3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta Contoh lamun segar yang diperoleh kemudian dikeringkan alami, dijemur dibawah sinar matahari kemudian diekstraksi di Laboratorium Kering, Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB. Ekstrak lamun kemudian diuji, meliputi uji fitokimia, uji toksisitas dengan menggunakan metode Brain Shrimp Lethal Toxic (BSLT), dan uji bioantifouling dengan mekanisme aktivitas hambat bakteri. Uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB, dan uji bioantifouling dilakukan di Laboratorium mikrobiologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O LIPI), sementara uji toksisitas dengan metode BSLT dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB. Proses pengambilan contoh lamun segar, ekstraksi dan evaporasi, serta pelaksanaan uji fitokimia dilakukan sejak Maret April 2011, sementara pelaksanaan uji toksisitas serta uji bioantifouling dilakukan pada April Mei 49
2012. Selama selang waktu tersebut, ekstrak kasar contoh lamun disimpan didalam botol vial dan diletakkan didalam freezer. 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian besar (Tabel 2), yaitu alat dan bahan untuk pengambilan contoh lamun, untuk ekstraksi, dan perlakuan uji. Perlakuan uji yang dilakukan meliputi uji fitokimia, uji toksisitas, dan uji bioantifouling. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Tahapan Alat Bahan Masker 1. Pengambilan contoh lamun Snorkel Plastik Pisau selam Alat gelas Contoh lamun Evaporator Methanol 2. Ekstraksi bahan bioaktif shaker bath n - heksana Kertas saring (Whatman) Timbangan 3. Uji Fitokimia a. alkaloid b. Steroid c. Flavonoid d. Saponin e. Molish f. Benedict g. Biuret asam sulfat 2N pereaksi meyer pereaksi dragendorf pereaksi wagner klorofom anhidrida asetat asam sulfat pekat magnesium amil alkohol alkohol HCL 2N Asam sulfat pekat Pereaksi molisch Pereaksi benedict Pereaksi biuret h. Ninhidrin Larutan ninhidrin
Tabel 2 (Lanjutan) Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Tahapan Alat Bahan Aerator Ekstrak sampel 4. Uji toksisitas BSLT Lampu Telur Artemia salina Pipet volumetric Air laut steril Wheel/Tabung reaksi Hotplate Biakan bakteri biofilm Tabung reaksi Marine Agar Kapas Aquades Alumunium foil TCBS Agar Autoklaf Gelas ukur 5. Uji aktivitas hambat biofilm Sudip (antimikrofouling) Jarum ose Inkubator Bunsen Cawan petri Referigrator Vortex Paper disc 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu koleksi contoh lamun, ekstraksi contoh lamun, uji fitokimia, uji toksisitas dengan metode BSLT, dan uji bioantifouling. Tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6. 3.3.1. Koleksi Contoh Lamun Proses koleksi dan preparasi contoh lamun ditampilkan dalam bentuk foto pada Gambar 7. Metode koleksi contoh lamun pada penelitian ini diadopsi dari El-Hady et al. (2007) dan Jensen et al. (1998). El-Hady et al. (2007) memaparkan teknik penanganan contoh daun lamun segar diambil langsung dari habitatnya, kemudian dibersihkan dari organisme penempel (epifit), setelah bersih dari epifit daun lamun dikeringkan alami sampai berat daun lamun menjadi konstan dan ditimbang dengan berat 50 gram. Contoh daun lamun ini diambil sebanyak tiga kali ulangan pada setiap spesiesnya. 51
Tahapan Keluaran KOLEKSI CONTOH LAMUN Contoh lamun yang digunakan sebagai bahan ekstraksi Ekstraksi bioaktif lamun dengan metode bertingkat 1. Rendemen ekstrak lamun 2. Informasi jenis pelarut yang efisien Uji Fitokimia Kandungan golongan senyawa kimia dalam ekstrak kasar lamun Uji Toksisitas dengan metode BSLT Uji Bioantifouling, dilakukan secara invitro terhadap bakteri pembentuk biofilm 1. Nilai LC 50 dari ekstrak kasar lamun 2. Informasi jenis ektsrak yang bersifat toksik 1. Diameter zona hambat 2. Informasi jenis ekstrak yang potensial sebagai bioantifouling Gambar 6 Skema tahapan penelitian Gambar 7 Proses koleksi dan persiapan contoh lamun
