Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB)

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan.

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) ANDRI SUSANTI

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 Kuesioner Skrining

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 PENDAHULUAN. berjalan lambat. Pada masa ini seorang perempuan mengalami perubahan, salah satu diantaranya adalah menstruasi (Saryono, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu

TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia

ANALYZE RELATIONSHIP THE DIETERY HABIT AND DYSPEPSIA SYNDROME IN ADOLESCENT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

ABSTRAK HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN TERHADAP GEJALA MAAG PADA MAHASISWA AKADEMI FARMASI ISFI BANJARMASIN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB I PENDAHULUAN. 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar sekitar 1,8-2,1 juta

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah

Lembar Persetujuan Menjadi Responden. Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada

PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA SISWA DI SMAN 1 SOOKO MOJOKERTO ROSI HERDIANTO SUBJECT: Perilaku, Gastritis, Siswa

Oleh: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Siti Nuryati, STP, MSi Muhammad Aries

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesejahteraan penduduk saat ini diketahui menyebabkan peningkatan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima.

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FAKTOR RISIKO KEJADIAN GASTRITIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAMPILI KABUPATEN GOWA. Risk Factors for Gastritis in Kampili Clinic Gowa District

LEMBAR KUESIONER HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA FKM USU TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO

METODE. Desain, Waktu dan Tempat

KERANGKA PEMIKIRAN. Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh: Karakteristik contoh: Pengetahuan gizi seimbang. Jenis kelamin Umur Uang saku

Lanny Helfiani Murdiana¹ Program Studi Diploma III Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB 1 PENDAHULUAN. DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional. 2 Angka kejadian DM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

PERUBAHAN POLA KONSUMSI DAN STATUS GIZI MAHASISWA PUTRA DAN PUTRI TPB IPB TAHUN 2005/2006 PESERTA FEEDING PROGRAM

Dewi Karwati 1) Nur lina, SKM, M.Kes dan Kiki Korneliani, SKM, M.Kes 2)

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROMA DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA DI MADRASAH ALIYAH NEGERI MODEL MANADO. Susilawati.

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight?

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.

METODE. Tabel 5 Pengkategorian variabel penelitian Variabel

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok

METODE PENELITIAN. Yayasan Yasmina Bogor (Purposive) N= 65. Kabupaten Bogor (N = 54) Populasi sumber (N=50) Contoh penelitian (n= 30)

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 12. RANGKA DAN SISTEM ORGAN PADA MANUSIALatihan soal 12.6

BAB I PENDAHULUAN. paling mengangguan kesehatan dan sering dijumpai di klinik karena diagnosanya

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

GAMBARAN KEJADIAN GASTRITIS DI RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

BEBERAPA FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PRIMER PADA SUPIR TRUK

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB III METODE PENELITIAN

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

HUBUNGAN STATUS GIZI, STRESS, OLAHRAGA TERATUR DENGAN KETERATURAN SIKLUS MENSTRUASI PADA SISWI SMA ST. THOMAS 2 MEDAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

Transkripsi:

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Dyspepsia Risk Factors of University Students in Bogor Agricultural University Andri Susanti 1, Dodik Briawan 1, Vera Uripi 1 1 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB ABSTRACT Background: Dyspepsia syndrome frequently occurs among adolescents. This study aimed, to analyze risk factors of dyspepsia among university students. Methods: The study design was a case-control study, where two groups of samples were selected purposively in the first grade student living in IPB s dormitory. The case group was the students with gastric disorder (gastritis or peptic ulcer history) in the last six months, meanwhile the control group was having similar characteristics except they suffered gastric disorder. The total of 120 university students were taken pairly as samples, consisting of 60 students for the each group (24 male and 36 female). Data were collected include gastric disorder history, dyspepsia symptom, characteristic of samples, nutritional status, eating habit, smoking, alcohol consumption, physical activity, drugs consumption (especially antacid), stress, blood type, and family disease history of gastritis or peptic ulcer. Results: The frequency of dyspepsia in the case group was higher than the control group (p<0.05). Gastric disorder history significabtly related to frequency of dyspepsia (p<0.05). The body mass index (BMI) scores of samples had no difference in both sample groups (p<0.05). Having meal regularly, meal frequency, carbonated drink consumption habit, and fat intake related significantly with frequency of dyspepsia (p<0.05). Physical activity, taking antacid, and stress level related significantly with frequency of dyspepsia (p<0.05). Family disease history and blood type had no relation with frequency of dyspepsia. The multiple logistic regression analysis showed that the significant risk factors of dyspepsia are meal frequency more than twice per day (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), habitually consume carbonated drink (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23), and higher stress level (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). Conclusion: Eating frequency more than twice per day can reduce risk of dyspepsia, meanwhile consuming carbonated drink more than three bottles per week, and having higher stress level precisely increase the risk of dyspepsia. Keywords: risk factors, dyspepsia, university students. PENDAHULUAN Salah satu penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan kelompok remaja adalah sindrom dispepsia. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas atau dikenal sebagai sindrom dispepsia, dapat terjadi akibat kelainan organik maupun fungsional. Gangguan organik yang umum terjadi pada lambung antara lain gastritis dan tukak peptik (dikenal dengan sakit maag), esophageal reflux disease, penyakit kandung empedu, gangguan hati, dan patologi lainnya (Beyer 2004). Pada penelitian ini, gejala dispepsia sebagai akibat dari adanya riwayat gangguan lambung yaitu gastritis atau tukak peptik serta gaya hidup seharihari seperti kebiasaan makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, stres, dan lain-lain. Gatritis merupakan inflamasi dari lapisan mukosa dan submukosa gaster atau lambung, sedangkan tukak peptik (ulkus peptikum) adalah ulserasi (perlukaan) saluran makanan bagian atas yang melibatkan duode- 80

