan untuk

BAB I PENDAHULUAN. jaringan ikat tubuh lainnya yang tersusun oleh jaringan pembuluh darah dan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh penggunaan susu botol atau cairan lainnya yang termasuk karbohidrat seperti

Definisi Yaitu keausan gigi yang disebabkan oleh kontaknya gigi.makin sering kontak terjadi, makin besar keausannya.

IV. PRINSIP BIOMEKANIK PREPARASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ribbon-shaped yang memutar 180 o dimulai dari mesial (mesiobukal dan atau mesiolingual) melintasi daerah bukal dan berakhir di distal. Sering ditemuka

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

BAB 1 PENDAHULUAN. Antropologi kesehatan dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rendah (Depkes RI, 2005). Anak yang memasuki usia sekolah yaitu pada usia 6-12

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperhatikan, khususnya pada pertumbuhan gigi desidui anak. Banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian selular, termasuk odontoblas yang membentuk dentin. Anatomi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. kesehatan, terutama masalah kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah atrisi, abrasi, abfraksi, fraktur dan erosi.walaupun kata-kata ini mempunyai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Erosi gigi adalah luruhnya jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Gigi Enamel, dentin dan sementum adalah bagian dari gigi yang sebagian besar terdiri dari jaringan keras. Enamel mengandung zat anorganik dalam jumlah yang besar sehingga merupakan bagian yang terkeras. Namun, karena letaknya paling luar, maka kerusakan enamel sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam rongga mulut. Faktor yang berpengaruh pada kerusakan enamel salah satunya adalah keasaman makanan dan minuman yang akan menyebabkan keausan enamel yang disebut erosi gigi. 7 2.1.1 Enamel

Dilihat dari struktur utama enamel, prisma merupakan struktur komponen terluas dengan lebar 4-6 mikron, prisma ini memanjang dari arah perbatasan enamel dan dentin ke permukaan enamel serta saling mengikat satu sama lain. Pada potongan melintang nampak seperti keyhole yang terdiri atas kepala dan ekor, arah prismata ke permukaan tidak lurus melainkan bergelombang untuk mempertinggi ketahanannya terhadap gaya yang datang. Di bagian kepala prisma terdapat selubung prisma (prisma sheath) dengan tebal 0,5 mikron yang di dalamnya terdapat kristal hidroksiapatit. Sumbu kristal sejajar dengan arah prismata di dasar prismata dan nampak memanjang di ujung prismata. Cross striations terdapat diantara kristal, bagian luar dari cross striations terdapat striae of retzius yang arahnya dari perbatasan enamel dan dentin ke permukaan bersudut tajam. 11 Enamel terdiri dari 96% bahan anorganik sisanya bahan organik dan air, sebagian besar bahan anorganik terdiri dari ion kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 ]. Secara rinci, Williams dan Elliot (1979) menyusun komposisi mineral enamel normal dari persentase terbesar yaitu Ca, P, CO 2, Na, Mg, Cl dan K dan elemen dengan jumlah yang kecil yaitu F, Fe, Zn, Sr, Cu, Mn, Ag. Ion fluor sangat esensial pada pembentukan dan perkembangan enamel karena dapat menggantikan gugus hidroksil sehingga membentuk fluor apatit [Ca 10 (PO 4 ) 6 (F) 2 ]. 7,12 Enamel merupakan jaringan yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengantikan bagian-bagian yang rusak, oleh karena itu setelah gigi erupsi enamel akan terlepas dari jaringan-jaringan lainnya yang ada dalam gusi. 11 Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat memperkuat enamel yaitu terjadinya perubahan susunan kimia sehingga enamel akan lebih kuat menghadapi rangsangan-rangsangan yang diterimanya seperti pemberian fluor, saliva yang jenuh akan kalsium dan fosfat sehingga dapat mengurangi kelarutan permukaan enamel. 13 Namun pada ph di bawah 5.5, mineral akan terlepas dari permukaan enamel. 14 2.1.2 Dentin Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah lapisan enamel yang menyusun sebagian besar gigi. Struktur dentin hampir sama

