FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) ANDRI SUSANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) ANDRI SUSANTI"

Transkripsi

1 FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) ANDRI SUSANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT ANDRI SUSANTI. Risk Factor of Dyspepsia in Bogor Agricultural University Students. Supervised by DODIK BRIAWAN and VERA URIPI. This study analyzed the risk factors of dyspepsia in university students. This study applied a case control study. For this purpose, two groups of samples were selected purposively based of gastric disorder history. Case group is first grade university students with gastric disorder (gastritis or peptic ulcer) history in last six months, whereas control group is first grade university students who never had gastric disorder. The total of 120 university students were taken as samples, consist of 60 students for case (24 male and 36 female) and 60 students for control (24 male and 36 female). Data were collected include gastric disorder history, dyspepsia symptom, characteristic of samples, nutritional status, eating habit, smoking, alcohol consumption, physical activity, drugs consumption (include antacid drug), stress, blood type, and family disease history of gastritis or peptic ulcer. The result of this study, showed that frequency of dyspepsia in case group was higher than control group (p<0,05). Gastric disorder history (gastritis or peptic ulcer) related to frequency of dyspepsia (p<0,05). The body mass index (BMI) scores of samples had no difference in both of the groups (p<0,05). Having meal regularly, meal frequency, softdrink consumption habit, and fat intake related significantly with frequency of dyspepsia (p<0,05). Physical activity, taking antacid drug, and stress level related significantly with frequency of dyspepsia (p<0,05). family disease history and blood type had no relation with frequency of dyspepsia. The multiple logistic regression analysis showed that the significant risk factors of dyspepsia are meal frequency more than twice per day (OR 0,082; 95% CI: 0,015-0,446), habitually consume carbonated drink (OR 8,954; 95% CI: 1,268-63,225), and higher stress level (OR 1,215; 95% CI: 1,057-1,369). The conclusion, eating frequency more than twice per day can reduce risk of dyspepsia, in the other way, consume carbonated drink more than three bottles per week, and higher stress level precisely increase the risk of dyspepsia. Keyword: risk factor, dyspepsia, university students

3 RINGKASAN Andri Susanti. Faktor Risiko Dispepsia Pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). (Di Bawah Bimbingan Dodik Briawan dan Vera Uripi) Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Tujuan khusus penelitian adalah: 1) Mempelajari karakteristik contoh; 2) Menganalisis gejala dispepsia pada contoh; 3) Menilai status gizi contoh; 4) Menganalisis kebiasaan makan contoh; 5) Menganalisis kebiasaan merokok contoh; 6) Mengetahui kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol contoh; 7) Mengukur aktivitas fisik contoh; 8) Mengetahui konsumsi obat-obatan contoh; 9) Mengukur tingkat stres contoh; 10) Menganalisis faktor herediter contoh, meliputi golongan darah dan riwayat gangguan lambung pada keluarga contoh; 11) Menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada frekuensi dispepsia pada contoh. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi kasus-kontrol berpasangan, berdasarkan jenis kelamin, umur, dan latar belakang sosial-ekonomi, dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2010 di kampus IPB Darmaga, Bogor. Contoh penelitian ini adalah mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB T.A. 2010/2011 yang diambil secara purposive dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian (kriteria kasus dan kontrol) dan bersedia untuk menjadi responden. Contoh berjumlah 120 orang dengan rincian 60 kelompok kasus (24 putra dan 36 putri), dan 60 kelompok kontrol (24 putra dan 36 putri). Data sekunder diperoleh dari Direktorat TPB IPB, berupa jumlah mahasiswa TPB IPB dan pembagian kelasnya. Data primer yang dikumpulkan adalah riwayat penyakit atau gangguan lambung, karakteristik contoh, kebiasaan makan, kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, tingkat aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, golongan darah, dan riwayat penyakit keluarga. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16 for Windows. Data disajikan dalam bentuk tabulasi silang, dianalisis secara deskriptif dan statistik (uji beda, uji hubungan, dan uji regresi). Sebagian besar contoh (kasus dan kontrol) berada pada masa remaja akhir (umur tahun), jumlah uang saku sedang (Rp Rp per bulan), suku terbanyak Sunda dan Jawa, dan berasal dari Jawa Barat dan Sumatera. Sebagian besar contoh berada pada status gizi normal dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi contoh pada kelompok kasus dan kontrol. Status gizi tidak berhubungan dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Sebagian besar contoh (kasus dan kontrol) berada pada kategori frekuensi dispepsia jarang (kasus 81,7% dan kontrol 100%). Frekuensi dispepsia contoh kelompok kasus lebih sering dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik) sebelumnya lebih berisiko mengalami dispepsia dibandingkan yang tidak memiliki riwayat (OR: 1,224; 95% CI: 0,086-1,380). Contoh pada kelompok kontrol makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus (p<0,05). Secara keseluruhan, sebagian besar contoh terbiasa makan lebih dari dua kali sehari. Akan tetapi, pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari atau tidak tertentu dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Dibandingkan dengan kelompok kontrol, contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu makannya

4 tidak menentu, tidak terbiasa sarapan, terbiasa mengkonsumsi makanan selingan, dan memiliki kebiasaan membatasi asupan makanan. Namun uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada jeda waktu makan, kebiasaan sarapan, mengkonsumsi makanan selingan, dan membatasi asupan pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05). Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia (p<0,05). Makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,810; 95% CI: 0,715-0,918). Frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,113; 95% CI: 0,030-0,423). Jeda waktu makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan, dan membatasi asupan makanan tidak berhubungan dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang memiliki kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, dan suplemen. Terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan minum kopi, minuman berkarbonasi, kombinasi teh dan kopi, kombinasi teh dan minuman berkarbonasi, kombinasi teh, kopi dan minuman berkarbonasi, serta makan makanan asam pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengkonsumsi makanan atau minuman asam berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia contoh (p<0,05). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 6,907; 95% CI: 1,423-33,519). Demikian juga kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 9,123; 95% CI: 1,129-73,735). Tingkat kecukupan vitamin A pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang defisit dibandingkan pada kontrol (p<0,05). Tingkat kecukupan vitamin C pada sebagian besar contoh (kasus 80% dan kontrol 88,3%) berada pada kategori defisit dengan kecenderungan kasus lebih tinggi tingkat kecukupan vitamin C-nya. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi lemak >30% Angka Kecukupan Energi (AKE), sedangkan kelompok kontrol sebaliknya. Hampir keseluruhan contoh pada kelompok kasus dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium. Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus dan kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05). Konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0,05), sedangkan variabel konmsumsi zat gizi lainnya tidak berhubungan nyata (p>0,05). Mengkonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 5,683; 95% CI : 1,409-22,557). Hanya 10% contoh pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol yang memiliki kebiasaan merokok. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria, jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara tahun dan sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun. Tidak ada contoh yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga (kasus 66,7% dan kontrol 50%) (p>0,05). Kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada kelompok kasus termasuk kategori aktif (75,0%), sedangkan pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif (51,7%). Tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0,05). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR: 7,031; 95%CI: 0,869-56,886).

5 Kebiasan mengkonsumsi obat-obatan contoh pada kelompok kasus cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kontrol (p<0,05). Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) dan kontrol (84,0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna obat harian (mengkonsumsi obat kurang dari atau sama dengan tujuh tablet/kapsul/kaplet per minggu). Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata dengan frekuensi gejala dispepsia (p>0,05). Terdapat 33,3% contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi antasida dibandingkan kontrol (hampir tidak ada yang terbiasa mengkonsumsi antasida) (p<0,05). Kebiasaan mengkonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Semakin sering frekuensi dispepsia contoh, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk mengurangi gejala (OR: 8,143; 95% CI: 2,191-30,263). Pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Tingkat stres berhubungan nyata dengan gejala dispepsia (p<0,05). Semakin tinggi tingkat stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul gejala dispepsia yang dialami contoh (OR: 7,031; 95% CI: 0,869-56,886). Sebanyak 76,7% contoh pada kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu contoh. Terdapat 43,3% contoh pada kelompok kasus dan 40% pada kelompok kontrol yang memiliki golongan darah O. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kelompok kontrol, sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan darah contoh tidak berbeda nyata (p>0,05). Faktor herediter (riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh) tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia. Faktor risiko yang berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap frekuensi gejala dispepsia berdasarkan analisis regresi logistik adalah frekuensi makan lebih dari dua kali per hari (OR 0,082; 95% CI: 0,015-0,446), kebiasaan minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol kecil per minggu (OR 8,954; 95% CI: 1,268-63,225) dan tingkat stres (OR 1,215; 95% CI: 1,057-1,369). Semakin jarang frekuensi makan ( 2 kali per hari), memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi (> 3 botol per minggu), dan semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk mengalami dispepsia. Makan secara teratur dan menerapkan makan lebih dari dua kali per hari lebih baik untuk membantu lambung beradaptasi sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Membatasi minuman dan makanan iritatif, terutama minuman berkarbonasi. Meminimalkan stres diperlukan untuk mencegah timbulnya gangguan-gangguan kesehatan akibat perubahan fisiologis maupun biokemis akibat stres, termasuk dispepsia.

6 FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) ANDRI SUSANTI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

7 Judul Nama NIM : Faktor Risiko Gejala Gangguan Lambung pada Mahasiswa TPB IPB : Andri Susanti : I Disetujui : Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP dr. Vera Uripi, S.Ked NIP Diketahui : Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas semua bantuan yang ditujukan kepada; 1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, serta dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi sejak awal penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Katrin Roosita, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan ulasan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ayah dan Ibuku (orang tua terbaik), adik-adik Linda dan Tyas, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan perhatian kepada penulis. 4. Para pembahas seminar (Rahmi, Anita, dan Anggi) atas saran dan masukan dalam penyempurnaan skripsi. 5. Tanoto Foundation (Bpk. Candra, Ibu Ratih, Mbak Vika, dkk), yang telah memberikan beasiswa kepada penulis hingga menamatkan studi di IPB. 6. Mahasiswa TPB IPB angkatan 47 yang telah bersedia menjadi responden. 7. Keluarga Besar Koperasi mahasiswa IPB (alumni, pengurus, karyawan, dan anggota) yang telah memberi dukungan Nova P, Reza M, M. Ramdhani, Firdiansyah R, Gilar CN, M. Paturohman, Hairul, dan teman-teman seperjuangan di Kopma IPB. 8. Arina M, Karlina N, Diani P sebagai teman satu pembimbing skripsi atas dukungan dan motivasinya. Koplag s dan keluarga GM 43 atas kebersamaan, perhatian, dan dan bantuannya. 9. Pak Mashudi, Muhamad Firdaus, dan sahabat (Eva F, Deristyani, Yustika SN) yang selalu mengingatkan, memotivasi, mendoakan, dan memberikan perhatian pada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, April 2011 Andri Susanti

9 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Andri Susanti yang akrab dipanggil Andris, lahir di Wonogiri, tanggal 7 Januari Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri pasangan Sutarmin, M.Pd dan Eny Purwaningsih. Pendidikan formal pertama yang ditempuh penulis adalah Raudatul Athfal Perwanida X di Selogiri tahun Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 2 Tekaran pada tahun , pendidikan menengah pertama di SMP N 1 Selogiri pada tahun , dan pendidikan menengah atas di SMA N 1 Sukoharjo pada tahun Pada tahun 2006, melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Satu tahun berikutnya, penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan pernah tercatat sebagai Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi Koperasi Mahasiswa IPB pada tahun , dan Ketua Umum Koperasi Mahasiswa IPB periode Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dietetika Penyakit Infeksi dan Defisiensi Gizi serta mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi pada tahun Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan tingkat departemen hingga kampus. Pada bulan Juni-Agustus 2009 penulis mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Pada bulan April 2010 penulis melaksanakan Internship Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Penulis menamatkan studinya dengan melakukan penelitian pada mahasiswa TPB IPB tahun 2010, dengan skripsi berjudul Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB).

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 4 Kegunaan Penelitian... 4 TINJUAN PUSTAKA... 5 Dispepsia... 5 Gangguan Lambung... 6 Kebiasaan Merokok Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol Aktivitas Fisik Kebiasaan Makan Status Gizi Konsumsi Obat-Obatan Stres Faktor Herediter dan Golongan Darah Lingkungan (Sosial-Ekonomi) Remaja KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi operasional PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Karakteristik Contoh Karakteristik Sosial-Ekonomi Gangguan Lambung Status Gizi Kebiasaan Makan Kebiasaan Merokok Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Berolahraga Konsumsi Obat-Obatan Tingkat Stres Herediter Faktor Risiko Kekambuhan Gangguan Lambung x xi xii xiii

11 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

12 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1 Klasifikasi IMT/U untuk anak dan remaja (WHO 2007) Perhitungan jumlah contoh berdasarkan OR dari studi pustaka 31 3 Variabel dan kategori variabel yang digunakan Bentuk tabel 2x2 untuk menentukan odd ratio pada studi case control Sebaran contoh menurut karakteristik contoh Sebaran contoh menurut jumlah uang saku Sebaran suku/etnis menurut ayah dan ibu contoh Sebaran wilayah domisili contoh Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia Sebaran contoh berdasarkan status gizi Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum, makan makanan pedas, asam, dan konsumsi suplemen Jenis suplemen yang dikonsumsi contoh Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok aktif dan pasif Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obatobatan dan antasida Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami Sebaran contoh berdasarkan riwayat gangguan lambung keluarga Sebaran contoh berdasarkan golongan darah Kesesuaian model hasil regresi logistik stepwise faktor risiko gejala gangguan lambung Hasil regresi logistik faktor risiko frekuensi munculnya gejala gangguan lambung (tahap akhir)... 84

13 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik Faktor risiko kekambuhan gangguan lambung pada mahasiswa TPB IPB Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi gejala dispepsia Sebaran contoh pada kelompok kasus dan kontrol berdasarkan status gizi Kebiasaan membatasi asupan contoh untuk menurunkan berat badan Frekuensi konsumsi makanan pedas contoh Sebaran contoh pada kelompok kasus dan kontrol berdasarkan golongan darah... 81

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Kuesioner skrining Kuesioner penelitian Tabel hasil uji beda variabel kelompok kasus dan kontrol Tabel hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap Tabel hasil uji regresi logistik tahap

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan pembangunan. Kesehatan adalah investasi, oleh karena itu mereka yang selalu memelihara kesehatannya akan memperoleh hasil berupa produktivitas kerja yang semakin meningkat, peluang hidup yang lebih panjang, dan hidup sejahtera tanpa dirongrong penyakit (Khomsan 2002). Produktivitas pada usia remaja dapat tercermin pada prestasi belajarnya. Gangguan kesehatan sekecil apapun akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Status kesehatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor internal (individu) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor internal tersebut antara lain gaya hidup dan kebiasaan makan. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk, dengan jumlah ±44 juta jiwa. Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, Hall (1989) dalam Papalia dan Olds (1998) menyebut masa ini sebagai periode storm and stress, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. Perkembangan teknologi, industri, dan era keterbukaan informasi saat ini membawa konsekuensi terhadap perubahan gaya hidup, kondisi lingkungan, dan perilaku masyarakat, termasuk remaja. Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary, stres, dan polusi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Gaya hidup dan kebiasaan makan yang salah akan secara langsung akan mempengaruhi organorgan pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan. Salah satu penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas atau dikenal sebagai sindrom dispepsia. Dispepsia dapat terjadi akibat kelainan organik maupun fungsional. Gangguan organik yang umum terjadi pada lambung antara lain gastritis dan tukak peptik (dikenal dengan sakit maag), esophageal reflux disease, penyakit kandung empedu, gangguan hati, dan patologi lainnya (Beyer 2004). Dalam penelitian ini, dispepsia diteliti sebagai suatu akibat dari adanya riwayat gangguan lambung yaitu gastritis atau tukak peptik serta gaya

16 hidup sehari-hari (kebiasaan makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, stres, dan lain-lain). Gatritis merupakan inflamasi dari lapisan mukosa dan submukosa gaster atau lambung. Tukak peptik (ulkus peptikum) adalah suatu istilah yang menunjuk pada suatu kelompok penyakit ulserasi (perlukaan) saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama duodenum dan lambung. Patogenesis tukak peptik sama-sama melibatkan asam-pepsin. Bentuk utama tukak peptik adalah tukak lambung dan tukak duodeni (Mc Guigan 1995). Keluhan paling banyak pada gastritis dan tukak peptik berupa nyeri perut atau ketidaknyamanan perut bagian atas (dispepsia), meliputi mual, muntah, kembung, rasa penuh atau terbakar di perut bagian atas (Darya dan Wibawa 2009). Munculnya gastritis terkait dengan berbagai pengobatan, faktor diet, lingkungan, gaya hidup, infeksi bakteri Helicobacter pylori (H. pylori), serta faktor psikologis (stres). Gastritis merupakan masalah kesehatan di masyarakat, prevalensi gastritis yang cukup tinggi, mempengaruhi hingga 50% orang dewasa di negaranegara barat. Di Indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0,99% dan insiden gastritis sebesar 115/ penduduk (Yanti 2009). Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia tahun (Suyono 2001 dalam Annisa 2009). Prevalensi dispepsia sendiri secara global bervariasi antara 7-45% tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat sebesar 23-25,8%, di India 30,4%, New Zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41% (Mahadeva dan Lee 2006). Di Indonesia, dispepsia menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang dengan pasien rawat inap terbanyak (Depkes 2006). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Menurut poliklinik IPB (2004) gangguan saluran pencernaan berupa gejala mual dan gangguan nafsu makan merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita mahasiswa TPB IPB. Pusing, nyeri lambung, mual, perut kembung merupakan keluhan kesehatan utama yang dialami oleh mahasiswa TPB (Mulyani 2007). Mual merupakan salah satu gejala dispepsia yang ditimbulkan akibat gangguan pencernaan seperti gastritis maupun tukak. Gastritis dapat berkembang menjadi tukak peptik dan jika berlanjut dapat berkembang menjadi kanker lambung. Penelitian di Inggris menemukan

17 hubungan antara tukak peptik dengan kanker lambung pada orang dewasa. Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang juga dikenal dengan sindrom dispepsia cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30% penderita dispepsia dilaporkan tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala-gejala dispepsia menyerang. Dispepsia merupakan suatu hal yang mahal untuk pelayanan kesehatan karena biaya konsultasi, investigasi, dan pengobatannya. Sejak tahun 2000, Institut Pertanian Bogor (IPB) mewajibkan seluruh mahasiswa baru tinggal bersama dalam asrama selama satu tahun. Tahun pertama bagi mahasiswa baru IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Perubahan lingkungan dan kebiasan sehari-hari dari yang semula tinggal di rumah bersama keluarga menjadi tinggal di asrama, seringkali membuat stres mahasiswa TPB. Kondisi lingkungan asrama dan padatnya jadwal kegiatan mahasiswa dapat menyebabkan pola makan tidak teratur dan gaya hidup yang berubah karena berbagai faktor di sekitar mahasiswa. Stres, makan tidak teratur dan sembarangan, merokok, minum alkohol, minum kopi dapat menimbulkan masalah pencernaan, salah satunya berupa gangguan lambung. Seseorang yang telah memiliki masalah pencernaan sebelumnya, akan sangat rentan mengalami dispepsia karena kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pun, dimungkinkan untuk terjangkit dispepsia karena faktor-faktor di atas. Masalah gizi pada mahasiswa yang masih tergolong remaja akhir ini perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan pada masa dewasa. Mempertimbangkan hal-hal di atas, penelitian untuk menganalisis faktor risiko Dispepsia pada mahasiswa TPB IPB menarik untuk dilakukan. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Tujuan Khusus 1. Mempelajari karakteristik contoh. 2. Menganalisis gejala dispepsia pada contoh. 3. Menilai status gizi contoh. 4. Menganalisis kebiasaan makan contoh.

