BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB I PENDAHULUAN. sering kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU) dan biasanya membutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskular seperti stroke

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan sampai dengan tahun 2020 diprediksikan merupakan penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %.

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem kardiovaskularadalahsalah satu sistemyang paling penting

BAB I. PENDAHULUAN. Pada tahun 2012, diperkirakan sebanyak 17,5 juta orang di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. Refreshing- Acute Coronary Syndrome Stase Interna BLUD SEKARWANGI Page 1

Gambaran Profil Lipid pada Pasien Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama

ABSTRAK... 1 ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia.

SKRIPSI. Oleh : Ratna Murti Ariyani

A. Latar Belakang Masalah

Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat Inap dengan. Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2011

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

HUBUNGAN JENIS SINDROM KORONER AKUT DENGAN KUALITAS HIDUP ASPEK FISIK PASIEN PASCA SERANGAN JANTUNG YANG DIRAWAT DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

GAMBARAN HEMATOLOGI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT YANG DIRAWAT DI BLU RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU MANADO TAHUN 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infark miokard adalah nekrosis miokardial yang berkepanjangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian

Gambaran kadar glukosa darah pada pasien SKA di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari Desember 2014

HUBUNGAN PEMBERIAN TROMBOLITIKDENGAN PENURUNAN ST ELEVASI PADA PASIEN INFARK MIOCARD AKUT DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN. Saifudin Zukhri* ABSTRAC

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: JULIAN KOMALA DEIWI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Evidence-Based Medicine dalam Penatalaksanaan Angina Tidak Stabil

BAB I PENDAHULUAN. ada. 14 Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama penyebab

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka

BAB 1 PENDAHULUAN. yang merajarela dan banyak menelan korban. Namun demikian, perkembangan

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah keadaaan dimana terjadi

Panduan Registri Online

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Departemen kesehatan RI menyatakan bahwa setiap tahunnya lebih

Profil lipid pada wanita dengan sindrom koroner akut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

DAFTAR ISI. Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... v. ABSTRAK... viii. DAFTAR ISI... x. DAFTAR TABEL... xiv

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di negaranegara maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan diseluruh dunia, penyakit kardiovaskuler akan meningkat prevalensinya pada tahun 2020 dan menjadi pembunuh pertama tersering yaitu 36% dari seluruh kematian. Penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Gejala klinis penyakit kardiovaskular diantaranya silent iskemia, angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan kematian mendadak (Hamm dkk., 2011). Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2001 melaporkan bahwa dari tiga orang diseluruh dunia, satu orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Penyakit jantung iskemik dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyakit arteri koroner kronik atau chronic coronary artery disease (CAD) yang sering disebut sebagai angina pektoris stabil (stable angina), dan sindrom koroner akut (SKA) atau acute coronary syndromes (ACS). Sindrom koroner akut merupakan salah satu manifestasi penyakit jantung koroner yang paling utama dan paling sering menyebabkan terjadinya kematian (Lumban Raja, 2013). Sindrom koroner akut disebabkan karena ketidakseimbangan antara pasokan oxigen dan kebutuhan oxigen oleh miokard. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan karena adanya robekan plak ateroskerotik dan berkaitan dengan proses 1

inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil /Unstable angina pectoris (UAP), non-st Elevation myocardial infarction (NSTEMI) maupun ST elevation myocardial infarction (STEMI) (Dipiro dkk., 2008). Management terapi pada sindrom koroner akut (SKA) dilakukan berdasarkan karakteristik SKA yang terjadi yaitu NSTEMI maupun STEMI. Pada STEMI biasanya terjadi karena adanya oklusi/sumbatan mayor pada arteri koroner yang disebabkan oleh trombus, sehingga tujuan terapi pada STEMI yaitu memperbaiki reperfusi jaringan dengan menggunakan trombolisis dan secara mekanik yaitu dengan melakukan PCI (Percutaneous coronary intervention). Sebaliknya pada kasus NSTEMI, biasanya terjadi karena obstruksi pada koroner tidak lengkap atau intermitten, sehingga penggunaan trombolisis tidak direkomendasikan pada keadaan NSTEMI (Latour-Perez dan de-miguel-balsa, 2009). Berdasarkan ESC guideline terapi sindrom koroner akut meliputi anti iskemik, antiplatelet, antikoagulan, dan revaskularisasi koroner (Hamm dkk., 2011). Antikoagulan yang direkomendasikan berdasarkan ESC dan ACC/AHA guideline yaitu UFH, fondaparinux, LMWHs, dan direct thrombin inhibitor (bivalirudin). Antikoagulan dapat menghambat aktivitas trombin, dan mencegah terjadinya trombus, namun antikoagulan yang paling efektif masih diperdebatkan (2007). Penggunaan antikoagulan pada sindrom koroner akut masih kontroversial karena adanya indeks terapi yang sempit, dan adanya risiko efek samping 2

terjadinya perdarahan sehingga diperlukan monitoring yang sangat hati-hati (Murphy dkk., 2007). Unfractionated Heparin (UFH) merupakan antikoagulan standar yang digunakan pada sindrom koroner akut. Namun UFH memiliki indeks terapi yang sempit sehingga diperlukan monitoring terhadap nilai a-ptt secara hati-hati. UFH juga tidak dapat menghambat clot-bound trombin dan berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan aktivitas platelet. Low Molecular Wieght Heparin (LMWH) merupakan bentuk depolimerisasi dari heparin babi. LMWH memiliki efek lemah terhadap trombin. LMWH memiliki profil farmakokinetika yang lebih mudah diprediksi daripada UFH (Unfractionated Heparin), selain itu LMWH juga memiliki risiko yang lebih rendah daripada UFH dalam menyebabkan terjadinya trombositopenia (Steg dan Juliard, 2004). LMWH juga memiliki risiko terjadinya osteoporosis lebih rendah dibandingkan dengan UFH (Cohen, 2003). Beberapa LMWH yang sering digunakan antara lain enoxaparin, nadroparin, dalteparin, dan generasi terbaru LMWH sintetik yaitu fondaparinux. Efektitivitas penggunaan antikoagulan masih diperdebatkan, namun berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan LMWH terbukti lebih efektif dalam mengurangi risiko terjadinya kematian, stroke, dan infark miokard berulang. Penelitian yang dilakukan oleh Sherman et all mengenai The Efficacy and safety of Enoxaparin versus UFH for The Prevention of Venous Thrmboembolism after Acute Ischaemic Stroke (PREVAIL STUDY): an Open Label Randomised Comparison menunjukkan bahwa enoxaparin menurunkan 3

risiko terjadinya tromboembolisme vena sebesar 43% dibandingkan dengan UFH. Risiko perdarahan yang terjadi pada kelompok enoxaparin dan UFH tidak berbeda signifikan (2007). Dalam penelitian A-Z Trial yang membandingkan antara enoxaparin dengan UFH sebagai terapi tambahan pada pasien sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST yang mendapatkan terapi tirofiban menunjukkan bahwa pada kelompok pasien yang mendapatkan terapi tambahan enoxaparin dapat menurunkan RR sebesar 1% kematian, kejadian MI atau iskemik yang berulang pada 7 hari penggunaan dibandingkan dengan UFH (Steg dan Juliard, 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Goodman et all mengenai Randmized Evaluation of Safety and Efficacy of Enoxaparin Vs UFH in High Risk Patients With Non-ST Segment Elevation ACS Receiving The Glycoproten Iib/IIIa Inhibitor Eptifibatide, menunjukkan bahwa luaran primer yang diukur setelah 96 jam yaitu perdarahan yang terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan bypass arteri koroner pada kelompok eptifibatide dan enoxaparin lebih rendah dibandingkan dengan kelompok eptifibatide dan UFH (1.8 % vs 4.6%). Risiko terjadinya perdarahan mayor pada kelompok eptifibatide dan enoxaparin juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok eptifibatide dan UFH (1.1% vs 3.8%) (2003). Penelitian lainnya yang juga membandingkan antara LMWH (enoxaparin) dengan UFH pada pasien dengan elevasi segmen ST infark miokard yang juga mendapatkan terapi klopidogrel yang dilakukan oleh Sabatine et all menunjukkan bahwa enoxaparin secara signifikan dapat menurunkan risiko kematian, kejadian 4