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA num dan lambung. Patogenesis tukak peptik samasama melibatkan asam-pepsin. Keluhan paling banyak pada gastritis dan tukak peptik berupa nyeri perut atau ketidaknyamanan perut bagian atas. Keluhan lainnya adalah mual, muntah, kembung, rasa penuh atau terbakar di perut bagian atas. Gastritis, tukak peptik, maupun dispepsia merupakan masalah kesehatan di masyarakat. Di Indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0.99% dan insiden gastritis sebesar 115/100.000 penduduk. Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono 2001). Dispepsia menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang dengan pasien rawat inap terbanyak (Depkes 2006). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Sindrom dispepsia cukup mengganggu penderitanya hingga tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Sekitar 30% penderita dispepsia dilaporkan tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala-gejala dispepsia menyerang. Perubahan lingkungan dan kebiasan sehari-hari dari yang semula tinggal di rumah bersama keluarga menjadi tinggal di asrama, seringkali membuat stres mahasiswa baru IPB yang harus tinggal di asarama. Kondisi lingkungan asrama dan padatnya jadwal kegiatan mahasiswa dapat menyebabkan pola makan tidak teratur dan gaya hidup yang berubah karena berbaga faktor di sekitar mahasiswa. Stres, makan tidak teratur dan sembarangan, merokok, minum alkohol, minum kopi diduga dapat menimbulkan masalah pencernaan. Seseorang yang telah memiliki masalah pencernaan sebelumnya, akan sangat rentan mengalami dispepsia karena kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pun, dimungkinkan untuk terjangkit dispepsia. Secara umum penelitian bertujuan untuk mempelajari faktor risiko dispepsia pada kelompok mahasiswa IPB. Tujuan khusus penelitian adalah untuk mempelajari: (1) karakteristik sosial-ekonomi, (2) gejala dispepsia, (3) status gizi, (4) kebiasaan makan, (5) kebiasaan merokok, (6) kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol, (7) aktivitas fisik, (8) konsumsi obat-obatan, (9) tingkat stres, (10) faktor hereditas, dan (11) faktor risiko yang berpengaruh pada gejala dispepsia. SUBJEK DAN METODE Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian adalah case control study (kasuskontrol) berpasangan. Penetapan contoh didasarkan pada kelompok kasus, yaitu mahasiswa yang memiliki riwayat gangguan lambung berupa gastritis atau tukak peptik dan kelompok kontrol yang tanpa menderita gangguan lambung. Gangguan lambung yang diteliti terbatas pada gastritis atau tukak peptik (tukak lambung, tukak duodenum). Kelompok contoh kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan kemiripan jenis kelamin, umur, dan latar belakang sosial-ekonomi (jumlah uang saku, suku atau etnis, dan daerah asal). Penelitian dilakukan pada mahasiswa tingkat satu (Tingkat Persiapan Berdsama atau IPB) tahun ajaran 2010/2011 di kampus IPB Darmaga pada bulan Agustus-September 2010. Cara Penentuan Sampel Sampel penelitian ini diambil secara purposive dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk menjadi responden. Kriteria inklusi kelompok kasus yaitu: 1) Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/ putri TPB IPB minimal 1 bulan; 2) Berusia 12-19 tahun; 3) Mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara; 4) Sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan terakhir berdasarkan pemeriksaan dokter; 5) Tidak sedang atau pernah menderita apendisitis (usus buntu), kolik (kram perut), hepatitis (liver), demam typhoid (tifus abdominalis), ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Kriteria inklusi kontrol sama dengan kriteria inklusi kasus, hanya dibedakan pada butir keempat, yaitu tidak pernah mengalami gastritis/tukak peptik dalam 6 bulan terakhir. Jumlah contoh yang diambil adalah 120 orang, terdiri atas 60 orang kasus (24 putra dan 36 putri) dan 60 orang kontrol (24 putra, 36 putri). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data pimer diperoleh melalui pengisian 81

