TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BELITUNG PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SKRIPSI BIGAR ERBOWO

I. PEDAHULUAN. sekitar 2-5 ekor ternak per rumah tangga peternak (RTP). Skala yang kecil

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns. meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

PENDAHULUAN mencapai ekor, tahun 2015 bertambah menjadi ekor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERLUASAN AREAL UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN TERNAK KERBAU

FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang baik. Potensi dan kelebihan sapi lokal bisa dimanfaatkan secara optimal apabila manajemen pemeliharaan dan perawatan dilakukan dengan baik. Anggraini (2003) menyatakan usaha peternakan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, yaitu: 1) peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya digunakan sebagai usaha sambilan dengan skala usaha rakyat untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan tingkat pandapatan dari ternak kurang dari 30%; 2) peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70%; 3) peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat pendapatan mencapai 70-100%; 4) peternakan sebagai skala industri dengan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%. Struktur industri peternakan di Indonesia sebagian besar tetap bertahan pada skala usaha rakyat. Ciri-ciri usaha rakyat yaitu tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar, ukuran usaha relatif sangat kecil, dan pengadaan input utama yaitu HMT bergantung pada musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan HMT terbatas, produksi butiran terbatas dan sebagian besar bergantung pada impor (Yusdja, 2005; Swastika et al., 2000). Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan lambannya perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama produksi sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi daging sapi nasional. Produksi tersebut sulit dicapai karena dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan, ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian, teknologi budi daya rendah, tujuan pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan 3

(reproduksi) dan penggemukan (Roessali et al. 2005), dan budi daya sapi potong dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah. Faktor kedua terletak pada sentra produksi sapi di kawasan timur Indonesia. Produksi sapi pada kawasan ini sebanyak 16% dari populasi nasional, serta memiliki padang penggembalaan yang luas. Kendala produksi kawasan timur Indonesia adalah tingkat mortalitas tinggi, pada musim kemarau panjang sapi menjadi kurus, dan angka kelahiran rendah. Kendala lainnya adalah berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya rendah, akses ke lembaga permodalan sulit, dan penggunaan teknologi rendah (Syamsu et al. 2003; Isbandi 2004; Ayuni 2005; Rosida 2006). Ilham (1995) juga menegaskan bahwa faktor lain yang menjadi permasalahan adalah sistem pemeliharaan ternak di Indonesia. Sebagian besar ternak sapi dipelihara secara tradisional dalam usaha rakyat. Ada tiga sistem pemeliharaan yang umum digunakan oleh peternak rakyat, yaitu 1) sistem ekstensif yaitu sistem pengembalaan atau grazing (NTT, NTB, Bali, Kalsel, sebagian Sumatera, dan sebagian Kalimantan), pemeliharaan dengan sistem ini hanya untuk status sosial peternak dan tabungan, 2) sistem intensif yaitu sapi tidak digembalakan dengan sistem cut and carry (Jatim dan Jateng, sebagian Sulawesi), pengembangan peternakan dengan sistem ini sangat bergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga yang bertugas mencari pakan hijauan. Pengembangan ternak dengan menyediakan pakan hijauan akan mengurangi tenaga kerja keluarga dan skala usaha bisa meningkat. Tujuan produksi sistem ini adalah tenaga kerja tanpa memperdulikan pasar dan produksi, 3) sistem kombinasi, ternak digembalakan pada lahan yang terbatas dan kekurangan pakan hijauan dalam kandang. Sistem pemeliharaan kombinasi bertujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sapi bakalan. Pada pemeliharaan intensif, sapi dikandangkan terus-menerus atau dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sistem pemeliharaan secara intensif banyak dilakukan oleh petani di Jawa, Madura, dan Bali. Sistem pemeliharaan ekstensif banyak dilakukan oleh peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Ternak pada sistem ini umumnya dipelihara di padang pengembalaan dengan pola pengembalaan pertanian menetap atau di pelihara di hutan (Sugeng, 2006). 4

