BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS SLAMET RIYADI SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

Laporan Pendahuluan Typhoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tiap tahunnya. Insiden tertinggi demam thypoid terdapat pada anakanak. kelompok umur 5 tahun (Handini, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. PENGUMPULAN/PENYAJIAN DATA DASAR SECARA LENGKAP

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORI. infeksi systemic bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella thyposa, ditandai oleh panas berkepanjangan (Sumarmo, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

MACAM-MACAM PENYAKIT. Nama : Ardian Nugraheni ( C) Nifariani ( C)

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar di Indonesia bersifat sporadic endemic dan timbul sepanjang tahun. Kasus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. termasuk Indonesia. Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella

BAB I PENDAHULUAN ). Penyakit Typhoid Abdominalis juga merupakan masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di

BAB I Infeksi dengue adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Demam typhoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT R.A KARTINI JEPARA TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan sub tropis terutama di daerah dengan sumber air yang tidak memadai dengan

Laporan Pendahuluan Thypoid Fever (Demam Thypoid)

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas bagian atas, dan sering dijumpai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. atraumatic care atau asuhan yang terapeutik. 500/ penduduk dengan angka kematian antara 0,6 5 %.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di sebagian besar negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Keadaan ini tercemin pada tingginya angka kejadian (358/100.000 penduduk di pedusunan dan 810/100.000 penduduk perkotaan), peningkatan angka kesakitan sebesar 34% dari tahun 1981 sampai 1986, angka kematian rerata yang rasional berkisar antara 2-3,5% dan kekebalan terhadap beberapa obat pilihan untuk demam tifoid cenderung meningkat (Hand ojo, 2004). Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan biakan kuman untuk konfirmasi (IDAI, 2004). World Health Organization (WHO) tahun 2003 terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit (WHO, 2003). Berdasarkan penelitian Deni Era tahun 2011 tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali golongan antibiotik yang banyak digunakan kotrimoksazol sebanyak 22 peresepan (30,99). Pada analisis kesesuaian antibiotik yang digunakan 100% mengalami tepat indikasi, tepat obat 5,4%, tidak tepat obat 9,46% dan tepat dosis sebesar 33 peresepan (46,86%) (Era, 2011).

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinik ringan. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid makin tidak khas. Perbedaan lain antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dewasa. Resiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak lebih besar dengan manifestasi klinis berat, menyerupai kasus dewasa (Hadinegoro, 2000). Antimikroba sehingga menjadi masalah adanya berkembangnya S. typhi. Orang-orang yang diberi antibiotik biasanya mulai merasa lebih baik dalam waktu 2 sampai 3 hari, dan kematian jarang terjadi. Namun, orangorang yang tidak mendapatkan pengobatan dapat terus mengalami demam selama beberapa minggu atau bulan, dan sebanyak 20% mungkin meninggal akibat komplikasi infeksi (Heymann, 2004). Walaupun sekilas tidak terdapat perbedaan yang nyata antara orang dewasa dan anak dalam penggunaan antibiotik, penyebab infeksi pada anak kadang-kadang berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, obat dalam tubuh anak terutama yang masih prematur atau baru lahir, diperlakukan agak berbeda dengan orang dewasa. Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotik pada orang dewasa mungkin berbeda dari orang dewasa, dan karena itu dapat terjadi perbedaan dalam respon terapetik atau efek sampingnya. Beberapa antibiotik seperti kloramfenikol (dosis besar), sulfa dan tetrasiklin tidak boleh digunakan pada neonatus. Konsentrasi antibiotik lebih tinggi dan bertahan lebih lama pada neonatus dibanding balita. Karena itu dosis lebih kecil dan interval pemberian yang lebih panjang (Darmansyah, 2000). RS Slamet Riyadi Surakarta merupakan rumah sakit tipe C. Pada tahun 2010 demam tifoid masuk dalam 10 besar penyakit terbanyak di rumah sakit ini. Survey awal peneliti tercatat jumlah kasus demam tifoid pada tahun 2010 sejumlah 120 kasus. Melihat survey awal ini maka perlu dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik terutama pada anak di RS Slamet Riyadi Surakarta.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan suatu permasalahan: 1. Bagaimanakah penggunaan antibiotik pada pasien anak demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RS. Slamet Riyadi Surakarta tahun 2010-2011?. 2. Apakah penggunaan antibiotik sesuai dengan standar SPO Pelayanan Medis Anak RS Slamet Riyadi Surakarta 2009 dan Depkes RI 2006?. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji pola penggunaan antibiotik berupa : macam/jenis antibiotik, dosis antibiotik, waktu pemberian, serta lama pemberian antibiotik pada penderita demam tifoid pada anak di RS. Slamet Riyadi Surakarta. 2. Mengetahui apakah penggunaan antibiotik untuk penyakit demam tifoid pada anak di RS. Slamet Riyadi Surakarta sesuai dengan standar SPO Pelayanan Medis Anak RS Slamet Riyadi Surakarta 2009 dan Depkes RI 2006. D. Tinjauan Pustaka 1. Demam Tifoid a. Definisi Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi, kuman masuk lewat mukosa usus halus, melalui pembuluh limfe, mengadakan replikasi dan kemudian kembali ke darah dan menyebar ke kelenjar limfoid ileum (plaques peyeri), menimbulkan radang dan membentuk tukak. Tukak inilah yang mudah berdarah dan tembus usus pada stadium rekonvalese waktu tukak membersih pada proses penyembuhan (Soedarmo dkk, 2002). b. Patofisiologi Kuman masuk melalui makanan atau minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding

usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus ( plaque Peyeri) yang mengalami hipertrofi. Kuman ikut aliran mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteriemi sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intr a dan ekstra intestinal) (Juwono, 2004). c. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik demam tifoid pada pediatri tidak khas dan sangat bervariasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi manifestasi klinik dan beratnya penyakit adalah strain S. typhi. Jumlah mikroorganisme yang tertelan, keadaan umum dan status nutrisi (Soegijanto, 2002). Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejalagejala amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid (Juwono, 2004). Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia (Juwono, 2004). Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis: 1. Demam tifoid akut non komplikasi

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung. 2. Demam tifoid dengan komplikasi Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen. 3. Keadaan karier Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses (WHO, 2003). d. Diagnosis Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, menggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, ale rgi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus (IDAI, 2004). Selama stadium awal demam tifoid, penderita dapat didiagnosis menderita bronchitis, bronkopneumonia, gastroenteris atau influenza. Selanjutnya penyakit tersebut dapat dikacaukan pula dengan berbagai infeksi yang disebabkan mikroorganisme intraseluler, yaitu tuberkulosis, infeksi jamur sistemis, bruselosis, tularemia, penyakit yang disebabkan riketsia, shigelosis dan secara epidemiologis juga malaria. Septikemi yang tidak diketahui etiologinya, leukemia, limfoma dan panyakit Hodgkin dapat juga dipikirkan sebagai diagnosis banding. Pertimbangan mengenai akut abdomen dapat disusul dengan tindakan pembedahan (Behrman, 1992). Pemeriksaan penunjang

1. Darah tepi perifer a. Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau pendarahan usus b. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul c. Limfositosis relatif d. Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat 2. Pemeriksaan serologi a. Serologi Widal: kenaikan titer S. thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens b. Kenaikan IgM dan IgG (Thypi-dot) 3. Pemeriksaan biakan salmonella a. Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit b. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4 4. Pemeriksaan radiologik a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau pendarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen (IDAI, 2004). Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia (Probohoesodo,2005). Uji widal merupakan uji aglutinasi yang menggunakan suspensi kuman Salmonella thypi dan S. parathypi sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap S. thypi atau parathypi di dalam serum penderita (Handojo, 2004). e. Pencegahan Tujuan dari pengobatan demam tifoid adalah meniadakan invasi kuman mempercepat pembasmian kuman, mencegah terjadinya komplikasi,

mencegah relaps dan mempercepat penyembuhan. Pendidikan kesehatan sangat penting dalam usaha untuk mencegah terjadinya wabah demam tifoid. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah: 1) Menjaga kebersihan air Air yang kotor seringkali menyebabkan pertumbuhan bakteri atau mikroba, sehingga kualitas air harus benar-benar terjamin kebersihannya untuk minum, memasak, mencuci dan kebutuhan lainnya. 2) Menjaga kebersihan makanan Kontaminasi makanan yang biasanya disebabkan oleh lalat atau debu dapat menyebabkan demam tifoid. 3) Sanitasi Sanitasi dapat mengurangi resiko tumbuhnya Salmonella typhi. Karena jika pada musim hujan aliran air lancar. 4) Pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan merupakan hal yang utama, karena memberi pesan, penyuluhan agar masyarakat sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan. 5) Vaksinasi Vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh sehingga tubuh tidak mudah terserang oleh penyakit. (WHO, 2003). Selain dilakukan pencegahan juga dilakukan pengobatan demam tifoid terdiri dari 2 bagian yaitu: 1) Perawatan Tatalaksana penderita baru dengan kemungkinan demam tifoid sebaiknya dirawat inap. Bila orang tua menolak rawat inap, diterangkan cara merawat di rumah sakit dan kemungkinan timbulnya komplikasi. Rawat inap perlu bagi penderita komplikasi, bila pemasukan makanan atau cairan kurang, orang tua tidak mampu merawat sendiri di rumah dan ada gangguan kesadaran (Soedarmo dkk, 2002).

Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien (Juwono, 2004). 2) Diet Untuk pasien rawat inap diet diberikan secara khusus, yakni diet BBS TKTP (bubur saring tinggi kalori tinggi protein), selama masih panas dengan pengaturan sebagai berikut : a. 5 hari bebas panas = 2 x bubur saring, 1 x bubur nasi, boleh duduk b. 6 hari bebas panas = 1 x bubur saring, 2 x bubur nasi, boleh berdiri c. 7 hari bebas panas = 3 x bubur saring, boleh jalan Kadang pula makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan (Soedarmo dkk, 2002). Benerapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur sering, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (Juwono, 2004). 2. Antibiotik a. Kebijakan dasar pemberian antibiotik Antimikroba sebelum diberikan harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gagal). Antimikroba yang dipilih harus mempertimbangkan: 1. Telah dikenal petensial dan sensitif untuk tifoid. 2. Berspektrum sempit. 3. Efek samping minimal. 4. Tidak mudah terjadi resisten dan carrier.

5. Berspektrum sempit. 6. Cara pemberian mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita baik anak maupun wanita hamil. (Depkes RI, 2006) b. Pemilihan antibiotik untuk demam tifoid Dalam SPO Pelayanan Medis Anak 2009 RS Slamet Riyadi Surakarta penanganan demam tifoid di instalasi rawat inap ini memiliki dua prosedur yaitu: 1. Medikamentosa a) Antipiretik bila suhu > 38,5 0 C kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat. b) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan) 1) Kloramfenikol ( drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau iv, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit <2000/µl, dosis maksimal 2 g/hari 2) Amoxicillin 150-200 mg/kg/hari, oral atau iv selama 14 hari 3) Ceftriaxon 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari 2. Tindakan bedah Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi bedah bila dicurigai komplikasi perforasi usus (Denkesyah, 2009). Selain dari SPO Pelayanan Medis Anak 2009 dalam penelitian ini juga memakai standar dari Depkes RI 2006. Antibiotik harus segera diberikan jika diagnosis sudah ditentukan, antibiotik yang diberikan sebagai terapi awal adalah antibiotik dari kelompok antibiotik lini pertama untuk tifoid. Berikut adalah tabel 1 akan menjelaskan antibiotik yang sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan berdasarkan Depkes RI 2006.

Tabel 1. Antibiotik untuk demam tifoid menurut Depkes RI 2006. Antibiotik Dosis Lini pertama: Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg (2 g) selama 14 hari Anak: 50-100 mg/kg BB/hari. Max 2 g selama 10-14 hari dibagi 4 dosis Amoxicillin dan Ampicillin Dewasa: (3-4) g/hari selama 14 hari Anak: 100 mg/kg BB/ hari selama 10 hari TMP-SMX (Kotrimoksasol) Dewasa: 2 x (160-800) selama 2 minggu Anak: TMP (6-10) mg/kg BB/hari atau SMX (30-50) mg/kg BB/hari selama 10 hari Lini kedua: Quinolon a. Ciprofloxacin: 2 x 500 mg 1 minggu b. Ofloxacin: 2x (200-400 mg) 1 minggu c. Perfloxacin: 1 x 400 mg selama 1 minggu d. Fleroxacin: 1 x 400 mg selama 1 minggu Ceftriaxon Dewasa: 2-4 g/hari selama 3-5 hari Anak: 80 mg/kg BB/hari selama 10 hari Cefixim Anak: (15-20) mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari Tiamfenikol Dewasa: 4 x 500 mg Anak: 50 mg/kg BB/hari selama (5-7) hari bebas panas Kelebihan dan Keuntungan 1. Murah obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk demam 2. Murah dan dapat diberi peroral dan sensifitas masih tinggi 3. Pemberian PO/IV 4. Tidak diberikan leukosit <2000/mm 3 1. Aman ntuk penderita hamil 2. Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis 3. Tidak mahal 4. Pemberian PO/IV 1. Tidak mahal 2. Pemberian PO/IV 1. Perfloxacin dan fleroxacin lebih cepat menurunkan suhu 2. Efektif mencegah relaps dan carrier 3. Pemberian Po 4. Anak tidak dianjurkan karena efek samping mengganggu pertumbuhan kuman 1. Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak 1. Aman untuk anak 2. Efektif 3. Pemberian PO 1. Dapat untuk anak dan dewasa 2. Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah

c. Pengobatan dan perawatan komplikasi a) Tifoid toksik Antibiotik yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat ganda (spektrum luas) seperti kombinasi ampicillin dan kloramfenikol. Pemberian koertikosteroid seperti dexametasone dengan dosis 4 x 10 mg iv, dosis untuk anak 1-3 mg/kg BB/hari selama 3-5 hari. b) Syok septik Penderita dirawat intensif, antibiotik dapat diberikan ganda (spektrum luas) dan parenteral, obat-obat vasoaktif (seperti dopamin) dipertimbangkan bila syok mengarah irreversibel c) Pendarahan dan perforasi Penderita dirawat secara intensif, dipertimbangkan transfusi darah bila telah indikasi, transfusi bila terjadi pendarahan akut jika terjadi sebanyak 5 ml/kg BB/jam dan pemeriksaan hemostatis normal. d) Komplikasi lain Komplikasi lain diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-obatan dan prosedur definitif untuk tifoid tetap diberikan (Depkes RI, 2006).