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 kuesioner oleh contoh (mahasiswa TPB IPB), sedangkan data sekunder diperoleh dari Direktorat TPB-IPB, berupa jumlah mahasiswa tahun ajaran 2010/2011 dan pembagian kelas. Kuesioner terdiri atas dua jenis, yaitu kuesioner skrining (untuk menentukan kasus-kontrol) dan kuesioner penelitian. Pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh contoh dengan dipandu oleh enumerator. Setelah pengisian, beberapa pertanyaan dikonfirmasikan kembali melalui wawancara. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat retrospektif, dengan rentang waktu sejak contoh masuk asrama hingga menjelang keluar asrama. Kuesioner skrining digunakan untuk mengumpulkan data karakteristik contoh (umur dan jenis kelamin), karakteristik sosialekonomi (jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili paling lama), dan riwayat penyakit gastritis/tukak peptik dan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung selama satu bulan tinggal di asrama. Informasi adanya riwayat penyakit (untuk menentukan kasus-kontrol) berdasarkan pemeriksaan dokter selama rentang waktu enam bulan terakhir. Kuesioner penelitian digunakan untuk mengumpulkan data kebiasaan makan, kebiasaan merokok (aktif dan pasif), kebiasaan mengkonsumsi alkohol, aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga contoh (meliputi jenis, durasi, dan frekuensi olahraga, serta aktivitas ringan sehari-hari), konsumsi obat-obatobatan pada saat tinggal di asrama, tingkat stres, dan faktor herediter (meliputi riwayat gangguan lambung pada keluarga dan golongan darah). Pengolahan dan Analisis Data Frekuensi dispepsia. Frekuensi dispepsia dikategorikan berdasarkan gejala-gejala dispepsia yang dialami contoh. Sebanyak tujuh macam gejala dispepsia (nyeri epigastrum; rasa panas terbakar di dada; kembung setelah makan; perut penuh, cepat kenyang; mual; muntah; dan sering bersendawa) dinilai secara subjektif berdasarkan berapa kali gejala muncul dalam satu minggu. Hasilnya kemudian diskor, dijumlahkan, kemudian dikategorikan menjadi dua kategori (jarang dan sering) berdasarkan rentang data. Skor 0 (nol) jika sama sekali tidak pernah mengalami gejala; skor 1 (satu) jika mengalami gejala sebanyak 1-2 kali per minggu; skor 2 (dua) jika mengalami gejala 3-4 kali per minggu; dan skor 3 (tiga) jika mengalami gejala >4 kali per minggu atau hampir setiap hari. Kategori dispepsia adalah jarang apabila skor frekuensi < 7.5; dan sering apabila skor >7.5. Karakteristik contoh. Umur dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu 15-18 tahun (remaja madya) dan 18-19 tahun (remaja akhir). Jumlah uang saku yang menggambarkan keadaan ekonomi yang dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan rentang data, yaitu: (1) Rendah <Rp 400.000per bulan; (2) Sedang antara Rp 400.000,00-Rp 800.000 per bulan; dan (3) Tinggi >Rp 800.000. Suku/etnis dan wilayah domisili dikelompokkan berdasarkan suku/etnis dan wilayah yang banyak muncul pada data yang diperoleh. Kebiasaan makan dan intake zat gizi. Data kebiasaan makan yang dianalisis adalah keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Intake zat gizi yang dinilai antara lain kecukupan vitamin A, vitamin C, intake lemak, natrium, dan kalium. Frekuensi makan dikategorikan menjadi dua, yaitu < 2 kali per hari dan > 2 kali per hari. Kebiasaan mengkonsumsi soda (minuman berkarbonasi) dikelompokkan berdasarkan jumlah minuman berkarbonasi yang dikonsumsi per minggu (> 3 botol kecil atau kaleng per minggu). Kecukupan vitamin A dan C dikategorikan defisit (< 77% AKG) dan normal (> 77% AKG) Gibson (2005). Konsumsi lemak dikategorikan menjadi dua, rendah (< 30% AKE) dan tinggi (> 30% AKE) (Ettinger diacu dalam Mahan dan Escott-stump 2008). Intake Natrium (Na) dikategorikan cukup (Na < 2400 mg) dan lebih (> 2400 mg ), dan intake Kalium (K) dikategorikan cukup (> 2000 mg) dan kurang (< 2000 mg) (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Aktivitas Fisik. Tingkat aktivitas fisik dinilai berdasarkan aktivitas sedang (moderate activity) yang dilakukan dalam satu minggu. Total waktu atau lama durasi aktivitas olahraga (menit) akumulatif per minggu dihitung sebagai dasar penentuan tingkat aktivitas fisik. Tingkat aktivitas fisik dikategorikan berdasarkan USDHHS (2008) yang didederhanakan, yaitu: tidak aktif jika tidak melakukan aktivitas sedang 82

