BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi Penelitian

SIFAT HUJAN EKSTRIM PADA PUSAT WILAYAH PERTANIAN. DI JAWA BARAT

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Metode Statistika STK211/ 3(2-3)

Buletin Analisis Hujan Bulan Desember 2015 dan Prakiraan Hujan Bulan Pebruari, Maret dan April 2016 KATA PENGANTAR

BAB IV GAMBARAN UMUM

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

Short Quiz. TIME LIMIT: 10 minutes

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2013

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

JULI 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

AGUSTUS 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

JUNI 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun

ANALISIS TREN INDEKS CURAH HUJAN DAN PELUANG CURAH HUJAN UNTUK PENENTUAN AWAL TANAM TANAMAN PANGAN DI LAMPUNG

5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

Pertemuan III Statistika Dasar (Basic Statistics)

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pola Intensitas Hujan Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

GERHANA MATAHARI CINCIN 1 SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah.

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

25/09/2013. Metode Statistika (STK211) Pertanyaan. Modus (Mode) Ukuran Pemusatan. Median. Cara menghitung median contoh

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

Metode Statistika (STK211) Statistika Deskriptif (2) Dr. Ir. Kusman Sadik Dept. Statistika IPB, 2015

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

PAGU ANGGARAN (Rp) 1 Pengadaan Pakaian Korpri 134,950, Juli. 1 Jasa Kebersihan 164,700,000 Pebruari. 2 Jasa Keamanan 135,000,000 Pebruari

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis 4.4.1. Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang DHK dan DHB maksimum di Jawa Barat beragam (Gambar 8). Di wilayah bagian utara Jawa Barat sebagian besar panjang DHK maksimum berkisar antara 60 sampai 80, kecuali di beberapa wilayah tertentu seperti di sebagain kecil wilayah Cirebon dan Pamengkang panjang DHK maksimum mencapai 100 sampai 120 hari (Gambar 8.a). Sebaliknya panjang deret hari basah maksimum pada wilayah ini relatif lebih pendek dibanding wilayah lain yaitu kurang dari 10 hari (Gambar 8.b). Sebagian besar wilayah di Jawa Barat, panjang DHK maksimum umumnya antara 10 sampai 15 hari (di wilayah bagian tengah). Secara umum keragaman nilai DHK dan DHB maksimum di wilayah Pantura Jabar lebih rendah dibanding dengan yang di wilayah lainnya (Gambar 8). Keragaram terbesar ditemukan di sekitar wilayah Cigede. (a) (b) Gambar 8. Rata-rata panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri) dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat 17

Gambar 9. Simpangan baku panjang Deret Hari Kering (DHK) maksimum (kiri) dan Deret Hari Basah (DHB) maksimum (kanan) di Jawa Barat 4.4.2. Tren Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis terhadap data seri DHK dan DHB menunjukkan bahwa pada bebeberapa stasiun ditemukan adanya kecendrungan panjang DHK yang semakin panjang, sedangkan panjang DHB maksimum cendrung memendek. Tren perubahan seperti ini dapat dilihat secara nyata di stasiun Geofisika Bandung (Gambar 10 dan 11). Namun demikian pola kecendrungan sebaliknya juga ditemukan di beberapa wilayah (Gambar 9 dan 10). Gambar 10. Grafik DHK atau CDD pada stasiun Geofisika Bandung 18

Gambar 11. Grafik DHB atau CWD pada stasiun Geofisika Bandung Tren peningkatan panjang DHK maksimum umumnya terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat dengan laju penambahan panjang DHK antara 1 sampai 5 hari per sepuluh tahun (Gambar 12). Sumedang, Majalengka dan Subang, merupakan daerah yang mempunyai kecenderungan penambahan DHK yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 4 sampai 5 hari per sepuluh tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa resiko kekeringan di wilayah ini juga cendrung semakin tinggi. Hal yang sama juga diamati di sebagian kecil wilayah Malangbong. Gambar 12. Peta Tren Deret Hari Kering (DHK) Jawa Barat 19

