Bioakumulasi 137 Cs Melalui Jalur Air Laut Pada Kerang Tahu (Meretrix Meretrix) Di Perairan Teluk Jakarta Dengan Variasi Salinitas Air Laut ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
Universitas Pakuan Bogor. Kemampuan Bioakumulasi 137 Cs pada Penaeus sp Asal Tanjung Kait Tangerang Melalui Jalur Air Laut dengan Variasi Salinitas

Kajian Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Sebagai Fitoremedia 134 Cs

BAB I PENDAHULUAN. terutama dipenuhi dengan mengembangkan suplai batu bara, minyak dan gas alam.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perairan telah menjadi permasalahan kesehatan lingkungan hampir semua negara

EFEKTIFITAS DEPURASI UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb dan Cd DALAM DAGING KERANG DARAH (Anadara granossa)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

AKTIVITAS CESIUM-137 ( 137 Cs) DI PERAIRAN BANGKA SELATAN SEBAGAI BASE LINE DATA RADIONUKLIDA DI PERAIRAN INDONESIA

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perlakuan dalam penelitian ini diulang

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis) Dengan Aplikasi Perunut Radioaktif

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 Metodologi Penelitian

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KUAT ARUS PADA ANALISIS LIMBAH CAIR URANIUM MENGGUNAKAN METODA ELEKTRODEPOSISI

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. buang tanpa adanya pengolahan limbah yang efesien dan terbuang mengikuti arus

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Sarana, Bahan dan Alat Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

III. METODE PENELITIAN

II. BAHAN DAN METODE

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE)

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

III. METODOLOGI PENELITIAN di Laboratorium Kimia Analitik dan Kimia Anorganik Jurusan Kimia

3. METODE PENELITIAN

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Maret 2012 di

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. energi baru yang potensial adalah energi nuklir. Energi nuklir saat ini di dunia

AKTIVITAS RADIONUKLIDA ANTROPOGENIK 137 CS DI PERAIRAN SEMARANG BERDASARKAN SIRKULASI ARUS GLOBAL

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata,

II. BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

PEMANTAUAN RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI SEMENANJUNG LEMAHABANG, JEPARA TAHUN 2005

Modul 5 Bioremediasi Polutan Organik

III. METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

DISTRIBUSI RADIONUKLIDA CS-134 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG HIDUP DI AIR TERCEMAR CS-134

ANALISIS KADAR MERKURI (Hg) Gracilaria sp. DI TAMBAK DESA KUPANG SIDOARJO

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

Studi Distribusi Radionuklida 134 Cs pada Sistem Perairan Tawar

BAB III BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

III. METODOLOGI PENELITIAN. di laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai

III. METODOLOGI PERCOBAAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan September

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang kesejahteraan perekonomian keluarga dan daerah. Industri ini

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. formula menggunakan HPLC Hitachi D-7000 dilaksanakan di Laboratorium

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2014

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Waktu dan Tempat

ACARA IV PERCOBAAN DASAR ALAT SPEKTROFOTOMETER SERAPAN ATOM

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENENTUAN KONSENTRASI RADIONUKLIDA ALAM DAN LOGAM BERAT DI PERAIRAN SEMENANJUNG LEMAHABANG

BAB IV METODE PENELITIAN. menggunakan suatu kolompok eksperimental dengan kondisi perlakuan tertentu

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2011,

3. METODE PENELITIAN

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III BAHAN DAN METODE

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 6: Cara uji kadar amoniak (NH 3 ) dengan metode indofenol menggunakan spektrofotometer

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Udara ambien Bagian 4: Cara uji kadar timbal (Pb) dengan metoda dekstruksi basah menggunakan spektrofotometer serapan atom

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

Transkripsi:

Bioakumulasi 137 Cs Melalui Jalur Air Laut Pada Kerang Tahu (Meretrix Meretrix) Di Perairan Teluk Jakarta Dengan Variasi Salinitas Air Laut Dian Kosasih Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengentahuan Alam, Universitas Pakuan Bogor ABSTRAK Radionuklida buatan saat ini sudah dimanfaatkan secara luas sehingga mengakibatkan lingkungan menerima konsekuensi ekologis berupa peningkatan radiasi yang berdampak pada kualitas lingkungan ditinjau dari aspek radioekologi. Radioekologi berkembang menjadi kajian ilmiah yang secara sistematis menelaah perilaku, distribusi, dan mekanisme perpindahan radionuklida dalam berbagai ekosistem. Isotop 137 Cs terlepas ke perairan dari percobaan senjata nuklir, buangan limbah radioaktif dan kecelakaan reaktor nuklir Fukushima Jepang. Isotop 137 Cs masuk ke perairan Indonesia memalui Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Sifat radioaktif 137 Cs yang mudah larut dalam air mengakibatkan akumulasi pada biota laut dan ekosistem laut lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan absorpsi dan disorpsi kontaminan 137 Cs pada dengan berbagai variasi salinitas air laut dan mempelajari kemampuan bioakumulasinya. Penelitian ini meliputi pengambilan sampel kerang tahu (Meretrix meretrix) di Tanjung Kait Tangerang, persiapan akuarium dan air laut, aklimatisasi dalam air laut murni, Pembuatan variasi salinitas air laut, bioakumulasi 137 Cs memalui jalur air laut dan pembuatan standar kerang tahu (Meretrix meretrix). Tahapan pada bioakumulasi 137 Cs melalui jalur air laut meliputi kontaminasi melalui jalur air laut, pengukuran aktivitas 137 Cs pada, depurasi dan pengukuran aktivitas 137 Cs saat depurasi. Data aktivitas 137 Cs diperoleh melalui tahapan bioakumulasi 137 Cs dan pembuatan standar kerang tahu (Meretrix meretrix) yang ditentukan dengan parameter biokinetika. Pengukuran aktivitas 137 Cs pada proses bioakumulasi 137 Cs jalur air laut dan kerang tahu (Meretrix meretrix) tanpa kontaminan (standar) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer gamma detektor HPGe. Hasil penelitian ini menunjukan variasi salinitas air laut mempengaruhi biokinetika proses bioakumulasi 137 Cs oleh pada proses pengambilan yang ditandai semakin bertambahnya nilai konstanta laju pengambilan (k u ) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut 3,5077 Bq g -1 hari -1 ; 3,8953 Bq g -1 hari -1 ; 5,1125 Bq g -1 hari -1 dan 14,663 Bq g -1 hari -1. Pada proses depurasi variasi salinitas tidak mempengaruhi yang ditandai nilai laju pelepasan (k e ) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut 0,14953 hari -1 ; 0,10092 hari -1 ; 0,17396 hari -1 dan 0,15898 hari -1. Kata Kunci : Bioakumulasi 137 Cs,, Biokinetika, Variasi Salinitas, Spektrofotometer Gamma. 1

PENDAHULUAN Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) memberi arahan agar upaya pemakaian energi baru dan terbarukan ditingkatkan. Energi baru adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari energi terbarukan maupun energy tak terbarukan. Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energy yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Salah satu sasaran dari Kebijakan Energi Nasional adalah pemanfaatan energi nuklir yang merupakan salah satu bentuk energi baru. Isotop 137 Cs di Samudera Pasifik dikhawatirkan sampai ke perairan Indonesia melalui Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Kekhawatiran ini disebabkan Indonesia terletak diantara dua samudera besar di dunia, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Selama ini Indonesian Troughflow (ITF) lebih banyak diketahui merupakan aliran dari Samudra Pasifik ke Samudera Indonesia melewati Selat Makasar. Menurut Global Drifter Programi dari Agustus 1988 sampai dengan Juni 2007 terindikasi Selat Karimata merupakan saluran penting lainnya untuk ITF dari laut Cina Selatan ke perairan laut Indonesia. Menurut fakta jumlah drifter yang melalui Selat Karimata lebih tinggi Mengacu pada aliran laut di Jepang dimana karakteristik arus Kurosi Current membawa massa air sepanjang pesisir Jepang bagian timut ke lautan terbuka. Cabang dari Kuroshio juga membawa massa air ke lautan Pasifik yang pada akhirnya masuk ke perairan Jawa melalui ITF (Suseno, Heny. 2013). Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah melakukan beberapa penelitian serta serta mengkaji kemungkinan pembangunan PLTN di Indonesia, namun gagasan pembangunan PLTN ini mendapat tantangan dari masyarakat terhadap tingkat keamanan reaktor nuklir yang di gunakan untuk mengoperasikan PLTN. Kekhawatiran masyarakat ini didasarkan pada dampak radiasi yang akan ditimbulkan oleh reaktor PLTN, dampak tersebut dapat berupa kerusakan jaringan sel tubuh akibat terjadinya perubahan struktur molekul sel yang terpapar radiasi, selain itu materi genetik dari sel itu sendiri, yakni DNA, juga dapat mengalami perubahan. Adanya mutasi pada DNA sel dapat juga menjadi penyebab tumbuhnya sel kanker (Magill dan Galy, 2005) Kerang tahu (Meretrix meretrix) merupakan hewan filter feeders yang memasukan pasir kedalam tubuhnya kemudian mengakumulasikan pasir tersebut dilapisan tubuhnya. Ciri utamanya memiliki dua cangkang yang pipih dan lateral. Tubuhnya bersifat simetri bilateral dan berada dalam cangkang. Akumulasi pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dapat disebabkan oleh kontaminasi langsung dari perairan atau kontaminasi pada pakan siput laut (Suseno dan Prihatiningsih,2013). Kontaminasi 137 Cs pada sistem perairan laut salah satunya akibat dari kasus kecelakaan nuklir reaktor Fukushima, Jepang dan global fall out (Suseno dan Prihatiningsih, 2013; Suseno, Heny et al, 2015), dapat menimbulkan dampak 2