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA atau <150 menit per minggu, dan aktif jika aktivitas sedang >150 menit/minggu. Kebiasaan konsumsi obat-obatan. Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan contoh (antasida dan obat-obatan lain) dikelompokkan menjadi dua golongan, pengguna harian dan bukan pengguna harian berdasarkan jumlah dan frekuensi obat yang dikonsumsi. Dinyatakan sebagai pengguna harian apabila contoh mengkonsumsi obat setiap hari atau > 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu. Dinyatakan sebagai bukan pengguna harian jika contoh mengkonsumsi obat < 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu (McCintosh, Byth, dan Piper 1985). Tingkat stress. Tingkat stres contoh diukur melalui serangkaian pertanyaan mengenai gejala-gejala stres yang dialami contoh selama tinggal di asrama. Sebanyak 18 pertanyaan diajukan, masing-masing diberikan tiga pilihan jawaban.. Setiap pilihan jawaban diberi skor berbeda, tidak pernah diberi skor 1, jarang atau kadang-kadang diberi skor 2, dan sering diberi skor 3. Tingkat stres dikategorikan dalam kelompok rendah dan sedang. Dinyatakan bahwa contoh memiliki tingkat stres rendah apabila total skor <29, tingkat stres sedang apabila total skor > 29 (Laela 2008). Hubungan antar variabel dianalisis secara statistik menggunakan uji beda (Independent T-Test, Mann Whitney, dan Chi Square), uji hubungan dan menentukan risiko relatif (Chi Square tabel 2x2), serta analisis multivariat (Regresi Logistik Berganda). HASIL-HASIL Karakteristik Sosial-Ekonomi Sampel Sebagian besar sampel pada kelompok kasus maupun kontrol berusia remaja akhir (18-19 tahun), jumlah uang saku antara Rp 400.000,00-Rp 800.000,00 per bulan, dari suku Sunda dan Jawa, dan berasal dari Jawa Barat dan Sumatera. Hasil uji beda t-test dan Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan jumlah uang saku, suku, dan asal daerah antara kelompok kasus dan kontrol (p>0.05). Gejala Dispepsia Dari sekumpulan gejala gastritis dan tukak peptik yang paling sering dirasakan contoh adalah perut penuh/cepat kenyang, sedangkan gejala yang paling jarang dialami adalah muntah dan rasa panas terbakar (heartburn). Sebagian besar contoh (65% kasus dan 13% kontrol) pernah mengalami gejala nyeri epigastrum atau ulu hati. Sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi dispepsia jarang, yaitu kelompok kasus 81.7% dan kontrol 100%, namun keduanya secara signifikan berbeda (p<0.05). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelum masuk kuliah ke IPB (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol) (OR=1.22; CI 95%: 0.07 hingga 1.38). Status Gizi Rata-rata berat dan tinggi badan kelompok kasus adalah 52.6±9.76 kg dan 161.3±6.7 cm, sedangkan kontrol 51.8±10.2 kg dan 159.7±8.9 cm. Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) berturut-turut 20.14±2.9 kg/m 2 dan 20.07±3.1 kg/m 2. Sebagian besar contoh mempunyai status gizi normal, dan hanya 16.7% kasus dan 18.3% kontrol tidak normal (undeweight/overweight). Tidak terdapat perbedaan yang nyata status gizi contoh pada kelompok kasus dan control (p>0.05). Kebiasaan Makan Pada kelompok kontrol kebiasaan makan lebih teratur dibandingkan kasus (p<0.05). Pada kedua kelompok, sebagian besar (kasus 76.7% dan kontrol 91.7%) contoh biasa makan lebih dari dua kali sehari, akan tetapi kelompok kasus lebih banyak (23.3%) yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari dibandingkan kelompok kontrol (Tabel 1) (p<0.05). Dibandingkan kelompok kontrol, contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu makannya tidak menentu, tidak terbiasa sarapan, terbiasa mengonsumsi makanan selingan, dan biasa membatasi makan; meskipun kebiasaan tersebut perbedaannya tidak signifikan dibandingkan kontrol (p>0.05). Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga 0.92), dan frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat 83

