BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sendiri tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

2 Menetapkan : Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas P

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. SMA Ar-Risalah beralamat Jl. Aula Muktamar no.2 kota kediri,

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB II PROFIL YAYASAN PENDIDIKAN MULIA MEDAN. YAYASAN PENDIDIKAN MULIA Medan didirikan oleh Badan Pendiri

I. PENDAHULUAN. Budaya kekerasan dan kemerosotan akhlak yang menimpa anak-anak usia

BAB IV DESKRIPSI PEKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GAMBARAN SCHOOL CONNECTEDNESS PADA SISWA DI SEKOLAH PEMBAURAN (STUDI KASUS SMA WR SUPRATMAN 2 MEDAN) SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Allah meninggikan orang orang yang beriman di antaramu dan orang -orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al-Mujadalah :11)

INSTRUMEN PENELITIAN QUESIONER (ANGKET) PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA DALAM PILKADA BUPATI

BAB II DESKRIPSI SMA NEGERI DI WILAYAH KOTA JAKARTA BARAT

BAB II DESKRIPSI SMA NEGERI DI WILAYAH KOTA JAKARTA BARAT

BAB II DESKRIPSI SMA NEGERI RAYON 08 JAKARTA BARAT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Berdirinya SMA Negeri 1 Gorontalo

BAB I. Pendahuluan. Dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu unsur yang memiliki peran penting

BAB I PENDAHULUAN. profesionalnya, dan sebaliknya kinerja yang di bawah standar kerja

BAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan mutu

STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI INSTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

STIE CENDEKIA KARYA UTAMA

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 1.1 Sejarah SMA Kemala Bhayangkari 1 Surabaya. 1.2 Logo SMA Kemala Bhayangkari 1 Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

2014 FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN YANG MEMENGARUHI PEMBENTUKAN JIWA WIRAUSAHA SISWA SMK

BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan

PROPOSAL PENGADAAN SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN EKSTRA KURIKULER SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai upaya dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat

Cendikia Religius Akhlaqul Karimah Entrepreneur. Be The Teacher of The World

BAB I PENDAHULUAN. Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga selalu

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Menengah Atas Negeri yang ada di ProvinsiRiau, Indonesia. Terletak di jalan

BAB III IDENTIFIKASI MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil mempunyai berbagai keragaman. Keragaman itu menjadi

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Perkembangan IPTEK yang begitu cepat akhir-akhir ini mengharuskan pengelola

BAB II SMA NEGERI 2 MEDAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai suatu proses untuk menyiapkan generasi masa depan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Nama dan Sejarah Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional kabupaten hingga diimplementasikan langsung disekolah

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

1) Identitas Sekolah

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. dengan Motto Narada School: Bahusacca Sippa Sila (Ilmu Pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang direncanakan. diluncurkan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013.

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa salah satu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. maupun warga di luar sekolah yaitu orang tua, akademisi, dan pihak pihak lain.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum SMAN 1 Rejotangan. SMPN 1 Rejotangan, dan SMK Rejotangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pusat bagi kemajuan sebuah bangsa, melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. SMA

A. Analisis Situasi BAB I PENDAHULUAN. 1. Analisis kondisi fisik sekolah

A. Analisis Situasi Sekolah 1. Sejarah SMK Kristen 1 Klaten berdiri pada tanggal 1 Agustus 1965 menempati gedung SD Krsiten III yang dahulu berada di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional dinyatakan bahwa Pendidikan nasional...bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG STANDAR PEMBIMBING PADA KURSUS DAN PELATIHAN

BAB 3 GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. Dengan demikian siswa diharapkan dapat mencapai prestasi belajar yang. maksimal sehingga tercapainya tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup dan masa depan seseorang.

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

I. PENDAHULUAN. karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.

BAB II HASIL SURVEY. 2.1 Gambaran Umum SMA Intensif Taruna Pembangunan Surabaya

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. SHAFTA adalah kepanjangan dari Shidiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala bidang, diantaranya politik, sosial, ekonomi, teknologi dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

MEMBENTUK SUMDER DAYA MANUSIA BERKUALITAS MELALUI LEADER CLASS

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan wadah bagi individu untuk mengembangkan aspek-aspek

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN

BAB II. Deskripsi SMA N 1 Temon Kulon Progo. dan Kampanye Program Kawasan Tanpa Rokok

PROFIL SEKOLAH Sunday, 27 June :50. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter

A. Analisis Situasi Analisis situasi bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai sekolah yang digunakan sebagai lokasi PPL meliputi kondisi fisik