radiologi jangka panjang karena radiocesium dapat masuk ke dalam suatu rantai makanan. Keberadaan radionuklida 137 Cs di perairan kemudian akan terakumulasi pada beberapa biota laut, antara lain TATA KERJA Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium kapasitas 300 L dan 80 L, sistem filtrasi akuarium terdiri dari wadah filter, pompa, selang dan kapas filter. Skimmer, sistem penghasil oksigen terdiri dari aerator, selang aerator dan batu aerator. Torrent, coolbox, ice gel,,jaring ikan, bak plastik, toples kaca,saringan berukuran 0,45 µm, gelas beaker 1000 ml, batang, lampu, timbangan digital, Labu ukur 100 ml, 500, pipet gondok 5 ml dan bulp, vial 5 ml, tabung plastik kecil, spektrometer gamma, perangkat computer, Mikropipet 10-100 µl serta kulkas. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Air laut bebas kontaminan yang telah difiltrasi, Perunut radionuklida 137 Cs aktivitas 185 MBq, Kista Artemia sp, aquades, dan larutan klorin (bayclin). METODE Pengambilan Sampel Kerang tahu (Meretrix meretrix) Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang digunakan sebagai bioindikator dalam penelitian ini diperoleh dari tempat aklimatisasi hasil tangkapan laut Teluk Jakarta di Tanjung Kait. Sampel Kerang tahu (Meretrix meretrix) dibersihkan dari lumpur yang menempel dan dimasukkan ke dalam plastik sampel sementara dengan volume air laut dan oksigen yang cukup agar biota tetap hidup, kemudian diletakkan di dalam coolbox yang dilengkapi dengan ice gel untuk dibawa ke Laboratorium Akuatik PTKMR BATAN dan menjalani proses aklimatisasi Persiapan Akuarium Dan Air Laut Persiapan akuarium dilakukan dengan cara menyiapkan dan memastikan akuarium berkapasitas 300 L yang akan digunakan tidak bocor, setelah akuarium siap, dilakukan pengisian air laut kedalamnya sebanyak 250 L. Kemudian pada aquarium yang sudah berisi air laut tersebut dipasangkan sistem filtrasi, pompa, serta batu aerasi yang terhubung dengan aerator. Perangkat-perangkat ini berfungsi untuk mensirkulasi oksigen yang terlarut dalam air laut agar aklimatisasi biota dapat berjalan dengan baik. Proses aerasi ini dilakukan 1 hari sebelum biota yang akan diaklimatisasi dilakukan kedalam aquarium tersebut. Aklimatisasi Kerang tahu (Meretrix meretrix) Proses aklimatisasi berfungsi untuk memberikan waktu adaptasi bagi objek penelitian berupa organisme hidup di lingkungan penelitian. Proses aklimatisasi Kerang tahu (Meretrix meretrix) dilakukan dengan menetapkan beberapa Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang akan dijadikan objek penelitian pada akuarium air laut, lengkap dengan sistem sirkulasi dan filtrasi, yang akan dijadikan media penelitian selama 18 hari.. Proses aklimatisasi dilakukan dengan memelihara Kerang tahu (Meretrix meretrix) selama 7 hari tanpa pemberian kontaminan. Penggantian 3