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Tabel 1 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan makan Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Keteraturan Makan* Teratur 25 41.7 37 61.7 62 51.7 Tidak teratur 35 58 3 23 38.3 58 48.3 Frekuensi Makan* tidak tentu ( 2 kali/ hari) 14 23.3 5 8.3 19 15.8 > 2kali per hari 46 76.7 55 91.7 101 84.2 Jeda Waktu Makan tidak tentu ( 6 jam) 26 43.3 22 36.7 48 40.0 tertentu (< 6 jam) 34 56.7 38 63.3 72 60.0 Kebiasaan Sarapan Ya 28 46.7 36 60.0 64 53.3 Tidak 32 53.3 24 40.0 56 46.7 Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Selingan Ya 24 40.0 22 36.7 39 61.7 Tidak 36 60.0 38 63.3 81 38.3 Kebiasaan Membatasi Makan Ya 13 21.7 8 13.3 21 32.5 Tidak 47 78.3 52 86.7 99 67.5 *Signifikan pada p<0.05 dengan uji Chi Square mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR= 0.11; CI 95%: 0.03 hingga 0.42). Pada kelompok kasus dibandingkan kontrol secara signifikan lebih banyak yang memiliki kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, dan mengkonsumsi suplemen (p<0.05) (Tabel 2). Kebiasaan minum teh, kopi, maupun kombinasinya (kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi), makan makanan pedas, dan mengkonsumsi suplemen tidak berhubungan nyata terhadap gejala gangguan lambung. Minuman berkarbonasi yang banyak dikonsumsi adalah cola, sedangkan minuman asam adalah minuman berperisa buah (menggunakan perisa dan asam sitrat) dan gula asam siap saji. Tabel 2 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan minum dan makanan tertentu Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Berkarbonasi Teh 10 16.7 15 25.0 25 20.8 Kopi 3 5.0 1 1.7 4 3.3 M. Berkarbonasi* 6 10.0 4 6.7 10 8.3 Teh + Kopi 6 10.0 5 8.3 11 9.2 Teh + M. Berkarbonasi 8 13.3 8 13.3 16 13.3 Kopi + M. Berkarbonasi 1 1.7 4 6.7 5 4.2 Teh + Kopi+ M. Berkarbonasi 16 26.7 5 8.3 21 17.5 Bukan ketiganya 10 16.7 18 30.0 28 23.3 Kebiasaan Makan Pedas Ya 51 85.0 43 71.7 94 78.3 Tidak 9 15.0 17 28.3 26 21.7 Kebiasaan Makan Asam* Ya 42 70 24 40 66 55 Tidak 18 30 36 60 54 45 Kebiasaan Mengonsumsi Suplemen Ya 23 38.3 17 28,3 40 33.3 Tidak 37 61.7 43 71.7 80 66.7 *Signifikan pada p<0.05,** Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square 84

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengonsumsi makanan asam berhubungan secara statistik nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0.05). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR= 6.91; CI 95%: 1.42 hingga 33.52), demikian pula kebiasaan mengonsumsi makanan asam (OR=9.12; CI 95%: 1.13 hingga 73.74). Pada kelompok kasus lebih banyak yang menderita defisiensi vitamin A dibandingkan pada kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus dan 88.3% kontrol berada pada kategori defisit asupan vitamin C (Tabel 3). Pada kelompok kasus lebih merokok. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria, dan jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok antara 12-18 tahun dan sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun. Jumlah contoh pada kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan pada kelompok kasus. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Tidak terdapat contoh yang menyatakan pernah mengonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Tabel 3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi tertentu Variabel Kasus Kontrol Total n % n % N % Tingkat Kecukupan Vitamin A* Normal (>77% AKG) 40 67.7 45 75.0 85 70.8 Defisit (< 77% AKG) 20 33.3 15 25.0 35 28.2 Tingkat Kecukupan Vitamin C Normal (>77% AKG) 12 20.0 7 11.7 19 15.8 Defisit (< 77% AKG) 48 80.0 53 88.3 101 84.2 Asupan Lemak* Cukup ( 30% AKE) 23 38.3 54 90.0 77 64.2 Lebih (> 30% AKE) 37 61.7 6 10.0 43 35.8 Asupan Natrium Cukup (<2400 mg/hari) 59 98.3 59 98.3 118 98.3 Lebih (> 2400 mg/hari) 1 1.7 1 1.7 1 0.8 Asupan Kalium Cukup (>2000mg/hari) 1 1.7 2 3.3 3 2.5 Defisit (<2000 mg/hari) 59 98.3 58 96.7 117 97.5 *Signifikan pada p<0.05, ** Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square banyak yang mengkonsumsi lemak >30% AKG energi, sedangkan kelompok kontrol sebaliknya. Hampir keseluruhan contoh (98.3%) pada kelompok kasus dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium (97.5%). Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus dan kontrol secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia, yaitu contoh yang mengonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR=5.68; CI 95% : 1.41 hingga 22.56). Kebiasaan Merokok dan Minum Minuman Beralkohol Hanya 10% contoh pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol yang memiliki kebiasaan Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Olahraga Pada kelompok kasus yang memiliki kebiasaan olahraga dibandingkan kontrol adalah berturut-turur 66.7% dan 50% (Tabel 4), serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok (p>0.05). Berdasarkan kategori aktivitas fisik (termasuk di dalamnya kebiasaan olahraga contoh), pada kelompok kasus termasuk kategori aktif (75.0%), sedangkan kelompok kontrol tidak aktif (51.7%). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89). 85