infark miokard berulang, iskemik, dan stroke dibandingkan dengan UFH selama penggunaan 30 hari (2007). Antikoagulan lainya yang seringkali digunakan pada pasien sindrom koroner akut selain LMWH dan UFH adalah fondaparinux. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan fondaparinux memiliki efektivitas yang sama dengan enoxaparin. Yusuf et all dalam penelitiaan mengenai Comparison of Fondaparinux and Enoxaparin in Acute Coronary Syndromes menunjukkan bahwa luaran primer yang diukur diantara kelompok fondaparinux dan enoxaparin menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan, sedangkan kejadian perdarahan setelah 9 hari terapi menunjukkan bahwa fondaparinux memiliki kejadian perdarahan yang lebih rendah dibandingkan dengan enoxaparin (2006). Sebuah penelitian lain yang membandingkan antara fondaparinux dengan enoxaparin menunjukkan bahwa efektivitas fondaparinux dan enoxaparin hampir sama, akan tetapi keamanan fondaparinux lebih besar dibandingkan dengan enoxaparin ditunjukkan dengan adanya terjadinya perdarahan mayor maupun minor pada kelompok fondaparinux lebih rendah dibandingkan dengan enoxaparin. Penelitian ini juga melakukan analisis biaya antara fondaparinux dengan enoxaparin setelah 6 bulan terapi dengan hasil fondaparinux lebih menghemat biaya terapi dibandingkan dengan enoxaparin (Sculpher dkk., 2009). Latour-Perez et all melakukan sebuah penelitian cost-effevtiveness antara fondaparinux dengan enoxaparin dengan hasil yang serupa yaitu bahwa efektivitas fondaparinux dengan enoxaparin hampir sama, dan fondaparinux lebih 5

menghemat biaya berkaitan dengan terjadinya risiko perdarahan yang lebih rendah (2009). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, ada perbedaan antara LMWH dengan UFH dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mencegah terjadinya kematian, stroke, infark miokard berulang pada pengggunaan enoxaparin dan fondaparinux, akan tetapi masih belum adanya penelitian yang membandingkan efektifitas dan biaya fondaparinux dan enoxaparin di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan yaitu: 1. Bagaimana perbandingan efektivitas enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut, dinilai berdasarkan luaran klinis yaitu tidak adanya infark miokard, tidak adanya iskemik dan tidak adanya kematian. 2. Bagaimana perbandingan keamanan enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut, dinilai berdasarkan perdarahan mayor dan minor yang terjadi. 3. Bagaimana perbandingan biaya terapi total pada kelompok enoxaparin dan fondaparinux. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbandingan efektivitas antara enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut dinilai berdasarkan luaran klinis 6

yaitu tidak adanya infark miokard, tidak adanya iskemik dan tidak adanya kematian. 2. Mengetahui perbandingan keamanan antara enoxaparin dengan fondaparinux pada pasien dengan sindrom koroner akut dinilai berdasarkan perdarahan mayor dan minor yang terjadi. 3. Mengetahui perbandingan biaya terapi total antara enoxaparin dengan fondaparinux. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi tenaga medis dapat memberikan masukan khususnya tenaga medis yang bekerja di bagian jantung dalam pemilihan antikoagulan yang lebih efektif, dan aman. 2. Bagi rumah sakit sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan pemilihan antikoagulan di rumah sakit pada era BPJS sehingga akan mempermudah pemilihan terapi yang paling tepat dengan biaya terapi total lebih rendah. 3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan terkait efektifitas, keamanan, dan biaya terapi total pada pasien sindrom koroner akut E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai efektivitas dan analisis biaya enoxaparin dan fondaparinux yang pernah dilakukan pada beberapa negara yang berbeda seperti terlihat pada. 7