air laut dalam akuarium dilakukan setiap hari di pagi hari. Pemberian pakan berupa Artemia sp untuk Kerang tahu (Meretrix meretrix) dilakukan 2 kali sehari, yaitu saat pagi dan sore hari. Sebelum dipakankan ke Kerang tahu (Meretrix meretrix), kista Artemia sp. harus ditetaskan terlebih dahulu selama kurang lebih 3 hari. Sebanyak 3 gram kista Artemia sp dicuci dengan 2 L air laut yang dicampur 5 ml larutan klor (pemutih bayclin) selama 2 menit, kemudian dibilas dengan air laut untuk menghilangkan sisa klorin. Penetasan kista Artemia sp. dilakukan di dalam toples kaca berisi 2 L air laut yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan pencahayaan yang baik dari lampu pada suhu ruang. Selama pemberian pakan, sistem filtrasi dihentikan kurang lebih selama 2 jam. Selama proses aklimatisasi, akuarium diberikan pencahayaan 12 jam gelap dan 12 jam terang. Percobaan dapat dilanjutkan jika jumlah Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang mati saat proses aklimatisasi kurang dari 20%. Variasi Salinitas Sebanyak 4 akuarium kapasitas 80 L diisi air laut. Akuarium A (30 L air laut ), Akuarium B (27 L air laut + 3 L air tawar), Akuarium C (25 L air laut + 5 L air tawar), Akuarium D (23 L air laut + 7 L air tawar). Selanjutnya ke 4 (empat) akuarium tersebut diukur salinitas air lautnya dengan menggunakan konduktometri. Penambahan air tawar bertujuan untuk menurunkan salinitas air laut sehingga diperoleh variasi salinitas yang diinginkan. Kontaminasi Kerang tahu (Meretrix meretrix) melalui Media Air Laut dan Proses Pengambilan (Uptake) Kontaminan serta Pengukuran Aktivitas 137 Cs pada Kerang tahu (Meretrix meretrix) Sebanyak 4 akuarium berkapasitas 80 L masing-masing diisikan 30 L air laut yang sudah difiltrasi dan di variasi salinitas air lautnya yaitu akuarium A (33 ppt ), akuarium B (34 ppt ), akuarium C (35 ppt), akuarium D (36 ppt), kemudian ke dalam tiap akuarium ditambahkan 0,324 ml perunut radioaktif 137 Cs dengan aktivitas 185 kbq (dibuat dengan cara mengencerkan 0,316 ml larutan baku perunut radioaktif 137 Cs dengan aktivitas 185 MBq dalam labu ukur 1000 ml pada 04 Maret 2016) sehingga aktivitas radionuklida 137 Cs dalam tiap akuarium sebesar 2 Bq/mL air laut. Diambil 2 Kerang tahu (Meretrix meretrix) di tempatkan ke 4 akuarium berbeda (A,B,C,D) yang telah di variasi salinitasnya. Proses kontaminasi dan uptake kontaminan dilakukan selama 7 hari. Proses pengukuran aktivitas 137 Cs pada Kerang tahu (Meretrix meretrix) dilakukan setiap hari dalam kurun waktu kontaminasi (7 hari). Sebelum dilakukan pengukuran setiap harinya, Kerang tahu (Meretrix meretrix) diberi makan terlebih dahulu selama 15 menit. Pengukuran dilakukan dengan detektor gamma HPGe yang terhubung dengan high voltage power supply (HVPS Model 3106D), spektroskopi amplifier (model 2022) dan perangkat lunak Genie-2000. Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang akan diukur ditempatkan pada tabung plastik bening berisi air laut yang sudah diaerasi dan diletakan pada sampel holder. Setiap kali pengukuran harus dilakukan dengan kondisi yang sama, yakni jarak tabung dengan detektor, tinggi air dalam tabung, serta geometri tabung 4

yang digunakan. Pengukuran dilakukan selama 5 menit untuk tiap tiap Kerang tahu (Meretrix meretrix). Depurasi Kerang tahu (Meretrix meretrix) dan Pengukuran Aktivitas 137 Cs Saat Depurasi Proses depurasi dilakukan selama 4 hari dengan menempatkan Kerang tahu (Meretrix meretrix) A, B, C, dan D pada 4 akuarium berbeda berisi air laut bebas kontaminan serta lengkap dengan sistem filtrasi dan aerasi. Air laut tiap akuarium diganti setiap hari selama proses depurasi. Pemberian pakan tetap dilakukan dengan waktu dan jenis pakan yang sama seperti sebelumnya. Pengukuran aktivitas radionuklida 137 Cs pada proses depurasi dilakukan setiap hari selama kurun waktu depurasi (4 hari). Sebelum dilakukan pengukuran, Kerang tahu (Meretrix meretrix) diberi makan terlebih dahulu selama 30 menit setiap harinya di wadah khusus untuk feeding. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan detektor HPGe. Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang akan diukur ditempatkan pada wadah silinder plastik bening (diameter 7 cm, tinggi 7 cm) berisi air laut. Pengukuran dilakukan dengan memperhatikan jarak wadah dengan detektor, tinggi air dalam wadah, serta geometri wadah yang digunakan. Pengukuran dilakukan selama 300 sekon untuk tiap Kerang tahu (Meretrix meretrix) uji. Pembuatan Standar Kerang tahu (Meretrix meretrix) Pembuatan standar Kerang tahu (Meretrix meretrix) dilakukan dengan cara mengambil Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang bebas kontaminasi. Bagian daging Kerang tahu (Meretrix meretrix) dipisahkan dari cangkangnya dan dimasukkan tissue ke dalam cangkang tersebut. Pada tissue tersebut diteteskan perunut radionuklida 137 Cs (aktivitas 185 kbq) sejumlah 50 µl sebanyak 1 kali, sehingga aktivitas 137 Cs pada standar Kerang tahu (Meretrix meretrix ) sebesar 9,25 kbq. Standar Kerang tahu (Meretrix meretrix) yang telah diberi perunut kemudian dimasukkan ke dalam plastik, disegel, dan diletakkan ke dalam wadah yang kondisinya sama seperti wadah yang digunakan untuk counting harian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan detektor HPGe. Standar yang telah siap kemudian diukur aktivitasnya. Pengukuran dilakukan selama 100 sekon untuk tiap standar Kerang tahu (Meretrix meretrix). Pengolahan Data Biokinetika Setelah keseluruhan proses dilalui, ditentukan faktor konsentrasi dengan membandingkan aktivitas tracer dalam air laut dengan dalam tubuh Kerang tahu (Meretrix meretrix) dan parameter biokinetika lainnya dengan menggunakan persamaan-persamaan biokinetika proses bioakumulasi. PEMBAHASAN Cesium (Cs) dalam bentuk radioisotop 137 Cs memiliki sifat yang sama dengan unsur-unsur dalam golongan logam alkali lainnya, seperti Natrium (Na + ), Kalium (K + ) maupun Rubidium (Rb + ). Cesium lebih reaktif terhadap oksigen dan halogen, dan kurang reaktif terhadap N, C dan H. Kelarutan 137 Cs yang tinggi dalam air menyebabkan radionuklida ini sangat mudah terdistribusi dalam lingkungan aquatik dan akhirnya akan bermuara 5