18 5. Menganalisis kebiasaan merokok contoh. 6. Mengetahui kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol contoh. 7. Mengukur aktivitas fisik contoh. 8. Mengetahui konsumsi obat-obatan contoh. 9. Mengukur tingkat stres contoh. 10. Menganalisis faktor herediter contoh, meliputi golongan darah dan riwayat gangguan lambung pada keluarga contoh. 11. Menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada gejala dispepsia yang dialami contoh. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan status gizi, gejala dispepsia yang dialami, kebiasaan makan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, dan faktor herediter contoh pada kelompok kasus dan kontrol. 2. Terdapat hubungan antara status gizi, riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), kebiasaan makan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, dan faktor herediter dengan gejala dispepsia yang dialami contoh. 3. Status gizi, kebiasaan makan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, dan faktor herediter merupakan faktor risiko dispepsia contoh Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi umum mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan atau penurunan risiko gangguan lambung dan dispepsia sehingga menjadi masukan dalam usaha pencegahan penyakit tersebut. Faktor risiko tersebut dapat berupa hal yang menetap (genetik) dan hal yang bisa diubah (kebiasaan makan dan gaya hidup). Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan melalui pengaturan kebiasaan makan dan gaya hidup. Selain itu, adanya penelitian ini juga dapat memberikan informasi awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor risiko gangguan lambung yang lainnya.

19 TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang 2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji, dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala sesuatu yang mudah, serta rentan stres). Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%, Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al. (2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual, muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan

20 satu atau lebih gejala yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal. Salah satu subtipe dispepsia adalah dispepsia dengan gejala-gejala menyerupai ulkus atau tukak peptik. Keluhan yang menonjol pada subtipe tersebut antara lain nyeri epigastrum episodik yang terlokalisasi, nyeri tersebut hilang setelah pemberian antasida (Chang 2006). Gangguan lambung berupa gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang mengganggu penderitanya. Gangguan Lambung Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester 1994). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa (Ganong 2003). Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan ph yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong 2003).

21 Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamine. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong 2003). Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik (tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak peptik merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (dispepsia) (Beyer 2004). Gastritis Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Bila peradangan terjadi di duodenum, maka disebut duodenitis. Gejalanya seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, perut kembung akibat regangan lambung, dan kadang-kadang disertai kejang perut serta perdarahan. Sekumpulan gejala mual, muntah, nyeri epigastrum, dan perut kembung disebut sebagai sindrom dispepsia. Pada endoskopi, gastritis tampak sebagai perubahan warna mukosa lambung, sedangkan dalam gambaran radiologis gastritis tampak sebagai perubahan relief dari mukosa (Nurman 1990 diacu dalam Mulyani 2007). Gastritis dapat bersifat

22 akut dan kronis. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi kronis, disertai dengan borok-borok luka pada dinding yang disebut tukak lambung. Gastritis memegang peranan penting sebagai faktor penyebab ulkus atau tukak dan karsinoma. Gastritis kronis dapat menyebabkan fungsi lambung terganggu. Kondisi ini akan mengurangi asupan makanan ke tubuh sehingga berat badan turun, penyerapan vitamin B 12 ikut terganggu sehingga dapat menyebabkan anemia (Uripi 2004). Meningkatnya produksi asam lambung dan berkurangnya daya tahan dinding lambung terhadap pengaruh dari luar akan menimbulkan gastritis. Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu penyakit ini, antara lain faktor makanan, obat-obatan atau zat kimia, dan faktor psikologis (Uripi 2004). Faktor makanan seperti penyimpangan cara makan, jenis makanan, dan jeda waktu makan dapat menyebabkan gastritis. Meningkatnya cairan lambung disebabkan oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain yang bersifat merangsang (Uripi 2004). Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung. Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori (H. pylori). Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi H. pylori berkisar antara 30-80% sedangkan di negara maju diperkirakan sebesar 10% (Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara berkoloni di bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung. Tukak Peptik (Ulkus Peptikum) Tukak peptik atau ulkus peptikum didefinisikan sebagai kerusakan atau hilangnya mukosa, submukosa sampai lapisan otot dari saluran cerna bagian atas yang berkaitan dengan asam dan pepsin dalam patogenesisnya. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun sering disebut juga sebagai tukak. Tukak peptik dapat ditemukan pada bagian

23 saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal oesofagus, lambung, duodenum, dan jejunum (Wilson dan Lester 1994). Keluhan yang sering diutarakan penderita adalah nyeri di daerah epigastrum (ulu hati) berupa nyeri yang tajam dan menyayat, atau terasa tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada bagian kanan atau kiri epigastrum terjadi 30 menit setelah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri akan terasa berkurang setelah makan atau minum antasida. Dispepsia juga dialami oleh penderita tukak peptik. Rasa nyeri pada perut bagian atas merupakan gejala khas tukak, rasa nyeri diakibatkan oleh asam lambung asam lambung dan pepsin yang merangsang serabut syaraf di dasar tukak. Selain itu, motilitas otot-otot dapat menambah rasa nyerinya. Gejala lain seperti rasa asam di mulut, mual, muntah, kembung, bersendawa, dan berkurangnya nafsu makan (Hadi 2002 dalam Harahap 2009). Luka yang timbul pada tukak peptik dapat mengakibatkan perdarahan. Bila jumlahnya sedikit, darah tersebut akan keluar bersama feses. Feses akan berubah warna menjadi kehitaman, keadaan ini disebut melena. Bila jumlahnya sangat banyak, darah akan dimuntahkan, keadaan ini disebut hematemesis (Uripi 2004). Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia tahun (Suyono 2001). Wilson dan Lester (1994) menyatakan bahwa tukak duodenum menyusun 80% dari keseluruhan tukak peptik dan menyerang sekitar 10-12% populasi. Tukak duodenum umumnya menyerang pada kelompok umur yang lebih muda. Terjadinya tukak duodenum pada umumnya disebabkan oleh hipersekresi asam lambung. Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak, sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan, dan hiperfungsi kelenjar. Kelainan lain yang ditemukan pada tukak duodenum adalah pengosongan asam lambung terlalu cepat sehingga beban asam lambung pada mukosa duodenum tinggi. Pada tukak lambung, sering ditemukan kelainan berupa keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa regurgitasi isi duodenum yang mengandung empedu dapat mencetuskan trauma mukosa lambung yang kemudian berlanjut dengan ulserasi lambung (Wilson dan Lester 1994). Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak peptik adalah perimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Normalnya, mukosa lambung dan duodenum

24 terlindung dari asam lambung dan pepsin melalui sekresi mukus, produksi bikarbonat, pembersihan kelebihan asam lambung (difusi ion hidrogen) melalui aliran darah, dan regenerasi sel epitelial. Produksi mukus distimulasi oleh prostaglandin (Beyer 2004). Selain faktor agresif dan defensif, terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kontibusi untuk terjadinya tukak peptik antara lain jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan, dan infeksi bakteri (Julius 1992). Beyer (2002) menyatakan bahwa penyebab primer tukak peptik adalah infeksi H. pylori, gastritis, penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, dan stres. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Merokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Patofisiologi tukak peptik dipaparkan dalam gambar 1. TUKAK PEPTIK ETIOLOGI Aspirin & OAINS lainnya Infeksi H. pylori Stres Gastritis PATOGENESIS Erosi lapisan mukosa, submukosa, atau lapisan otot dinding saluran cerna atas Manajemen Medis Manajemen Perilaku Manajemen Gizi Mengurangi atau menghindari OAINS Menggunakan antibiotik, antasida Menekan asam lambung dengan: Proton pump inhibitor atau blok reseptor H 2 * OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid Menghindari rokok Meningkatkan intik asam lemak rantai pendek dan rantai sedang (MCT) yang memiliki efek perlindungan Mengurangi konsumsi alkohol, bumbu tajam, kopi dan kafein Status gizi yang baik (normal) membantu menurunkan risiko infeksi bakteri dan penyakit degeneratif Gambar 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik atau peptic ulcer (Beyer 2004)

25 Kebiasaan Merokok Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, n-nitrosamin, nikotin, tar, dan lainlain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan. Efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan ph duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin (Beyer 2008). Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses ulcerogenesis (timbulnya tukak). Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik. Pengukuran konsumsi rokok dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran kuantitatif seperti frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun merokok), dan umur ketika awal merokok (Musbyarini 2009). Ukuran-ukuran kuantitatif tersebut dapat dihubungkan dengan dampak kesehatan yang ditimbulkan rokok terhadap penggunanya. Konsumsi Minuman Beralkohol Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan

26 minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier 2002). Metabolisme alkohol melibatkan enzim alkohol dehidrogenase yang terdapat dalam lambung dan hati. Di dalam lambung, sebagian alkohol akan mengalami pemecahan sehingga mengurangi jumlah alkohol yang diserap ke dalam aliran darah hingga 20%. Alkohol yang diabsorbsi kemudian dibawa melalui pembuluh darah ke hati, yang mampu memecah alkohol dalam jumlah besar. Jumlah alkohol yang dapat ditangani oleh hati sekaligus rata-rata sebanyak 15 gram etanol per jam, bergantung pada ukuran tubuh, kondisi kesehatan, jarak waktu makan atau kondisi lambung dan usus, kebiasaan umum, berat badan, jenis kelamin,dan lain-lain. Bila melebihi jumlah yang dapat dioksidasi oleh hati, alkohol akan dikeluarkan dan masuk sirkulasi darah dan dibawa ke bagian-bagian tubuh yang lain (Almatsier 2002). Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum (Harahap 2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik (Beyer 2004). Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2008). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah semua aktivitas selama bekerja, aktivitas pada waktu senggang, termasuk pada waktu berolahraga. Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zatzat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung banyaknya otot yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002).

27 Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat akan mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal dan sebaliknya, aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi cukup akan membawa dampak positif terhadap kesehatan tubuh. Orang yang aktif bergerak memiliki tekanan darah yang lebih baik, pola tidur yang lebih baik, stres yang lebih sedikit, dan umumnya memiliki umur harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan orang yang kurang gerak (Byrd-Bredbenner et al. 2009). Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit dan kematian dini. Sebaliknya, kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menurunkan risiko berbagai dampak-dampak gaya hidup yang negatif bagi kesehatan; melakukan aktivitas ringan lebih baik daripada tidak sama sekali; untuk dampak kesehatan yang besar, tambahan manfaat bergantung pada intensitas olahraga yang lebih tinggi, frekuensi yang lebih sering dan/atau durasi yang lebih lama; sebagian besar manfaat kesehatan diperoleh dengan aktivitas fisik moderat minimal 150 menit per minggu; olahraga aerobik dan peregangan otot adalah olahraga yang samasama bermanfaat; manfaat olahraga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja, orang dewasa dan paruh baya, lansia, dan di setiap penelitian berdasarkan ras atau etnis (USDHHS 2008). Olahraga yang teratur membantu menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat badan (Byrd-Bredbenner et al. 2009). Menurut Beyer (2008), olahraga dapat membantu melancarkan pergerakan makanan pada saliran gastrointestinal dan mneingkatkan rasa nyaman pada pencernaan. Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan risiko terjangkit penyakit dan kematian dini. Kebiasaan dan aktivitas fisik yang sedentary dapat meningkatkan risiko beberapa masalah kesehatan. Olahraga secara efektif dapat membantu proses pengaturan berat badan. Rajin olahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres akan membantu mengontrol produksi asam lambung. Olahraga atau aktifitas fisik dikatakan dapat mempengaruhi risiko gastritis dan tukak peptik melalui beberapa mekanisme, yaitu: meningkatkan sistem imun sehingga menetralisisr efek H. pylori,

28 meningkatkan kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stres, dan mereduksi rangsangan sekresi asam lambung. Beberapa fakta menyatakan bahwa olahraga secara signifikan dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis atau tukak duodenum (Cheng et al. 2000). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan makan bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan pangan (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang berubah dapat disebabkan oleh pendidikan gizi dan kesehatan, serta aktivitas pemasaran atau distribusi pangan. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti lingkungan budaya, lingkungan alam, serta populasi. Khumaidi (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor intrinsik (berasal dari dalam diri manusia) dan faktor ekstrinsik (berasal dari luar manusia). Faktor intrinsik yang mempengaruhi kebiasaan makan antara lain asosiasi emosional, keadaan jasmani, keadaan kejiwaan, dan penilaian terhadap makanan, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan sosial, alam, budaya, agama, dan ekonomi. Dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan degan konsep gizi. Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan. Pertama, karakter individu, seperti: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, dan kesehatan. Kedua, karakter makanan, seperti: rasa, rupa,

29 tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, dan kombinasi makanan. Ketiga, karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat. Pola makan sehat mengandung dua makna, yaitu jenis makanan yang sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun pola makan yang sehat adalah kebiasaan yang baik, yaitu sesuai jumlahnya dengan yang dibutuhkan tubuh, beragam jenisnya sehingga mencukupi kebutuhan zat gizi esensial tubuh, dan jadwal makan yang teratur (Khomsan 2002). Kaitan Kebiasaan Makan dengan Gangguan Pencernaan Faktor yang berperan pada kejadian gastritis dan tukak lambung dengan gejala khas dispepsia diantaranya adalah pola makan atau kebiasaan makan dan sekresi asam lambung (Djojoningrat 2001). Selain jenis-jenis makanan yang dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan buruk, tergesagesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman 1984, diacu dalam Annisa 2009). Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal yang dilakukan oleh Reshetnikov et al. (2007) kepada 1562 orang dewasa, jeda jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia. Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung. Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul 2005). Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2003).

30 Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom dispepsia. Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter/les) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Ettinger 2000). Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga dapat mengendurkan LES. Menurut Shinya (2007), teh mengandung tanin yang mudah teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan masalah pada lambung misalnya tukak lambung. Minum teh dalam kondisi perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia. Makanan yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti kol, sawi, durian, nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala sindrom dispepsia. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam lambung juga akan meningkatkan sekresi pepsinogen. Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan mengiritasi mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak. Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem immunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A dikenal sebagai zat gizi esensial yang berperan penting dalam penglihatan. Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga berperan dalam berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel

31 dan fungsi membran sel (cell recognition), pertumbuhan dan perkembangan, fungsi kekebalan, dan reproduksi (Mahan & Escott-Stump 2000). Diferensiasi sel terjadi apabila sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya. Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus, terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ dalam tubuh dinamakan membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel epitel dari mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Mukosa lambung juga melindungi sel epitel lambung dari sifat korosif asam lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A menghambat fungsi sel-sel goblet mengeluarkan mukus (Almatsier 2002). Konsumsi Makanan Sebagaimana diketahui, kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan salah satunya adalah pola makanan yang dimakan sehari-hari atau konsumsi makanan. Konsumsi makanan berkaitan erat dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan produksi pangan. Konsumsi makanan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi tersebut (jenis dan jumlah makanan) merupakan hal yang penting. Terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu: (1) penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan, dan (2) membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupannya. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau kelompok orang digunakan pengertian yang kedua. Pada prinsipnya, penilaian jumlah konsumsi zat gizi menggunakan tiga jenis data, yaitu data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data kecukupan gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994). Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode penimbangan (food weighing), metode mengingat-ingat (food recall), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi. Pemilihan metode dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: tujuan survei, ketelitian

32 yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu, serta tingkat kemahiran/keahlian tenaga pengumpul data (Kusharto dan Sa adiyyah 2008). Salah satu metode survei konsumsi pangan individu adalah metode recall. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kuantitatif. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (retrospektif). Pengukuran konsumsi diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT (ukuran rumah tangga) yang kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Metode recall memiliki beberapa keuntungan, diantaranya biaya yang murah dan tidak memakan waktu lama. Namun, kelemahan metode ini adalah data yang dihasilkan mungkin kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang (Kusharto dan Sa adiyyah 2008). Tidak ada metode yang terbaik untuk semua tujuan studi karena setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menyesuaikan dengan subjek penelitian dan meminimalisir kelemahan suatu metode, dapat dilakukan kombinasi atau modifikasi seperlunya (Kusharto dan Sa adiyyah 2008). Dalam penelitian ini, metode recall dimodifikasi menyerupai anamnesa diet atau kebiasaan makan. Recall tidak dilakukan berdasarkan konsumsi 24 jam responden, melainkan berdasarkan kebiasaan makan sehari-hari responden. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan responden dalam mengisi form konsumsi. Kondisi responden yang berada dalam satu lingkungan asrama dengan konsumsi mayoritas berasal dari kantin asrama menjadi pertimbangan peneliti untuk memodifikasi metode recall. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Ada berbagai cara yang digunakan untuk menilai status gizi, yaitu melalui konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis (Nasoetion & Riyadi 1995). Menurut Supariasa et al. (2001) kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa adalah masalah penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang (underweight) mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi, sementara berat badan yang melebihi batas

