BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beberapa keuntungan dibanding dengan sediaan farmasi lain. Beberapa keuntungan

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

BAB I PENDAHULUAN. Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

bahan tambahan yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik sehingga dapat dicetak langsung. Pada pembuatan tablet diperlukan bahan

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

struktur yang hidrofobik dimana pelepasannya melalui beberapa tahapan sehingga dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi (Bushra et al,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan antiinflamasi lainnya. Dosis ibuprofen sebagai anti-inflamasi mg sehari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL...

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. modifikasinya tidak pelak lagi merupakan sediaan yang paling popular

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asam fenofibrat merupakan metabolit aktif fenofibrat yang praktis tidak

Beberapa hal yang menentukan mutu tablet adalah kekerasan tablet dan waktu hancur tablet. Tablet yang diinginkan adalah tablet yang tidak rapuh dan

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hiperlipidemia yang tidak larut dalam air, diabsorbsi pada saluran gastrointestinal

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Pemeriksaan Bahan Baku Pemeriksaan bahan baku ibuprofen, HPMC, dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV dan USP XXIV.

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB IV PROSEDUR KERJA

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembuatan Tablet Asetosal dengan Metode Granulasi Kering

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

Khasiatnya diketahui dari penuturan orang-orang tua atau dari pengalaman (Anonim, 2009). Salah satu tanaman yang telah terbukti berkhasiat sebagai

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

6/2/2013. Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika Unsoed DISOLUSI

FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA

BAB I PENDAHULUAN. Pemberian pulveres kepada pasien ini dilakukan dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1) ketepatan dosis, 2) mudah cara

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pembuatan Tablet CTM Dengan Metode Kempa Langsung

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

FORMULASI SEDIAAN TABLET PARASETAMOL DENGAN PATI BUAH SUKUN (Artocarpus communis) SEBAGAI PENGISI

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. adalah obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Praktikum Analisis Sediaan Farmasi Penentuan kadar Asam salisilat dalam sediaan Bedak salicyl

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom P3A4 menjadi asam fenofibrat (Shah dkk., 2014). Asam fenofibrat merupakan metabolit aktif dari fenofibrat yang mempunyai mekanisme aksi dapat meningkatkan katabolisme Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dengan cara meningkatkan sintesis lipase lipoprotein sebagai hasil dari penurunan level VLDL (Lacy dkk., 2008). Zhu dkk (2010) menyatakan bahwa absorbsi asam fenofibrat di saluran gastrointestinal 81% sedangkan absorbsi fenofibrat sebesar 69%. Godfrey dkk (2011) menyatakan bahwa 105 mg asam fenofibrat bioekuivalen dengan 145 mg fenofibrat. Asam fenofibrat praktis tidak larut dalam air (Sweetman, 2009), sehingga perlu diupayakan peningkatan kelarutan dan disolusinya melalui pembentukan dispersi padat, yaitu teknik untuk meningkatkan kelarutan dan disolusi bahan aktif yang tidak larut dengan cara mendispersikan bahan aktif dalam polimer hidrofilik. Metode yang digunakan dalam pembuatan dispersi padat yaitu dengan metode pelarutan yang dilakukan dengan tiga cara variasi. Keuntungan dari dispersi padat adalah memudahkan pelarutan, meningkatkan bioavailabilitas dari obat yang sukar larut bila dicampurkan dengan pembawa yang mudah larut, mengurangi resiko penggumpalan, dan bertambahnya kelarutan obat dalam pelarut yang larut dalam air (Martin dkk., 1983). Surfaktan SLS dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi fenofibrat (Naeem dan Bhise, 2013). Sedangkan penambahan 1 superdisintegran SSG dapat dilakukan untuk meningkatkan waktu hancur dan disolusi tablet dispersi padat fenofibrat (Srinarong dkk.,