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Tabel 4 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan olah raga Ya 40 66.7 29 48.3 69 57.5 Tidak 20 33.3 31 51.7 51 42.5 Tingkat aktivitas fisik* Tidak aktif 15 25.0 31 51.7 45 37.5 Aktif 45 75.0 29 48.3 57 47.5 *Signifikan pada p<0.05 dengan uji Chi Square Konsumsi Obat-Obatan Kebiasan mengonsumsi obat-obatan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (p<0.05). Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53.3%) dan kontrol (84.0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna obat dokter harian (kurang dari tablet/kapsul/kaplet per minggu) (Tabel 5). Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata dengan frekuensi gejala dispepsia (p>0.05). Terdapat 33.3% contoh kelompok kasus memiliki kebiasaan mengonsumsi antasida, dan tidak pada kelompok kontrol. Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi dispepsia contoh akan mengonsumsi antasida untuk mengurangi gejala tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19 hingga 30.26). Tingkat Stres Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan kontrol (63.3% dan 51.7%) berada pada tingkat stres kategori sedang. Pada kelompok kontrol (48.3%) dengan tingkat stres kategori rendah lebih banyak dibandingkan kasus (28.3%). Contoh kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0.05). Tingkat stres berhubungan nyata dengan gejala dispepsia, yaitu semakin tinggi tingkat stres akan berhubungan dengan sering munculnya gejala dispepsia (OR= 7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89). Hereditas Faktor herediter yaitu berupa riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia. Sebanyak 76.7% contoh pada kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu contoh, yaitu 43.3% pada kelompok kasus dan 40% pada kelompok kontrol yang memiliki golongan darah O. Terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kontrol, sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan darah contoh secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Multi-faktor Risiko Gejala Dispepsia Regresi logistik dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang secara statistik signifikan (p<0.005). Terdapat sembilan variabel yang diduga menjadi faktor risiko gejala dispepsia, yaitu: riwayat penyakit gangguan lambung, keteraturan makan, frekuensi makan, kebiasaan minum minuman Tabel 5 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan minum obat-obatan dan antasida Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan minum obat-obatan Pengguna harian 28 46.7 8 36.0 36 30.0 Bukan pengguna harian 32 53.3 52 84.0 84 70.0 Kebiasaan minum antasida** Ya 19 31.7 1 1.7 21 17.5 Tidak 41 68.3 59 98.3 99 82.5 **Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square 86

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA berkarbonasi, kebiasaan mengkonsumsi makanan/ minuman asam, konsumsi lemak, kebiasaan mengkonsumsi antasida, aktivitas fisik, dan tingkat stres (Tabel 6). ke IPB (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol) (OR=1.22; CI 95%: 0.09 hingga 1.38). Dispepsia berkaitan erat Tabel 6 Hasil regresi logistik faktor risiko frekuensi dispepsia Variabel OR (p) Confidence Interval 95% Batas bawah Batas atas Frekuensi Makan 2 kali/hari (0) > 2 kali/hari (1) 0.08 0.004 0.02 0.45 Kebiasaan Minum Berkarbonasi Tidak (0) Ya (1) 8.95 0.028 1.29 63.23 Tingkat Stres Rendah (0) Sedang (1) 1.22 0.006 1.06 1.39 Konstanta 0.00 0.001 - - Faktor risiko terhadap frekuensi gejala dispepsia adalah frekuensi makan lebih dari dua kali per hari (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). PEMBAHASAN Gejala khas dari gastritis dan tukak peptik adalah rasa sakit/nyeri/tidak nyaman di daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung kembung (bloating) setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia (Wibawa 2006). Dari sekumpulan gejala tersebut, yang paling sering dirasakan contoh adalah perut penuh/cepat kenyang, sedangkan gejala yang paling jarang dialami adalah muntah dan rasa panas terbakar (heartburn). Sebagian besar contoh (65% kasus dan 13% kontrol) pernah mengalami gejala nyeri epigastrum atau ulu hati. Sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi dispepsia kategori jarang, yaitu kelompok kasus 81.7% dan kontrol 100%, namun keduanya secara signifikan berbeda (p<0.05). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelum masuk kuliah dengan kebiasaan makan, gaya hidup sehari-hari, dan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Seseorang yang telah memiliki riwayat gangguan lambung sebelumnya (termasuk gastritis dan tukak peptik) akan rentan mengalami gejala dispepsia sebagai indikator kambuhnya gangguan lambung karena kebiasaan yang tidak sehat. Sebagian besar contoh mempunyai status gizi normal, dan hanya 16.7% kasus dan 18.3% kontrol tidak normal (undeweight/overweight). Tidak terdapat perbedaan yang nyata status gizi contoh pada kelompok kasus dan control (p>0.05). Status gizi tidak berhubungan dengan gejala gangguan lambung (p>0.05), sehingga status gizi tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi gejala gangguan lambung. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada penderita dispepsia. Pada kelompok kontrol kebiasaan makan lebih teratur dibandingkan kasus (p<0.05). Pada kedua kelompok, sebagian besar (kasus 76.7% dan kontrol 91.7%) contoh biasa makan lebih dari dua kali sehari, akan tetapi kelompok kasus lebih banyak (23.3%) yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari dibandingkan kelompok kontrol (p<0.05). 87