33 normal (overweight) mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif. Laporan FAO/WHO/UNU diacu dalam Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa batasan berat badan normal ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Berikut ini merupakan rumus perhitungan IMT. Untuk menganalisis status gizi anak dan remaja (usia 5-19 tahun), salah satu referensi yang dapat digunakan adalah referensi WHO Referensi WHO 2007 adalah rekonstruksi dari National Center for Health Statistic (NCHS) atau WHO. Referensi WHO 2007 menggunakan kumpulan data NCHS yang disuplementasi dengan data dari standar pertumbuhan WHO untuk anak balita. Indikator yang digunakan dalam referensi WHO 2007 adalah IMT terhadap umur (IMT/U), berat badan terhadap umur (BB/U), dan tinggi badan terhadap umur (TB/U). Klasifikasi dan cut off point status gizi berdasarkan IMT dijelaskan dalam tabel berikut ini. IMT (kg/ m 2) = Berat Badan (kg) Tinggi Badan 2 (m 2 ) Tabel 1 Klasifikasi IMT/U untuk anak dan remaja (WHO 2007) Klasifikasi Cut off point Sangat kurus (severe thinnes) < -3 SD Kurus (thinnes) < -2 s.d. -3 SD Normal -2 SD s.d. +1 SD Overweight > +1 s.d. +2 SD Obesitas (obese) > +2 SD Keterangan: SD = standar deviasi; s.d.= sampai dengan Konsumsi Obat-Obatan Obat-obatan yang Memicu Terjadinya Gangguan Lambung Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat tertentu. Obat anti nyeri (aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek menyebabkan gastritis. Selain itu, menelan racun atau zat kimia tertentu pun berpotensi menyebabkan gastritis, seperti menelan asam korosif, alkohol, benda asing seperti klip, stapler, dan lainnya (Santoso 2008). Obat anti inflamasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala pada kondisi artritis reumatoid, osteosrtritis, gout akut, dismenorea, sakit kepala dan migren, nyeri pasca operasi, nyeri derajat ringan sampai sedang akibat cedera jaringan, pireksia (demam), ileus, kolik ginjal, dan lainnya. Di Indonesia, obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang

34 perlu resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep. Pemakaian obat-obatan yang luas ini meyebabkan kejadian efek samping obat meningkat. Beberapa obat menimbulkan efek samping yang berhubungan dengan saluran cerna. Sekitar 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan OAINS mengalami dispepsia. Terdapat dua mekanisme kerja obat-obatan ini yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung dan inhibisi atau hambatan pengeluaran kadar prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Prostaglandin dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya inflamasi dan rasa nyeri (Santoso 2008). Obat-obatan untuk Mengatasi Gangguan Lambung Obat yang lazim digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik adalah obat-obatan untuk menghambat sekresi asam lambung. Obatobatan ini diantaranya adalah penghambat histamin (H 2 blocker) seperti cimetidine dan ranitidine, inhibitor pompa proton seperti omeprazole, maupun obat untuk menetralisir asam lambung (antasida) seperti mylanta, sanmag, promag, dan lainnya. Bila diketahui gastritis atau tukak peptik yang terjadi disebabkan oleh H. pylori, maka antibiotik akan diberikan pada penderita. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis atau tukak peptik. Obat jenis ini termasuk obat yang dijual bebas, (OTC, Over the counter). Obat-obatan lainnya (penghambat histamin, inhibitor pompa proton, antibiotik) merupakan obat daftar G yang seharusnya memerlukan resep dokter. Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida. Terkadang antasida juga dikombinasikan dengan simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping yang utama pada antasida dengan zat aktif alumunium hidroksida adalah konstipasi (sembelit). Sedangkan antasida dengan zat aktif magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare, sehingga kedua zat aktif ini sering dikombinasikan agar efek samping dapat diminimalisir. Antasida dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terkandung pada makanan atau obat tertentu, misalnya penisilin dan vitamin B12. Antasida

35 mengandung mineral magnesium atau alumunium. Mineral yang yang memiliki berat molekul dan jumlah muatan (valensi) sama akan bersaing satu sama lain untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan menimbulkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Stres Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi, misalnya karena luka bakar, infeksi yang sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Adapun stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri (Tarigan 2003). Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan sistem hormonal, dimana stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem hormon untuk memicu sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon kortisol, dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang ditimbulkannya. Sekresi hormon ini menjelaskan mengapa ketika menghadapi stres, tekanan darah dan denyut jantung meningkat secara cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh tubuh mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali lipat melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa berdebar, namun keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat dengan cepat (Harahap 2007).

36 Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan dalam mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih dikenal dengan adrenalin. Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem ingatan jangka panjang yang akan mengingat stressor yang sama pada peristiwa selanjutnya serta menekan bagian otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka pendek inilah yang dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan orang tidak lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses ini juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, seperti mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin, peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin, dll.) akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik (Tarigan 2003). Faktor Herediter dan Golongan Darah Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit. Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi (Riccardi dan Rotter 2004). Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung (Riccardi dan Rotter 2004). Penyakit tukak peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Pada keluarga dengan ibu yang memiliki riwayat gangguan lambung, cenderung lebih banyak menurunkan penyakit yang sama pada anaknya. Diduga masa kehamilan dan menyusui turut berpengaruh pada kejadian beberapa penyakit yang dialami oleh anak atau imunitas anak. Diet sehari-hari ibu pada saat hamil dan menyusui menyebabkan ekspresi gen yang berbeda pada anak (Tridjaja dan Marzuki 2009). Selain faktor genetis,

37 faktor psikososial yang berkaitan dengan ibu juga berpengaruh pada munculnya gangguan lambung. Kebiasaan makan anak dibentuk di keluarga. Ibu adalah pihak yang berperan penting dalam membentuk kebiasaan anak sejak dini. Kebiasaan baik yang ditanamkan oleh ibu sejak masa kanak-kanak biasanya akan terinternalisasi dan terbawa hingga anak beranjak remaja. Kebiasaan makan dan gaya hidup yang sehat akan mempengaruhi status kesehatan seseorang. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan (D Adamo 2002). Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya (Julius 1992). Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain. Penelitian Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB). Lingkungan (Sosial-Ekonomi) Menurut Riccardi dan Rotter (2004), banyak penyakit terjadi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara faktor genetik dan lingkungan. Hampir semua penyakit manusia memiliki unsur genetik, dan setiap kejadian dimana unsur genetik berperan, satu atau lebih unsur lingkungan akan berkontribusi untuk menajamkan proses terjadinya penyakit. Secara kasar, unsur lingkungan dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, lingkungan yang terbentuk karena aktivitas manusia, misalnya: budaya, sosial, dan faktor perilaku. Kedua, lingkungan yang mengacu pada background, yang meliputi pengaruh secara fisik (misal: sinar matahari, iklim) maupun biologis (misal: parasit, infeksi). Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor lingkungan berkaitan erat dengan infeksi bakteri H. pylori. Kondisi geografis, sosial-ekonomi, dan budaya juga berperan sebagai faktor penyebab (multiple causative factors). Bytzer et al. (2000) menyebutkan bahwa sosio-ekonomi yang

38 rendah merupakan salah satu faktor resiko terjadinya gejala gangguan saluran cerna bagian atas dan bawah. Hal ini mungkin terkait dengan faktor kebersihan. Faktor kebersihan yang buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih sering terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik berkaitan dengan H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang padat penduduknya, sosioekonomi yang rendah, dan lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara rendahnya pendapatan rumah tangga dan besarnya jumlah anggota keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit gastrointestinal, termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan tukak peptik. Ketidaknyamanan dengan pendapatan finansial berhubungan dengan stres yang juga dapat menimbulkan gastritis dan tukak peptik. Menurut Sultan (2009), ras, jenis kelamin, merupakan faktor yang berkontribusi pada tukak peptik. Remaja Monks (1999) menyebutkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara tahun, yang sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Usia tahun disebut sebagai remaja awal, tahun disebut masa remaja pertengahan atau madya, dan tahun dinamakan remaja akhir. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk, dengan jumlah ±44 juta jiwa. Remaja merupakan periode penting pertumbuhan dan kematangan pada manusia. Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis, serta peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi remaja. Saat mencapai puncak kecepatan pertumbuhan (growth spurt), biasanya remaja mengkonsumsi makanan lebih sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya mereka akan lebih memperhatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri. Mereka sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan gizi (Sayogo 2006). Masa remaja adalah fase terakhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, serta masa dimana sedang mencari identitas diri (Hurlock 1991). Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian

39 identitas, dan membentuk hubungan baru termasuk perasaan seksual (Santrock 1998). Hall (1989) dalam Papalia dan Olds (1998) menyebut masa ini sebagai periode storm and stress, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya peningkatan kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap transformasi somatis pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk berpusat pada karakteristik luar yang berbeda dengan introspeksi pada remaja akhir. Bagi remaja awal, adalah hal yang normal bila memperhatikan dengan teliti penampilannya dan merasakan bahwa orang lain juga berlaku demikian. Gangguan citra tubuh tingkat ringan pada usia ini bersifat universal. Gangguan citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa juga cenderung muncul pada usia ini (Nelson 2000 dalam Annisa 2009). Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21% dari total penduduk, dengan jumlah ±44 juta jiwa. Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan fisik, biokimia, dan emosional yang cepat. Adanya pertumbuhan dan perkembangan pesat yang terjadi pada tubuhnya dan kesadaran untuk menjaga penampilan diri dapat membuat remaja mempunyai gambaran tentang diri (body image) yang salah. Body image adalah gambaran seseorang mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya sendiri, gambaran ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran tubuh serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang diinginkan. Apabila harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh aktualnya maka, ini dianggap sebagai body image yang negatif (Heinberg dan Thompson 1999). Remaja pada umumnya merasa tidak nyaman dengan perubahan yang pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan, mereka sangat dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki teman sebaya atau idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh lebih kecil atau lebih besar, tumbuh lebih cepat atau lebih lambat. Perasaan seperti ini dapat mengarahkan remaja pada percobaan untuk mengubah bentuk tubuh dengan memanipulasi pola makan mereka (Robert 2000). Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus modernisasi umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan pada masa dewasa.

40 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi dan kesehatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor internal (individu) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor internal tersebut antara lain gaya hidup dan kebiasaan makan. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilisasi zat gizi makanan. Gangguan kesehatan sekecil apapun akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Khomsan 2002). Dispepsia merupakan sekumpulan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Faktor risiko yang dapat memicu dispepsia antara lain umur, jenis kelamin, gaya hidup (merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, aktivitas fisik), kebiasaan makan, status gizi, dan stres atau kondisi psikososial. Seseorang yang memiliki riwayat penyakit atau gangguan lambung sebelumnya (gastritis dan tukak peptik), akan lebih rentan mengalami dispepsia (kekambuhan gangguan lambung) dibandingkan orang normal. Gastritis atau tukak lambung disebabkan oleh infeksi H pylori, faktor genetis (riwayat penyakit keluarga(, dan golongan darah O (sekresi asam lambung pada orang bergolongan darah O lebih tinggi). Menurut Supariasa (2001) status gizi turut menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa adalah masalah penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang (underweight) mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi, sementara berat badan yang melebihi batas normal (overweight) mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif. Kebiasaan merokok memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Merokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih yang berakibat negatif pada mukosa (lapisan lendir) lambung. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Aktivitas fisik dan kebiasaan berolah raga memilki banyak manfaat bagi kesehatan, salah satunya membantu mengurangi stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia yang merupakan gejala gastritis dan tukak peptik. Aktivitas fisik dan olahraga teratur juga membantu meningkatkan peristaltik

41 saluran gastrointestinal cerna sehingga pencernaan menjadi lebih baik (Bredbenner 2009). Kebiasaan makan erat kaitannya dengan sekresi asam lambung dan penyakit gastrointestinal. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol (Annisa 2009). Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan gatritis hingga tukak peptik. Zat gizi tertentu seperti lemak dan minyak, kafein, tanin, dan natrium memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya gastritis. Sebaliknya, vitamin A, vitamin C, dan kalium yang berperan memberikan perlindungan terhadap membran mukosa dapat menurunkan risiko terjadinya gastritis dan tukak peptik dan meringankan gejalagejalanya (sindrom dispepsia). Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis seseorang. Berbagai mekanisme hormonal akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik (Harahap 2007). Faktor herediter berpengaruh pada kejadian gastritis dan tukak peptik, demikian pula dengan golongan darah. Penyakit tukak peptik terjadi 2-3 kali lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain (Riccardi dan Rotter 2004). Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat tertentu. Obat anti nyeri (aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek menyebabkan gastritis (Santoso 2008). Orang dengan riwayat gastritis maupun tukak peptik umumnya mengkonsumsi obat penetral asam lambung (Antasida) untuk mengurangi gejala gastritis dan tukak lambung.

42 Berdasarkan tempat, penyebaran gastritis dan tukak peptik pada umumnya di lingkungan yang padat penduduknya, sosio-ekonomi yang rendah, dan banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal ini berkaitan dengan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Ketidaknyamanan terhadap lingkungan fisik dapat menyebabkan stres yang memicu sekresi asam lambung berlebih, gastritis, dan tukak peptik. Kerangka pemikiran dari penelitian faktor risiko dispepsia pada mahasiswa TPB PB disajikan dalam bagan berikut ini: Karakteristik Contoh (lingkungan, sosialekonomi) Kebiasaan Makan Kebiasaan Merokok Kebiasaan Menkonsumsi Alkohol Aktivitas Fisik Status Gizi Dispepsia Riwayat Gastritis & Tukak Peptik Stres Herediter / Riwayat Penyakit Keluarga Infeksi H. pylori Konsumsi obat-obatan Gambar 2 Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa IPB Keterangan: = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti

43 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian menggunaka desain case-control study (kasus-kontrol) berpasangan. Penetapan contoh didasarkan pada kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan lambung) dan kelompok kontrol (tanpa riwayat gangguan lambung). Gangguan lambung yang diteliti terbatas pada gastritis atau tukak peptik (tukak lambung, tukak duodenum). Kelompok kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan latar belakang sosial-ekonomi. Penelitian dilakukan pada mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 pada bulan Agustus-September 2010 di Kampus IPB Darmaga. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011. Contoh penelitian ini diambil secara purposive dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk menjadi responden. Kriteria inklusi: Kelompok kasus 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan. 2. Berusia tahun. 3. Mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara. 4. Sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan terakhir. 5. Tidak sedang atau pernah menderita apendisitis (usus buntu), kolik (kram perut), hepatitis (liver), demam typhoid (tifus abdominalis), ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Kelompok kontrol 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan. 2. Berusia tahun. 3. Mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara. 4. Tidak pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan terakhir.

44 5. Tidak sedang atau pernah menderita apendisitis (usus buntu), kolik (kram perut), hepatitis (liver), demam typhoid (tifus abdominalis), ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Kriteria eksklusi: 1. Berusia < 12 tahun atau > 19 tahun. 2. Tidak tinggal di asrama putra/putri TPB IPB atau tinggal di asrama, tetapi dalam jangka waktu < 1 bulan. 3. Tidak bersedia diwawancara. 4. Sedang atau pernah menderita apendisitis (usus buntu), kolik (kram perut), hepatitis (liver), demam typhoid (tifus abdominalis), ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Jumlah minimal contoh diambil berdasarkan rumus untuk penelitian case kontrol, yaitu : dimana Keterangan: n : ukuran contoh minimal kelompok kasus Z (1-α/2) : nilai distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α ( untuk α = 0,05 adalah 1,96) Z β R P : nilai distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar yang diinginkan (untuk β = 0,15 adalah 1,03) : estimasi Odd Ratio (OR) : estimasi efek kontrol Q : 1-P (Sastroasmoro dan Ismail 1995) Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor risiko gastritis dan tukak peptik, diketahui beberapa nilai OR yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan jumlah contoh. Berikut ini hasil perhitungan jumlah contoh minimal berdasarkan data OR yang ditelaah dari studi pustaka.

45 Tabel 2 Perhitungan jumlah contoh minimal berdasarkan OR dari studi pustaka No. Faktor Risiko Terhadap Gastritis/Tukak Peptik R P Q Jumlah Contoh (Kasus) 1 Keteraturan makan 4,33 a) 0,81 0, Frekuensi makan 4,75 a) 0,83 0, Kebiasaan makan pedas 7,43 a) 0,88 0, Kebiasaan makan asam 4,93 a) 0,83 0, Frekuensi minuman iritatif 4,44 a) 0,82 0, Pemakaian OAINS rutin 6,54 a) 0,87 0, Konsumsi aspirin rutin 7,50 b) 0,88 0, Merokok 5,96 c) 0,86 0, Riwayat penyakit ayah 4,60 c) 0,82 0, Riwayat penyakit ibu 4,20 c) 0,81 0,19 59 Keterangan: a) Yunita (2010); b) Salih et al. (2007); c) Imanzadeh et al. (2007) Jumlah contoh minimal ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan yang terbesar (nilai OR terkecil). Berdasarkan perhitungan di atas, didapatkan jumlah contoh minimal untuk kelompok kasus sebanyak 59 orang. Kelompok kontrol dipilih secara acak dari populasi. Jumlahnya sebanyak contoh pada kelompok kasus. Pada proses pemilihan kelompok kontrol, dilakukan matching terhadap umur, jenis kelamin, dan suku/etnis dengan contoh kelompok kasus. Formula yang digunakan dalam menentukan proporsi contoh tiap kelompok berdasarkan jenis kelamin adalah : Keterangan: n i i N i N n n i = N i N x n : ukuran contoh berdasarkan jenis kelamin (putri/putra) : jenis kelamin (1. putra, 2. putri) : total siswa berdasarkan jenis kelamin (putra/putri) : jumlah siswa keseluruhan : ukuran contoh (jumlah contoh yang diambil) Jumlah mahasiswa TPB IPB angkatan 2010/2011 yang mengikuti perkuliahan matrikulasi sebanyak orang, dengan rincian orang (40,2%) putra dan (59,8%) putri. Dari perhitungan, diketahui minimal jumlah contoh penelitian (kasus dan kontrol) adalah 118 orang. Namun, dalam penelitian ini diambil jumlah contoh sebanyak 120 orang, terdiri atas 48 putra (24 kasus, 24 kontrol) dan 72 putri (36 kasus, 36 kontrol). Pemilihan contoh dimulai dari tahap penapisan secara simple random sampling. Sebanyak 550 mahasiswa dipilih secara acak untuk mengisi kuesioner mengenai riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik yang sedang atau pernah dialami. Dari 550 mahasiswa tersebut kemudian diambil 60 mahasiswa yang sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik (tukak duodenum

46 maupun tukak lambung) dan memenuhi kriteria inklusi untuk dijadikan kelompok kasus dan 60 mahasiswa lainnya yang memenuhi kriteria inklusi sebagai kontrol, sehingga secara keseluruhan terdapat 120 mahasiswa. Berikut adalah cara penarikan contoh pada penelitian ini: 1. Didata jumlah seluruh mahasiswa TPB IPB 2010/2011 yang mengikuti perkuliahan matrikulasi 2. Dipilih secara acak 5 kelas besar (±550 mahasiswa) untuk mengisi kuesioner mengenai riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik orang (24 putra dan 36 putri) yang sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dipilih untuk dijadikan contoh (kelompok kasus) orang dipilih secara acak sebagai kontrol (contoh tanpa penyakit gastritis, atau tukak peptik) disesuaikan jenis kelamin, umur, dan suku/etnis dengan contoh kasus. 5. Didapat contoh penelitian sebanyak 120 mahasiswa. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data pimer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh contoh (mahasiswa TPB IPB), sedangkan data sekunder diperoleh dari Direktorat Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor, berupa jumlah mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan pembagian kelas. Kuesioner terdiri atas dua jenis, yaitu kuesioner skrining (Lampiran 1) dan kuesioner penelitian (Lampiran 2). Pertanyaan dalam kuesioner bersifat retrospektif, dengan rentang waktu sejak contoh masuk asrama hingga menjelang bulan puasa atau ramadhan (selama bulan puasa dan setelahnya tidak diteliti). Jenis data primer yang dikumpulkan yaitu: 1. Riwayat penyakit/gangguan lambung selama enam bulan terakhir dan frekuensi dispepsia contoh ketika tinggal di asrama. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner skrining (Lampiran 1). Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik diperoleh berdasarkan informasi dari contoh dan disyaratkan bahwa contoh pernah melakukan pemeriksaan dokter. 2. Karakteristik contoh, meliputi: umur dan jenis kelamin. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner skrining (Lampiran 1). 3. Faktor lingkungan contoh, yang meliputi karakteristik sosial-ekonomi (jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili paling lama). Data ini diperoleh dari pengisian kuesioner penelitian (Lampiran 2).