C (Bq) Universitas Pakuan di perairan sehingga penyebarannya dalam laut sangat dipengaruhi oleh proses fisika berupa pencampuran dan difusi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Povinec et al. (2005), hanya 10% 137 Cs yang dapat diikat oleh partikulat dalam air laut dan mengendap ke dasar sebagai sedimen. Pengambilan dan retensi pencemar oleh makhluk hidup mengakibatkan peningkatan kepekatan yang dapat memiliki pengaruh yang merusak. Proses ini dapat terjadi oleh penyerapan langsung dari lingkungan sekeliling atau oleh penyerapan suatu pencemar melalui jalur makanan. Bioakumulasi dalam organisme laut adalah langkah pertama sebelum organisme tersebut menunjukan responnya terhadap pencemar dalam siklus biogeokimia. Untuk menaksir efek kerusakan terhadap lingkungan dari beberapa polutan yang terdistribusi ke lingkungan dapat diuji dengan menggunakan spesies yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Mengacu pada berbagai studi bioakumulasi 137 Cs berdasarkan pendekatan biokinetika kompartemen tunggal secara luas telah dilakukan di seluruh dunia dengan menggunakan berbagai macam jenis organisme akuatik yang berbeda seperti kekerangan, ikan, udang, siput dan lain-lain (Sezer et al., 2013). Bioakumulasi 137 Cs melalui Jalur Air Laut pada Kerang tahu (Meretrix meretrix) Pada penelitian ini, dibuat suatu simulasi penambahan unsur kontaminasi radionuklida 137 Cs dengan salinitas air laut yang divariasikan, untuk memperoleh bentuk pemodelan bioakumulsi 137 Cs 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 5 10 waktu (hari) Gambar 9. Kemampuan akumulasi 137 Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) berdasarkan nilai dan parameter biokinetika proses bioakumulasi pada kerang tahu (meretrix meretrix), aktivitas dan konsentrasi 137 Cs yang dikontaminasikan ke dalam media air laut tidak divariasikan yaitu sebesar 2,26 x 10-15 M yang setara dengan 2Bq/ml. Waktu kontaminasi dilakukan selama 9 hari pada kerang tahu (Meretrix meretrix). Data bioakumulasi proses pengambilan (uptake) 137 Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) ditunjukkan lampiran 16. Model kompartemen tunggal digunakan untuk menjelaskan proses bioakumulasi melalui model yang dikonstruksi dari hasil eksperimen, konsentrasi 137 Cs ditentukan oleh laju pengambilan dan pelepasannya, Model kompartemen tunggal memberikan penjelasan secara matematis untuk mengetahui kuantitas senyawa kimia termasuk 137 Cs yang ditentukan oleh laju pengambilan dan pelepasannya (Newman et al., 1996), kemampuan bioakumulasi 137 Cs melalui jalur air laut oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) direpresentasikan oleh nilai Perbandingan konsentrasi aktivitas radionuklida per biota C (Bq). Nilai C (Bq) adalah perbandingan 6