dengan tulang namun dentin dibentuk oleh odontoblas dimana pembentukan dentin dikenal dengan dentinogenesis. Dentin terdiri dari 70% kristal hidroksiapatit (anorganik), 18% zat organik yang tersusun dari kolagen, substansi dasar mukopolisakarida, dan 12% air. Tipe modifikasi dari dentin dikenal dengan dentin sekunder dan dentin tertier. Dentin yang termineralisasi bersama dengan pulpa membentuk suatu hubungan yang disebut dengan kompleks dentin-pulpa yang bertanggung jawab dalam memelihara vitalitas gigi. 7 Secara mikroskopis, dentin terdiri dari berbagai struktur diantaranya tubulus dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin, dan prosesus odontoblas. Masing-masing struktur memiliki kegunaan seperti tubulus dentin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap permeabilitas dentin terhadap jaringan. 15 Secara histologis dentin terdiri atas : 1. Tubulus Dentin Tubulus dentin merupakan kanal-kanal yang memanjang dari daerah pulpa sampai ke batas dentin-enamel. Tubulus dentin berbentuk seperti garis-garis yang tersusun mengikuti arah mahkota dan garis-garis ini menyerupai huruf S. Tubulus yang terletak dekat dengan puncak akar dan tepi insisal bentuknya lebih lurus. 7 Perbandingan antara dentin yang berada pada permukaan luar dengan dentin yang berada pada permukaan dalam adalah 5:1 sehingga tubulus-tubulus memiliki jarak yang lebih jauh antara satu dengan yang lain pada daerah garis permukaan luar, sementara pada daerah permukaan dalam jarak antar tubulus lebih dekat. Tubulustubulus dentin pada daerah yang berdekatan dengan pulpa memiliki diameter yang lebih besar (3-4 µm) dan lebih kecil pada permukaan luar (1 µm). Tubulus dentin memiliki cabang lateral di seluruh dentin dimana tubulus ini diisi oleh kanalikuli atau mikrotubulus. Beberapa tubulus dentin memanjang sampai beberapa millimeter pada batas dentin-enamel yang disebut dengan enamel spindle. 7

Gambar 1. Tubulus dentin normal. 7 2. Peritubulus Dentin Dentin yang mengelilingi tubulus dentin disebut dengan peritubulus dentin yang termineralisasi 40% lebih banyak daripada intertubulus dentin dan dua kali lebih tebal pada permukaan luar dentin daripada permukaan dalam dentin. 7 3. Intertubulus Dentin Secara keseluruhan dentin tersusun atas intertubulus dentin yang terletak antara terletak antara tubulus atau lebih spesifik lagi terletak diantara daerah peritubulus. 7

Gambar 2. A. Peritubulus dentin; B. Intertubulus dentin 7 4. Predentin Predentin terletak berdekatan dengan jaringan pulpa dengan lebar sekitar 2-6µm, dan lebar ini tergantung pada aktivitas odontoblas. Predentin merupakan pembentukan awal dari dentin dan predentin tidaklah termineralisasi. 10 Serat kolagen bertanggung jawab dalam proses mineralisasi antara dentin dan predentin, dimana predentin menjadi dentin dan terbentuk sebuah lapisan baru dari predentin. 7 Gambar 3. Predentin 7 5. Prosesus Odontoblas

Prosessus odontoblas merupakan perpanjangan sitoplasma dari odontoblas. Odontoblas terletak disekitar pulpa yaitu diantara batas pulpa dengan predentin dan prosessusnya memanjang sampai tubulus dentin. Prosessus odontoblas memiliki diameter terbesar pada daerah disekitar pulpa (3-4µm) dan meruncing kira-kira 1µm memasuki dentin. Badan sel dari odontoblas memiliki diameter kira-kira 7µm dan panjangnya 40 µm. 7 Gambar 4. A. Peritubulus dentin; B. Intertubular dentin; C. Prosessus odontoblas; D. Predentin 7 2.1.2.1 Dentin Primer Dentin primer merupakan dentin yang pertama kali terbentuk seiring dengan berjalannya pertumbuhan gigi. Dentin ini terbentuk dari mulai pembentukan gigi sampai gigi tersebut erupsi sempurna dan merupakan bagian terbesar dari gigi. Matriks dentin primer terbentuk dengan cepat pada saat perkembangan gigi. Lapisan terluar dari dentin primer terletak tepat dibawah enamel, secara histologis dentin primer memiliki tubulus dentin yang lebih banyak daripada dentin sekunder. 15 2.1.2.2 Dentin Sekunder Dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus menerus seumur hidup, mulai dari gigi erupsi sempurna sampai berfungsi secara fungsional.

Setelah pembentukan dentin primer selesai, odontoblas memasuki fase istirahat barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang fisiologis. 16 Dentin sekunder yang terbentuk lebih lambat daripada pembentukan dentin primer dan deposit dentin yang semakin bertambah secara tidak langsung dapat memperkecil kamar pulpa. Pembentukan deposit dentin sekunder tidak merata pada setiap tepi kamar pulpa terutama pada gigi molar. Deposit dentin yang paling banyak terbentuk adalah pada bagaian atap pulpa dan lantai pulpa sehingga penurunan ukuran dan bentuk kamar pulpa menjadi tidak simetris. 17 Stimulus yang ringan seperti pengunyahan fisiologis dapat menyebabkan iritasi kronis (atrisi) dan menyebabkan deposit dentin sekunder terbentuk oleh aktifitas odontoblas sehingga pulpa mengalami kalsifikasi pada daerah yang searah dengan iritasi kronis yang terjadi. Selain itu pembentukan dentin sekunder dimulai pada sisi pulpa yang berkontak dengan gigi antagonis pada saat pengunyahan. 15 Dentin sekunder regular dibentuk secara teratur dan secara fisiologis didepositkan mengelilingi tepi pulpa selama pulpa masih vital, sehingga kamar pulpa secara progresif akan menyempit sesuai dengan bertambahnya usia, hal ini terjadi selama lingkungan di sekitar struktur dan jaringan gigi tetap stabil dan konstan tanpa ada trauma ataupun rangsangan dari luar. 16 Bila ada trauma dari luar yang cukup signifikan maka akan terbentuk dentin sekunder iregular pada tepi pulpa pada tubulus yang berhubungan dengan iritan yang diterima dari luar. Sepanjang hidup dentin akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, termasuk keausan normal, karies, prosedur operatif dan restorasi, serta trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon protektif melalui terbentuknya dentin sekunder iregular. Pembentukan dentin sekunder iregular merupakan suatu mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau terkena penyakit di permukaan pulpa. 18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan cara serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus-tubulus dentin mengalami kalsifikasi, dan aktifnya odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Kemudian odontoblas mensintesis dan mensekresi matriks anorganik menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya mineralisasi matriks tersebut, sehingga menghasilkan dentin sekunder yang

permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer. Hal ini memungkinkan gigi mempertahankan diri terhadap efek atrisi, karies gigi, dan bentuk lain dari trauma. Bukti menunjukkan bahwa dentin sekunder irregular melindungi pulpa dengan mengurangi masuknya iritan. 15 Gambar 5. A. Dentin primer; B. Dentin sekunder; C. Dentin reparative 15 2.1.2.3 Dentin Tertier Dentin tertier adalah reparasi atau pemulihan setelah terjadinya injuri pada banyak tisu pada suatu jaringan. Apabila lesi mengenai dentin, respon pulpa akan mendeposit lapisan dentin tertier pada tubulus dentin primer atau sekunder yang berhubungan dengan lesi tersebut. Pembentukan dentin tertier tergantung pada odontoblas yang terlibat dalam proses injuri. 8 Dentin tertier secara morfologi berbeda dengan dentin primer terhadap variasi dalam mekanisme molekular pembentukannya. Menurut Olgart dan Bergenholtz (2003), apabila dibandingkan dentin tertier dengan dentin primer, dentin tertier kurang sensitif terhadap termal, osmotik, dan stimuli evaporatif. Tubulus dentin tertier lebih irregular dengan lumina yang lebih besar. Dalam beberapa kasus, tidak ada pembentukan tubulus dentin. Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada

beberapa faktor seperti terjadinya inflamasi yang parah, sampai terjadinya injuri selular, dan kadar differensiasi odontoblas pengganti. 8 Dentin tertier kurang permiebal terhadap ransangan external dibandingkan dengan dentin primer. Sepanjang pembatasan antara dentin primer dan tertier, dinding tubulus dentin lebih tebal dan tubulusnya berisi material yang menyerupai dentin peritubular. Zona pembatasan kurang permeabel dari dentin pada umumnya dan berfungsi sebagai penghalang masukannya bakteri dan produknya. Penelitian Kim S, Trowbridge H dan Suda H (2002) menyatakan bahwa akumulasi sel dendritic pulpa berkurang setelah pembentukan dentin tertier yang mengindikasikan berkurangnya kemasukan antigen bakterial. 8 Terdapat 2 tipe dentin tertier yang terdiri atas : 1. Dentin Reaksioner Dentin reaksioner adalah pembentukan dentin tertier oleh odontoblas primer setelah terjadi injuri pada gigi. Dentin ini sering dijumpai pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. 8 Lesi karies yang berkembang perlahan dikategorikan sebagai peningkatan mineralisasi awal pada dentin yang terlibat. Hiper mineralisasi ini terjadi apabila proses karies berlangsung di enamel sebelum mengenai dentin. Sebelum karies mengenai dentin, beberapa garam mineral yang terlarut didalam tubulus akan berkumpul dan membentuk zona hiper mineralisasi transparan didalam dentin dan dibawah dentin yang mengalami demineralisasi pada bagian karies. 8 Secara histologi terdapat perubahan kecil pada regio odontoblas-predentin sesuai dengan karies yang sedang berkembang, tetapi terdapat juga pembentukan dentin reaksioner yang bertambah. Kebanyakan odontoblas aktif walaupun agak pendek dari sebelumnya, panjang odontoblas berkurang sehingga membentuk dentin reaktioner tidak sesuai dengan bertambahnya produksi matriks. Bertambahnya produksi matriks akan menyebabkan bertambahnya organel intrasellular dan membentuk sel formatif yang lebih besar. Sel subodontoblastic dan odontoblast-likecell generasi baru membantu dalam pembentukan matriks, jika odontoblas aktif