47 4. Data berat badan dan tinggi badan. Berat badan dan tingi badan tidak diukur secara langsung, tetapi berdasarkan informasi dari mahasiswa dan merupakan hasil pengukuran pada saat mahasiswa melaksanakan registrasi mahasiswa baru. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner penelitian (Lampiran 2). 5. Kebiasaan makan contoh, meliputi keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Selain itu dilihat juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh. Data frekuensi frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen, sedangkan data tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh diperoleh dengan instrumen kuesioner anamnesa diet atau kebiasaan makan (Lampiran 2). Kebiasaan makan yang diteliti hanya ketika contoh tinggal di asrama. 6. Data kebiasaan merokok meliputi frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun merokok), dan umur ketika awal merokok. Selain sebagai perokok aktif, ditanyakan pula kebiasaan contoh sebaga perokok pasif. Data tersebut diperoleh melalui pengisian kuesioner penelitian (Lampiran 2) yang terdiri atas serangkaian pertanyaan, beberapa pertanyaan merupakan pertanyaan terbuka sedangkan yang lainnya berupa pertanyaan tertutup. 7. Data kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol meliputi jenis dan jumlah minuman beralkohol yang dikonsumsi per minggu. Data ini juga diperoleh melalui pengisisan kuesioner penelitian (Lampiran 2). 8. Data mengenai tingkat aktivitas fisik didapat dari kebiasaan olahraga contoh, meliputi jenis, durasi, dan frekuensi olahraga per minggu, serta aktivitas ringan contoh sehari-hari (berjalan dan besepeda). Data diperoleh melalui pengisisan kuesioner penelitian (Lampiran 2). 9. Konsumsi obat-obat-obatan pada saat tinggal di asrama, meliputi kebiasaan contoh menkonsumsi obat-obatan jenis tertentu karena sakit kronis maupun keluhan kesehatan ringan, jenis obat yang biasa

48 dikonsumsi, frekuensi konsumsi obat, dan lamanya contoh mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Data diperoleh melalui pengisian kuesioner penelitian (Lampiran 2). 10. Tingkat stres contoh diukur melalui serangkaian pertanyaan mengenai gejala-gejala stres yang dialami contoh selama tinggal di asrama. Disediakan tiga pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan, masing-masing jawaban memiliki skor tertentu. Data diperoleh melalu pengsian kuesioner penelitian (Lampiran 2). 11. Faktor herediter, meliputi riwayat penyakit keluarga, yaitu ada tidaknya keluarga yang menderita gastritis atau tukak peptik dan golongan darah contoh. Data golongan darah contoh didasarkan pada pengetahuan contoh terhadap golongan darahnya masing-masing (tidak dilakukan pemeriksaan secara langsung yang dituliskan dalam jawaban kuesioner penelitian (Lampiran 2). Pengisian kuesoner skrining dan kuesioner penelitian dilakukan oleh contoh atau responden dengan dipandu oleh enumerator. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel 2007 sedangkan analisis data menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16 for Windows. Proses pengolahan data melputi coding, entry, cleaning dan analisis data. Data yang terkumpul dikategorikan kemudan disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif. Hubungan antar variabel dianalisis secara statistik menggunakan analisis bivariat (uji beda dan hubungan) dan multivariat (regresi). Cara pengkategorian variabel dapat dilihat pada tabel 3. Gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik). Data ini merupakan riwayat gangguan lambung berupa gastritis atau tukak peptik contoh selama enam bulan terakhir dan riwayat frekuensi gejala-gejala gangguan lambung atau dispepsia selama contoh tinggal di asrama (sejak masuk hingga sebelum bulan puasa atau ramadhan). Data riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik dan frekuensi keluhan dispepsia masing-masing dikelompokkan dalam dua kategori. Gejala-gejala dispepsia dinilai secara subjektif oleh contoh, berdasarkan berapa kali munculnya gejala dispepsia dalam satu minggu (tidak pernah, 1-2 kali, 3-4 kali, dan lebih dari 4 kali atau hampir setiap hari). Hasilnya kemudian diskor untuk menentukan frekuensi dispepsia yang dialami. Skor 0 (nol) jika contoh

49 sama sekali tidak pernah mengalami gejala; skor 1 (satu) jika mengalami gejala sebanyak 1-2 kali per minggu; skor 2 (dua) jika mengalami gejala 3-4 kali per minggu; dan skor 3 (tiga) jika mengalami gejala >4 kali per minggu atau hampir setiap hari mengalami gejala dispepsia. Frekuensi dispepsia kemudian dikelompokkan dalam dua kategori (jarang dan sering) berdasarkan rentang data skor gejala dispepsia. Perhitungan rentang skor yaitu nilai maksimal dikurangi nilai minimal kemudian dibagi jumlah kelas atau kategori yang diinginkan (Slamet 1993). Rentang skor = Nilai maksimal Nilai minimal Jumlah kelas atau kategori Tingkat frekuensi gejala lambung diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Tingkat frekuensi dispepsia termasuk kategori jarang apabila skor frekuensi gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima ( 7,5). 2. Tingkat frekuensi dispepsia termasuk kategori sedang apabila skor frekuensi gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima (>7,5). Karakteristik contoh. Data karakteristik contoh terdiri atas dua jenis, yaitu umur dan jenis kelamin. Umur contoh dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan Monks (1999), yaitu tahun (remaja madya) dan tahun (remaja akhir). Kritera contoh pada penelitian ini dibatasi umur contoh <19 tahun sehingga penggolongan umur remaja akhir menggunakan kategori tahun. Karakteristik sosial-ekonomi. Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Jumlah uang saku dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: rendah, sedang, tinggi. Pengkategorian jumlah uang saku menggunakan rentang data, yaitu nilai maksimal data dikurangi nilai minimal data kemudian dibagi jumlah kelas atau jumlah kategori yang diinginkan. Dari perhitungan diperoleh kriteria untuk kategori jumlah uang saku, yaitu: (1) Rendah, jika uang saku <Rp per bulan; (2) Sedang, jika uang saku antara Rp ,00-Rp per bulan; dan (3) Tinggi, jika uang saku >Rp Suku/etnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Suku/etnis dan wilayah domisili dikelompokkan berdasarkan suku/etnis dan wilayah yang banyak muncul pada data yang diperoleh.

50 Status gizi. Status gizi contoh dihitung berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang diperoleh dari perbandingan indeks antropometri berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m 2 ) (Supariasa et al. 2001). Rumus untuk menentukan Indeks Massa Tubuh adalah: IMT (kg/ m 2) = Berat Badan (kg)_ Tinggi Badan 2 (m 2 ) Pengolahan data status gizi menggunakan software WHO Anthroplus. Pengkategorian status gizi didasarkan pada klasifikasi IMT/U untuk anak usia sekolah dan remaja (umur 5-19 tahun) menurut WHO Adapun cut off point status gizi menurut IMT/U tercantum dalam Tabel 3. Kebiasaan makan. Data kebiasaan makan yang dianalisis adalah keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Selain itu dilihat juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh. Penilaian konsumsi makanan contoh (terbatas pada zat gizi lemak, natrium, vitamin A, vitamin C, dan kalium) menggunakan software Nutrisurvey versi Indonesia yang di dalamnya terdapat instrumen DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan). Tingkat konsumsi lemak, vitamin A, dan vitamin C contoh diketahui dari perbandingan jumlah zat gizi yang dikonsumsi contoh dengan angka kecukupan gizi (AKG). Tingkat konsumsi natrium dan kalium contoh dihitung dari perbandingan jumlah natrium dan kalium yang dikonsumsi contoh per hari dengan jumlah yang disarankan menurut Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati (2008). Konsumsi lemak dan natrum tinggi berkaitan dengan meningkatnya risiko gastritis dan tukak peptik, sedangkan konsumsi vitamin A, vitamin C, dan kalium berdampak sebaliknya. Kebiasaan merokok. Penelitian-penelitian mengenai faktor risiko gastritis dan tukak peptik terdahulu banyak yang menyimpulkan bahwa merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata pada munculnya gastritis dan tukak peptik, serta proses penyembuhannya. Contoh dibagi menjadi dua kategori, yatu perokok dan bukan perokok. Contoh perokok ditanya lebih lanjut mengenai frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun merokok), dan umur ketika awal merokok. Semakin sering frekuensi merokok contoh, semakin lama durasi merokok contoh, dan semakin muda usia awal merokok maka semakin berdampak negative bagi kesehatan contoh, termasuk munculnya atau

51 kambuhnya gastritis dan tukak peptik. Kebiasaan menjadi perokok pasif juga ditanyakan dalam penelitian ini. Perokok pasif dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sering apabila contoh menghirup asam rokok > 3 kali per hari dan jarang apabila contoh menghirup asap rokok < 3 kali per hari (Mcintosh, Byth, dan Piper 1985). Kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol meliputi jenis dan jumlah minuman beralkohol yang dikonsumsi per minggu. Contoh dibagi dalam tiga kategori berdasarkan frekuensi dan jumlah minuman beralkohol yang dikonsumsi. Kelompok pertama adalah bukan peminum, yaitu contoh yang tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Kelompok kedua, peminum ringan, mengkonsumsi minuman beralkohol < 3x per minggu dan jumlahnya < 60 gram sekali minum. Kelompok ketiga, peminum berat, mengkonsumsi minuman beralkohol 3 kali per minggu dan jumlahnya 60 gram etanol sekali minum (Choi, Lim, dan Park 2006). Aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga. Kebiasan olahraga yang diteliti antara lain jenis, durasi, dan frekuensi olahraga. Durasi olahraga digunakan sebagai dasar penentuan tingkat aktivitas fisik, yaitu dengan menghitung total waktu atau lama durasi aktivitas olahraga (menit) akumulatif per minggu. Tingkat aktivitas fisik menurut U.S. Department of Health and Human Services atau USDHHS (2008) didasarkan pada aktivitas sedang (moderate activity) yang dilakukan dalam satu minggu setelah ditotal dan diklasifikasikan. Ada empat klasifikasi tingkatan aktivitas fisik, yaitu: tidak aktif, rendah, sedang, dan berat. Tidak aktif jika tidak melakukan aktivitas sedang; rendah jika melakukan aktivitas sedang <150 menit per minggu, sedang jika melakukan aktivitas sedang menit per minggu, dan berat jika melakukan aktivitas sedang lebih dari 300 menit per minggu. Apabila dalam satu minggu melakukan aktivitas berat, maka total durasi dari aktivitas berat dalam seminggu dikalikan dua. Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan. Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan contoh dikelompokkan menjadi dua golongan, pengguna harian dan bukan pengguna harian berdasarkan jumlah dan frekuensi obat yang dikonsumsi. Dinyatakan sebagai pengguna harian apabila contoh mengkonsumsi obat setiap hari atau 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu. Dinyatakan sebagai bukan pengguna harian jika contoh mengkonsumsi obat < 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu (McCintosh, Byth, dan Piper 1985).

52 Tingkat stress. Tingkat stres contoh diukur melalui serangkaian pertanyaan (sejumlah mengenai gejala-gejala stres yang dialami contoh selama tinggal di asrama. Pertanyaan mengenai gejala stres berjumlah 18 pertanyaan, masing-masing diberikan tiga pilihan jawaban, yaitu: tidak pernah, jarang atau kadang-kadang, dan sering. Setiap pilihan jawaban diberi skor berbeda, tidak pernah diberi skor 1, jarang atau kadang-kadang diberi skor 2, dan sering diberi skor 3. Tingkat stres dikategorikandalam kelompok rendah, sedang, dan tinggi. Dinyatakan bahwa contoh memiliki tingkat stres rendah apabila total skor <29, tingkat stres sedang apabila total skor 29-40, dan tingkat stres tinggi apabila total skor >40 (Laela 2008). Faktor herediter. Terdapat dua hal yang dilihat sebagai faktor herediter contoh, yaitu riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik pada keluarga dan golongan darah contoh. Riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik pada keluarga contoh dibatasi pada ayah, ibu, kakek, dan nenek contoh. Golongan darah contoh dikelompokkan berdasarkan penggolongan darah ABO (terdiri atas empat golongan darah, yaitu: A, B, O, dan AB). Golongan darah yang diduga berkorelasi kuat dengan kejadian gastritis dan tukak peptik adalah golongan darah O. Jenis data yang dikumpulkan, pengkategorian, dan analisis data yang digunakan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 3 Variabel dan kategori variabel yang digunakan Peubah Gangguan lambung (gastritis/tukak peptik) Frekuensi dispepsia Umur Jenis kelamin Kategori 1. Ya 2. Tidak 1. Jarang (skor gejala 7,5) 2. Sering (skor gejala >7,5) (rentang data) tahun tahun 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah uang saku 1. Rendah (<Rp ,00) 2. Sedang (Rp ,00-Rp ,00) 3. Tinggi (>Rp ,00) (rentang data) Suku/etnis 1. Sunda 2. Jawa 3. Betawi 4. Batak 5. Sulawesi 6. Melayu 7. Bali

53 Wilayah domisili paling lama (Provinsi) Status Gizi Keteraturan makan Frekuensi makan Jeda waktu makan Kebiasaan Sarapan Kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan Kebiasaan membatasi asupan makanan Kebiasaan minum minuman iritatif (teh, kopi, minuman berkarbonasi, dan kombinasinya) Kebiasaan makan pedas Kebiasaan makan asam Frekuensi konsumsi suplemen Tingkat kecukupan vitamin A Tingkat kecukupan vitamin C Konsumsi lemak Konsumsi natrium (Almatsier 2002) 1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah 3. Jawa Timur 4. Jakarta 5. Banten 6. Bali 7. Sumatera 8. Sulawesi 1. IMT/U < -3 SD (sangat kurus) 2. IMT/U -3 s.d -2 SD (kurus) 3. IMT/U < -2 s.d. +1 SD (normal) 4. IMT/U > +1 s.d. +3 SD (overweight) 5. IMT/U > +3 SD (obesitas) (WHO 2007) 1. Teratur 2. Tidak teratur 1. Tidak tentu 2. 1 kali per hari kali per hari 4. > 3 kali per hari 1. Tidak tentu jam jam jam 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Teh 2. Kopi 3. Minuman berkarbonasi 4. Teh + Kopi 5. Teh + M. Berkarbonasi 6. Kopi + M. Berkarbonasi 7. Teh + Kopi+ M. Berkarbonasi 8. Bukan ketiganya 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Defisit (TK < 77% AKG) 2. Normal (TK 77% AKG) (Gibson 2005) 1. Defisit (TK < 77% AKG) 2. Normal (TK 77% AKG) (Gibson 2005) 1. 30% AKE 2. > 30% AKE (Ettinger S. 2000) 1. cukup ( 2400 mg) 2. lebih (> 2400 mg) (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008)

54 Konsumsi kalium (Budiman 1999 dalam Dwijayanti et al 2008) Kebiasan merokok Jumlah rokok yang dihisap per hari Lama merokok Usia awal merokok Perokok pasif Kebiasaan mengkonsumsi alkohol Jumlah alkohol yang dikonsumsi Jenis alkohol yang dikonsumsi Kebiasaan olahraga Aktivitas fisik (USDHHS 2008) Kebiasaan mengkonsumsi obat Jenis obat-obatan yang dikonsumsi 1. cukup ( 2000 mg) 2. kurang ( < 2000 mg) (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008) 1. Ya 2. Tidak 1. Rendah (1-9 batang) 2. Sedang (10-19 batang) 3. Berat ( 20 batang) 1. 5 tahun 2. > 5 tahun tahun 2. > 15 tahun 1. Sering (>3x sehari) 2. Jarang (< 3x sehari) 1. Ya 2. Tidak 1. Tidak pernah 2. < 3 botol/minggu, sekali minum < 60 g 3. 3 botol/minggu, sekali minum 60 g (Choi, Lim, dan Park 2006) 1. Anggur 2. Bir 3. Lainnya 1. Ya 2. Tidak 1. Tidak aktif (tidak melakukan aktifitas sedang) 2. Ringan (<150 menit per minggu) 3. Sedang ( menit per minggu 4. Berat (>300 menit per minggu) (USDHHS 2008) 1.Bukan Pengguna Harian (< 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu) 2. Pengguna Harian (mengkonsumsi obat setiap hari atau 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu) (McCintosh, Byth, dan Piper 1985) 1. Antasida 2. Obat antiinflamasi 3. Antibiotik 4. Analgesik 5. Lainnya Tingkat stres 1. Rendah (total skor <29) 2. Sedang (total skor 29-40) 3. Tinggi (total skor >40) (Laela 2008) Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik (tukak lambung/ tukak duodenum) keluarga (ayah, ibu, kakek, nenek) Golongan Darah 1. Ya 2. Tidak 1. A 2. B 3. O 4. AB Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensia yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Tahapan analisis penelitian ini meliputi: (1) Analisis univariat digunakan pada seluruh variabel yang diamati,