C SS (Bq ) Universitas Pakuan aktifitas hari ke n dengan aktifitas hari pertama, aktifitas yang diterima biota setara dengan jumlah serapan radiasi gamma yang diterima. Proses biokinetika akumulasi kontaminan 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix Gambar 9, terlihat kondisi tunak (steady state) akumulasi 137 Cs pada tercapai setelah 7 hari. Nilai perbandingan konsentrasi aktivitas 137 Cs pada kondisi tunak ( C SS (Bq)) menunjukkan kemampuan akumulasi maksimal biota, dimana laju pengambilan kontaminan 137 Cs sama dengan laju pelepasannya dari tubuh biota. Berdasarkan percobaan diperoleh nilai C SS (Bq) dari kerang tahu (Meretrix meretrix) pada berbagai salinitas air laut seperti pada Gambar 10. 140 120 100 80 60 40 20 0 y = 4E-24x 16,277 R² = 0,7403 32 33 34 35 36 37 Salinitas (ppt) Gambar 10. Hubungan salinitas air laut terhadap nilai C SS (Bq )pada kerang tahu (Meretrix meretrix) Gambar 10 menunjukkan dengan salinitas tertinggi (36 ppt) memiliki nilai C SS (Bq) besar yaitu sebesar 121,56 Bq dan salinitas terendah (33 ppt) memiliki nilai C SS (Bq) sebesar 26,19 Bq. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa salinitas air laut mempengaruhi kemampuan kerang tahu (Meretrix meretrix) mengakumulasi 137 Cs. Semakin tinggi salinitas air laut meretrix) selama 9 hari pada berbagai variasi salinitas air laut. Kemampuan bioakumulasi 137 Cs melalui jalur air laut selama waktu kontaminasi pada variasi salinitas ditunjukkan pada Gambar 9. kemampuan biota mengakumulasi 137 Cs akan semakin tinggi, hal ini ditunjukkan dengan kenaikan nilai C SS (Bq) dari kerang tahu (Meretrix meretrix), yang terjadi seiring naiknya salinitas air laut. Menurut (Brito dalam Blackmore dan Wang, 2002) menyatakan bahwa perubahan salinitas dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan metabolisme fisiologi dari organisme laut. Hal ini dikarenakan salinitas mencerminkan kestabilan kondisi fisik air laut sehingga faktor faktor lingkungan seperti salinititas salah satunya akan mempengaruhi bioakumuasi 137 Cs dengan cara meningkatkan bioavailabilitas. Menurut Oehlmann (2007), bioakumulasi suatu kontaminan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat bioavailabilitas kontaminan terhadap jaringan tubuh suatu organisme, bentuk dan sifat kimiadari kontaminan, serta sistem metabolisme dan organisme yang terkontaminasi. Bioavailabilitas Cs dalam berbagai bentuk senyawaan ataupun ion yang akan terabsorpsi oleh membran sel kerang tahu (Meretrix meretrix) sehingga memicu mudahnya 137 Cs terakumulasi. Maka ketika nilai salinitas rendah bioavailabilitas Cs akan menurun sehingga absorpsi 137 Cs oleh membran sel kerang tahu (Meretrix meretrix) berkurang menyebabkan akumulasi 137 Cs menurun yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai C (Bq). 7

Ku (Bq g-1 hari-1) Universitas Pakuan Kemampuan kerang tahu (Meretrix meretrix) dalam mengakumulasi direpresentasikan oleh laju pengambilan kontaminan (k u ). Dalam kompartemen tunggal nilai k u diartikan sebagai mekanisme pengambilan (uptake) kontaminan oleh tubuh biota. Nilai k u (Bq g -1 hari -1 ) adalah konstanta laju pengambilan (uptake) yang dihitung berdasarkan slope dari kurva CFt terhadap t (dari t = 0 sampai dengan t pada kondisi tunak) (Suseno, 2013). Pada penelitian ini nilai k u diperoleh dari C (Bq) sehingga nilai konstanta laju pengambilan (uptake) dihitung dari slope kurva C (Bq) terhadap t (dari t = 0 sampai dengan t pada kondisi tunak). Laju pengambilan merupakan slope dari plot C (Bq) terhadap waktu. Berdasarkan proses perhitungan yang dilakukan, diperoleh nulai k u dari berbagai variasi salinitas air laut. Hasil perhitungan tersebut menunjukan kecepatan pengambilan kontaminan oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) dipengaruhi oleh salinitas air laut. Semakin tinggi kadar salinitas air laut maka nilai konstanta laju pengambilan (k u ) akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Gambar hubungan antara salinitas air laut dengan nilai kostanta pengambilan (k u ) ditunjukan pada Gambar 11. 20 15 10 5 y = 5E-24x 15,636 R² = 0,8003 0 32 33 34 35 36 37 salinitas (ppt) Gambar 11. Hubungan Variasi salinitas air laut terhadap Nilai Konstanta Laju Pengambilan (ku) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) Pada kerang tahu (Meretrix meretrix) kemampuan akumulasi 137 Cs berbanding lurus dengan nilai salinitasnya artinya makin kecil salinitas maka tingkat akumulasi akan semakin kecil begitupun sebaliknya. Seperti yang telah diketahui 137 Cs memiliki sifat kimia yang sama dengan unsur 132 Cs, yakni mudah larut dalam air dan tidak mudah bereaksi dengan partikel atau suatu struktur permukaan. Cesium yang terdapat pada air laut dapat masuk ke dalam tubuh biota melalui proses absorpsi pada permukaan tubuh dan terakumulasi pada jaringan yang lunak, menurut (Suseno et al., 2012) radionuklida 137 Cs dalam medium air langsung diakumulasi melalui insang. Akumulasi 137 Cs pada suatu terjadi melalui mekanisme transport aktif, dimana cesium akan menggantikan unsur analognya, yakni kalium, dalam sistem pompa Na + /K + (Sezer et al,2013). Saat masuk ke dalam jaringan tubuh, 137 Cs akan menggantikan K + dalam sistem pompa Na + /K + karena sifat kimiawinya yang sama sehingga dapat diakumulasi oleh biota laut (Metian et al., 2011). Depurasi 137 Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) Depurasi merupakan proses pelepasan kontaminan dari dalam tubuh biota yang secara alami digambarkan sebagai proses yang terjadi bila masuknya kontaminan yang dipaparkan ke lingkungan dikurangi atau dihilangkan, sehingga kontaminan akan tereksternalisasi 8