Untuk panjang DHB maksimum, stasiun yang menunjukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang nyata hanya di sebagin kecil wilayah Jawa Barat (Gambar 13). Wilayah yang menunjukkan adanya tren peningkatan panjang DHB maksimum yang tinggi ialah di sebelah tenggara Tasikmalaya sekitar daerah Sukawening, kemudian di sebagian wilayah Depok, Cibinong dan Ciampea. Laju penambahan panjang DHB maksimum di wilayah ini ialah antara 5 sampai 10 hari per sepuluh tahun (Gambar 13). Gambar 13. Peta Tren Deret Hari Basah (DHB) Jawa Barat 4.4.3. Sebaran Sifat Hujan Ekstrim Hasil analisis bentuk sebaran statistik yang sesuai dengan sebaran data hujan ekstrim menunjukkan bahwa sebaran yang paling sesuai ialah sebaran normal baik untuk data panjang DHK maupun DHB. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya stasiun yang data panjang DHK dan DHB mengikuti sebaran ini. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir semua dari 90 stasiun di Jawa Barat sebaran data DHK dan DHB mengikuti sebaran, yaitu 78 stasiun untuk data DHK dan 83 stasiun untuk data DBK. Sedangkan untuk sebaran statistik lainnya, banyaknya stasiun yang data DHK dan DBH sesuai dengan sebaran statistik tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang sebaran normal (Tabel 5). Berdasarkan 20

hasil ini, maka pengelompokkan stasiun menurut kesamaan sifat hujan ekstrim dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata dan simpangan baku DHK dan DHB maksimum. Tabel 5. Jumlah dari total 90 stasiun yang sebaran data DHK dan DHB mengikuti sifat sebaran statistik tertentu Sebaran DHK DHB Normal 78 83 Log-Normal 69 69 3-Parameter LogNormal 57 50 Gamma 67 58 3-par Gamma 52 42 Exponential 64 57 2-Parameter Exponential 73 56 Smallest Extreme Value 63 56 Weibull 63 60 2 Parameter Weibull 61 55 Largest Extreme Value 57 52 Logistic 57 51 Log Logitic 61 52 3-Parameter LogLogistic 56 54 Dari hasil analisis gerombol diperoleh dendogram yang menunjukkan bahwa stasiun di Propinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama (Gambar 14). Kelompok 1 merupakan wilayah yang paling kering dan memiliki rata-rata panjang DHK maksimum terpanjang dan DHB terpendek sedangkan Kelompok 4 memiliki panjang deret hari kering maksimum terpendek, tetapi rata-rata DHB bukan yang terpanjang. Secara rata-rata stasiun Kelompok 3 memiliki DHB lebih panjang dari Kelompok 4, namun demikian keragamannya jauh lebih tinggi disbanding kelompok 4 (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa walau- 21

pun kelompok 3 memiliki rata-rata DHB terpanjang namun simpangannya lebih dari dua kali yang di Kelompok 4. Sebaran stasiun menurut kelompok berdasarkan sifat dari DHK dan DBH adalah sebagai berikut: (1) Kelompok 1: Sebagian wilayah Pantai Utara memanjang dari Barat sampai wilayah timur (seperti Kab Bekasi, Kerawang, sebagian Subang, Indramayu sampai daerah Cirebon). (2) Kelompok 2: Sebagian besar daerah Jawa Barat khususnya untuk wilayah bagian tengah sampai selatan, bagian timur ( Ciamis, Tasikmalaya), kemudian meluas ke arah barat sampai Sukabumi, Bagian utara sebagia Bekasi bagian selatan, Subang dan Purwakarta. (3) Kelompok 3: mengelompok di wilayah Jawa Barat bagian timur, yaitu sekitar Kuningan, Sumedang, Bandung, Cimahi dan sekitar Soreang. (4) Kelompok 4, berada di wilayah tengah bagian timur yaitu sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, sampai Puncak dan sebagian wilayah Cianjur. 50 Tree Diagram for 90 Variables Ward`s method Euclidean distances 40 Linkage Distance 30 20 10 0 JB41 JB25 JB75 JB65 JB68 JB74 JB52 JB77 JB71 JB51 JB90 JB86 JB73 JB76 JB50 JB45 JB43 JB40 JB70 JB47 JB44 JB48 JB36 JB80 JB89 JB79 JB4 JB88 JB69 JB37 JB61 JB33 JB54 JB83 JB26 JB66 JB35 JB46 JB42 JB30 JB39 JB9 JB38 JB17 JB29 JB21 JB20 JB87 JB7 JB31 JB72 JB67 JB22 JB23 JB18 JB19 JB24 JB13 JB28 JB16 JB27 JB12 JB85 JB32 JB82 JB8 JB81 JB11 JB10 JB57 JB5 JB3 JB6 JB63 JB2 JB59 JB55 JB62 JB58 JB49 JB78 JB60 JB34 JB56 JB15 JB14 JB64 JB53 JB84 JB1 Gambar 14. Dendogram Pengelompokan Pos Hujan di Jawa Barat 22