dalam membentuk dentin, maka tubulus dentin berhubungan dengan dentin primer ke dentin sekunder dan dentin tertier, maka jalan masuk ke pulpa masih terbuka. Regio subodontoblastic dari morfologinya tidak terganggu dari tetapi sel bebas di zona tetap tidak ada karena ada perubahan dari area fisiologis tersebut. Komponen yang lain sering ditemukan seperti fibroblast, sel yang tidak terdifferensiasi dan sel dendrit. 8 Dentin reaksioner yang terbentuk karena lesi karies superfisial mungkin masih menyerupai dentin primer dari segi tubulus dan derajat mineralisasinya. Secara umum, tubulus dentin reaksioner masih bersambungan dengan dentin sekunder, sehingga ketebalan lapisan yang baru terbentuk berdasarkan intensitas dan waktu stimulus. Dentin reaksioner mengandungi matriks organik yang sama dengan konten mineral yang menyerupai dentin primer dan sekunder. 8 2. Dentin Reparatif Dentin reparatif merupakan lapisan dentin yang terbentuk pada batas antara dentin dan pulpa. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area di bawah stimulus, struktur dentin ini bervariasi mulai dari yang regular (seperti dentin primer dan sekunder) hingga variasi irreguleritas dapat terbentuk jaringan yang abnormal dengan sedikit tubulus, banyak daerah interglobular, dan terdapat odontoblas. 7 Gambar 6. A. Dentin reparatif; B. Dentin sklerotik 8 2.a Fungsi Dentin Reparatif

Pembentukan dentin reparatif adalah suatu mekanisme pertahanan yang utama secara alamiah dentin ini menutup luka atau penyakit pada tubulus dentin di permukaan pulpa, sehingga menghilangkan efek dari atrisi, karies, dan bentuk lain dari trauma. Dentin primer (dentin dalam perkembangan) terbentuk selama perkembangan gigi. Sementara dentin sekunder fisiologis (dentin regular) adalah dentin yang didepositkan disekeliling pulpa selama masih aktif dari gigi vital, sehingga kamar pulpa akan mengecil sesuai dengan perkembangan usia. Dentin tertier (dalam reparatif) terbentuk pada ujung pulpa dari tubulus yang berhubungan dengan iritan seperti atrisi dan karies gigi. 8 Dinding tubulus sepanjang pertautan dentin primer dan tubulus di dalam dentin tertier mengecil dan sering tertutup. Dengan demikian, zona pertautan ini akan membatasi difusi iritan ke dalam pulpa. 19 Namun dentin tertier yang kualitasnya rendah tidak bisa memberikan proteksi seperti itu, ketika pulpa terinflamasi akibat adanya iritasi, dentin tertier yang terbentuk sering mengandung tempat-tempat kosong (void) tempat terperangkapnya jaringan lunak sehingga tampilan dentin terlihat seperti keju swiss. Jika dentin dipotong dengan kecepatan tinggi tetapi disertai semprotan air sebagai pendingin maka pembentukan dentin tertier akan menurun karena diminimalkannya trauma terhadap pulpa. 19 2.b Patogenesis Terjadinya Dentin Reparatif Dentin reparatif terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan akan terlokal di area iritasi, dentin ini membentuk secara proposional dengan jumlah dentin primer yang hancur. Tingkatnya berbanding terbalik dengan tingkat serangan karies, yaitu semakin banyak dentin yang dibentuk terhadap lesi karies yang perkembangannya lambat. 8 Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan atau sering tidak ada, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap stimuli eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan odontoblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblast dalam zona yang kaya sel, sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang dibedakan terhadap stimulasi oleh faktor-β perkembangan jaringan. 20 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat menghalangi ingress irritan terhadap pulpa. 21

Jika odontoblas aktif yang membentuk dentin sekunder terlibat dalam pembentukan dentin tertier, jadi dentin tertier yang dibentuk dinamakan dentin reaksionar. Secara umumnya pada dentin reaksionar, laju pembentukan dentinnya bertambah, tetap tubulus dentinnya masih bersambungan dengan dentin sekunder. 8 Apabila stimulus masih berterusan dapat menyebabkan hancurnya sel odontoblas yang asli. Kemudian, odontoblast like cell yang berdiferensiasi akan membentuk dentin tertier yang kurang tubulusnya, lebih irregular dan tubulusnya tidak lagi bersambungan dengan tubulus dentin sekunder. Sel yang baru terbentuk itu, pada awalnya bentuk kuboidal, tanpa adanya proses dari odontoblas yang penting dalam pembentukan tubulus dentin. Terbentuknya sel tersebut adalah karena perlepasan host dari growth factor yang terikat pada kolagen selama pembentukan dentin sekunder. Kehilangan lapisan kontinuous odontoblas menyebabkan terpaparnya predentin yang tidak termineralisasi yang mengandungi kedua-dua bentuk larut dan tidak larut transforming growth factor (TGF)-beta, insulin-like growth factor (IGF)-I and II, bone morphogenetic proteins (BMPs), vascular endothelium growth factor (VEGF), dan growth factor lainnya yang menarik dan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi mesenchymal stem cells untuk pembentukan dentin reparatif dan pembuluh darah baru. 8,20 Gambar 7. Odontoblast-like-cell 8