% teretensi ke ( hari-1) Universitas Pakuan keluar dari dalam jaringan biota. Pada saat proses depurasi seluruh yang telah menjalani proses bioakumulasi di tempatkan dalam akuarium berisi air laut bebas kontaminan. Pada penelitian ini proses depurasi dilakukan selama 4 hari untuk seluruh kerang tahu (Meretrix meretrix) uji dengan perlakuan sama seperti proses bioakumulasi. Setelah itu dilakukan perhitungan untuk menentukan persentase 137 Cs yang teretensi dalam tubuh kerang tahu (Meretrix meretrix) dengan cara membagi area depurasi dengan area proses pengambilan (uptake) pada hari terakhir kemudian dikali 100 persen (%). Proses depurasi dan retensi 137 Cs dalam tubuh biota ditunjukkan oleh Gambar 12. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 2 4 6 Waktu (hari) Gambar 12. Depurasi 137 Cs oleh pada berbagai variasi salinitas air laut Gambar 12 menunjukkan proses depurasi pada kerang tahu (Meretrix meretrix) digambarkan dengan semakin bertambahnya hari depurasi maka presentase 137 Cs dalam tubuh semakin berkurang. Presentase (%) retensi menunjukan presentase aktivitas 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix) semakin menurun selama waktu depurasi pada berbagai salinitas yang berbeda. Adanya penurunan presentase (%) retensi 137 Cs menunjukan bahwa terjadinya proses depurasi 137 Cs dari tubuh.. Proses eksresi 137 Cs dari dalam tubuh kerang tahu (Meretrix meretrix) merupakan proses untuk menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuhnya. Kemampuan melepas kontaminan oleh tubuh direpresentasikan oleh nilai konstanta pelepasan (k e ). Nilai k e diperoleh dari slope grafik % kontaminan yang diretensi VS waktu (t) (Suseno. 2013). Persamaan linear diplot kedalam suatu grafik dan ditentukan persamaan garis dari grafik tersebut. Slope dari persamaan garis tersebut merupakan nilai k e dari masing-masing kerang tahu (Meretrix meretrix). Nilai k e dapat dilihat pada Gambar 13. 0,2 0,15 0,1 0,05 0 32 33 34 35 36 salinitas (ppt) Gambar 13. Hubungan salinitas terhadap Nilai Konstanta Laju Pelepasan (k e ) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) Cesium akan berperilaku seperti kalium ketika masuk kedalam tubuh biota, sehingga akan dieliminasi dengan cara yang sama seperti kalium. yakni dengan mekanisme regulasi komposisi ionik melalui proses reabsorbsi pada ginjal (nephridia) dan keluar bersama ammonia (McCarry et al.2006). 9

t1/2b (hari) Universitas Pakuan Berdasarkan Gambar 12 diperlukan waktu lebih dari 4 hari untuk mengekresikan cesium secara maksimal dari dalam tubuh kerang tahu (Meretrix meretrix). Penurunan konsentrasi 137 Cs dalam tubuh biota tidak maksimal dipengaruhi ukuran Cesium yang cukup besar sebagai ion kemungkinan mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk proses ekskresi ini. Selain itu juga kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kadar 137 Cs pada media air laut yang sangat rendah memungkinkan tubuh biota untuk kembali mengikat Kalium dan mensubstitusi Cesium serta mengeliminasinya dari dalam tubuh. Gambar 13 menunjukkan hubungan antara bobot biota dengan nilai k e. Pada salinitas terendah yaitu 33 laju pelepasan sebesar 0,14953 sedangkan pada salinitas tertinggi yaitu salinitas 36 laju pelepasan sebesar 0,15898, tetapi laju pelepasan tertinggi ada pada salinitas 35 yaitu sebesar 0,17396. ini menandakan salinitas optimum pelepasan kontaminan pada kerang tahu (Meretrix meretrix) pada salinitas 35. kerang tahu (Meretrix meretrix) tersebut akan berusaha mengeluarkan kontaminan 137 Cs dalam tubuhnya pada tingkatan salinitasnya untuk menghindari efek toksik akibat paparan 137 Cs yang dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh. Nilai laju pelepasan (k e ) 137 Cs merepresentasikan seberapa besar pelepasan 137 Cs dari kerang tahu (Meretrix meretrix). Konstanta laju pelepasan kontaminan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemampuan ekskresi biota yang meliputi sistem kerja enzim dan faktor eksternal. Setelah menentukan nilai k e, ditentukan pula waktu paruh biologis (t 1/2 b) yang menunjukan waktu yang diperlukan 137 Cs pada tubuh kerang tahu (Meretrix meretrix) untuk berkurang menjadi setengah dari jumlah awal yang masuk kedalam tubuh. Waktu paruh biologis ditentukan dengan persamaan (21). nilai (t 1/2 b) 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix) ditunjukkan Gambar 14. Waktu paruh biologis dari dengan variasi salinitas didapatkan pada salinitas terendah yaitu 33 sebesar 4,6355 dan pada salinitas tertinggi yaitu 36 sebesar 4,3599 dan pada salinitas optimum yaitu salinitas 35 sebesar 3,9845, hal ini menunjukkan waktu paruh biologis berbanding terbalik dengan nilai k e. 8 6 4 2 0 32 33 34 35 36 37 salinitas (ppt) Gambar 14. Hubungan antara salinitas dengan waktu paruh biologis pada kerang tahu (Meretrix meretrix) Waktu paruh biologis pada adalah 4 sampai 6 hari. Lamanya waktu paruh biologis 137 Cs pada berhubungan dengan sistem ekskresi tubuh biota tersebut yang melibatkan biotransformasi dalam proses metabolisme yang mencakup 10