Gambar 15. Peta Pengelompokan Pos Hujan berdasarkan parameter DHK dan DHB dengan rata-rata dan standar deviasinya Tabel 6. Simpangan Baku dan Rata-rata DHK dan DHB DHK DHB Kelompok Rata-rata Simpangan Baku Rata-rata Simpangan Baku 1 138 112 18 8 2 82 60 18 9 3 68 47 26 18 4 42 52 18 8 4.4.4. Pembahasan Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa sifat hujan ekstrim, khususnya DHK dan DHB maksimum sudah mengalami perubahan (lihat Gambar 8 dan 9). Namun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data yang lebih panjang dan lengkap. Penelitian ini hanya menggunakan data yang panjang pengamatan masih terbatas yaitu antara 11 sampai 30 tahun (lihat Lampiran 1). Penelitian sifat hujan ekstrim dengan menggunakan periode pengamatan yang lebih 23

panjang (100 tahun) dapat mengetahui perubahan pola antar dekade (interdecadal variability). Dari hasil perhitungan panjang hari kering maupun panjang hari basah dan kecenderungannya, ditemukan bahwa tren untuk DHK perubahannya lebih terlihat nyata, khususnya untuk pantai utara wilayah Jawa Barat. Pada umumnya daerah pantai utara deret hari keringnya, makin bertambah panjang, sementara deret hari basahnya tidak banyak berubah, bahkan sebagian wilayah mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa wilayah yang DHK nya naik dan DHB turun mengalami tingkat risiko kekeringan yang lebih besar, khususnya untuk wilayah pertanian yang tidak mempunyai irigasi yang baik atau wilayah pertanian tadah hujan. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) di DAS Brantas Jawa Timur juga menunjukkan adanya tren penurunan jumlah curah hujan secara signifikan selama beberapa dekade. Tren perubahan DHK dan DBH juga ditemukan di negara lain. Penelitian Deni dkk (2008) di Malaysia, dengan menggunakan data 20 stasiun dengan panjang data dari tahun 1975 sampai tahun 2006, menemukan bahwa di sebagian besar wilayah semenanjung Malaysia telah terjadi peningkatan DHB. Suppiah dan Hennessey (1998), Haylock dan Nichols (2000) dan Manton et al. (2001) juga menemukan hal yang sama di Australia dan wilayah Asia Tenggara. Penelitian mereka menunjukkan bahwa sudah terjadi tren penurunan yang cukup signifikan untuk hujan harian dan suhu ekstrim di wilayah Asia Tenggara bagian barat, dan tren peningkatan pada bagian utara Perancis, Polinesia, Fiji dan beberapa wilayah di Australia. Menurut Rushayati et. al (1989), tanaman yang diberi cekaman air kadar air 50 % kapasitas lapang) selama 10 hari pada fase awal pertumbuhan vegetatif akan memberikan hasil yang rendah. Menurut Niewolt (1989) tanaman yang mengalami kekeringan 7 hari atau lebih akan mengalami dampak yang serius. Selanjutnya Castillo et al.(1992), menemukan tidak adanya hujan 15 hari berturut-turut baik sebelum maupun sesudah inisiasi malai dapat menurunkan hasil tanaman antara 10% sampai 38 %. Karena pentingnya ketersediaan air bagi tanaman, perlu diantisipasi dan dicari tek- 24

nologi budidaya atau varietas yang tahan terhadap cekaman iklim khususnya pada daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap risiko kekeringan dan kelebihan air. Berdasarkan hasil analisis, wilayah yang termasuk kategori memiliki risiko tinggi terhadap kekeringan ialah kelompok 1 (daerah Indramayu, Cirebon, dan sebagian kecil menyebar di wilayah Ciasem, Pamanukan dan sebelah selatan Bekasi yaitu daerah Batujaya) yang umumnya berada di wilayah pantai utara Jawa Barat dan risiko kelebihan air di kelompok 3 (Depok, Cibinong, Bogor dan Parung dan sebagian kecil Bandung dan Cimahi). 25