3.3.2. Ekstraksi komponen bioaktif contoh lamun Proses ekstraksi contoh lamun yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Contoh lamun yang telah siap diekstraksi, ditimbang masing masing seberat 50gram, kemudian direndam pelarut non polar, n-hexana (75 ml) dengan perbandingan 1:1,5 (b/v) di dalam botol kaca, lalu dimaserasi selama 24 jam (El-Hady et al. 2007; Jensen et al. 1998). Larutan contoh lamun kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring. Filtrat contoh lamun yang terisisa kemudian direndam kembali dengan pelarut polar, methanol (75 ml) dengan perbandingan 1:1,5 (b/v) di dalam botol kaca, lalu dimaserasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan contoh lamun difiltrasi dengan menggunakan kertas saring. Larutan contoh lamun hasil filtrasi kemudian dievaporasi dengan menggunakan Rotary evaporator yang diaplikasikan pada suhu 50 0 C, sehingga diperoleh ekstrak kasar lamun dalam bentuk pasta. Pasta ekstrak kasar lamun kemudian ditimbang agar dapat diketahui prosentase rendemen yang diperoleh. Gambar 8 Proses ekstraksi dan hasil ekstraksi lamun 3.3.3. Uji Fitokimia ekstrak contoh lamun Uji fitokimia merupakan salah satu uji kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang tekandung dalam suatu organisme. Rangkaian proses uji fitokimia selama penelitian ditampilkan pada Gambar 9. Ada delapan golongan senyawa yang akan diuji pada tahap ini, yaitu: a) Alkaloid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam beberapa tetes asam sulfat 2N, kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu meyer, dragendorf, dan wagner. Uji ini positif jika terbentuk endapan warna putih pada larutan yang ditambahkan pereaksi meyer, endapan coklat pada yang 53
ditambahkan pereaksi dragendorf, dan endapan merah hingga jingga pada yang ditambahkan pereaksi wagner. b) Steroid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Uji ini positif jika larutan yang dihasilkan membentuk warna merah di awal kemudian berubah menjadi biru atau hijau di akhir pengujian. c) Flavonoid. Sejumlah ekstrak ditambahkan bubuk magnesium (Mg) sebanyak 0,1 mg, kemudian ditambahkan larutan amil alcohol sebanyak 0,4 ml, selanjutnya ditambahkan kembali alkohol sebanyak 4 ml dan dikocok. Uji flavonoid positif jika larutan membentuk lapisan amil alkohol dengan warna merah, kuning, atau jingga. d) Saponin. Sejumlah ekstrak dilarutkan dengan akuades kemudian dipanaskan, jika muncul busa dan bertahan hingga 30 menit maka uji dilanjutkan dengan menambahkan 1 tetes HCl 2N. Uji saponin positif jika larutan mampu mempertahankan busa. e) Molisch. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, lalu diambil 1 ml dan ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch serta 1 ml larutan asam sulfat (H 2 SO 4 ) pekat. Uji ini positif jika ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara dua lapisan. f) Benedict. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, kemudian diambil delapan tetes dan dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict, lalu dididihkan selama lima menit. Uji benedict positif jika larutan membentuk warna hijau, kuning, atau membentuk endapan warna merah bata. g) Biuret. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa peptida. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan 4 ml pereaksi biuret, lalu dikocok. Uji ini positif jika larutan membentuk warna ungu. h) Ninhidrin. Uji ninhidrin dilakukan untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa asam amino. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil 2 ml, kemudian ditambahkan beberapa tetes