2009). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh inkorporasi surfaktan SLS dan superdisintegran SSG terhadap sifat fisik dan disolusi tabet dispersi padat asam fenofibrat menggunakan tiga metode variasi pelarutan dalam rangka mendapatkan profil sifat fisik dan disolusi tablet asam fenofibrat yang lebih baik. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh inkorporasi sodium lauril sulfat dan sodium starch glikolat terhadap sifat fisik serta disolusi tablet dispersi padat asam fenofibrat? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inkorporasi sodium lauril sulfat dan sodium starch glikolat terhadap sifat fisik serta disolusi tablet dispersi padat asam fenofibrat. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah peningkatan disolusi tablet dispersi padat asam fenofibrat dengan penambahan surfaktan sodium lauril sulfat dan superdisintegran sodium starch glikolat dalam rangka mendapatkan sediaan tablet asam fenofibrat dengan profil disolusi yang lebih baik. E. Tinjauan Pustaka 1. Fenofibrat dan asam fenofibrat Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat mempunyai titik leleh 79-82 o C dengan BM

sebesar 360,83 dan mempunyai kelarutan dalam air 0,25 μg/ml. Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom P3A4 menjadi asam fenofibrat (Shah dkk., 2014). Asam fenofibrat merupakan metabolit dari fenofibrat yang mempunyai mekanisme aksi dapat meningkatkan katabolisme Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dengan cara meningkatkan sintesis lipase lipoprotein sebagai hasil dari penurunan level VLDL (Lacy dkk., 2008). Asam fenofibrat memiliki BM sebesar 318,75, titik lebur 179-183 C, kelarutan dalam air 60 μg/ml, konsentrasi puncak di plasma 4-5 jam dengan dosis oral, terkonjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresi lewat urin (Shah dkk., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Zhu dkk (2010) menyatakan bahwa absorbsi asam fenofibrat di saluran gastrointestinal 81% sedangkan absorbsi fenofibrat sebesar 69%. Godfrey dkk (2011) menyatakan bahwa 105 mg asam fenofibrat bioekuivalen dengan 145 mg fenofibrat. Asam fenofibrat memiliki nama kimia 2-[4-(4-chlorobenzoyl)phenoxy]-2- methylpropanoic acid, praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform (Sweetman, 2009). Struktur fenofibrat dan asam fenofibrat dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur kimia a) fenofibrat; b) asam fenofibrat (American Pharmaceutical Assosiation, 2007) 2. Dispersi padat Dispersi padat merupakan fase padat yang terdiri dari satu komponen dan sistem, dapat juga disebut sebagai campuran kristal dari satu komponen di dalam komponen lain. Dispersi padat mencakup cara-cara untuk memudahkan pelarutan dan seringkali memudahkan bioavailabilitas dari obat yang sukar larut bila dicampurkan dengan pembawa yang mudah larut (Martin dkk., 1983). Dispersi padat digunakan untuk meningkatkan laju

disolusi zat aktif yang sukar larut, juga digunakan untuk memperlambat laju pelepasan zat aktif. Hal ini merupakan cara untuk memperpanjang kerja zat aktif (Siregar dan Wikarsa, 2010). Metode dalam pembuatan dispersi padat menurut Agoes (2008) yaitu : a. Metode peleburan (melting method) Dispersi padat yang dibuat dengan metode peleburan dilakukan dengan cara memanaskan secara langsung campuran obat dan pembawa hingga melebur, kemudian leburan ini didinginkan dengan cepat hingga memadat. Selanjutnya massa padat dihaluskan dan diayak. Keuntungan metode ini yaitu sederhana dan ekonomis sedangkan kerugiannya tidak sesuai untuk bahan yang tidak tahan pemanasan. b. Metode pelarutan (solvent method) Dispersi padat yang dibuat dengan metode pelarutan dilakukan dengan cara melarutkan campuran fisik dua komponen padat didalam pelarut yang sama, kemudian diikuti dengan menguapkan pelarutnya. Keuntungan metode ini yaitu dapat mencegah peruraian bahan obat atau pembawa, karena penguapan pelarut organik dilakukan pada suhu rendah. Sedangkan kerugiannya yaitu sukarnya menguapkan pelarut secara sempurna, adanya pengaruh pelarut terhadap kestabilan kimia bahan obat dan sukarnya menghasilkan bentuk kristal. c. Metode campuran (melting-solvent method) Metode campuran merupakanobat yang dilarutkan dalam pelarut organik dalam jumlah kecil, kemudian dilebur pada suhu dibawah 70 o C, selanjutnya dikeringkan dan digerus lalu diayak (Agoes, 2008). 3. Disolusi