55 untuk melihat sebaran contoh berdasarkan variabel yang diamati secara deskriptif; (2) Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel dependen dan independen secara sendiri-sendiri (uji beda dan uji hubungan); (3) Analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh paparan secara bersama-sama dari variabel (faktor-faktor) terhadap frekuensi dispepsia (uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik). Uji distribusi (normalitas) data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji beda digunakan untuk menganalisis perbedaan antara contoh pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Uji beda yang digunakan adalah uji Chi Square (untuk data berskala nominal), Mann Whitney (untuk data dengan skala ordinal), dan Independent T-test (untuk data dengan skala interval dan rasio). Uji beda dilakukan pada seluruh variabel yang diamati untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masing-masing variabel di kedua kelompok contoh (kasus dan kontrol). Uji hubungan menyatakan derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih (Sugiyono 2009). Uji tersebut digunakan untuk menguji keeratan hubungan antara frekuensi dispepsia dengan variabel faktor resiko yang diteliti. Uji hubungan yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji Chi Square (x 2 ) menggunakan tabel 2x2. Digunakan tabel 2x2 dengan tujuan agar dapat menghitung nilai odds ratio (OR), yaitu risiko relatif antara kelompok penderita (kasus) dan bukan penderita (kontrol) secara lebih sederhana. Perhitungan OR dapat dilakukan sebagai berikut: Tabel 4 Bentuk tabel 2x2 untuk menentukan odd ratio pada studi case kontrol Faktor Risiko Kasus Kontrol Jumlah Ya a b a+b Tidak c d c+d Jumlah a+c b+d a+b+c+d Odds a/c b/d OR a/c ad = b/d bc Bila OR = 1, artinya: tidak ada hubungan antara faktor risiko dengan dispepsia Bila OR < 1, artinya:faktor risiko dapat menurunkan risiko terkena dispepsia (efek protektif) Bila OR > 1, artinya faktor risiko dapat meningkatkan risiko terkena dispepsia Adanya hubungan yang bermakna (p<0,05) pada uji Chi Square antara variabel dependen dan independen menjadi standar seleksi awal untuk menentukan variabel independen yang masuk ke dalam analisis multivariat

56 (regresi logistik). Variabel independen (faktor-faktor risiko) dispepsia (tukak lambung atau tukak duodenum) dianalisis menggunakan regresi logistik (Multiple Logistic Regression). Tujuan analisis regresi logistik adalah menemukan model regresi yang sesuai untuk menggambarkan hubungan antara variabel dependen dengan independen dalam populasi. Selanjutnya model tersebut dapat digunakan untuk memprediksikan terjadinya variabel dependen berdasarkan nilai-nilai dari sejumlah variabel independen dan mengukur hubungan antara variabel dependen dengan independen setelah mengontrol pengaruh dari variabel independen lainnya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah frekuensi dispepsia (gastritis atau tukak peptik), sedangkan variabel independennya adalah kebiasaan makan, status gizi, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan, faktor herediter, dan tingkat stres contoh. Variabel dependen memiliki dua kategori (dua kemungkinan variabel respon) sehingga analisis regresi logistik yang digunakan adalah regresi logistik biner. Model yang digunakan pada regresi logistik adalah: Log (P / 1 p) = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X β k X k Dimana p adalah kemungkinan bahwa Y = 1, dan X1, X2, X3 adalah variabel independen, dan β adalah koefisien regresi. Regresi logistik akan membentuk variabel prediktor/respon (log (p/(1-p)) yang merupakan kombinasi linier dari variabel independen. Nilai variabel prediktor ini kemudian ditransformasikan menjadi probabilitas dengan fungsi logit. Regresi logistik juga menghasilkan rasio peluang (odds ratios) terkait dengan nilai setiap prediktor. Peluang (odds) dari suatu kejadian diartikan sebagai probabilitas hasil yang muncul yang dibagi dengan probabilitas suatu kejadian tidak terjadi. Secara umum, rasio peluang (odds ratios) merupakan sekumpulan peluang yang dibagi oleh peluang lainnya. Rasio peluang bagi prediktor diartikan sebagai jumlah relatif dimana peluang hasil meningkat (rasio peluang > 1) atau turun (rasio peluang < 1) ketika nilai variabel prediktor meningkat sebesar 1 unit. Definisi Operasional Contoh adalah mahasiswa/mahasiswi TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan tinggal di asrama putra/putri TPB IPB.

57 Kasus adalah contoh yang berdasarkan diagnosis dokter pernah dinyatakan mengalami penyakit/gangguan lambung berupa gastritis atau tukak peptik. Kontrol adalah contoh yang tidak memiliki riwayat penyakit/gangguan lambung. Dispepsia adalah sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas, yang menjadi tanda-tanda khas adanya gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik), meliputi sering bersendawa, muntah, mual, perut penuh/cepat kenyang, perut kembung setelah makan, rasa panas terbakar di dada, dan nyeri epigastrum. Frekuensi dispepsia dinilai secara subjektif berdasarkan berapa kali munculnya gejala dalam seminggu, diskor, kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori (jarang dan sering). Jumlah uang saku adalah jumlah pendapatan atau penerimaan contoh yang berasal dari pemberian maupun upah hasil kerja yang disetarakan dalam rupiah dalam kurun waktu satu bulan. Suku/etnis adalah penggolongan contoh berdasarkan garis keturunannya (ayah dan ibu). Status gizi adalah kondisi tubuh contoh yang menggambarkan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi yang ditentukan melalui perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dalam satuan kg/m 2. Kebiasaan makan adalah keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh yang dinilai berdasarkan kuesioner anamnesa diet atau anamnesa kebiasaan makan contoh selama tinggal di asrama TPB IPB. Frekuensi makan adalah berapa kali contoh makan dalam sehari. Makanan yang dimaksud adalah makan makanan berat yang terdiri atas makanan pokok dengan lauk-pauk dan/atau sayuran, bukan makanan selingan. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi adalah kebiasaan contoh minum minuman berkarbonasi dalam jumlah tiga atau lebih botol kecil atau kaleng per minggu. Kebiasaan merokok adalah kebiasaan contoh merokok yang meliputi jumlah rokok yang dihisap per hari, lama merokok, dan usia awal merokok.

58 Kebiasan mengkonsumsi minuman beralkohol adalah kebiasaan contoh munum minuman keras (minuman beralkohol), meliputi jenis yang dikonsumsi per minggu dan jumlah yang dikonsumsi sekali minum. Aktivitas fisik jenis dan lama kegiatan yang meibatkan fisik contoh, diperoleh melalui pengisian kuesioner kebiasaan olahraga. Durasi olahraga digunakan sebagai dasar penentuan tingkat aktivitas fisik, yaitu dengan menghitung total waktu atau lama durasi aktivitas olahraga (menit) akumulatif per minggu. Tingkat aktivitas fisik diklasifikasikan menjadi tidak aktif, rendah, sedang, dan berat. Tingkat stres derajat tekanan yang dialami contoh selama tinggal di asrama yang diukur menggunakan delapan belas pertanyaan terkait frekuensi gejala stres yang dialami, kemudian diskor, dan dikelompokkan dalam dua kategori (rendah dan sedang). Konsumsi obat-obatan adalah kebiasaan contoh mengkonsumsi obat-obatan, baik karena menderita sakit kronis maupun karena keluhan kesehatan ringan. Riwayat penyakit keluarga adalah ada tidaknya keluarga contoh yang pernah mengalami gastritis atau tukak peptik. Golongan darah pengelompokan golongan darah berdasarkan antigen yang terdapat pada permukaan membran sel darah merah, yang terdiri dari golongan A, B, AB, dan O.

59 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi. Jalur seleksi mahasiswa baru IPB antara lain Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Ujian Talenta Mandiri (UTMI), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Beasiswa Utusan Daerah (BUD), serta Beasiswa Prestasi Olahraga dan Seni. Dengan berbagai jalur seleksi tersebut, mahasiswa baru yang tersaring masuk IPB sangat plural, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan dan budaya yang beragam. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun pertama diwajibkan menjalani kegiatan perkuliahan dasar yang dinamakan Tingkat Persiapan bersama (TPB) selama dua semester atau satu tahun. Jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil selama masa TPB adalah 36 SKS. Khusus mahasiswa dari jalur masuk USMI, UTMI, dan BUD (sebagian) diwajibkan juga menjalani perkuliahan matrikulasi yang diselenggarakan satu bulan lebih awal, sebelum perkuliahan reguler berlangsung. Selain menjalani perkuliahan, mahasiswa TPB juga diwajibkan menjalani Program Pengembangan Akademik dan Multibudaya (PPAMB) dan tinggal di asrama. Program tersebut memberikan kesempatan berinteraksi dengan berbagai latar belakang bidang ilmu, budaya, agama, dan suku bangsa. Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan asrama putri. Asrama putra terdiri atas empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Adapun asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 (Rusunawa), dan A5 (Asrama Sylvasari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali Rusunawa, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Residence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang). Fasilititas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16m 2 (4mx4m). Dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan

60 Sylvalestari, satu kamar diisi oleh tiga orang). Di setiap lorong disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak terdapat di setiap lorong. Toilet yang disediakan di setiap lorong asrama, terdiri atas enam unit kamar mandi dan empat unit WC. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruang setrika. Air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu. Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama juga terdapat toko koperasi dan jasa fotokopi (asrama putri) yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket (Agrimart IPB). Dengan adanya toko dan minimarket tersebut, mahasiswa TPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB menjalani perkuliahan di berbagai gedung fakultas yang terdapat di berbagai wilayah kampus Dramaga (terdapat sembilan fakultas di IPB, dengan lokasi yang berbeda-beda). Untuk mempermudah akses ke lokasi perkuliahan, diberikan fasilitas bus IPB yang akan menjemput dan mengantarkan mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi kuliah. Bus kampus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif alat transportasi di dalm kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam. Karakteristik Contoh Mahasiswa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah yang sudah tinggal di asrama sekurang-kurangnya satu bulan dan pernah menjalani perkuliahan matrikulasi. Contoh pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan lambung) dan kelompok kontrol (contoh tanpa gangguan lambung). Karakteristik contoh diidentifikasi untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin contoh. Karakteristik Hasil sebaran masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.

61 Tabel 5 Sebaran contoh menurut karakteristik contoh Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Jenis Kelamin Putra Putri Umur (Tahun) Remaja madya (15-18 tahun) 17 28, , ,3 Remaja akhir (18-19 tahun) 43 71, , ,7 Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin perempuan (putri), sedangkan 40% sisanya laki-laki (putra). Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan, contoh pada kelompok kontrol adalah pasangan yang berjenis kelamin sama dengan contoh yang terdapat pada kelompok kasus. Proporsi contoh berdasarkan jenis kelamin disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Sebanyak 40,2% mahasiswa TPB IPB angkatan 2010/2011 berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 59,8% sisanya berjenis kelamin perempuan. Monks (1999) mengklasifikasikan remaja dalam tiga kelompok umur, yaitu: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan atau madya (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Penelitian ini membatasi usia contoh pada rentang tahun untuk memudahkan pengolahan data. Contoh yang didapatkan untuk penelitian ini berada dalam kisaran umur tahun atau remaja madya dan remaja akhir. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagian besar contoh (71,7%) terdapat pada kelompok umur remaja akhir (18-19) tahun. Rata-rata umur contoh pada kelompok kasus adalah 17,73±0,48 tahun. Adapun rata-rata umur contoh pada kelompok kontrol adalah 17, 68±0,50 tahun. Umur merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan (matching), contoh pada kelompok kasus dicarikan pasangan yang umurnya relatif sama untuk kontrolnya. Karakteristik Sosial-Ekonomi Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Karakteristik sosial ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili contoh sebelum

62 tinggal di asrama. Hasil sebaran jumlah uang saku dapat dilihat pada Tabel 6, sebaran suku/etnis pada Tabel 7, dan sebaran wilayah domisili pada Tabel 8. Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah uang saku Jumlah Uang Saku Kasus Kontrol Total n % n % n % Rendah 13 21, , ,8 Sedang 34 56, , ,2 Tinggi 13 21, , ,0 Variabel jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Lebih dari separuh contoh (56,7% pada kelompok kasus dan 53,3% pada kelompok kontrol) berada pada kategori sedang. Jumlah contoh yang berada pada kategori rendah, lebih banyak yang berasal dari kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Rata-rata jumlah uang saku contoh pada kelompok kasus adalah Rp ± , sedangkan pada kelompok kontrol adalah Rp ± Analisis uji Independent-T menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata jumlah uang saku contoh antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Lampiran 3). Suku/etnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Suku/etnis contoh diidentifikasi berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh. Wilayah domisili contoh adalah wilayah atau provinsi yang paling lama ditinggali oleh contoh, sebelum contoh menjalani perkuliahan dan tinggal di asrama. Pengelompokan suku/etnis dan wilayah domisili contoh didasarkan pada suku/etnis yang banyak muncul pada data. Sebaran contoh berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Suku/etnis contoh dibagi menjadi kategori Sunda, Jawa, Betawi, Batak, Sulawesi, Melayu, dan Bali. Secara umum, sebagian besar contoh pada kelompok kasus dan kontrol, berasal dari suku Jawa, baik ayah maupun ibu contoh. Persentase terbesar setelah suku Jawa adalah suku Sunda. Analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata suku/etnis ayah dan ibu contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).

63 Tabel 7 Sebaran suku/etnis menurut ayah dan ibu contoh Suku Ayah Kasus Kontrol Kasus Kontrol n % n % n % n % Sunda 20 33, , , ,3 Jawa 25 41, , , ,7 Betawi 1 1,7 2 3,3 0 0,0 2 3,3 Batak 5 8,3 5 8,3 6 10,0 4 6,7 Sulawesi 2 3,3 2 3,3 2 3,3 1 1,7 Melayu 6 10,0 4 6,7 6 10,0 4 6,7 Bali 1 1,7 1 1,7 2 3,3 1 1,7 Sebaran contoh berdasarkan wilayah domisili dapat dilihat pada Tabel 8. Wilayah domisili contoh dibagi menjadi delapan kategori, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Secara umum, contoh banyak berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar contoh (kasus maupun kontrol) berasal dari wilayah Jawa Barat (wilayah dengan persentase sebaran contoh terbesar). Persentase sebaran contoh berikutnya adalah Sumatera, yang terdiri atas Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Analisis uji Chi Square menunjukkan nilai p<0,05, artinya tidak ada perbedaan yang nyata wilayah domisili pada kelompok kasus dan kontrol (Lampiran 3). Tabel 8 Sebaran wilayah domisili contoh Ibu Wilayah Domisili Kasus Kontrol Total n % n % n % Jawa Barat 27 45, , ,8 Jawa Tengah 7 11,7 8 13, ,5 Jawa Timur 6 10,0 6 10, ,0 Jakarta 2 3,3 5 8,3 7 5,8 Banten 2 3,3 4 6,7 6 5,0 Bali 1 1,7 2 3,3 3 2,5 Sumatera 12 20, , ,0 Sulawesi 3 5,0 1 1,7 4 3,3 Total , , Gangguan Lambung Penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung yang umum terjadi antara lain gastritis dan tukak peptik.

64 Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung, sedangkan tukak peptik adalah ulserasi (perlukaan) pada saluran pencernaan bagian atas, terutama pada lambung dan duodenum. Patogenesis tukak peptik berkaitan dengan asam lambung dan pepsin. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gastritis dan tukak peptik maupun yang menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang menyertai penyakit tersebut. Faktor risiko yang mempengaruhinya antara lain kebiasaan makan atau diet, merokok, alkohol, stres (fisik dan psikologis), herediter atau genetik atau bawaan, konsumsi obatobatan (obat anti inflamasi non sterodi, beberapa antibiotik, suplemen besi, dll), lingkungan (sosial-ekonomi), dan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Yanti (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa insiden gastritis di Indonesia sebesar 115/ penduduk. Prevalensi tukak peptik ditemukan antara 6-15%. Dalam penelitian, data riwayat penyakit gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik), pertama-tama digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelompok kasus dan kontrol. Jumlah contoh untuk kedua kelompok (kasus dan kontrol) sama besar, yaitu 60 orang, yang terdiri atas 24 putra (40%) dan 36 putri (60%). Riwayat muncul atau kambuhnya gejala gangguan lambung diteliti menggunakan metode retrospektif dengan referensi waktu sejak contoh tinggal di asrama hingga sebelum contoh menjalani ibadah puasa (sebelum tanggal 11 Agustus 2010). Dalam rentang waktu tersebut, contoh sekurangkurangnya telah tinggal di asrama selama satu bulan (contoh tinggal asrama sejak tanggal 26 Juni 2010) dan telah menjalani perkuliahan (kuliah matrikulasi dan reguler). Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia (sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas) dirasakan cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30% penderita dispepsia tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala dispepsia menyerang. Hal tersebut mengganggu produktivitas penderitanya dan menimbulkan kerugian. Penyakit tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan gaya hidup sehari-hari sehingga apabila kebiasaan makan dan gaya hidup yang dijalani penderitanya kurang baik, penderita rawan mengalami frekuensi munculnya gejala. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Seseorang yang

65 telah mengalami masalah pencernaan sebelumnya akan rentan mengalami gejala dispepsia karena perubahan kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya gangguan lambung yang diawali dengan sindrom dispepsia. Gejala-gejala khas dari gangguan lambung (gastritis maupun tukak peptik) adalah sakit/nyeri/rasa tidak enak di daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung (bloating) setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia. Adanya gangguan lambung yang dialami dicirikan oleh seberapa sering (frekuensi) gejala gangguan lambung yang dialami oleh contoh. Frekuensi munculnya gejala dispepsia ditentukan berdasarkan data subyektif contoh, bukan data pemeriksaan. Data frekuensi dispepsia pada awalnya dikategorikan berdasarkan informasi dari contoh mengenai berapa kali munculnya masingmasing gejala dispepsia dalam seminggu. Gejala-gejala yang dialami contoh tersebut kemudian diskor dan ditotal untuk menentukan kategori frekuensi dispepsia. Terdapat dua kategori frekuensi dispepsia, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: frekuensi dispepsia termasuk kategori jarang apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima ( 7,5) dan frekuensi dispepsia termasuk kategori sering apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima (>7,5). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia Frekuensi Kasus Kontrol Total Gejala* n % n % n % Jarang 49 81, ,8 Sering 11 18,3 0 0,0 11 9,2 * signifikan/nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney Secara umum, sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi jarang (90,8%). Seluruh contoh pada kelompok kontrol berada pada kategori jarang, sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18,3% contoh termasuk kategori sering. Analisis perbedaan kedua kelompok contoh menggunakan uji