perubahan konformasi dari 137 Cs dan konjugasi 137 Cs terhadap gugus lain sehingga dapat diekskresikan keluar dari tubuh biota. Kontaminan 137 Cs yang tidak terserap oleh kompartemen tubuh biota akan dikeluarkan melalui feses dan urin (McCarry et al. 2006) KESIMPULAN 1. Nilai C (Bq) aktivitas 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix) saat kondisi tunak dengan variasi salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt ;36 ppt setelah terpapar 137 Cs selama 9 hari secara berturut turut 26,19 Bq; 29,85 Bq; 34,64 Bq dan 121,56 Bq. 2. Nilai konstanta pengambilan (k u ) berdasarkan nilai C (Bq) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dengan salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt ;36 ppt setelah terpapar 137 Cs selama 9 hari berturut turut 3,5077 Bq g -1 hari -1 ; 3,8953 Bq g -1 hari -1 ; 5,1125 Bq g -1 hari -1 dan 14,663 Bq g - 1 hari -1. 3. Nilai konstanta laju pelepasan (k e ) 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dengan salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt ;36 ppt berturut turut adalah 0,14953 hari -1 ; 0,10092 hari -1 ; 0,17396 hari -1 dan 0,15898 hari -1. 4. Waktu paruh biologis (t 1/2b ) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) untuk melepaskan setengah dari konsentrasi 137 Cs dengan salinitas 33; 34; 35 ;36 secara berturut turut adalah 4,6355 hari; 6,8682 hari; 3,9845 hari dan 4,3599 hari. 5. Variasi salinitas air laut mempengaruhi biokinetika proses bioakumulasi 137Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) pada proses pengambilan yang ditandai semakin bertambahnya nilai konstanta laju pengambilan (k u ) seiring meningkatnya salinitas. Pada proses depurasi variasi salinitas air laut tidak mempengaruhi nilai konstanta laju pelepasan (k e ). DAFTAR PUSTAKA Blackmore, G. dan W. X. Wang., 2002. Inter-Population Differences in Cd, Cr, Se, and Zn Accumulation by the Green Mussel Perna viridis Acclimated at Different Salinities. The Hong Kong University of Science and Technology. Hong Kong. 13pp. Tidak diterbitkan. Magill, Joseph & Jean, Galy. 2005. Radioactivity Radionuclides Radiatiaon. New York : Springer. McCarry, Heather et al. 2006. Ultimate Visual Dictionary. Paperback Editon. DK Publishing. Metian, Marc., Warnau, Michel., Teyssie, Jean-Louis., Bustamante, Paco.2011. Characterization of 241 Am and 134 Cs bioaccumulation in the king scallop Pecten maximus: investigation via three exposure pathways. Journal of Environmental Radioactivity 102: 543-550. 11

Newman, M. C. dan Jagoe, R. H. 1996. Bioaccumulation Models With Time Lags: Dynamics And Stability Criteria. Ecological Modelling 84,281286. Pollution Bulletin. National Nuclear Agency. Indonesia. Oehlmann, Jorg & Ulrike, Schulte- Oehlmann. 2007. Mollusc as Bioindicator. Marine Pollution Bulletin, Pp. 494-498. Povinec, P.P., Aarkrog, A., Buesselerc, K.O., Delfanti, R., Hirosee, K., Hong, G. H., Itoa, T., Livingston, H. D., Nies, H., Noshkin, Shimai, S., Togawaa, O 2005. 90 Sr, 137 Cs and 239,240 Pu concentration surface water time series in the Pacific and Indian Oceans. WOMARS results, Journal of Environmental Radioactivity 81: 63-87 Sezer, Narin et al. 2013. Biokinetics of Radiocesium in Shrimp (Palaemon adspersus): seawater and food exposures. Journal of Environmental Radioactivity 132: 15-20. Suseno, Heny, Prihatiningsih, Wahyu Retno, dan Cahyana, Chevy 2012. Studi Radioekologi Kelautan untuk Mendukung Rencana Pembangunan PLTN di Provinsi Bangka Belitung. Prosiding insinas. Suseno, Heny & Prihatiningsih, W. Retno. 2013. Monitoring 137 Cs And 134 Cs At Marine Coasts In Indonesia Between 2011 And 2013. Marine 12