Tabel 1. Penelitian mengenai efektivitas dan analisis biaya enoxaparin dan fondaparinux Nama Peneliti dan Tahun Penelitian (Yusuf dkk., 2006) (Sculpher dkk., 2009) (Marcoff dkk., 2009) Judul Penelitian Comparison of Fondaparinux and Enoxaparin in Acute Coronary Syndromes (OASIS 5) Fondaparinux versus Enoxaparin in non STelevation acute coronary syndromes: Short-term cost and long-term analisis biaya using data from the Fifth Organization to Assess Strategies in Acute Ischemic Syndromes Investigators (OASIS-5) trial Cost- Effevtiveness of Enoxaparin in Acute ST- Segment Elevation Myocardial Infarction Metode dan Subyek Penelitian Randomized Control Trial (RCT) Subyek: 20.078 pasien yang diacak untuk mendapatkan Randomized Controled Trial (RCT) Subyek penelitian 20.078 pasien SKA TEST(OASIS-5) pada 41 negara. Rndomized double blind control (RCT) Subyek 20.506 pasien dengan STEMI diacak untuk mendapatkan enoxaparin atau UFH 8 Hasil Penelitian dan Kesimpulan - Outcome primer pada pasien yang mendapatkan fondaparinux dan enoxaparin yaitu 5,8 % dan 5,7 %. - Kejadian perdarahan mayor pada hari ke-9 pada fondaparinux lebih rendah dibandingkan enoxaparin yaitu 2,2 % dan 4,1 %. - Fondaparinux dan enoxaparin setara dalam menurunkan risiko kejadian iskemik pada hari ke-9, tetapi fondaparinux menurunkan risiko terjadinya perdarahan mayor dan meningkatkan mortalitas dan morboditas pada pemakaia jangka panjang - Pada hari ke-180 dengan analisis biaya terapi menunjukkan bahwa fondaparinux secara umum dapat menghemat biaya sebesar $ 547 untuk setiap pasien. - Pada hari ke-180 fondaparinux secara dominan lebih cost-effective, dengan biaya lebih rendah dan lebih efektif dalam QOL pasien - Kejadian kematian atau infark miokard pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan UFH yaitu 9,9 % dan 12 %. - Kejadian perdarahan mayor pada kelompok enoxaparin lebih besar dibandingkan dengan UFH yaitu 2,1 % dan 1,4 %. - ICER enoxaparin dibandingkan dengan UFH adalah $ 5,700 /tahun, dan menggunakan analisis probabilitas menunjukkan bahwa enoxaparin lebih cost-effetive. - Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas enoxaparin dalam

Tabel.1.Lanjutan Nama Judul Penelitian Metode dan Hasil Penelitian dan Kesimpulan Peneliti dan Subyek Penelitian Tahun Penelitian menurunkan kematian, stroke, perdarahan mayor dan minor lebih baik dibandingkan UFH. (Lumban Raja, 2013) Analisis Efektivitas Biaya Terapi Heparin dan Fondaparinux Pada Penderita Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST Kohort prospektif Subyek: 62 pasien SKA TESST (31 pasien heparin dan 31 pasien fondaparinux - Jumlah kematian kelompok heparin vs fondaparinux adalah 6,4% vs 3,2%. - Jumlah yang mengalami stroke kelompok heparin vs fondaparinux adalah 3,2% vs 0%. - Jumlah pendarahan mayor kelompok heparin vs fondaparinux adalah 6,4% vs 0%. - Jumlah pendarahan minor kelompok heparin vs fondaparinux adalah 32,2% vs 6,4%. - Average analisis biaya ratio (ACER) kelompok fondaparinux dibanding heparin adalah Rp. 8.833.736,- vs Rp. 10.878.243, - Fondaparinux lebih cost-effective dibanding heparin Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dalam hal terapi yang dibandingkan yaitu enoxaparin dengan fondaparinux, pemilihan subyek penelitian juga berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu pada pasien dengan sindrom koroner akut (STEMI, dan STEMI), dan pemilihan lokasi penelitian. 9