66 beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi dispepsia pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).. Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik) cenderung lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (OR: 1,224; 95% CI: 0,086-1,380). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelumnya (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 1,224 kali dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol). Sering bersendawa Muntah Mual Perut penuh, cepat kenyang Kembung setelah makan Rasa panas terbakar di dada Kontrol ">4 kali/minggu" Kontrol "3-4 kali/minggu" Kontrol "1-2 kali/minggu" Kontrol "Tidak Pernah" Kasus ">4 kali/minggu" Kasus "3-4 kali/minggu" Kasus "1-2 kali/minggu" Kasus "Tidak Pernah" Nyeri epigastrum 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% Gambar 3 Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi dispepsia lambung yang dialami Sebagian contoh yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung (kontrol), tidak seratus persen bebas dari dispepsia yang gejala-gejala khas gangguan lambung. Beberapa gejala dispepsia juga dialami oleh contoh pada kelompok kontrol, tetapi frekuensinya tidak sesering contoh pada kelompok kasus. Dispepsia dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh kelainan organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena sebab-sebab yang lain seperti kebiasaan dan faktor psikologis (stres). Gejala-gejala gangguan lambung atau sering disebut sindrom dispepsia (sekumpulan gejala gangguan lambung berupa

67 ketidaknyamanan perut bagian atas) dapat timbul bukan hanya karena kelainan organik, melainkan dapat pula bersifat fungsional. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri (Gibson 2005). WHO merekomendasikan penggunaan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak dan remaja. Dengan z-score, anak atau remaja yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Indeks yang digunakan dalam menentukan status gizi pada contoh adalah IMT/U (indeks massa tubuh terhadap umur). Sebaran contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi Status Gizi Kasus Kontrol Total n % n % n % Normal 50 83, , ,5 Tidak normal 10 16, , ,5 Sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) berada pada status gizi normal. Hanya sedikit contoh (total kasus dan kontrol) yang berada pada status gizi tidak normal (overweight atau underweight) yaitu sebesar 16,7% (kasus) dan18,3% (kontrol). Sebaran status gizi secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar 4, terdapat 0,8-9,2% contoh yang status gizinya sangat kurus, kurus, dan overweight. Tidak ada contoh yang status gizinya obesitas. Rata-rata berat dan tinggi badan contoh pada kelompok kasus adalah 52,6±9,76 kg dan 161,3±6,7 cm, sedangkan pada kelompok kontrol 51,8±10,2 kg dan 160,0±8,9. Indeks Massa Tubuh (IMT) contoh memiliki rataan 20,14±2,9 kg/m 2 untuk kelompok kasus dan 20,16±3,2 kg/m 2 untuk kelompok kontrol. 2% 10% 7% 8% 8% 83% Sangat kurus Kurus 82% Gambar 4 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan status gizi

68 Analisis statistik menggunakan uji beda Independent T-test menyatakan bahwa status gizi antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menghubungkan status gizi dengan frekuensi dispepsiamenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata. Hubungan antara status gizi dengan tingkat frekuensi dispepsia tidak signifikan pada taraf nyata 5% (p>0,05). Hal ini berarti semakin baik status gizi contoh maka tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada pederita dispepsia (gejala gastritis dan tukak peptik). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia. Kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan sekresi asam lambung, yang merupakan faktor agresif pada lambung. Kebiasaan makan terdiri atas dua aspek, yaitu cara makan dan makanan itu sendiri. Kebiasan makan teratur akan membantu lambung beradaptasi terhadap waktu makan sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya gangguan lambung. Kebiasaan makan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, keteraturan makan, jeda waktu makan, kebiasaan sarapan (makan pagi), kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan (snacking), kebiasaan melakukan diet, serta frekuensi konsumsi makanan dan minuman tertentu (kopi, teh, soda, makanan pedas, makanan asam, dan suplemen). Selain itu diperhitungkan juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, lemak, natrium, dan kalium. Tabel 11 dan 12 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makannya. Adapun Tabel 14 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, C, lemak, natrium, dan kalium.

69 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan. Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Keteraturan Makan* Teratur 25 41, , ,7 Tidak teratur 35 58, , ,3 Frekuensi Makan* tidak tentu atau 2 kali per hari 14 23,3 5 8, ,8 tertentu dan > 2kali per hari 46 76, , ,2 Jeda Waktu Makan tidak tentu atau 6 jam 26 43, , ,0 tertentu dan < 6 jam 34 56, , ,0 Kebiasaan Sarapan Ya 28 46, , ,3 Tidak 32 53, , ,7 Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Ya 24 40, , ,7 Tidak 36 60, , ,3 Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Ya 13 21,7 8 13, ,5 Tidak 47 78, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square Keteraturan Makan Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Bagi orang yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), makan tidak teratur akan memicu kekambuhan gangguan lambung yang ditandai dengan munculnya gejala dispepsia. Adapun bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, bila kebiasaan makan tidak teratur terus berlanjut, hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan organik pada lambung akibat meningkatnya faktor agresif terutama asam lambung. Sebaran keteraturan makan contoh menunjukkan bahwa contoh pada kelompok kontrol cenderung makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus (Tabel 11). Lebih dari separuh contoh (58,3%) pada kelompok kasus makan tidak teratur setiap hari, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sebaliknya (61,7% contoh makan teratur, 38,3% contoh makan tidak teratur). Secara keseluruhan, terdapat 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan makan tidak teratur. Bila dibandingkan dengan data frekuensi makan, walaupun sebagian besar contoh menjawab frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari, tetapi dilihat dari

70 keteraturan makan, sebagian contoh tidak menunjukkan pola yang sesuai. Sebagian contoh hanya makan ketika sudah merasa lapar. Contoh pada kelompok kontrol cenderung memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur dibandingkan kelompok kasus. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keteraturan makan dan frekuensi makan contoh dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Keteraturan makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,312 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,810; 95% CI: 0,715-0,918). Contoh yang memiliki kebiasaan makan teratur memiliki risiko 0,810 kali (lebih rendah) untuk sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan contoh yang tidak terbiasa makan teratur. Frekuensi Makan Frekuensi makan yang dilihat dalam penelitian adalah berapa kali contoh makan dengan menu makanan berat (meal), di luar snack atau cemilan seharihari. Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Seseorang yang frekuensi makannya tidak tentu, dapat dikatakan bahwa pola makannya tidak teratur. Makan tidak teratur menyebabkan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Untuk mengurangi rasa mual atau tidak nyaman pada lambung sebaiknya makan dalam porsi kecil tetapi sering (small frequent meal). Makan dengan porsi kecil tetapi sering merupakan salah satu cara membantu dan meringankan kerja lambung dan produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu banyak. Data frekuensi makan contoh pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) memiliki kebiasaan makan dua sampai tiga kali sehari. Pada kelompok kasus, terdapat 23,3% contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari itu. Hampir seluruh contoh pada kelompok kontrol makan lebih dari dua kali sehari. Contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, biasanya hanya makan ketika sudah merasa lapar. Analisis statistik berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan contoh pada kelompok kasus

71 dan kelompok kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari. Dengan kata lain, contoh pada kelompok kasus cenderung makan lebih jarang dibandingkan kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa frekuensi makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,319 dan dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Frekuensi makan lebih dari dua kali sehari mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,113; 95% CI: 0,030-0,423). Contoh yang memiliki kebiasaan makan lebih dari dua kali sehari berisiko 0,113 kali (lebih rendah) untuk mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari dua kali sehari. Jeda Waktu Makan Jeda waktu makan yang lama berkaitan dengan munculnya dispepsia. Semakin panjang jeda waktu makan berarti membuat frekuensi makan semakin berkurang, sehingga membuat seseorang cenderung makan dalam jumlah banyak ketika makan. Makan dalam jumlah banyak tiba-tiba membuat beban lambung menjadi lebih berat dan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Makan tiba-tiba dalam jumlah banyak atau membiarkan lambung dalam keadaan kosong terlalu lama dapat membuat lambung memproduksi asam lambung secara berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa lambung dan menimbulkan peradangan. Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari, meskipun dalam kondisi tidur. Pada fase sefalik, asam lambung akan diproduksi walaupun makanan belum memasuki lambung. Sekedar memikirkan atau merasakan makanan sudah cukup untuk membuat saraf bekerja mempengaruhi kelenjar memproduksi asam lambung. Data penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, terdapat 40,0 % contoh yang memiliki jeda waktu makan lebih dari enam jam atau tidak tertentu jeda waktu makannya. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang tidak tentu atau lebih dari enam jam waktu makannya. Uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok contoh tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara jeda waktu makan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4).

72 Kebiasaan Sarapan Salah satu isi dari tiga belas Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) adalah membiasakan sarapan pagi. Sarapan atau makan pagi memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi esensial. Selain memberikan sumbangan energi, sarapan juga memiliki manfaat lain seperti memberikan kekuatan metabolisme sepanjang malam tubuh tidak mendapat asupan, meningkatkan konsentrasi dan kemampuan berpikir, dan menghindari makan tidak terkontrol. Setelah delapan jam dalam kondisi tidur tanpa asupan, di pagi hari tubuh akan memberikan sinyal kekurangan energi dengan timbulnya rasa lapar. Dalam kondisi tersebut, energi diperoleh dari pemecahan cadangan glukosa yang terdapat pada hati dan otot, efisiensi penggunaan energi pun meningkat. Sarapan memberikan energi bagi otak sehingga meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir, dan menjaga tubuh berada pada performa terbaik. Melewatkan sarapan akan membuat tubuh dalam kondisi kelaparan sehingga memicu untuk makan berlebihan pada siang hari. Menahan lapar dalam waktu lama juga memicu produksi asam lambung berlebihan sehingga dapat menimbulkan dispepsia. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) tidak memiliki kebiasaan sarapan, sedangkan pada kelompok kontrol justru sebaliknya (60% contoh terbiasa sarapan). Contoh pada kelompok kontrol lebih banyak yang memiliki kebiasaan sarapan dibandingkan kelompok kasus. Namun demikian, analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan nilai p< 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan sarapan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4). Contoh yang memiliki kebiasaan sarapan sejak tinggal bersama keluarga, biasanya masih membawa kebiasaan tersebut ketika tinggal di asrama. Sebagian contoh melakukan sarapan hanya jika merasa lapar atau pada saat akan menjalani aktivitas kuliah (ketika hari aktif kuliah) agar tidak mengganggu konsentrasi ketika kuliah. Ketika ditanyakan alasan melewatkan sarapan kepada contoh yang tidak terbiasa sarapan, sebagian menjawab bahwa contoh masih dalam tahap adaptasi terhadap aktivitas kuliah dan tinggal tanpa keluarga sehingga belum dapat mengatur waktu dan gaya hidup dengan baik.

73 Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Mengkonsumsi makanan selingan (snacking) atau cemilan dapat menambah asupan energi dan zat gizi. Disamping itu, bagi penderita gangguan lambung, mengkonsumsi makanan selingan digunakan untuk mengisi lambung sementara (tidak terlalu lama membiarkan perut dalam keadaan kosong) sehingga dapat mengatasi kelebihan asam lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 60,0% dan kontrol 63,3%) tidak terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Namun, uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Penyebab ketidakteraturan makan adalah multifaktorial, tetapi salah satunya adalah perubahan pola makan pada remaja. Remaja seringkali terlalu ketat dalam mengatur pola makan demi menjaga penampilan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Dalam jurnal penelitiannya, Robert dan William (2000) menyatakan bahwa 44% remaja perempuan di sekolah menengah atas mencoba untuk menurunkan berat badan dan 26% lainnya menjaga agar berat badannya tidak bertambah. Terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan membatasi konsumsi makanan untuk menurunkan berat badan dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (kelompok kasus 21,7% dan kontrol 13,3%). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan membatasi asupan makanan dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Contoh yang melakukan pembatasan asupan makanan, sebagian besar melakukannya dengan membatasi konsumsi jenis makanan tertentu saja (makanan tinggi lemak), sebagian lagi menghindari makan atau mengurangi frekuensi makan, atau kombinasi keduanya (Gambar 5).

74 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0% Membatasi konsumsi makanan tertentu Gambar 5 Kebiasaan membatasi asupan contoh untuk menurunkan berat badan Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum kopi, teh, soda, makan makanan pedas, asam, dan konsumsi suplemen. Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Minuman berkarbonasi Teh 10 16, , ,8 Kopi* 3 5,0 1 1,7 4 3,3 Minuman berkarbonasi* 6 10,0 4 6,7 10 8,3 Teh + Kopi* 6 10,0 5 8,3 11 9,2 Teh + Minuman berkarbonasi * 8 13,3 8 13, ,3 Kopi + Minuman berkarbonasi 1 1,7 4 6,7 5 4,2 Teh + Kopi+ Minuman berkarbonasi * 16 26,7 5 8, ,5 Bukan ketiganya 10 16, , ,3 Kebiasaan Makan Pedas* Ya 51 85, , ,3 Tidak 9 15, , ,7 Kebiasaan Makan Asam* Ya Tidak Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Ya 23 38, , ,3 Tidak 37 61, , ,7 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,001 Kebiasaan Minum Teh, Kopi, Minuman berkarbonasi, dan Kombinasinya Minuman dari seduhan daun teh (Camelia sinensis) merupakan salah minuman alami yang Menghindari makan Membatasi makanan seminimal mungkin (kombinasi keduanya) Kasus Kontrol total sangat populer di masyarakat. Beberapa kandungan senyawa kimia dalam teh dapat memberikan kesan warna, rasa, dan aroma khas yang dapat memberikan efek relaksasi pada peminumnya. Senyawa utama yang dikandung teh adalah katekin, yaitu suatu kerabat tanin terkondensasi yang juga sering disebut polifenol. Selain itu, teh juga mengandung alkaloid kafein yang bersama-sama dengan polifenol teh akan membentuk rasa yang pahit, sepat,

75 dan aroma segar. Teh juga mengandung kafein dalam jumlah lebih sedikit daripada kopi. Polifenol merupakan antioksidan yang dapat mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Akan tetapi, tanin mudah teroksidasi (karena panas, udara, senyawa asam, dan lainnya) dan berubah menjadi asam tanat. Tanin yang bercampur dengan asam lambung akan teroksidasi dan berubah menjadi asam tanat. Asam tanat dapat membekukan protein sehingga menimbulkan efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan berbagai gangguan lambung seperti gastritis atrofi atau tukak lambung. Minum teh pada saat perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 66,7% dan kontrol 55%) memiliki kebiasaan minum teh dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum teh tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Jenis teh yang dikonsumsi oleh contoh adalah minuman teh dalam kemasan (tetra pak atau botol) dan minuman teh racikan (es teh). Alasan contoh menggemari minuman teh adalah karena rasanya yang familiar dan minuman tersebut mudah didapatkan dimana saja. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh, tidak mengkonsumsi teh setiap hari atau hanya mengkonsumsi teh kurang dari lima gelas per minggu. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh masih mengkonsumsi teh dalam jumlah yang wajar dan sesuai anjuran (membatasi minum teh 2-3 cangkir saja per hari). Selain teh, kopi (Coffea arabica atau Coffea canephora) juga merupakan bahan penyegar yang populer di masyarakat dan sudah menjadi bagian dari budaya. Kopi biasanya dikonsumsi dalam bentuk minuman (diseduh), baik hanya kopi saja dengan gula maupun dicampur dengan bahan lainnya (susu atau krimer). Biji kopi mengandung senyawa kafein dalam jumlah 1-1,5% dan senyawa polifenol (antioksidan). Kafein merupakan senyawa alkaloid yang memiliki efek merangsang otak dan saraf simpatis, meningkatkan aktivitas jantung, serta bersifat diuretik (Lelyana 2009). Efek kafein pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung karena kafein mengandung senyawa asam diantaranya caffeic acid dan chlorogenic acid. Tingginya asam menyebabkan peradangan

76 hingga luka pada mukosa lambung serta duodenum, serta menngkatkan tekanan di dalam lambung. Selain itu, kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan gejala heartburn, mulut terasa asam, dan sendawa (Harahap 2009). Lebih dari separuh contoh tidak terbiasa minum kopi (kelompok kasus 56,7% dan kontrol 75%) dengan kecenderungan contoh pada kelompok kasus lebuh banyak yang memiliki kebiasaan minum kopi. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum kopi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Jenis kopi yang banyak dikonsumsi contoh adalah kopi instan (kopi dengan campuran susu atau krimer). Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan minum kopi, masih mengkonsumsi minuman tersebut dalam jumlah yang wajar sebanyak kurang dari satu cangkir per hari atau kurang dari lima cangkir per minggu. Minuman berkarbonasi atau minuman bersoda adalah minuman yang dibuat dengan mengabsorbsikan karbon dioksida (CO 2 ) ke dalam air minum. Penginjeksian gas-gas CO 2 akan menghasilkan gelembung-gelembung (buih) yang akan memberi kesan segar pada minuman dan efek rasa menggigit di lidah ketika diminum (Zentimer 2009). Proses karbonasi biasanya menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO 3 ) atau dikenal juga dengan nama soda kue (baking soda). Oleh karena itu, minuman berkarbonasi juga sering disebut sebagai minuman bersoda (Zentimer 2007). Terdapat banyak jenis minuman berkarbonasi berupa cola, sari buah berkarbonasi, teh berkarbonasi, kopi berkarbonasi, dan lainnya. Diantara berbagai jenis minuman berkarbonasi, yang paling banyak diminati mahasiswa TPB adalah cola (Dewi 2008). Beberapa merk minuman berkarbonasi yang familiar di kalangan remaja antara lain Coca Cola, Pepsi Cola, Fanta, dan Sprite. Dalam minuman berkarbonasi, selain terkandung CO 2 juga mengandung zat pemberi rasa (flavor), pemanis, pengemulsi, penstabil, dan pengawet. Minuman berkarbonasi mengandung gula (karbohidrat) tinggi sehingga memberikan asupan kalori yang tinggi. Minuman berkarbonasi bersifat asam, memiliki ph sangat rendah (3-4). Makanan asam dapat menyebabkan iritasi dan mengikis mukosa lambung. Selain itu, kandungan CO 2 dalam minuman

77 berkarbonasi dapat menghambat sekresi enzim pencernaan, bila soda dikonsumsi bersama dengan makanan akan menghambat proses pencernaan dan penyerapan zat gizi. Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein untuk memberikan rasa pahit. Kafein tersebut memiliki efek yang sama dengan kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung, mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung. Efek lainnya adalah kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Tabel 12 menunjukkan, lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (51,7%) memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar contoh (65%) tidak terbiasa minum minuman berkarbonasi. Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi (kelompok kasus dan kontrol), mengkonsumsi minuman tersebut sebanyak kurang dari satu botol (ukuran 500 ml) per hari atau kurang dari lima botol per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum minuman berkarbonasi berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0,05). Koefisien kontingensi kebiasaan minum kopi dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,240 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 6,907; 95% CI: 1,423-33,519). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 6,907 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi minuman berkarbonasi. Kombinasi kebiasaan minum minuman iritatif terhadap mukosa lambung diduga lebih berisiko terhadap frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Sebagian contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, kopi dan minuman berkarbonasi, serta teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus adalah yang terbiasa mengkonsumsi kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol adalah yang tidak terbiasa

78 mengkonsumsi ketiganya (Tabel 12). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kebiasaan minum teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi ketiganya (teh, kopi, dan minuman berkarbonasi) contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan kombinasi kebiasaan minum teh dan kopi, kebiasaan minum teh dan minuman berkarbonasi, kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Kebiasaan Makan Pedas dan Asam Makanan asam dan pedas seperti cabai, merica, dan bumbu-bumbu tajam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat merusak dinding lambung. Asam dan pedas merangsang sekresi asam lambung berlebihan, sehingga menimbulkan dispepsia. Disamping itu, asam dan pedas juga dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap 2009). Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (85%) memilki kebiasaan makan makanan pedas, demikian juga pada kelompok kontrol (71,7%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih sering mengkonsumsi makanan pedas dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, sebanyak 20% contoh pada kelompok kasus, mengkonsumsi makanan pedas lebih dari tiga kali sehari (hampir di setiap waktu makan), sedangkan pada kelompok kontrol hanya sejumlah 5%. Contoh lainnya (sebanyak 31,7%-33,33%) biasa mengkonsumsi makanan pedas <1 kali per hari atau 1-2 kali per hari (Gambar 6). Analisis statistik mengunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua kelompok (kasus dan kontrol). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Tabel 6).