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. School Connectedness 1. Definisi School Connectedness Definisi school connectedness masih berkembang hingga saat ini. Secara umum school connectedness dijelaskan sebagai tingkat dimana siswa merasa menjadi bagian dari sekolah serta dipedulikan oleh orang-orang di sekolahnya (Resnick & Wilson, dalam Levesque, 2011). Bonny dan koleganya (2000) mengemukakan bahwa school connectedness merupakan perasaan memiliki dan menerima siswa terhadap lingkungan sekolahnya. Libbey (dalam Hattie & Anderman, 2013) mendefinisikan school connectedness sebagai kepemilikan sosial, solidaritas dalam kelompok, dukungan guru, school attachment, school bonding, emotional engagement dan kepuasan siswa. Definisi lain menurut Blum (2004), school connectedness merupakan keyakinan siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya mempedulikan dia baik dalam hal akademik maupun dia sebagai individu. Sementara itu, Stracuzzi & Mills (2010) menggambarkan school connectedness sebagai perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah serta adanya hubungan positif dengan staff sekolah dan teman-temannya. 11

Berdasarkan penjelasan menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa school connectedness merupakan perasaan siswa mengenai lingkungan sekolahnya serta hubungannya dengan guru, staff sekolah maupun teman-temannya. 2. Aspek School Connectedness Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi & Mills, 2010) school connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni: a. Dukungan Sosial Aspek ini didasarkan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan dihargai oleh guru dan staf lainnya di sekolah. Hal ini dapat diukur melalui pernyataan siswa mengenai apakah guru menyukai dirinya atau tidak, siswa memperhatikan apa yang dinilai oleh guru mengenai dirinya, siswa merasa nyaman ketika berbicara dengan guru, serta seberapa sering guru memuji mereka. b. Rasa Memiliki Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya sendiri bahwa ia adalah bagian dari sekolah. Aspek ini diukur melalui tingkat di mana siswa merasa dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya, merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, serta memiliki banyak teman di sekolah. 12

c. Keterlibatan Aspek ini merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi school connectedness School connectedness dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling berinteraksi yakni (Blum, 2004): a. Individu Faktor individu merupakan faktor yang menjelaskan tentang hubungan antara siswa dengan staf sekolah. Hubungan di antara keduanya merupakan jantung dari school connectedness. Siswa yang menerima guru dan administrator sekolahnya sebagai orang yang membentuk lingkungan belajar yang baik, nyaman, jelas serta adil terhadap semua siswa akan menunjukkan school connectedness yang lebih tinggi. b. Lingkungan Sekolah School connectedness tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antara siswa dengan staf sekolahnya, akan tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Sekolah bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang nyaman sehingga siswa dapat mengembangkan dirinya baik itu secara akademis, emosional maupun perilaku. 13

c. Kultur Sekolah Kultur sekolah menunjukkan adanya keseimbangan antara kebutuhan sosial dan pembelajaran artinya sekolah dapat menyeimbangkan antara pembelajaran dengan kebutuhan sosial siswa seperti bersosialisasi dengan teman-temannya, melakukan aktivitas olahraga serta mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Dalam hal ini penting peran dari guru tersebut. Sekolah dengan kultur tersebut akan mengakibatkan siswasiswanya lebih sering untuk belajar bersama, lebih terlibat di kelas serta mengerjakan tugas rumah secara teratur. 4. Kategori school connectedness Karcher dan Lee (dalam Lohmeier dan Lee, 2011) menyatakan bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan yakni : a. Dukungan Umum (General Support) Kategori dukungan umum merupakan kategori yang paling rendah. Pada kategori ini, siswa merasa bahwa dukungan yang diterimanya dari guru, staf sekolah maupun temannya tidak jauh berbeda. Namun demikian, siswa tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah. b. Dukungan Spesifik (Specific Support) Kategori dukungan spesifik merupakan kategori sedang. Pada kategori ini siswa mengganggap dukungan berasal dari sumber yang spesifik dimana siswa menyadari bahwa adanya perbedaan dukungan dari guru, 14

teman atau staf sekolah. Pada kategori ini, siswa merasa bahwa dirinya diterima di sekolah namun siswa tidak secara aktif mencari dukungan. c. Keterlibatan (Engagement) Kategori keterlibatan merupakan kategori yang paling tinggi. Pada kategori ini siswa menunjukkan upaya dalam keterlibatannya pada tugas sekolah maupun aktivitas sekolah lainnya. Siswa juga merasakan bahwa adanya dukungan dari guru, staf sekolah maupun teman secara spesifik, menghargai setiap hubungan dan aktif mencari dukungan. B. Sekolah Pembauran Sekolah merupakan lembaga pendidikan jalur formal yang terdiri dari tingkatan dasar, menengah hingga atas. Istilah sekolah pembauran sendiri bermula dari masa Orde Baru dimana sekolah-sekolah yang ada di Indonesia kebanyakan memiliki siswa yang berasal dari keturunan Tionghoa. Melihat kondisi tersebut, pemerintah melalui Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/ 1967 mengeluarkan peraturan dalam mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) yang bertujuan agar siswa-siswi keturunan Tionghoa berbaur dengan siswa-siswi keturunan Indonesia asli. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa adanya keinginan dari pemerintah Orde Baru untuk menjadikan sekolah (lembaga pendidikan) di Indonesia dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan, dalam Pelly (2003)) 15