Sebagai respon dari berbagai macam stimulus eksternal seperti karies gigi, atrisi, trauma, maka dentin akan terbentuk. 15 Ketika injuri yang terjadi adalah injuri yang cukup parah sehingga menyebabkan kematian sel odontoblas maka sel yang menyerupai sel odontoblas akan membentuk dentin tertier hanya pada daerah yang dekat dengan injuri untuk melindungi jaringan pulpa. 7 Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin reparatif sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin reparatif berubah-ubah dan sangat tidak teratur mulai dari tubular yang terputus-putus sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin reparatif menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus. Terdapat 4 tipe tubulus dentin berdasarkan distribusi tubulus dan susunannya yaitu, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe kombinasi dan tipe osteodentin. 17 Gambar 8. A. Tubulus dentin normal; B. Dentin reparatif dengan tubulus dentin yang sedikit; C. Termasuk sel didalam matrix; D. Tubulus yang tersusun secara irregular; E. Kombinasi dari beberapa tipe tubulus; Dari B ke E semuanya tipe-tipe tubulus dentin pada dentin reparatif 17 2.1.3 Pulpa Gigi

Pulpa gigi merupakan jaringan ikat yang unik karena dikelilingi oleh jaringan keras. Pulpa gigi berasal dari sel-sel ektomesenkim papila dentis. Dalam pembentukannya, sel-sel ektomesenkim tersebut baru dapat dikatakan sebagai jaringan pulpa gigi setelah dentin terbentuk. Fungsi utama pulpa gigi adalah fungsi formatif, yaitu berperan dalam membentuk odontoblas yang akan membentuk dentin. 16 Fungsi lainnya adalah : 1. Induktif, menginduksi pembentukkan email dengan mengembangkan sel odontoblas yang dapat membentuk dentin. 2. Nutritif, menyediakan nutrisi yang diperlukan bagi pembentukkan dentin. 3. Defensif, membentuk pertahanan dari invasi bakteri atau benda asing yang masuk melalui tubuli dentin. 4. Sensatif, memberikan rasa atau sensasi sebagai respons terhadap berbagai rangsangan. Fungsi pulpa gigi tergantung pada jenis sel yang berperan didalamnya. Sel-sel yang menyusun jaringan pulpa gigi yaitu: Odontoblas Odontoblas merupakan sel yang paling penting dari keseluruhan jaringan pulpa gigi, odontoblas juga merupakan sel yang paling tinggi tingkat diferensiasinya. Odontoblas berfungsi untuk menghasilkan komponen organik matriks pre-dentin dan dentin, seperti kolagen (khususnya tipe I) dan proteoglikan. Odontoblas merupakan sel akhir dan tidak dapat mengalami mitosis lagi. 21 Fibroblas Fibroblas merupakan sel yang paling banyak ditemui pada jaringan pulpa gigi, fungsi utama dari sel ini adalah mensintesis kolagen tipe I dan III, fungsi lainnya adalah mensintesis dan mensekresi komponen non-kolagen matriks ekstraselular. Aktivitas mitosis fibroblas cukup lambat pada orang dewasa, namun akan bermitosis dengan cepat bila terjadi kerusakan jaringan. 21 Sel Mesenkim yang tidak terdiferensiasi Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi fibroblas ataupun odontoblas tergantung dari rangsangan yang diterima. Sel ini merupakan cadangan dari adanya kekurangan

sel-sel seperti fibroblas atau odontoblas yang ada. Pada manusia lanjut usia, jumlah sel ini sedikit sehingga kemampuan sel pulpa untuk regenerasi pun berkurang. 7 Immunocompetent Sel yang termasuk di kategori ini merupakan sel pertahanan yang masuk melalui aliran darah. Sel ini berfungsi saat adanya invasi bakteri atau benda asing yang masuk. Sel imun yang banyak dijumpai pada pulpa gigi adalah limfosit, makrofag, dan dendritik. 21 Sel-sel immunocompetent dapat merespon berbagai situasi klinis yang dapat menyebabkan kehilangan integritas jaringan keras gigi. Salah satunya adalah respon peradangan. Radang pada pulpa gigi (pulpitis) terjadi apabila terdapat invasi bakteri ataupun produk-produknya, pulpitis juga dapat terjadi apabila terdapat iritasi kimia, fisik, thermis, serta stimulasi elektrik. Anatomi pulpa gigi yang dikelilingi oleh jaringan keras mengakibatkan tampilan klinis peradangan yang terjadi pada pulpa gigi berbeda dengan di lokasi lainnya. Gejala klinis peradangan seperti panas, bengkak, dan kemerahan tidak dapat dilihat pada pulpitis, hanya rasa nyeri saja yang menjadi gejala klinis pada keadaan pulpitis. 19 2.2 Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Gigi molar pertama bawah permanen merupakan gigi yang paling sering direstorasi, dan mendapat perawatan saluran akar. Gigi ini merupakan gigi permanen yang pertama erupsi di rongga mulut, yaitu pada usia 6-7 tahun. 22 Crown dari gigi ini memiliki lima cusp fungsional; tiga cusp di bagian bukal (mesiobukal, distobukal, dan distal) dan dua cusp di bagian lingual (mesiolingual dan distolingual) (gambar 9). Cusp mesiobukal merupakan cusp yang memiliki ukuran paling besar dan lebar pada gigi ini. 23 Secara umum, gigi molar pertama permanen memiliki dua akar (gambar 9), satu di bagian mesial dan satu di distal. Akar mesial pada gigi ini memiliki ukuran yang lebih lebar dan melengkung ke arah mesial dari garis servikal hingga sepertiga akar, kemudian melengkung ke arah distal hingga apeks gigi. Gigi molar pertama permanen bawah juga memiliki variasi jumlah akar yang beranekaragam, dimana