79 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% Tidak mengkonsumsi <1 kali/hari 1-2 kali/hari 3 kali/hari Kasus Kontrol Total Gambar 6 Frekuensi konsumsi makanan pedas contoh Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada kelompok kasus (70%) memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, sedangkan pada kelompok kontrol sebaliknya (60% contoh tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam). Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan asam, sebagian besar (kasus 70,0% dan kontrol 40,0%) mengkonsumsi makanan atau minuman asam kurang dari satu kali per hari atau kurang dari lima kali per minggu dan tidak ada yang mengkonsumsi makanan atau minuman asam lebih dari tiga kali per hari. Contoh pada kelompok kasus lebih sering mengkonsumsi makanan atau minuman asam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Lampiran 4). Koefisien kontingensi kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,219 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 9,123; 95% CI: 1,129-73,735). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 9,123 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam. Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Suplemen kesehatan atau diebut juga dietary supplement adalah produk kesehatan yang mengandung satu jenis atau lebih zat-zat gizi atau obat. Zat-zat

80 gizi yang dimaksud adalah vitamin, mineral, dan asam-asam amino, sedangkan yang bersifat obat umumnya diambil dari jaringan tubuh hewan atau dari tanaman (Thomson 2008). Pada umumnya suplemen mengandung zat gizi, enzim, serta herbal yang meningkatkan antioksidan dan imunitas tubuh, serta mengendalikan kolesterol, gula darah, dan tekanan darah. Terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakangi pengunaan suplemen makanan, diantaranya pola makan yang tidak seimbang yang berpengaruh pada asupan gizi ke dalam tubuh. Alasan mengkonsumsi suplemen diantaranya adalah ingin tetap dalam kondisi gizi yang baik, memulihkan tenaga, mengurangi stres, dan mencegah terjadinya penyakit. Hanya sebagian kecil contoh pada kedua kelompok, yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi suplemen (kelompok kasus 38,3% dan kontrol 28,3%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata konsumsi suplemen diantara kedua kelompok (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi suplemen dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis suplemen yang dikonsumsi contoh Suplemen Kasus Kontrol Total n (18) % n (12) % n (30) % Vitamin C 6 33,3 7 58, ,3 Multivitamin 5 27,8 2 16,7 7 23,3 Madu dan Herbal 4 22,2 0 0,0 4 13,3 Lainnya 3 16,7 3 25,0 6 20,0 Jenis suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) adalah vitamin C. Pada kelompok kasus, selain vitamin C suplemen yang juga banyak dikonsumsi adalah multivitamin (merek suplemen yang dikonsumsi adalah Sangobion, Enervon-C, Calcium D Redoxon, dan Cerebrovit). Suplemen herbal yang banyak dikonsumsi adalah klorofil cair, sedangkan suplemen lainnya adalah vitamin E (merek Natur-E) dan vitamin B kompleks (merek IPI dan Neurobion). Frekuensi konsumsi suplemen contoh paling sering dua kali per hari dan yang paling jarang satu kali per minggu. Contoh terutama mengkonsumsi vitamin C sebanyak satu kali per hari dengan

81 dosis 500 mg, sesuai dengan vitamin C yang ada di pasaran (merek Xon Ce atau Vitacimin). Tabel 14 Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Tingkat Kecukupan Vitamin A* Normal (>77% AKG) 40 67, , ,8 Defisit (< 77% AKG) 20 33, , ,2 Tingkat Kecukupan Vitamin C Normal (>77% AKG) 12 20,0 7 11, ,8 Defisit (< 77% AKG) 48 80, , ,2 Konsumsi Lemak** Cukup ( 30% AKE) 23 95, , ,2 Lebih (> 30% AKE) 37 5,0 6 10, ,8 Konsumsi Natrium Cukup (<2400 mg/hari) 59 98, , ,3 Lebih (> 2400 mg/hari) 1 1,7 1 1,7 1 0,8 Konsumsi Kalium Cukup (>2000mg/hari) 1 1,7 2 3,3 3 2,5 Defisit (<2000 mg/hari) 59 98, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,01 AKE = Angka Kecukupan Energi, digunakan sebagai pendekatan jumlah kebutuhan energi sehari contoh (WKNPG 2004). Tingkat Kecukupan Vitamin A dan C Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran mukosa, kelenjar thymus dan jaringan lymphoid, dan semua hal yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dapat dikatakan bahwa vitamin A membantu menjaga membran mukosa lambung atau menjadi faktor protektif atau defensif mukosa lambung. Vitamin C bersama dengan vitamin E dapat melindungi sel dari perlawanan peroksidasi lemak didalam sel. Vitamin C juga dapat berfungsi sebagai pencegah kanker. Akan tetapi, vitamin C atau asam askorbat merupakan senyawa yang bersifat asam. Dengan demikian, asam tersebut dapat bersifat agresif terhadap mukosa lambung. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dapat dilihat pada Tabel 14. Tingkat kecukupan vitamin A contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) sebagian besar berada pada kategori normal. Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengalai defisit vitamin A dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji Mann

82 Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat kecukupan vitamin C pada sebagian besar contoh berada pada kategori defisit (kelompok kasus 80% dan kontrol 88,3%). Angka kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05). Tingkat kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol karena contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Konsumsi Lemak Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter, LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan sendawa dan heartburn. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung dan munculnya gejala perut terasa penuh. Akan tetapi, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Thomson 2008). Jenis lemak tertentu, yaitu asam lemak rantai pendek (C4-C6) dan rantai sedang (C8-C10) dapat diabsorbsi langsung ke dalam vena porta dan dibawa ke hati untuk segera dioksidasi (diubah menjadi energi). Medium Chain Triglycerides (MCT) dengan panjang 6-12 karbon, cukup larut dalam air, hanya membutuhkan garam empedu dalam jumlah sedikit untuk mencernanya, tidak membutuhkan reseterifikasi pada enterosit, dan ditransportasikan sebagai asam lemak bebas

83 pada sistem porta. MCT dapat dicerna dengan cepat dan tidak terpengaruh oleh faktor intestinal yang menghambat absorbsi lemak (Thomson 2008). Lemak rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada Tabel 14. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus (61,7%) mengkonsumsi lemak dalam jumlah > 30% AKE, sedangkan pada kelompok kontrol, hampir seluruh contoh (90%) mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup 30% AKE. Konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi lemak berhubungan sangat nyata terhadap frekuensi dispepsiapada contoh (p<0,01) (Lampiran 4). Konsumsi lemak memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,237 (p=0,007) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Konsumsi lemak 30% kecukupan energi sehari berhubungan dengan semakin rendahnya frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Mengkonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 5,683; 95% CI : 1,409-22,557). Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang mengandung MCT, baik susu maupun telur adalah pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi. Konsumsi Natrium dan Kalium Natrium dan kalium merupakan mineral yang berperan dalam keseimbangan elektrolit cairan tubuh. Namun, disisi lain kedua mineral tersebut memiliki peran lain yang bertolak belakang. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung. Asupan garam berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia sel sehingga meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori serta menimbulkan kerusakan mukosa lambung (gastritis).

84 Gastritis ringan dapat berubah menjadi gastritis kronis yang merupakan prekursor perlukaan lambung (tukak lambung) yang dapat berakhir pada kanker lambung. Kalium yang kebanyakan berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan, merupakan antioksidan yang dapat memberikan perlindungan pada tubuh sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya tukak lambung dan meringankan gejala pada saat tukak mulai terbentuk. Kalium sebagai antioksidan mampu menghambat kerusakan kromosom, transformasi sel, dan rangsangan pembentukan kanker. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi natrium dan kalium dapat dilihat pada Tabel 14. Hampir keseluruhan contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tidak berlebihan. Sebaliknya, hampir keseluruhan contoh defisit konsumsi kalium. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium antara kedua kelompok (kelompok kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (Lampiran 4). Kebiasaan Merokok Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Gas karbon monoksida, nitrogen oksida, ammonia, benzene, methanol, perylene, hydrogen sianida akrolein, asetilen, bensaldehida, arsen, n-nitrosamine, urethane, nikotin, dan tar adalah beberapa gas yang terdapat dalam asa rokok. Zat-zat kimia dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi setiap sel tubuh. Merokok adalah salah satu faktor risiko bagi munculnya dispepsia. Penelitan-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap munculnya gastritis dan tukak peptik, terutama tukak lambung, serta proses penyembuhannya. Tar dalam asap rokok dapat melemahkan katup lower esophageal sphincter (LES), katup antara lambung dan kerongkongan. Melemahnya LES dapat mengakibatkan naiknya asam lambung dan gas ke kerongkongan sehingga muncul heartburn dan sering bersendawa. Merokok juga mengganggu faktor defensif lambung dengan cara mengurangi sekresi bikarbonat dan aliran

85 darah di mukosa lambung. Berkurangnya faktor defensif lambung dapat memperburuk peradangan lambung dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Selain berpengaruh terhadap perokok aktif secara langsung, asap rokok juga dapat berpengaruh kepada perokok pasif (orang ang terkena asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif). Hanya terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan merokok, 10% pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol. Sebaran kebiasaan merokok contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria (mahasiswa). Jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara tahun, sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Contoh telah merokok rata-rata selama 2,75 tahun atau dua tahun sembilan bulan, dengan kisaran satu hingga enam tahun. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok aktif dan pasif Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Perokok aktif Ya 6 10,0 2 3,3 8 6,7 Tidak 54 90, , ,3 Total , , ,0 Perokok pasif Sering 3 5,6 6 6,9 15 6,3 Jarang 51 94, , ,8 Total , , ,0 Selain perokok aktif, sebagian kecil contoh yang tidak memiliki kebiasaan merokok juga sering terpapar asap rokok (menjadi perokok pasif). Jumlah contoh pada kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan jumlah perokok pasif pada kelompok kasus. Sebanyak 5,6% contoh pada kelompok kasus dan 6,9% pada kelompok kontrol. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Hasil penelitian mengenai perokok aktif dan pasif hanya dianalisis secara deskriptif, tidak diuji secara statistik karena jumlah contoh yang positif (perokok aktif maupun pasif) hanya sedikit dan keseluruhan berjenis kelamin pria Berkarakteristik khusus), sehingga diduga tidak proporsional diuji bersamaan dengan contoh yang lain.

86 Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol Alkohol dalam makanan atau minuman terkandung dalam bentuk etil alkohol atau etanol. Minuman yang mengandung alkohol antara lain bir, arak, anggur, wine, dan minuman keras lainnya. Pencernaan alkohol dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase di dalam organ lambung dan hati. Apabila jumlah alkohol yang dikonsumsi melebihi kemampuan mencerna enzim alkohol dehidrogenase, maka alkohol akan dikeluarkan dari hati dan masuk ke dalam sirkulasi darah dan ikut beredar ke bagian-bagian tubuh yang lain sehinga menyebabkan mabuk. Seseorang dikatakan mabuk bila darahnya mengandung setidaknya 0,1% alkohol (Almatsier 2002). Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati. Alkohol merangsang produksi asam lambung secara berlebihan (meningkatkan faktor agresif), sehingga berakibat negatif pada mukosa lambung (menurunkan faktor defensif). Selain itu, sama seperti rokok, alkohol dapat mengendurkan katup lower esophageal sphincter (LES) sehingga menyebabkan refluks atau berbaliknya aliran asam lambung dan gas ke kerongkongan (Harahap 2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Menurut Khomsan (2004) alkohol dapat menurunkan nafsu makan sehingga tubuh akan terhalang untuk memperoleh asupan gizi seimbang. Keseluruhan contoh tidak ada yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Akan tetapi, sebenarnya terdapat beberapa contoh putra yang penah bahkan terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol sebelum tinggal di asrama TPB IPB (ketika masih duduk di bangku SMA). Keseluruhan dari contoh yang pernah atau terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol termasuk dalam kelompok kasus. Informasi tersebut dieroleh dari wawancara mendalam terhadap contoh, meliputi kebiasaan sebelum contoh tinggal di asrama. Akivitas Fisik dan Kebiasaan Berolahraga Aktivitas fisik adalah gerakan yang dlakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. selama melakukan aktivitas fisik otot membutuhkan energi di luar metabolisme basal untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga yang teratur membantu

87 menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat badan (Bredbenner et al 2009). Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan rsiko terjadinya penyakit dan kematian dini. kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Rajin berolahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres yang baik akan membantu mengontrol sekresi asam lambung. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa olahraga secara nyata dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan olah raga Ya 40 66, , ,5 Tidak 20 33, , ,5 Tingkat aktivitas fisik* Tidak aktif 15 25, , ,5 Aktif 45 75, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square Kebiasaan olahraga contoh dinilai berdasarkan informasi atau pengakuan contoh mengenai kebiasaan olahraga yang dilakukan selama tinggal di asrama TPB IPB. Tingkat aktifitas fisik contoh dinilai berdasarkan akumulasi durasi aktivitas sedang (moderate activity) termasuk olahraga yang yang dilakukan contoh selama seminggu. Pengkategorian tingkat aktivitas fisik menggunakan kriteria U.S. Department of Health and Human Services (USDHHS) tahun Sebaran contoh beradasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (66,7%) memiliki kebasaan melakukan olahraga, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga. Data kebiasaan olahraga diperoleh berdasarkan pengakuan contoh sehingga lebih bersifat subjektif atau dipengaruhi oleh persepsi contoh. Analisis statistika menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kasus tidak berbeda nyata dengan kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kontrol (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata (p>0,05) dispepsia (Lampiran 4). menunjukkan dengan frekuensi

88 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada kelompok kasus berbeda dengan pada kelompok kontrol. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (75%) berada pada kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol lebih separuh contoh berada pada kategori tidak aktif. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) pada kedua kelompok tersebut (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat aktivitas fisik memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 (p=0,036) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR: 7,031; 95%CI: 0,869-56,886). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia dengan frekuensi sering 7,031 kali lebih tinggi dibandingkan yang aktif. Jenis olahraga yang dilakukan contoh berbeda-beda satu sama lain. Pada umumnya contoh putra lebih banyak melakukan olahraga futsal, sedangkan contoh putri jenis olahraga sepeda. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh contoh baik putra maupun putri adalah lari. Selain olahraga yang dilakukan, dilihat transportasi yang dilakukan contoh dari asrama menuju tempat kuliah. Jika contoh terbiasa berjalan kaki dari dan menuju tempat kuliah, hal tersebut turut berkontribusi pada aktivitas fisik sehari-hari contoh. Konsumsi Obat-Obatan Jenis obat-obatan tertentu dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Obat anti nyeri (misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek samping menyebabkan gastritis. Di Indonesia obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang memerlukan resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Pemakaian obat-obatan yang luas ini menyebabkan kejadian efek samping obat meningkat. Dilaporkan 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan OAINS mengalami dispepsia, yang merupakan gejala gastritis (Santoso 2008). Obat pengurang rasa sakit atau antinyeri diduga berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Rasa sakit atau nyeri sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari bagi penderitanya, sehingga

89 penderita lebih suka bertindak cepat mengatasinya dengan obat anti nyeri (analgesik). Santoso 2008 menyatakan, terdapat dua mekanisme kerja obatobatan yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung. Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon inflamasi dan rasa nyeri. Penderita gastritis dan tukak peptik sering menggunakan obat-obatan yang menekan sekresi asam lambung untuk mengatasi gejala yang muncul. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik. Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadang-kadang disertai simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada makanan atau obat tertentu. Zat aktif pada antasida (magnesium dan alumunium) akan bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan* Pengguna harian 28 46,7 8 36, ,0 Bukan pengguna harian 32 53, , ,0 Konsumsi antasida** Ya 19 31,7 1 1, ,5 Tidak 41 68, , ,5 **Signifikan atau nyata pada p<0,01

90 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida dipaparkan pada Tabel 17, Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) dan sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (84,0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna harian. Bukan pengguna harian artinya contoh mengkonsumsi obat kurang dari atau sama dengan tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) antara kelompok kasus dengan kontrol (Lampiran 3). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata (p>0,05) dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Antasida dikonsumsi untuk mengurangi gejala dispepsia yang dialami penderita gastritis atau tukak peptik. Terdapat 31,7% contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna harian, contoh yang mengkonsumsi obat lebih dari tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Terdapat 1,7% contoh pada kelompok kontrol yang juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Contoh pada kelompok kontrol tersebut juga mengalami gejala dispepsia (gejala gangguan lambung), tetapi tidak mengalami gastritis atau tukak peptik. Hal tersebut dapat terjadi karena gejala dispepsia tidak hanya timbul karena adanya masalah organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena masalah fungsional. Analisis perbandingan secara statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata pada konsumsi antasida antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,01). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara konsumsi antasida dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,01), dengan koefisien kontingensi sebesar 0,307 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah (Lampiran 4). Semakin sering contoh mengalami dispepsia, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk mengatasi gejalanya (OR: 8,143; 95% CI 2,191-30,263). Tingkat Stres Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi akan menimbulkan gangguan psikosomatik yang diikuti perubahan fisiologis dan biokemis