Woolfolk (2004) menyatakan bahwa melting pot merupakan kiasan untuk kelompok imigran (pendatang) membaur dan mengasimilasikan dirinya ke kelompok pada umumnya (dominan) sehingga perbedaan etnis tersebut tidak terjadi lagi. Kelompok pendatang yang dimaksud disini adalah WNI keturunan Tionghoa, sedangkan kelompok dominannya adalah kelompok WNI asli. Harapan pemerintah terhadap kedua kelompok tersebut berbeda. Bagi kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa), pemerintah berharap agar mereka melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli). Sementara itu, bagi kelompok WNI asli, pemerintah berharap agar sesama kelompok etnik WNI asli terjadi akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing). Berdasarkan peraturan Tim Pembantu Pelaksana Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan Asing di Indonesia (PAP3A) Propinsi Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No.044/P/75 tanggal 18 Maret 1975 menetapkan adapun yang menjadi ketentuan-ketentuan untuk sekolah-sekolah asimilasi (pembauran) adalah sebagai berikut: a. Sekolah asimilasi dilaksanakan oleh yayasan pendidikan swasta baik yang berlatar agama, seperti yayasan pendidikan Islam, Kristen atau Katolik, maupun yayasan pendidikan umum (nasional). b. Komposisi siswa di sekolah tersebut harus 50% WNI asli dan 50% WNI asing. 16

c. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang berarti bahwa kurikulum harus sama dengan kurikulum sekolah negeri. d. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah Bahasa Indonesia. e. Sekolah dilarang mengajarkan bahasa Tionghoa. Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut ternyata dalam pelaksanaannya di sekolah pembauran saat ini belum dapat terpenuhi. Ketentuan mengenai komposisi murid-murid 50 % WNI asli dan 50 % WNI asing merupakan salah satu ketentuan yang tidak terpenuhi. Jumlah murid-murid dari kelompok WNI asli dari tahun ke tahun semakin berkurang (Pelly, 2003). C. Profil SMA WR Supratman 2 Medan 1. Sejarah Berdiri SMA WR Supratman 2 Medan merupakan sekolah swasta nasional yang berkedudukan di Medan, Provinsi Sumatera Utara. SMA WR Supratman adalah sekolah yang berada di naungan yang dulunya bernama Yayasan Perguruan Tri Bukit dan kini berganti nama menjadi Yayasan Perguruan Wage Rudolf Supratman. Pada awal berdiri, sekolah ini diperuntukkan untuk siswa keturunan Tionghoa. Namun pada tahun 1974, sekolah ini mengikuti program pembauran yang dilaksanakan oleh pemerintah sehingga akhirnya membuka kesempatan kepada siswa keturunan non Tionghoa untuk bersekolah di sekolah tersebut (Tentang Kami, dalam wrsupratman.sch.id, 2014. 17

2. Visi dan Misi Visi yang ditanamkan oleh perguruan WR Supratman adalah menjadikan perguruan WR Supratman Medan diakui keunggulannya di Sumatera Utara, di tingkat nasional dan di tingkat internasional serta dibanggakan masyarakat Indonesia. Sebagai upaya untuk mewujudkan tersebut, SMA WR Supratman memiliki beberapa misi yakni: 1. Melaksanakan pendidikan yang bermutu, efektif, dan dinamis untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, berkarakter, berkompeten, terdidik, kreatif, cakap, terampil, menguasai bahasa asing, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. 2. Melaksanakan pendidikan yang berdasarkan budi pekerti luhur untuk menghasilkan lulusan yang berkepribadian, beretika tinggi, berakhlak mulia, beriman, bertaqwa,dan mengabdi untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagai sekolah dengan konsep pembauran, SMA WR Supratman 2 Medan memiliki siswa-siswi yang berasal dari latar belakang agama dan etnis yang beragam. Dari latar belakang agama terdapat siswa-siswi yang menganut agama Budha, Islam, dan Kristen. Sementara itu, dari latar belakang etnis terdapat siswa-siswi dengan etnis Tionghoa, Batak, Karo, Jawa, India, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, siswa SMA WR Supratman 2 Medan berjumlah 467 orang dengan proporsi kelas X terdapat 4 kelas (X MIPA 1, X MIPA 2, X IPS 1, X IPS 2), kelas XI terdapat 4 kelas (XI IPA 1, XI IPA 18