dapat dijumpai jumlah akar lebih dari dua, seperti : akar distal yang bercabang menjadi dua, ataupun adanya akar tambahan di bagian distolingual yang disebut radix entomolaris. 23 Gigi molar pertama permanen bawah umumnya memiliki tiga saluran akar; dua saluran akar di akar mesial dan satu saluran akar besar berbentuk oval di bagian distal. Pada akar mesial terdapat saluran akar mesiobukal dan mesiolingual, akan tetapi terkadang dapat terjadi variasi dimana ditemukan saluran akar tambahan diantaranya yang disebut saluran akar mesial tengah dengan insidensi hingga 15%. 24 Gambar 9. Anatomi Gigi Molar Pertama Bawah Permanen. 24

2.3 Atrisi Gigi Secara umum, atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu atrisi fisiologis dan atrisi patologis. 12 Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. Atrisi patologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan yang abnormal. 13 Pengunyahan yang abnormal ini dapat berupa kebiasaan parafungsi seperti bruxism dan clenching, serta kebiasaan mengunyah sirih atau pinang. 25,26 Atrisi gigi terjadi akibat dari hasil interaksi yang kompleks antara gigi, struktur pendukungnya, serta fungsi komponen pengunyahan. 14 Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi, tetapi juga mengakibatkan perubahan pada skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya. 27 Tingkat dan perluasan atrisi gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologis gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan. 28 Atrisi tidak hanya disebabkan karena terpaparnya gigi oleh beban pengunyahan dalam jangka waktu yang lama, tetapi juga berkorelasi dengan kebersihan gigi, disgnati, bruxism, dan kebiasaan diet. 29 Menurut penelitian sebelumnya, atrisi terjadi lebih banyak di gigi posterior mandibular daripada gigi posterior maksila dan terjadi lebih banyak pada bagian bukal gigi molar dibandingkan 29,30 dengan bagian lingual gigi molar. 2.3.1 Efek Atrisi Terhadap Pembentukan Dentin Tertier Dalam proses mastikasi abnormal terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi. 31 Tekanan pengunyahan yang besar akan menyebabkan gigi menerima gesekan mekanis yang besar dari gigi

antagonisnya. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah. 6,7 Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin. 14 Dentin yang terpapar, saat menerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu. 15 Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier. 32 Dentin tertier terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan akan terlokal di area iritasi. Dentin ini terbentuk secara proposional dengan jumlah dentin primer yang hancur. Tingkat terbentuknya dentin tertier berbanding terbalik dengan tingkat serangan karies, yaitu pembentukan dentin tertier besar terhadap lesi karies yang perkembangannya lambat. Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan atau sering tidak ditemukan, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap stimuli eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan odontonblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblas dalam zona yang kaya sel, sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang dibedakan terhadap stimulasi oleh faktor-β perkembangan jaringan. 8 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat menghalangi ingress irritan terhadap pulpa. 16 2.4 Kebiasaan Menyirih Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan menyirih merupakan praktek kuno yang umum di banyak negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropah, dan Amerika Utara, yang melengkapi penerimaan sosial dibanyak masyarakat dan juga populer di kalangan wanita. Kebiasaan mengunyah sirih telah dikenal dan dilaporkan di berbagai negara seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh,

Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua New Guinea, beberapa Pulau Pasifik, dan populasi migran di tempat-tempat seperti Afrika Selatan dan Timur, Inggris, Amerika Utara, dan Australia. 1 Menyirih juga merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia, kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat atau pada acara yang sifatnya ritual keagamaan. 2 Kebiasaan menyirih juga dijumpai pada masyarakat suku Karo, khususnya pada perempuan suku Karo di Pancur Batu Medan. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai saat ini, baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada saat upacara adat. 2-3 Komposisi menyirih bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya dan dari satu suku ke suku yang lainnya, pada suku karo di Pancur Batu Medan, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Pada suku Jawa, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang, dan kapulaga, yang dapat ditambahi dengan cengkeh atau kayu manis. Di Nusa Tenggara Timur, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, pinang, dan kapur sedangkan suku Dayak di Kalimantan, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, yang sering ditambah dengan kapulaga, cengkeh, kunyit, dan daun jeruk dan di Papua, khususnya masyarakat di wilayah pesisir pantai, komposisi menyirih terdiri atas pinang, buah sirih, dan kapur. 2,3 Menyirih memiliki efek positif dan negatif terhadap kesehatan umum maupun rongga mulut. Efek positif kebiasaan menyirih dan terhadap kesehatan umum diantaranya dapat menetralkan asam lambung, mengobati sakit perut, sakit kepala, dan demam, relaksasi, meningkatkan konsentrasi, mengembalikan mood bekerja, meningkatkan kapasitas kerja, kewaspadaan, dan stamina, menekan rasa lapar, mengurangi gejala schizophrenia, mencegah morning sickness pada ibu hamil, dan mencegah osteoporosis. Efek positif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga mulut adalah dapat menyegarkan nafas dan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab karies gigi. Efek negatif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan umum

diantaranya terkait dengan penyakit kardiovaskular, karsinoma hepatoselular, sirosis hati, hiperlipidemia, hiperkalsemia, penyakit ginjal kronis, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, sindrom metabolik, induksi hormone ekstrapiramidal, sindrom milk-alkali, induksi displasia serviks uterus, kanker kerongkongan dan hati, berat lahir bayi rendah pada ibu penyirih/penyuntil, dan predisposisi kolonisasi Helicobacter pylori dalam saluran pencernaan. 4 Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua, yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi. Terhadap mukosa mulut menyirih dan menyuntil dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid, 15 perubahan warna pada mukosa mulut, penyakit periodontal, dan kanker mulut. 4,5 Terhadap gigi menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, nekrosis pulpa, dan terbentuknya stein dan kalkulus pada gigi. 6 2.4.1 Efek Menyirih Terhadap Atrisi Gigi Dalam proses menyirih terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi, hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi. 31 Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. Dalam campuran sirih bahan yang bersifat kasar adalah kapur. Kapur memiliki sifat kasar karena pada umumnya kapur dari kulit kerang atau batu kapur yang dihaluskan. Kekasaran kapur menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi dalam proses menyirih. 33 Dalam campuran sirih juga terdapat bahan pinang yang memiliki sifat keras. Ketika dikunyah, bahan pinang yang keras akan menstimuli otot-otot pengunyahan, sehingga memberikan tekanan pengunyahan yang besar. Tekanan pengunyahan yang besar akan menyebabkan gigi menerima gesekan mekanis yang besar dari gigi antagonisnya atau bahan pinang, semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin

cepat terjadi atrisi gigi yang parah. 6,7 Tekanan pengunyahan yang besar dapat menyebabkan arthrosis pada sendi temporomandibular. 32 Apabila kapur dan pinang digunakan dengan frekuensi yang tinggi, gigi dengan segera akan mengalami atrisi gigi yang parah. Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin. 14 Dentin yang terpapar, saat memerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu. 15 Dentin terdiri atas 70% materi anorganik dan 30% materi organik. 17 Hal ini menyebabkan atrisi gigi yang terjadi pada lapisan dentin lebih cepat daripada lapisan enamel. Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier. 32 Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih. 4 Stain ekstrinsik pada gigi yaitu perubahan warna gigi menjadi hitam atau coklat karena deposit dari mengunyah sirih sering dijumpai pada penyirih, terutama pada penyirih dengan profilaksis kebersihan mulut yang kurang dan perawatan gigi yang tidak teratur. 33 Berdasarkan penelitian Parmer (2008), pengunyah sirih memiliki prevalensi atrisi dan sensitivitas gigi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengunyah sirih. Hal ini disebabkan beban dan frekuensi pengunyahan yang berlebihan dan terpapar dengan berbagai komponen dari campuran sirih. 28 Keith (1988) menyatakan bahwa trauma kronis yang berulang karena kebiasaan mengatup-katupkan dan mengasah gigi dapat merangsang perubahan bentuk sendi atau dapat memulai proses degeneratif. Mengunyah pinang yang dilakukan besamaan dengan kegiatan menyirih telah diketahui secara luas dapat menyebabkan atrisi gigi, pewarnaan dan pembentukan faset pada gigi, dan prevalensi periodontitis yang lebih tinggi. 9 Atrisi gigi, baik pada interproksimal maupun oklusal, dapat dianggap sebagai akibat dari serangkaian interaksi antara gigi, struktur pendukungnya, dan komponen pengunyahan. Hal ini dihasilkan oleh kontak gigi dengan gigi antara gigi yang