Disolusi merupakan proses suatu zat padat masuk dalam pelarut dan menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat melarut dan proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Siregar dan Wikarsa, 2010). Suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin dkk., 1993). Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut. Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju diabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah (Martin dkk., 1993). Kecepatan disolusi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi menurut Martin dkk (1993) yaitu : a. Suhu Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. b. Viskositas Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.

c. ph pelarut ph pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah. Untuk asam lemah: Jika (H+) kecil atau ph besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat. Untuk basa lemah: Jika (H+) besar atau ph kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat. d. Pengadukan Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi. jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang. e. Ukuran partikel Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat. f. Polimorfisme Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar. g. Sifat permukaan zat Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah. Macam-macam metode resmi uji disolusi : a. Metode Rotating basket

Metode rotating basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37ºC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Shargel dan Yu, 1985). b. Metode Paddle Metode paddle terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan seperti pada metode rotating basket suhu dipertahankan pada 37ºC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Shargel dan Yu, 1985). c. Metode disintegrasi yang dimodifikasi Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket dan rack dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini digunakan untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan digunakan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan Yu, 1985).

Penggunaan parameter yang menyatakan kapasitas pelarutan dapat digunakan untuk membandingkan dengan mudah data-data percobaan. Ada 2 macam parameter percobaan pelarutan yaitu: a. Metode klasik Metode ini menunjukkan obat yang terlarut pada waktutertentu dinyatakan sebagai C50, C80, C90, C100 dan waktu yang diperlukan untuk mencapai persentase kelarutan zat aktif yangdinyatakan sebagai T-50%, T-80%, T-90%, T-100% (Khan, 1975). b. Dissolution Efficiency (DE) Metode Dissolution Efficiency (DE) ini merupakan perbandingan luas daerah di bawah kurva dalam waktu tertentu, yang mengekspresikan persentase dari area dengan 100% disolusi dalam waktu yang sama. Keuntungan menggunakan metode DE yaitu dapat menggambarkan seluruh proses disolusi sampai pada waktu tertentu, sehingga mampu menggambarkan semua titik pada kurva disolusi. Disamping itu pengungkapan data metode DE identik dengan pengungkapan data percobaan secara in vivo (Khan, 1975). 4. Tablet Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya yang tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya (Ansel, 1989) Tablet pada umumnya digunakan pada pemberiaan obat secara oral dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Secara garis besar metode pembuatan tablet dibagi menjadi dua, yaitu secara ganulasi dan kempa langsung. Pada Penelitian ini dibuat sediaan tablet dengan metode

kempa langsung yaitu tablet yang dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran. Metode kempa langsung memiliki keuntungan dalam penghematan waktu, bahan dan energi yang diperlukan. Biasanya ke dalam obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain: pengencer atau pengisi, pengikat atau perekat, penghancur, zat pelincir, dan bahan tambahan (Ansel, 1989). 5. Monografi bahan a. Sodium starch glikolat (SSG) Sodium Starch Glikolat (SSG) merupakan superdisentegran yang digunakan dalam pembuatan sediaan oral seperti kapsul dan tablet, baik digunakan dalam kompresi langsung atau granulasi basah. SSG memiliki sifat penyimpanan yang baik dan stabil, meskipun sangat higroskopis. Pada umumnya konsentrasi yang digunakan dalam formulasi antara 2% sampai 8% dengan konsentrasi optimum sekitar 4% (Rowe dkk., 2009). Struktur kimia SSG dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 : Stuktur kimia sodium starch glikolat (Rowe dkk., 2009) b. Sodium lauril sulfat (SLS) Sodium lauril sulfat (SLS) merupakan surfaktan yang terdiri dari campuran garam natrium dari senyawa alkill sulfat primer, terutama terdiri dari sodium dodekil sulfat. Mengandung tidak kurang dari 85% natrium alkil sulfat. SLS berbentuk kristal, warna putih atau kuning pucat, mempunyai bau yang has dan kelarutan sangat mudah larut dalam air