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Dibandingkan kelompok kontrol, contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu makannya tidak menentu, tidak terbiasa sarapan, terbiasa mengonsumsi makanan selingan, dan biasa membatasi makan; meskipun kebiasaan tersebut perbedaannya tidak signifikan dibandingkan kontrol (p>0.05). Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga 0.92), dan frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR= 0.11; CI 95%: 0.03 hingga 0.42). Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia). Makan dengan frekuensi lebih sering (lebih dari dua kali per hari) merupakan salah satu cara meringankan kerja lambung sehingga produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu banyak. Dengan demikian, dapat mencegah timbulnya dispepsia (Djojodiningrat 2001). Pada kelompok kasus dibandingkan kontrol secara signifikan lebih banyak yang memiliki kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, dan mengkonsumsi suplemen (p<0.05). Namun kebiasaan minum teh, kopi, maupun kombinasinya (kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi), makan makanan pedas, dan mengkonsumsi suplemen tidak berhubungan nyata terhadap gejala gangguan lambung. Minuman berkarbonasi yang banyak dikonsumsi adalah cola, sedangkan minuman asam adalah minuman berperisa buah (menggunakan perisa dan asam sitrat) dan gula asam siap saji. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengonsumsi makanan asam berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0.05). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR= 6.91; CI 95%: 1.42 hingga 33.52), demikian pula kebiasaan mengonsumsi makanan asam (OR=9.12; CI 95%: 1.13 hingga 73.74). Makanan asam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat mengikis mukosa lambung. Makanan asam merangsang sekresi asam lambung berlebihan dan dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap 2009). Minuman berkarbonasi bersifat asam, memiliki ph sangat rendah (3-4). Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein yang memiliki efek yang sama dengan kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung, mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung, dan dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter (LES), katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Pada kelompok kasus lebih banyak yang menderita defisiensi vitamin A dibandingkan pada kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus dan 88.3% kontrol berada pada kategori defisit asupan vitamin C. Pada kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi lemak >30% AKG energi, sedangkan kelompok kontrol sebaliknya. Hampir keseluruhan contoh (98.3%) pada kelompok kasus dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium (97.5%). Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus dan kontrol secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia, yaitu contoh yang mengonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR=5.68; CI 95% : 1.41 hingga 22.56). Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang mengandung lemak rantai pendek dan sedang (MCT), baik susu maupun telur adalah pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi. Konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat 88

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal. Lemak rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia (Thomson 2008). Pada kelompok kasus hanya 10% contoh dan 3.3% pada kelompok kontrol yang memiliki kebiasaan merokok. Demikian pula terhadap kebiasaan minum alkohol tidak banyak dijumpai pada kedua kelompok. Kedua variabel ini tidak berhubungan dengan gejala dispepsia. Berdasarkan kategori aktivitas fisik (termasuk di dalamnya kebiasaan olahraga contoh), pada kelompok kasus termasuk kategori aktif (75.0%), sedangkan kelompok kontrol tidak aktif (51.7%). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89). Menurut Bredbenner et al (2009) olahraga yang teratur membantu menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat badan. Peran olahraga adalah menurunkan risiko terjadinya penyakit. Olahraga juga membantu mengatasi stres sehingga membantu mengontrol sekresi asam lambung dan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Jenis obat-obatan tertentu memiliki efek samping menyebabkan gejala mual, kembung, muntah, gastritis, hingga tukak. Obat anti nyeri (misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek samping pada lambung. Terdapat dua mekanisme obat antinyeri atau analgesik yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung. Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon inflamasi dan rasa nyeri. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53.3%) dan kontrol (84.0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna obat dokter harian (kurang dari tablet/kapsul/kaplet per minggu). Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata dengan frekuensi gejala dispepsia (p>0.05). Terdapat 33.3% contoh kelompok kasus memiliki kebiasaan mengonsumsi antasida, dan tidak pada kelompok kontrol. Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi dispepsia contoh akan mengonsumsi antasida untuk mengurangi gejala tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19 hingga 30.26). Penderita dispepsia sering menggunakan obat-obatan penekan sekresi asam lambung untuk mengatasi gejala-gejala yang muncul. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadangkadang disertai simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada makanan atau obat tertentu. Zat aktif pada antasida (magnesium dan alumunium) akan bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia (Almatsier 2002). Kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0.05). Tingkat stres berhubungan nyata dengan gejala dispepsia, yaitu semakin tinggi tingkat stres akan berhubungan dengan sering munculnya gejala dispepsia (OR= 7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89). Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan mekanisme hormonal (penurunan serotonin dan 89