berantagonis. Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi, tetapi juga pada perubahan skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya. 33 Tingkat dan perluasan keausan gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologi gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan, bruxism atau pengasahan gigi dan aksi nonpengunyahan. 33 2.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang digunakan untuk melihat detail permukaan sel (atau struktur jasad renik lainnya), dan obyek diamati secara tiga dimensi. Sejak dikembangkan tahun 1950-an, SEM telah berkembang pemakaiannya pada bidang studi ilmu kedokteran. SEM telah memungkinkan peneliti untuk memeriksa berbagai spesimen menjadi jauh lebih jelas. 34 Pengembangan mikroskop elektron mulai pada tahun 1920-an. Dengan pimpinan ilmuwan asal Jerman Ernst Ruska dan Max Knoll, Transmission Electron Microscopy (TEM) dikembangkan pada tahun 1930-an oleh Ruska. Karena hasil penemuan tersebut yang mengejutkan dunia, Ernst Ruska mendapat penghargaan Nobel Fisika pada tahun 1986. Tidak jauh dari lahirnya TEM, SEM dikembangkan pertama kali tahun 1938 oleh Manfred von Ardenne. 34 Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optik dan TEM. Pada SEM gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut diberi sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor cathode ray tube (CRT). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar supaya bisa dilihat. 33 2.5.1 Gambaran Struktur Dentin Tertier dengan Menggunakan SEM

Apabila diamati spesimen gigi yang atrisi parah dibawah SEM dapat dilihat pembentukan reparatif dentin dan dapat dibandingkan perbedaan mikrostruktur tubulus dentin normal dengan tubulus dentin tertier. 35 Pada tubulus dentin normal tidak ada pembentukan kristal, tubulusnya teratur dan marginnya tidak kasar. 36 Dimana pada tubulus dentin reparatif terdapat pembentukan kristal disepanjang tubulus dentin, kemudian dinding tubulus dentin tertier agak kasar dibandingkan dengan dinding tubulus dentin normal. Dimana dapat dilihat dengan jelas margin dinding tubulus dentin reparatif bentuknya irregular dibandingkan dengan yang normal, pada tubulus dentin reparatif diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal. 37 Diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh kristal karena terjadinya kalsifikasi globular. Dalam pembesaran yang lebih besar dapat dilihat pembentukan kalsifikasi globular disekitar tubulus dentin dalam ukuran dan bentuk yang berbeda-beda dan tidak teratur. 38 Gambar 10. RD. Dentin reparatif; CD. Dentin circumpulpal 38

Gambar 11. Pada pembesaran 2200x dapat dilihat variasi diameter tubulus dentin. D. tubulus yang terinfeksi UA. Tubulus yang normal 38 Gambar 12. Pada pembesaran 5500x dapat dilihat pembentukan kristal dan juga margin dinding tubulas dentin yang irregular 38 2.6 Landasan Teori

Kebiasaan menyirih merupakan praktek kuno yang umum pada negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara, yang menjadi kebiasaan pada masyarakat dan juga populer di kalangan perempuan. 1 Pada suku Karo di Pancur Batu Medan dijumpai kebiasaan menyirih, khususnya pada perempuan dan komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. 2,3 Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Salah satu efek negatif menyirih terhadap gigi adalah atrisi dimana menyirih menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi. 6 Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih. Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi. 27 Secara umum, atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu atrisi fisiologis dan atrisi patologis. 12 Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. Atrisi patologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan yang abnormal. 13 Pengunyahan yang abnormal ini dapat berupa kebiasaan parafungsi seperti bruxism dan clenching, serta kebiasaan mengunyah sirih atau pinang. 21,22 Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin. 14 Dentin yang terpapar, saat memerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu. 15 Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier. 28 Dentin tertier adalah dentin yang terbentuk pada jaringan pulpa, biasanya berlokasi pada bagian tepi dari pulpa dan sejajar dengan arah stimulus, khususnya

karena pengunyahan pada penyirih. Dentin tertier terbagi dua yaitu dentin reaksioner dan dentin reparatif. Dentin reaksioner digunakan untuk menjelaskan pembentukan dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi. Dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi sel. Pembentukan dentin reparatif adalah oleh odontoblast-like-cell dan dapat dijumpai pada lesi dentinal tubulus. 8 2.7. Kerangka Teori Menyirih Proses mastikasi, frekuensi dan tekanan pengunyahan meningkat. Gesekan antara gigi menyebabkan kehausan gigi Atrisi mengenai dentin menyebabkan pembentukan dentin tertier Stimulus yang ringan dan masih ada odontoblas primer Dentin Reaksioner Atrisi Enamel Dentin Stimulus yang berat dan tidak ada odontoblas aktif Transforming Growth Factor (TGFβ), akan menginduksi proliferasi dan diferensiasi mesenchymal stem cells untuk pembentukan dentin tertier dan pembuluh darah baru Dentin Reparatif SEM (Scanning Electron

2.8. Kerangka Konsep Menyirih Proses mastikasi, frekuensi dan tekanan pengunyahan meningkat. Gesekan antara gigi menyebabkan kehausan gigi Atrisi Enamel Dentin Dentin Tertier 2/3 dari akar gigi ditanam pada resin akrilik Spesimen dimasukkan ke dalam larutan formalin 10% Garis horizontal dibuat dari (Scanning Electron