91 seseorang. Stres akan memicu hormon kortisol, dimana hormon tersebut akan menimbulkan reaksi pada seluruh sistem dalam tubuh, termasuk jantung, paruparu, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imun. Hormon lainnya, yaitu hormon kotekolamin yang terdiri atas zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin atau yang lebih dikenal dengan adrenalin turut berperan dalam menekan ingatan jangka pendek seseorang. Hal tersebut menyebabkan seseorang yang sedang mengalami stres akan sulit untuk berpikir secara rasional. Proses tersebut juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, diare, pusing, sakit otot dan sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin dan katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik. Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami ketika tinggal di asrama dipaparkan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami Tingkat stres** Kasus Kontrol Total n % n % n % Rendah 17 28, , ,3 Sedang 43 63, , ,7 **Signifikan atau nyata pada p<0,01 Tingkat stres contoh diukur melalui delapan belas pertanyaan mengenai gejala stres yang dialami contoh ketika tinggal di asrama. Masing-masing pertanyaan diberikan pilihan jawaban yang skornya berbeda-beda. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan kontrol (63,3% dan 51,7%) berada pada tingkat stres kategori sedang. Contoh pada kelompok kasus cenderung berada pada tingkat stres lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan Independent T-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres contoh pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,05). Contoh pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh pada kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 antara skor gejala stres dengan frekuensi dispepsia contoh menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p<0,05). Tingkat stres memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 yang dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Semakin tinggi tingkat stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia yang dialami contoh (OR: 7,031; 95% CI: 0,869-56,886). Contoh dengan kategori stres

92 lebih tinggi berpeluang mengalami dispepsia lebih sering sebesar 7,031 kali dibandingkan dengan yang kategori stresnya lebih rendah. Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi misalnya karena luka bakar, infeksi yang sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Berbeda dengan stres fisik, stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri (Santoso 2008). Penelitian yang dilakukan untuk menentukan tingkat stres contoh, lebih dititikberatkan untuk menggali stres psikologis yang dialami oleh contoh. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksklusi contoh yang memiliki riwayat penyakit degeneratif kronis (diabetes, jantung, gagal ginjal, epilepsi, kanker, dll). Berbagai reaksi gangguan psikosomatik dapat timbul akibat stres. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami oleh contoh dipaparkan pada Tabel 19. Sebagian besar gejala stres (12 dari 18 gejala yang dipaparkan) didominasi dengan jawaban jarang atau kadang-kadang oleh contoh. Tiga gejala stres yang paling sering dialami contoh adalah merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu (sering dialami oleh 23,3% contoh), mengalami perubahan nafsu makan (sering dialami oleh 18,3% contoh), dan merasa pusing/sakit kepala tanpa alasan yang jelas (sering dialami oleh 14,2% contoh). Dalam kondisi tertekan atau stres, nafsu makan sering berubah-ubah karena berbagai reaksi hiperasimtomatik pada sistem gastrointestinal. Hiperasiditas lambung menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Di samping itu, sekresi adrenalin membuat cadangan gula darah meningkat sehingga turut mempengaruhi penurunan nafsu makan yang juga berakibat pada pola makan menjadi tidak teratur. Perubahan nafsu makan merupakan salah penyebab timbulnya gastritis maupun tukak peptik dan frekuensi munculnya gejalanya.

93 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami. Gejala Stres Tidak Pernah (%) Jarang dan Kadang-kadang (%) Sering (%) Merasa pusing/ sakit kepala tanpa alasan yang jelas 15,8 70,0 14,2 Merasa pegal-pegal pada leher/ punggung/ bahu 9,2 67,5 23,3 Mengalami kejang otot dan tangan gemetaran 60,0 35,8 4,2 Perut terasa kembung/mulas/diare pada saat akan 43,3 49,2 7,5 melakukan sesuatu Sering menjatuhkan barang/ tersandung/ 65,8 25,0 9,2 memecahkan barang Jantung berdebar dengan cepat 45,8 50,8 3,3 Merasa tidak tenang/ tegang/ cemas/ terancam 49,2 45,0 5,8 Merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan 20,8 70,8 8,3 kegiatan Mengalami sulit tidur/ tidak dapat tidur nyenyak 32,5 56,7 10,8 seperti biasa Mudah tersinggung 36,7 55,0 8,3 Mengalami perubahan nafsu makan 20,0 61,7 18,3 Merasa sangat lelah/ lesu/ lemas/ tidak bertenaga 17,5 70,0 12,5 Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab 38,3 53,3 8,3 Merasa tak memiliki harapan/ putus asa 57,5 39,2 3,3 Merasa bingung/ takut bertemu orang lain 60,0 37,5 2,5 Merasa sedih sekali dan ingin menangis 36,7 54,2 9,2 Merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain/ 65,8 29,2 5,0 keadaan, tertekan Mengalami mimpi buruk 35,0 59,2 5,8 Herediter Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik atau bawaan. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit. Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi. Dalam penelitian ini, dianalisis dua pengaruh herediter atau bawaan, yaitu riwayat penyakit keluarga dan golongan darah. Riwayat Penyakit Keluarga Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung. Penyakit tukak peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali

94 lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik dipaparkan dalam Tabel 19 berikut ini. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan riwayat gangguan lambung keluarga Riwayat Kasus Kontrol Total n % n % n % Tidak ada 24 40, , ,3 Ayah 12 20,0 5 8, ,2 Ibu 21 35,0 7 11, ,3 Kakek 2 3,3 1 1,7 3 2,5 Nenek 1 1,7 1 1,7 2 1,7 Garis keluarga yang diambil dalam penelitian ini adalah ayah, ibu, kakek, dan nenek. Sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (76,7%) tidak memiliki riwayat penyakit gangguan lambung berupa gastritis maupun tukak peptik di keluarganya, sedangkan pada kelompok kasus hanya sebesar 40% (Tabel 20). Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu. Riwayat penyakit gastritis pada ibu contoh lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (Lampiran 3). Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, dan nenek tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok kasus dengan kontrol. Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa riwayat penyakit ayah, ibu, kakek, dan nenek tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Golongan Darah Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan. Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya. Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain.

95 Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan golongan darah Golongan Kasus Kontrol Total Darah n % n % n % O 26 43, , ,8 Selain O 34 56, , ,1 O 43% A 22% O 38% A 20% AB 8% B 27% AB 10% B 32% Gambar 7 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan golongan darah Sebaran contoh berdasarkan golongan darah dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 7. Sebagian contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) memiliki golongan darah O (43,3% dan 38,3%). Penelitian Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB). Namun analisis statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok kasus dan kontrol (p>0,05). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa golongan darah tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05). Faktor Risiko Frekuensi Dispepsia Analisis multivariat menggunakan regresi logistik ordinal dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap frekuensi munculnya dispepsia. Pada penelitian ini, terdapat sembilan variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko frekuensi munculnya dispepsia, yaitu: riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), keteraturan makan, frekuensi makan,

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012). BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (51 orang) adalah perempuan. Perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah istilah yang dipakai untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis merupakan radang pada jaringan dinding lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi dan ketidakteraturan dalam pola makan misalnya makan terlalu banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia

TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang 2006). Ketidaknyamanan tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia yang mengarah modern ditandai gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang peningkatan asam lambung, seperti:

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa tidak luput dari aktifitas yang tinggi. Oleh sebab itu, mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB)

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Dyspepsia Risk Factors of University Students in Bogor Agricultural University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan yang belum terselesaikan, dan terjadi peningkatan

Lebih terperinci

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

Satuan Acara penyuluhan (SAP) Lampiran Satuan Acara penyuluhan (SAP) A. Pelaksanaan Kegiatan a. Topik :Gastritis b. Sasaran : Pasien kelolaan (Ny.N) c. Metode : Ceramah dan Tanya jawab d. Media :Leaflet e. Waktu dan tempat : 1. Hari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pola makan disuatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya suatu penyakit berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah satunya gangguan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lambung merupakan organ yang vital bagi tubuh yang cukup rentan cidera atau terluka. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja lambung adalah asupan makanan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak,

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang paling sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, cepat dan makan makanan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan.

METODE PENELITIAN. 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan. METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian menggunaka desain case-control study (kasus-kontrol) berpasangan. Penetapan contoh didasarkan pada kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 JURNAL KESEHATAN HOLISTIK Vol 8, No 2, April 2014 : 94-98 HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 Rohani 1, M. Ricko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sukarmin (2012) gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung. Peradangan ini dapat mengakibatkan pembengkakan mukosa lambung sampai terlepasnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut

Lebih terperinci

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN Deisy Octaviani 1 ;Ratih Pratiwi Sari 2 ;Soraya 3 Gastritis merupakan

Lebih terperinci

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya? Faktor psikis atau kejiwaan seseorang bisa pula meningkatkan produksi asam lambung. Selain itu penyakit maag juga bisa disebabkan insfeksi bakteri tertentu, misalnya helicobacter pylori yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuesioner Skrining

Lampiran 1 Kuesioner Skrining Lampiran 1 Kuesioner Skrining KUESIONER PENELITIAN FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) Oleh: Andri Susanti / I14062402 MAYOR ILMU GIZI Nomor Sampel: DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung. Banyak hal yang dapat menyebabkan gastritis. Penyebabnya paling sering adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia kronis didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar sekitar 1,8-2,1 juta

BAB I PENDAHULUAN. 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar sekitar 1,8-2,1 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) mengadakan tinjauan terhadap beberapa Negara dunia dan mendapatkan hasil presentase dari angka kejadian diseluruh dunia, diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini penyakit lambung/maag sudah banyak timbul di masyarakat dengan keluhan perut yang sakit, perih, atau kembung. Namun penyakit maag tidak seperti yang diketahui

Lebih terperinci

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah 104 KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA MAHASISWA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015 A. Karateristik 1. Umur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai kumpulan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya :

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya : LAPORAN PENDAHULUAN A. KONSEP MEDIK 1. DEFINISI Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung. Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung. Gambaran klinis yg ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, tukak lambung menjadi suatu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan dalam kondisi yang parah dapat menjadi penyebab kematian. Tukak lambung merupakan

Lebih terperinci

PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA SISWA DI SMAN 1 SOOKO MOJOKERTO ROSI HERDIANTO SUBJECT: Perilaku, Gastritis, Siswa

PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA SISWA DI SMAN 1 SOOKO MOJOKERTO ROSI HERDIANTO SUBJECT: Perilaku, Gastritis, Siswa PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA SISWA DI SMAN 1 SOOKO MOJOKERTO ROSI HERDIANTO 1212020023 SUBJECT: Perilaku, Gastritis, Siswa DESCRIPTION: Penyakit grastitis/maag memang sudah mulai dialami

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi. Jalur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dihadapkan pada dua masalah dalam pembangunan kesehatan, yaitu penyakit menular yang masih belum banyak tertangani dan penyakit

Lebih terperinci

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Dispepsia a. Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan) (Bonner, 2006). Dispepsia menggambarkan keluhan

Lebih terperinci

Dewi Karwati 1) Nur lina, SKM, M.Kes dan Kiki Korneliani, SKM, M.Kes 2)

Dewi Karwati 1) Nur lina, SKM, M.Kes dan Kiki Korneliani, SKM, M.Kes 2) HUBUNGAN FREKUENSI KONSUMSI MAKANAN BERISIKO GASTRITIS DAN STRESS DENGAN KEJADIAN GASTRITIS PADA WANITA USIA 20-44 TAHUN YANG BEROBAT DI PUSKESMAS CILEMBANG TAHUN 2012 Dewi Karwati 1) Nur lina, SKM, M.Kes

Lebih terperinci

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit ulkus peptikum (ulkus peptik) merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan terutama dalam kelompok usia di atas 45 tahun (Gartner dan Hiatt, 2001).

Lebih terperinci

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok SISTEM PENCERNAAN Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok PENDAHULUAN Sistem pencernaan bertanggung jawab untuk menghancurkan dan menyerap makanan dan minuman Melibatkan banyak organ secara mekanik hingga kimia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh kemudian dibungkus dengan kertas rokok berukuran panjang 70 120 mm dengan diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan konsentrasi obat yang efektif selama periode yang diperlukan, terutama untuk obat-obat yang memiliki

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Menurut laporan status global WHO (2016), perilaku merokok telah membunuh sekitar

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM A.PENGERTIAN Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat mencapai suatu keseimbangan atau suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh (begah) atau cepat kenyang, sendawa, rasa

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Dispepsia merupakan salah satu gangguan yang diderita oleh hampir seperempat populasi umum di negara industri dan merupakan salah satu alasan orang melakukan konsultasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG Penyakit tidak menular terus berkembang dengan semakin meningkatnya jumlah penderitanya, dan semakin mengancam kehidupan manusia, salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS Konsep Medik : 1. Pengertian Gastritis berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Secara umum Gastritis

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.2. Parotitis. Diare. Apendisitis. Konstipasi

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.2. Parotitis. Diare. Apendisitis. Konstipasi SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.2 1. Kelainan yang terjadi karena ada sisa makanan di usus buntu, sehingga lama kelamaan terjadi peradangan adalah... Parotitis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian buruh Buruh adalah salah satu profesi pekerjaan yang diperintah dan dipekerjakan yang berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi (ml.scribd.com).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hal yang paling penting bagi masyarakat, terutama remaja yang memiliki aktivitas yang padat. Salah satu cara agar tubuh tetap sehat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulkus didefinisikan sebagai defek pada mukosa saluran pencernaan yang mengenai lapisan mukosa hingga submukosa atau lebih. Ulkus mungkin terjadi pada seluruh saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya bervariasi pada setiap

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 1, April 2012 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 1, April 2012 ISSN PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR STRES DENGAN KEJADIAN GASTRITIS PADA MAHASISWA POLTEKKES KEMENKES TANJUNG KARANG Anita Puri, *, Suyanto, ** Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seiring perkembangan teknologi yang sangat pesat, pada bidang kedokteran saat ini juga telah memanfatkan teknologi untuk membantu peningkatan pelayanan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perubahan dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan stress. Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah penyakit saluran pencernaan seperti gastritis. Masyarakat pada umumnya mengenal gastritis dengan sebutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling mengangguan kesehatan dan sering dijumpai di klinik karena diagnosanya

BAB I PENDAHULUAN. paling mengangguan kesehatan dan sering dijumpai di klinik karena diagnosanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung yang paling mengangguan kesehatan dan sering dijumpai di klinik karena diagnosanya hanya berdasarkan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PENYAKIT GASTRITIS DI RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI

PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PENYAKIT GASTRITIS DI RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PENYAKIT GASTRITIS DI RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI Muhammad Mudzakkir, M.Kep. Prodi DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UN PGRI Kediri muhammadmudzakkir@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 51 BAB V HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan hasil penelitian tentang pengaruh terapi air terhadap proses defekasi pasien konstipasi di RSU Sembiring Delitua Deli Serdang yang dilaksanakan pada 4 April-31

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Sistem pencernaan pada manusia terdiri atas beberapa organ yang berawal dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar dan anus. Pada sistem pencernaan manusia terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dismenore adalah nyeri menstruasi seperti kram pada perut bagian bawah yang terjadi saat menstruasi atau dua hari sebelum menstruasi dan berakhir dalam 72 jam. Terkadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis atau lebih dikenal dengan istilah maag merupakan suatu keadaan peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu rasa tidak nyaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma dispepsia merupakan keluhan/kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang sehat setiap harinya memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga memiliki kesanggupan yang maksimal dalam menjalankan kehidupannya.

Lebih terperinci

Mitos dan Fakta Kolesterol

Mitos dan Fakta Kolesterol Mitos dan Fakta Kolesterol Oleh admin Selasa, 01 Juli 2008 09:19:20 Apakah mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tidak baik bagi tubuh? Apakah kita tak boleh mengonsumsi makanan berkolesterol?

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini berkembang semakin cepat. Di dunia ini, diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN TERHADAP GEJALA MAAG PADA MAHASISWA AKADEMI FARMASI ISFI BANJARMASIN

ABSTRAK HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN TERHADAP GEJALA MAAG PADA MAHASISWA AKADEMI FARMASI ISFI BANJARMASIN ABSTRAK HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN TERHADAP GEJALA MAAG PADA MAHASISWA AKADEMI FARMASI ISFI BANJARMASIN Nordin 1 ; Aditya M.P.P 2 ;Yugo Susanto 3 Menurut data dari World Health Organization (WHO) bahwa Indonesia

Lebih terperinci

Lembar Persetujuan Menjadi Responden. Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada

Lembar Persetujuan Menjadi Responden. Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada Mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok

BAB I PENDAHULUAN. tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, ransangan, atau kombinasi halhal tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok penjual dan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest.

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest. 1. Perhatikan gambar sistem pencernaan berikut! SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL Enzim pepsin dihasilkan oleh bagian yang benromor... 1 2 3 4 Kunci Jawaban : B Enzim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. a. Perokok aktif adalah orang yang memang sudah merokok.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. a. Perokok aktif adalah orang yang memang sudah merokok. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok dan Merokok Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. Merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. (Kamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada

Lebih terperinci

Rongga Mulut. rongga-mulut

Rongga Mulut. rongga-mulut Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut dimulai dari 1. Rongga Mulut, 2. Esofagus 3. Lambung 4. Usus Halus 5. Usus Besar 6. Rektum 7. Anus. Rongga Mulut rongga-mulut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan). Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an,

Lebih terperinci

BAHAYA MEROKOK BAGI KESEHATAN

BAHAYA MEROKOK BAGI KESEHATAN BAHAYA MEROKOK BAGI KESEHATAN Disusun Oleh : MOHD ABI RAFDI 21040111130028 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012 BAB 1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Rokok adalah silinder dari kertas berukuran

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR.

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR. PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Temu Salmawati PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

GAMBARAN KEJADIAN GASTRITIS DI RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

GAMBARAN KEJADIAN GASTRITIS DI RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA GAMBARAN KEJADIAN GASTRITIS DI RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA Rismia Agustina, Azizah, Agianto Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Jl. A.Yani Km. 36, Banjarbaru,

Lebih terperinci