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik. Hiperasiditas lambung dan meningkatnya cadangan glukosa darah (akibat pengaruh hormonal) menyebabkan berkurangnya nafsu makan sehingga mendorong makan menjadi tidak teratur. Makan tidak teratur merupakan salah satu penyebab munculnya dispepsia (Tarigan 2003). Faktor herediter yaitu berupa riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia. Hampir semua penyakit memiliki unsur hereditas (genetik atau turunan). Sebanyak 76.7% contoh pada kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu contoh, yaitu 43.3% pada kelompok kasus dan 40% pada kelompok kontrol yang memiliki golongan darah O. Terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kontrol, sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan darah contoh tidak berbeda nyata (p>0.05). Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain (D Adamo 2002). Faktor risiko terhadap frekuensi gejala dispepsia adalah frekuensi makan lebih dari dua kali per hari (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). Semakin jarang frekuensi makan (< 2 kali per hari), memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi (> 3 botol per minggu), dan semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk mengalami dispepsia. Berdasarkan penelitian Reshetnikov et al. (2007), jeda jadwal makan yang terlalu lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia. Minuman berkarbonasi bersifat asam dengan ph sangat rendah (3-4) sehingga berisiko mengikis mukosa lambung, selain itu kandungan kafein di dalamnya juga mempengaruhi sekresi asam lambung. Stres berkaitan dengan terjadinya dispepsia karena perubahan berbagai mekanisme hormonal sehingga menimbulkan hiperasimtomatik saluran gastrointestinal. Penelitian ini menyimpulkan frekuensi dispepsia pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok control (p<0.05). Riwayat gangguan lambung, keteraturan makan, frekuensi makan, kebiasaan minum berkarbonasi, dan konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi munculnya dispepsia (p<0.05). Contoh yang makan tidak teratur, frekuensi makan < 2 kali per hari, biasa minum berkarbonasi >3 kali per minggu, dan mengkonsumsi lemak <30% AKE lebih berisiko mengalami dispepsia lebih sering. Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada kelompok kasus termasuk kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif. Contoh yang tidak aktif lebih berisiko mengalami dispepsia (p<0.05). Pada kelompok kasus cenderung memiliki kebiasaan mengonsumsi obat-obatan dan antasida. Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami (p<0.05). Pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semakin tinggi tingkat stres contoh berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia. Faktor hereditas seperti riwayat penyakit keluarga dan golongan darah tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya dispepsia. Analisis multivariat faktor risiko terhadap dispepsia adalah frekuensi makan (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum berkarbonasi (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). Contoh yang semakin jarang frekuensi makan, biasa minum berkarbonasi, dan semakin 90

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA tinggi tingkat stres, maka akan semakin berisiko menderitata dispepsia. Penelitian ini menyarankan mahasiswa agar makan secara teratur dan menerapkan makan lebih dari dua kali per hari lebih baik untuk membantu lambung beradaptasi sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Membatasi minuman dan makanan iritatif, terutama minuman berkarbonasi. Meminimalkan stres diperlukan untuk mencegah timbulnya gangguan-gangguan kesehatan akibat perubahan fisiologis maupun biokemis akibat stres, termasuk dispepsia. DAFTAR PUSTAKA Carvalho RVB, Lorena SLS, Almeida JRD, Mesquita MA. (2008). Food Intolerance, diet Composition, and Eating Patterns in Functional Dyspepsia Patients. Journal of Digestive Disease and Science 55:60 65. Diakses 18 Januari 2011. Choi S, Lim YJ, Park SK. (2006). Risk Factor for Analysis for Metaplastic Gastritis in Koreans. World Journal of Gastroenterology 12 (16): 2584-2587. Diakses 11 Agustus 2010. Dwijayanti H, Ratnasari N, dan Susetyowati. (2008). Asupan Natrium dan Kalium Berhubungan dengan Frekuensi Gejala Sindrom Dispepsia Fungsional. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 5 No 1: 36-40. Ettinger S. (2000). Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam Mahan LK dan Escott-stump SE, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy 11 th Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 37-73. Gibson R.S. (2005). Principles of Nutritional Assement Second Edition. Oxford: University Press. Laela N. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Dasar yang Sibuk dan Tidak Sibuk [skripsi]. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mcintosh JH, Byth K, dan Piper W. (1985). Environmental Factors in Aetiology of chronic Gastric Ulcer: Use Control Study of Exposure Variables Before The Fisrt Symptomps. Gut 1985 (26): 789-798. http://www.gut.org Diakses 11 Agustus 2010. Reshetnikov OV et al. Prevalence of Dyspepsia and Irritable Bowel Syndrome Among Adolescent of Novobirsk, Institut of Internal Medicine of Rusia. Int. J. Circumpolar Health 60 (2):253. Riccardi VM dan Rotter JI. (2004). Familial Heliobacter pylori Infection: Societal Factors, Human Genetics, and Bacterial Genetics. Ann Intern Med. 120 (12): 1043-104]. Suyono S. (2001). Ilmu Penyakit Dalam Ed III: Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Tarigan CJ. (2003). Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia Organik. Medan: Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. [USDHHS] United State, Department of Health and Human Services. (2008). Physical Activity Guidelines for Americans. http://www. Health.gov.pagegudelines. Diakses 28 juli 2010. 91