PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan salah satu hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Perkembangan volume dan nilai perdagangan tanaman hias, sayur-sayuran, buah-buahan dan aneka tanaman yang termasuk dalam komoditas hortikultura berfluktuasi setiap tahunnya. Volume ekspor buahbuahan pada tahun 2004 adalah sebanyak 210 182 344 kg, setara dengan nilai US$ 122 836 691 yang merupakan 61.3% dari total nilai ekspor komoditas hortikultura. Sedangkan volume impor buah-buahan adalah sebanyak 393 353 172 kg, setara dengan nilai US$ 224 589 553 yang merupakan 61.7% dari total nilai impor komoditas hortikultura. Perubahan volume dan nilai ekspor dan impor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 secara lebih lengkap ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Ekspor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 2002 2003 2004 No Komoditas Volume Volume Volume (kg) (kg) 1 Tanaman hias 19,906 12,134 14,672 13,872 15,428 14,446 2 Sayur-sayuran 157,569 56,943 133,042 59,240 114,855 59,466 3 Buah-buahan 225,368 138,373 189,648 131,501 210,182 122,837 4 Aneka tanaman 2,163 2,211 2,775 3,341 3,669 3,631 Total Ekspor 405,006 209,661 340,137 207,954 344,134 200,380 Satuan volume dalam 1000 kg, satuan nilai dalam 1000 US$ Tabel 2 Impor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 2002 2003 2004 No Komoditi Volume Volume Volume 1 Tanaman hias 808 1,020 819 1,152 897 1,343 2 Sayur-sayuran 372,692 115,244 373,461 114,951 434,476 136,137 3 Buah-buahan 274,783 220,253 228,649 195,006 393,353 224,590 4 Aneka tanaman 742 1,904 491 2,232 355 2,007 Total Impor 649,025 338,421 603,420 313,341 829,081 364,077 Satuan volume dalam 1000 kg, satuan nilai dalam 1000 US$
2 Buah dikonsumsi terutama karena dapat memenuhi nilai gizi seperti vitamin, protein dan mineral yang tidak terdapat atau dalam keadaan kurang pada komoditas pangan. Komoditas pangan sebagai sumber makanan pokok cenderung hanya menjadi sumber karbohidrat bagi manusia. Salah satu komoditas hortikultura buah yang banyak diminati oleh konsumen adalah duku (Lansium domesticum L.). Duku merupakan tanaman buah berupa pohon, diduga berasal dari Asia Tenggara bagian barat, mulai dari semenanjung Thailand di sebelah barat sampai Kalimantan di sebelah timur (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992). Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menyatakan bahwa duku menjadi salah satu buah-buahan budidaya utama di Asia Tenggara bagian barat serta terdapat dalam jumlah kecil di Vietnam, Burma, India, Sri Lanka, Hawaii, Australia, Suriname dan Puerto Rico. Produksi duku saat ini sudah tersebar secara luas di seluruh pelosok nusantara (Tabel 3). Luas panen, produksi dan produktivitas duku secara nasional tahun 1999-2003 disajikan pada Tabel 4. Luas panen duku pada tahun 2003 telah mencapai 25 198 ha dengan produksi buah sebanyak 232 814 ton dan rata-rata produktifitasnya adalah 9.239 ton/ha. Selama ini duku umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Konsumsi buah duku segar hanya bisa dilakukan pada musim panen yang berlangsung relatif singkat yaitu bulan Januari-Mei setiap tahunnya. Musim serta lamanya panen duku tersebut berbeda-beda pada setiap lokasi dan setiap tahunnya. Untuk mendapatkan buah duku di luar musim panen, duku yang dikalengkan dapat menjadi suatu alternatif. Tompunu dan Indriaty (1998) meneliti duku kaleng yang diberi zat aditif asam benzoat dan sirup gula yang dapat bertahan selama 3 bulan. Selain itu menurut Malingkas dan Sitorus (1998), duku dapat dijadikan kismis yang dapat bertahan selama 4 bulan dengan penambahan vitamin C dengan konsentrasi 0.3% Gregory (2005) berpendapat bahwa kesadaran konsumen semakin meningkat dalam hal mengkonsumsi produk yang alami dan organik. Banyak teknologi penanganan pascapanen yang telah dikembangkan untuk menyediakan pangan tanpa penggunaan pengawet kimia dan tanpa pemanasan. Teknologi tersebut diantaranya adalah kemasan atmosfer termodifikasi dan terkontrol serta teknologi pengolahan minimal.