(Depkes RI, 1979). SLS memiliki titik leleh 204-207 C, sebagai surfaktan an-ionik, emulgator, zat pembasah, lubrikan pada tablet dan kapsul. Konsentrasi SLS sebagai surfaktan pada tablet sebesar 0,5-2,5% (Rowe dkk., 2009). Struktur SLS dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Struktur kimia sodium lauril sulfat (Rowe dkk., 2009) c. Magnesium stearat Magnesium stearat mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak lebih dari 8,5% MgO. Merupakan serbuk halus, putih, licin, mudah melekat pada kulit, dan mempunyai bau yang lemah tapi khas. Magnesium stearat praktis tidak dapat larut air, etanol (95%) dan dalam eter P. Magnesium stearat merupakan lubrikan yang mengurangi gesekan antara dinding ruang cetak dengan sisi tablet saat mengeluarkan tablet dari cetakan (Depkes RI, 1995). Kerja magnesium stearat diketahui sangat bergantung pada ukuran partikel dan kemampuan magnesium stearat menghilangkan lapis diantara susunan apabila diberi tekanan; jadi, lubrikan menciptakan kerja gelicir yang mengurangi tekanan yang diberikan (Siregar dan Wikarsa, 2010). d. Avicel PH 101 Avicel PH 101 atau mikrokristalin biasanya digunakan sebagai adsorben, suspending agen, tablet disintegran, pengikat tablet dan kapsul. Mikrokristalin murni berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, berbentuk serbuk kristal. Larut dalam larutan 5% v/w sodium hidroksida, tidak larut dalam air, pelarut organik (Rowe dkk., 2009). Avicel berfungsi membiarkan air masuk memasuki matriks tablet melalui pori-pori kapiler, yang memutuskan

ikatan hidrogen pada berkas (ikatan) mikrokristalin selulosa yang berdekatan. Mikrokristalin selulosa merupakan pengikat kering yang paling efektif, zat ini dapat menambah kekerasan secara signifikan pada padatan sebesar 3-5% (Siregar dan Wikarasa, 2010). Struktur kimia Avicel PH 101 dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4: Struktur kimia Avicel PH 101 (Rowe dkk., 2009) 6. Spektrofotometri UV Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet dengan panjang gelombang 190 nm 380 nm atau pada daerah cahaya tampak dengan panjang gelombang 380 nm - 780 nm. Alat spektrofotometer pada dasarnya terdiri dari sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus, dan alat ukur atau pencatat. Sel serap yang digunakan untuk pengukuran pada daerah serap ultraviolet dibuat dari silika, sedang untuk pengukuran pada daerah tampak dibuat dari kaca. Identifikasi zat secara spektrofotometri UV pada umumnya dilakukan dengan menggambarkan spektrum serapan larutan dalam pelarut dan dengan kadar seperti monografi, untuk menetapkan letak serapan maksimum dan minimum (Depkes RI, 1979). Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan cahaya tampak terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan merupakan suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan. Untuk berbagai bahan farmasi pengukuran spektrum dalam daerah ultraviolet dan cahaya tampak dapat dilakukan dengan ketelitian dan kepekaan yang lebih baik dari pada dalam daerah inframerah (Depkes RI, 1995)

Penetapan kadar pada daerah sinar tampak biasanya untuk membandingkan kesesuaian serapan larutan uji dan larutan baku yang mengandung sejumlah Baku Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI) yang lebih kurang sama. Serapan yang didapat pada penetapan kadar dapat diinterpolasikan pada kurva baku dan hasil penetapan kadar dihitung dari kurva baku (Depkes RI, 2014). Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan Rohman, 2011). F. Landasan Teori Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Ketika pemberian secara oral fenofibrat akan berubah menjadi asam fenofibrat yang terdeteksi di dalam darah (Shah dkk., 2014). Asam fenofibrat praktis tidak larut dalam air dan termasuk Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II yaitu memiliki kelarutan rendah sedangkan permeabilitasnya tinggi (Naeem dan Bhise, 2013). Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan disolusi obat yang sukar larut dalam air untuk meningkatkan bioavailabilitas. Upaya tersebut berupa pembentukan dispersi padat asam fenofibrat menggunakan surfaktan SLS dan superdisintegran SSG dalam rangka mendapatkan profil sifat fisik dan disolusi tablet asam fenofibrat yang lebih baik. G. Hipotesis Penambahan sodium lauril sulfat dan sodium starch glikolat dapat mempengaruhi sifat fisik serta meningkatkan laju disolusi tablet dispersi padat asam fenofibrat.