Kebijakan pengembangan ternak sapi harus melihat ketiga aspek tersebut karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi sehingga penanganannya akan berbeda, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan pakan (Ilham, 1995). Selain itu sistem pemasaran yang ada tidak memberikan intensif yang layak kepada peternak. Para peternak tidak mempunyai daya tawar sehingga peran pedagang menjadi dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain perdagangan ternak hidup antar pulau dan wilayah menimbulkan biaya angkutan dan resiko ekonomi yang besar, sementara perdagangan karkas belum layak dilakukan karena infrastruktur yang tersedia belum memadai. Usaha peternakan tradisional memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) sebagian besar usaha masih berskala kecil sebagai usaha keluarga; 2) tingkat keterampilan peternak rendah dan modal usaha yang kecil; 3) belum memanfaatkan bibit unggul dan jumlah ternak produktif yang sedikit; 4) penggunaan ransum tidak efisien dan bellum disediakan secara khusus; 5) kurang memperhatikan pencegahan penyakit, dan 6) usaha belum bersifat komersil. Kawasan Peternakan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004) menyatakan konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keragaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan atau wilayah yang diperuntukkan secara khusus untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung, suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah wilayah peternakan yang memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berorientasi pada industri dari hulu sampai hilir (Departemen Pertanian, 2002). Ciri-ciri kawasan agribisnis peternakan meliputi lokasi yang sesuai dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dikembangkan oleh masyarakat atau kelompok dalam kawasan tersebut secara biofisik dan sosial ekonomi, komoditas terdiri atas ternak unggul, pengembangan kelompok tani menjadi kelompok usaha, sebagian besar pendapatan masyarakat berasal dari usaha peternakan, prospek pasar jelas, ketersediaan teknologi yang memadai, peluang pengembangan produk yang 5

tinggi, dan memiliki kekuatan kelembagaan atau jaringan kelembagaan yang memiliki akses usaha hulu sampai hilir (Departemen Pertanian, 2002). Saragih (2000) menjelaskan subsistem agribisnis berbasis peternakan mencakup empat subsistem yaitu: 1) subsistem agribisnis hulu peternakan, subsistem ini meruapakn kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi peternakan (sapronak), 2) subsistem agribisnis budidaya peternakan, kegiatan ekonomi yang menggunakan sapronak untuk menghasilkan komoditi peternakan primer, 3) subsistem agribisnis hilir peternakan, kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi peternakan primer menjadi produk olahan, 4) subsistem agribisnis jasa peternakan, kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh subsistemlain seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah. Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2004), kawasan peternakan dilihat dari segi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kawasan peternakan baru, kawasan peternakan binaan, dan kawasan peternakan mandiri. Kawasan peternakan baru merupakan kawasan yang dikembangkan di suatu daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tetapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Ciri-ciri kawasan peternakan baru yaitu petani telah memiliki usaha tani lain atau belum memiliki usaha tani di sektor agribisnis, belum terbentuk kelompok tani, dan memiliki lahan yang cukup luas dan potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber pakan ternak. Kawasan binaan merupakan kawasan lanjut dari kawasan peternakan baru, yaitu daerah yang telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok tani pemula menjadi kelompok tani madya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan menjadi kawasan binaan. Kelompok tani pada kawasan binaan telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok mulai dirintis dengan membentuk Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Kawasan peternakan mandiri adalah pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang luas. Kemampuan kelompok tani telah meningkat menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama dengan kelompok tani lain dalam wadah KUBA. Kelompok tani pada kawasan ini telah 6

memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2004). Komponen-komponen yang menjadi indikator pembentuk suatu kawasan peternakan sapi potong adalah lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Departemen Pertanian, 2002). Produktivitas Ternak Produktivitas ternak dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dinamika populasi, produksi, dan aspek konsumen. Ditinjau dari dinamika populasi dapat diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam persentase (%). Selain itu produktivitas dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, angka pertambahan alami, calf crop, angka mortalitas ternak, dan reproduksi ternak (Basuki, 1998). Menurut Taylor (1984), produktivitas ternak ditinjau dari aspek produksi dan suplai daging dapat diukur dari produksi daging rata-rata pada setiap ekor ternak. Produksi daging setiap ekor dipengaruhi oleh bobot potong, bobot tubuh kosong, persentase bobot karkas, persentase bobot non karkas, dan rasio daging-tulang. Ditinjau dari segi konsumen produktivitas ternak berpengaruh pada kualitas fisik dan kimia daging saat dijual. Kualitas fisik dan kimia tersebut akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan diterima oleh produsen (peternak). Bestari et al. (1998) menyebutkan faktor yang memperngaruhi produktivitas ternak adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor yang paling dominan adalah faktor ekstrinsik yaitu lingkungan yang mencakup sistem pemeliharaan dan kesehatan ternak. Selain itu faktor induk juga mempengaruhi produktivitas karena kemampuan induk membesarkan anak (mothering ability) pada setiap induk tidak sama. Produksi Sapi Potong Hardjosubroto (1994) menyatakan, produktivitas ternak ditentukan oleh dua aspek yaitu penampilan produksi dan penampilan reproduksi. Produktivitas biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Menurut Prescot 7

(1979), secara umum produktivitas seekor ternak ditentukan oleh tiga faktor yaitu genetik, lingkungan, dan umur. Faktor keturunan akan mempengaruhi performa seekor ternak dan faktor lingkungan merupakan pengaruh kumulatif yang dialami oleh ternak sejak terjadinya pembuahan hingga dewasa. Produksi sapi yang baik akan dihasilkan apabila seekor ternak selain mempunyai genetik yang tinggi, ternak juga memiliki daya adaptasi lingkungan serta tatalaksana yang baik. Produksi ternak sapi potong berhubungan erat dengan performansnya. Performans ternak dapat dilihat dari bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan kondisi tubuh. Bobot badan ternak dapat diketahui dengan melakukan penimbangan atau menggunakan alat penduga bobot hidup untuk menggambarkan penampilan produksi seekor ternak. Beberapa ukuran tubuh dapat dijadikan sebagai indikator bobot hidup seperti lingkar dada panjang badan, dan tinggi gumba (Hardjosubroto, 1994). Ukuran tubuh bukan hanya menentukan keadaan performans ternak itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi performans ternak keturunannya (Siregar et al., 1984). Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai pertambahan bobot badan per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran urat daging, tulang, dan organ-organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bangsa ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologi lingkungan ternak (Soeparno, 1998). Laju pertumbuhan yang berbeda diantara bangsa dan individu ternak dalam suatu bangsa disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat, dan bobot tubuh lebih berat pada saat mencapai pubertas daripada bangsa ternak yang kecil. Kecepatan pertumbuhan sapi sangat cepat pada tahun pertama setelah sapi mencapai pubertas dan kemudian menurun kembali setelah mencapai dewasa kelamin (Tulloh, 1978). Reproduksi Sapi Potong Menurut Toelihere (1993), reproduksi merupakan suatu fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital pengaruhnya terhadap kehidupan individu ternak tapi sangat berpengaruh pada kelangsungan suatu jenis hewan. Reproduksi menjadi dasar utama untuk menentukan tingkat produksi ternak di dalam peternakan. Reproduktivitas sapi potong yang tinggi merupakan kunci keberhasilan tingginya produksi ternak, terutama berhubungan dengan jumlah anak yang dilahirkan. Ternak 8

sapi potong memiliki empat permasalahan reproduksi yang sering terjadi yaitu lama kebuntingan yang panjang, interval dari lahir hingga estrus pertama yang panjang, tingkat konsepsi yang rendah, dan tingkat kematian anak dari lahir hingga disapih tinggi dan bervariasi. Perbedaan penampilan reproduksi suatu bangsa ternak dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi dan tatalaksana reproduksi. 9