pereaksi ninhidrin 0,1% dan dipanaskan selama 10 menit. Uji ini positif jika terbentuk larutan dengan warna biru. Gambar 9 Proses kegiatan uji fitokimia 3.3.4. Uji toksisitas Uji toksisitas ini dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi metode uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina (Meyer et al. 1982). Larva Artemia salina ini dipelihara pada air laut yang telah difilter selama 24 jam pada suhu 28 0 C, kemudian setiap 10 larva dipindahkan ke dalam masing-masing wheel yang telah diisi air laut hasil filtrasi sebanyak 2 ml. Untuk menguji toksisitas ekstrak kasar lamun, ekstrak diencerkan menggunakan air steril (aquades) hingga konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm, kemudian diteteskan kedalam masing masing wheel yang telah diisi Artemia. Sebagai kontrol digunakan satu wheel tambahan tanpa penambahan ekstrak kasar lamun, setelah 24 jam, masing masing wheel kembali diamati, dihitung, dan dicatat jumlah larva yang hidup. Data yang digunakan dalam perhitungan BSLT adalah data Artemia yang mati, kemudian data tersebut dikonversi kedalam bilangan logaritma dari Tabel Probit (Lampiran 2). Perolehan nilai dari Tabel Probit dan nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan kemudian dimasukan ke dalam persamaan regresi, sehingga diperoleh nilai konsentrasi LC 50. Ilustrasi proses uji toksisitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10. 55
Gambar 10 Proses kegiatan uji toksisitas 3.3.5. Uji bioantifouling Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktivitas hambat biofilm ini diawali dengan melakukan selekesi bakteri uji, seperti yang dipaparkan dalam Gambar 11. Bakteri pembentuk biofilm yang digunakan adalah genus Vibrio, hal ini mengacu pada hasil penelitian Mayavu et al. (2009) dan Yildiz and Visick (2009) yang menyatakan Vibrio spp. adalah bakteri pembentuk biofilm dan dapat memicu pembentukan fouling. Bakteri Vibrio spp. yang digunakan dalam penelitian diseleksi dari isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi P2O LIPI. Seleksi bakteri dilakukan untuk mendapatkan bakteri Vibrio sp. pembentuk biofilm tertinggi dengan menggunakan metode Biofilm Formation Assay (Ramage et al. 2001). Isolat bakteri pembentuk biofilm terpilih kemudian diremajakan kembali dalam media Marine agar, berikutnya dikultur pada media selektif Thiosulfat Citrate Bile Sucrose (TCBS) untuk mendapatkan genus Vibrio (Feliatra 1999), proses ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Isolat bakteri pembentuk biofilm, koleksi Laboratorium mikrobiologi P2O LIPI Seleksi isolat bakteri Vibrio spp. dengan menggunakan media agar selektif TCBS 2 isolat bakteri uji Vibrio spp. Identifikasi awal bakteri, dengan metode pewarnaan gram (+/-) Gambar 11 Alur skematik seleksi bakteri uji Uji aktivitas hambat biofilm ini menggunakan metode difusi agar yang diadopsi dari Jensen et al. (1998) dan El-Hady et al. (2007), yaitu bakteri terpilih dikulturkan pada media marine agar dan diletakkan pada masing masing cawan petri, kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu 28 0 C. Pada saat yang bersamaan, kertas cakram yang telah disiapkan dicelupkan kedalam ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mg/ml dan 20mg/ml, kemudian didiamkan selama 1 jam agar pelarut menguap. Kertas cakram yang sudah dicelupkan diletakan pada media agar yang telah disebar bakteri biofilm terpilih, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 0 C. Aktivitas hambat ekstrak lamun diukur berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk. Proses uji aktivitas hambat biofilm selama penelitian ini ditampilkan pada Gambar 13. 57
Gambar 12 Proses mendapatkan bakteri terpilih Gambar 13 Proses uji aktivitas hambat biofilm 3.4. Analisis Data Data rendemen hasil ekstraksi lamun dianalisis dengan menggunakan uji anova dua arah, kemudian dilanjutkan dengan uji F, untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Hasil uji fitokimia, berupa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun dianalisis secara deskriptif. Data hasil uji toksisitas BSLT dianalisis dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui keeratan hubungan antara mortalitas Artemia salina dengan log konsentrasi ekstrak lamun yang diberikan. Hasil uji anti bakteri biofilm (bioantifouling) berupa nilai diameter zona hambat bakteri biofilm dianalisis secara deskriptif.