2, XI IPS 1, XI IPS 2) serta kelas XII terdapat 4 kelas (XII IPA 1, XII IPA 2, XII IPS 1, XII IPS 2). Kegiatan ekstrakulikuler yang ada di SMA WR Supratman yakni robotic club, futsal, pramuka, basket, marching band, dance club, paduan suara, dan english club. Keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakulikuler dapat terlihat dari jumlah siswa yang mengikuti ekstrakulikuler yakni sebanyak 41 % dari jumlah keseluruhan siswa. D. Gambaran School Connectedness pada Siswa di Sekolah Pembauran (Studi Kasus SMA WR Supratman 2 Medan) Sekolah pembauran merupakan upaya pemerintah agar kelompok tertentu (dalam konteks ini adalah siswa keturunan Tionghoa) dapat meleburkan dirinya dan budanya kepada kelompok yang lebih dominan yaitu kelompok siswa WNI asli. Sekolah pembauran memiliki beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak sekolah di antaranya adalah sekolah dilaksanakan oleh yayasan baik itu berlatar belakang agama maupun yayasan pendidikan umum (nasional), siswa di dalam sekolah tersebut harus sebanding yakni 50 % siswa WNI asli dan 50 % WNI asing, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional serta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar (Pelly, 2003). Banyaknya ketentuan yang berlaku untuk sekolah pembauran, ternyata tidak dapat dipenuhi oleh semua sekolah terutama dalam hal perbandingan siswa WNI asli dengan siswa keturunan Tionghoa. Dalam 19

praktiknya, sekolah pembauran juga mengalami kendala yakni dalam penggunaan bahasa pengantar yang seharusnya bahasa Indonesia namun kerap kali akibat jumlah mayoritas siswa keturunan Tionghoa maka guru Tionghoa cenderung menggunakan bahasa Tionghoa dalam pembelajaran. Kendala ini menjadi hal yang membuat tidak nyaman bagi siswa WNI asli yang tidak mengerti apa yang disampaikan oleh guru. Ketidaknyamanan siswa ini akan mengarah pada perasaan siswa apakah ia diterima di sekolahnya atau tidak. Istilah ini dikenal dengan school connectedness. School connectedness merupakan perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah, serta adanya hubungan yang positif dengan staff sekolah dan teman-temannya (Stracuzzi & Mills, 2010). Setiap siswa penting untuk memliki school connectedness karena siswa yang merasa menjadi bagian dari sekolahnya akan lebih menunjukkan kesuksesan baik itu dalam hal perilaku, emosional, maupun akademis. School connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni dukungan sosial, rasa memiliki siswa terhadap sekolah serta keterlibatan siswa dalam kegiatan di sekolah (Connell & Wellborn, dalam Stracuzzi & Mills, 2010). Dukungan sosial menekankan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan dihargai oleh guru dan staff lainnya di sekolah. Setiap guru atau staff sekolah tidak membedakan antara siswa yang satu dengan yang lainnya berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, dan status lainnya. 20

Siswa yang memiliki school connectednesss juga tercermin dari perasaan yang dimiliki oleh siswa bahwa ia merupakan bagian dari sekolah (sense of belonging). Siswa akan merasakan bahwa orang-orang di lingkungan sekolahnya menghormati dirinya, serta memiliki banyak teman. Siswa yang sudah merasakan dukungan sosial dari orang dewasa di sekolah baik itu guru atau staff sekolah serta memiliki rasa bahwa ia merupakan bagian dari sekolah, maka siswa akan menunjukkan keterlibatannya melalui kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Keterlibatan siswa dapat terwujud melalui kegiatan akademik maupun non akademik. Salah satu faktor yang mempengaruhi school connectedness siswa adalah kultur sekolah. Kultur sekolah menunjukkan adanya keseimbangan antara kebutuhan sosial dan pembelajaran artinya sekolah dapat menyeimbangkan antara pembelajaran dengan kebutuhan sosial siswa seperti bersosialisasi dengan teman-temannya, melakukan aktivitas olahraga serta mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Kultur sekolah pada sekolah pembauran menekankan tentang kebutuhan sosialisasi siswa terhadap teman-temannya diluar budayanya agar terciptalah tujuan kebijakan pemerintah tentang Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK). Kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa) melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli) sedangkan kelompok WNI asli melakukan akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing) di antara siswa WNI asli. 21