3 Tabel 3 Produksi duku di Indonesia No Provinsi --- ton --- Produksi 2001 2002 2003* 1 Nangroe Aceh Darussalam 3,742 4,473 2,496 2 Sumatera Utara 5,168 6,433 3,589 3 Sumatera Barat 3,700 3,255 1,816 4 Riau 3,876 7,839 4,374 5 Jambi 13,599 12,247 6,834 6 Sumatera Selatan 15,581 45,870 25,594 7 Bengkulu 1,924 2,998 1,673 8 Lampung 5,206 8,945 4,991 9 Kepulauan Bangka Belitung 795 3,142 1,753 Sumatera 53,591 95,202 53,120 10 DKI Jakarta 250 88 49 11 Jawa Barat 5,704 9,480 5,290 12 Jawa Tengah 4,819 7,619 4,251 13 D.I. Yogyakarta 624 1,498 836 14 Jawa Timur 2,676 5,146 2,871 15 Banten 1,909 1,673 933 Jawa 15,982 25,504 14,230 16 Bali 541 830 463 17 Nusa Tenggara Barat 206 577 322 18 Nusa Tenggara Timur - - - Bali dan Nusa Tenggara 747 1,407 785 19 Kalimantan Barat 2,177 7,235 4,037 20 Kalimantan Tengah 2,265 3,996 2,230 21 Kalimantan Selatan 5,718 8,365 4,667 22 Kalimantan Timur 3,982 5,736 3,201 Kalimantan 14,142 25,332 14,135 23 Sulawesi Utara 1,920 5,536 3,089 24 Sulawesi Tengah 1,714 2,904 1,620 25 Sulawesi Selatan 19,603 41,224 23,002 26 Sulawesi Tenggara 3,216 6,604 3,685 27 Gorontalo 117 71 40 Sulawesi 26,570 56,339 31,436 28 Maluku 1,222 696 388 29 Maluku Utara 499 3,143 1,754 30 Papua 318 727 406 Maluku dan Papua 2,039 4,566 2,548 Indonesia 113,071 208,350 116,254 * : Perkiraan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2003 Teknologi pengolahan minimal berkembang karena permintaan konsumen yang cenderung ingin praktis dalam mengkonsumsi makanan. Pada awal perkembangannya, bahan pengawet kimia masih diizinkan untuk digunakan dalam
4 teknologi pengolahan minimal. Pemakaian pengawet kimia tersebut direduksi seminimal mungkin bahkan tidak dipakai sama sekali disebabkan semakin meningkatnya kesadaran konsumen dalam mengkonsumsi makanan yang bebas dari bahan kimia berbahaya. Tabel 4 Luas panen, produksi dan produktivitas duku di Indonesia Tahun No Keterangan 1999 2000 2001 2002 2003 1 Luas Panen (ha) 11,131 16,883 17,232 21,128 25,198 2 Produksi (ton) 69,870 111,248 113,071 208,350 232,814 3 Produktivitas (ton/ha) 6.277 6.589 6.562 9.861 9.239 Teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan pengawet kimia untuk memperpanjang umur simpan dalam pengolahan minimal adalah kemasan atmosfer termodifikasi. Menurut Laurila dan Ahvenainen (2002), salah satu kunci keberhasilan dalam pengolahan minimal buah adalah kemasan. Metode kemasan yang paling sering dipelajari untuk menyiapkan buah terolah minimal adalah kemasan menggunakan atmosfer terkendali atau modified atmosphere packaging (MAP). Prinsip dasar dalam penerapan MAP adalah modifikasi atmosfer diciptakan secara pasif dengan menggunakan bahan kemasan yang baik permeabilitasnya, atau secara aktif dengan menggunakan perpaduan gas tertentu dengan bahan kemasan permeabel. Tujuan kedua prinsip tersebut adalah untuk menciptakan kesetimbangan gas yang optimal dalam kemasan, dimana aktifitas respirasi produk menjadi serendah mungkin dengan tingkat konsentrasi oksigen dan karbondioksida yang tidak sampai merugikan bagi produk (Laurila dan Ahvenainen, 2002). Buah duku terolah minimal dapat dijadikan alternatif penyajian dari buah duku segar. Kulit buah duku yang diolah secara minimal dikupas sebagian atau seluruhnya sehingga konsumen dapat secara langsung melihat mutu daging buah. Penerapan metode seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepuasan konsumen karena dapat mengetahui secara langsung mutu daging buah duku yang akan dikonsumsinya serta mengurangi susut pascapanen akibat pencoklatan kulit buah.
5 Walaupun kulit buah duku telah mengalami perubahan warna menjadi berwarna coklat, mutu daging buah masih tetap layak untuk dikonsumsi (Hatton Jr et al., 1986; Saputra, 1999; Widodo, 2005). Konsumen cenderung menolak buah duku yang kulitnya telah berubah warna menjadi coklat walaupun ada kemungkinan mutu daging buah tetap baik. Perubahan warna kulit buah duku seperti ini akan meningkatkan susut pascapanen jika tidak dilakukan pengolahan pascapanen seperti duku terolah minimal atau duku dalam kaleng. Metode pengukuran mutu buah duku telah dilakukan secara non destruksi oleh Hendri (2001) dan Rosita (2001). Hendri (2001) melakukan pendugaan buah duku tidak berbiji menggunakan gelombang cahaya tampak berdasarkan aplikasi jaringan syaraf tiruan. Rosita (2001) menggunakan rangkaian alat NIR (Near Infrared Reflektance) untuk memprediksi kadar gula dan kekerasan buah duku. Dalam rangka memperkaya metode pengukuran mutu buah duku, penelitian ini menerapkan teknik analisis citra digital untuk mengukur perubahan warna kulit dan daging buah duku selama penyimpanan. Penerapan analisis citra digital di bidang pertanian sudah banyak dikembangkan untuk pemutuan dan sortasi hasilhasil pertanian yang salah satunya parameternya berdasarkan pada pengukuran warna seperti jeruk lemon, ribbed smoked sheet, biji kopi dan bunga krisan (Damiri, 2003; Riadi, 2003; Syaefullah, 2004; Sofi i, 2005). Penggunaan metodemetode mutu tersebut diharapkan dapat memperluas penggunaan teknologi pengukuran mutu hasil pertanian di Indonesia serta menjadi masukan untuk pengembangan sistem sortasi buah duku secara terintegrasi. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kondisi kemasan atmosfer termodifikasi yang sesuai untuk memperpanjang masa simpan buah duku terolah minimal dengan mutu yang masih bisa diterima oleh konsumen. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Mengkaji karakteristik laju respirasi buah duku terolah minimal pada beberapa tingkat suhu penyimpanan dan bentuk buah terolah minimal. 2 Menentukan komposisi atmosfer termodifikasi dan suhu penyimpanan. 3 Memilih jenis film kemasan atmosfer termodifikasi. 4 Menentukan umur simpan buah duku terolah minimal dalam kemasan film terpilih.