STUDI TENTANG PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI RPH MALANG

dokumen-dokumen yang mirip
Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

Meilina Waty Aritonang. Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan Provinsi Jambi Jl. Lingkar Barat I Km. 12 No. 78 Kota Baru Kota Jambi

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Implikasi Pengetahuan Ayat Tentang Pemotongan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Terhadap Sapi Bali

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani merupakan salah satu nutrisi yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

KATA PENGANTAR. Dukungan Data yang akurat dan tepat waktu sangat diperlukan. dan telah dilaksanakan serta merupakan indikator kinerja pembangunan

I. PENDAHULUAN. berubah, semula lebih banyak penduduk Indonesia mengkonsumsi karbohidrat namun

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

BAB I IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

Nomor 162 Berita Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2009 WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 162 TAHUN 2009

STRATEGI PENDEKATAN KETERSEDIAAN DAGING NASIONAL DI INDONESIA. Oleh: Rochadi Tawaf dan Hasni Arief ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

PEMERINTAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK NOMOR 06 TAHUN 1995 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN GAYO LUES

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

Analisis Break Even Point (BEP) Usahatani Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Sleman

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN

1 of 5 02/09/09 11:07

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

Kondisi Tempat Pemotongan Hewan Bandar Buat Sebagai Penyangga Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Padang

UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN [LN 2009/84, TLN 5015]

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2007

BUPATI GIANYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GIANYAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

STUDI TENTANG PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI RPH MALANG Bambang Soejosopoetro Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Dari hasil penelitian [Case Study] selama 2 bulan diperoleh data primer pemotongan sapi betina PO di RPH Singosari 76 ekor terdiri dari PI 2 = 4 ekor; PI 3 ; 8 ekor; dan PI 4 = 14 ekor. Sapi betina PFH afkir [ PI 4 ] = 50 ekor. Data pemotongan sapi betina PO RPH Gadang 123 ekor terdiri dari PI 2 = 7 ekor PI 3 = 25; PI 4 =35 dan betina PFH afkir [ PI 4 ] =56 ekor. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Total pemotongan sapi betina selama 2 bulan di 2 RPH 199 ekor dengan jumlah pemotongan sapi betina umur produktif relatif tinggi, yaitu di RPH Singosari 15,10% dan RPH Gadang 26 %. Kata kunci : Umur produktif, PI THE STUDY OF PRODUCTIVE COW SLAUGHTERING AT RPH MALANG ABSTRACT Primary data of 76 slaughter PO cows in RPH Singosari which is consisted PI2= 4 heads; PI3= 8 heads; and PI 4 = 14 heads is resulted from two months research [Case Study ]. The number of unproductive PFH cows [ PI4] is 50 heads. PO cows slaughtering data in RPH Gadang is 123 heads that consist of PI 2 = 7 heads, PI 3 = 25 heads, PI 4 =35 heads and unproductive PFH [ PI 4 ] is 56 heads. The results indicate that the total of slaughter cows for two months in RPH is 199 heads with the number of slaughter productive cow is relatively high, 15.10% in RPH Singosari and 26% in RPH Gadang. Key words : productive age, PI PENDAHULUAN Sapi potong mempunyai peran penting yang sangat besar bagi kehidupan rakyat Indonesia yaitu sebagai penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan nutrisi asal ternak juga meyerap tenaga kerja terutama terutama di pedesaan. Dalam usaha meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong, kontrol terhadap pemotongan sapi-sapi betina adalah sangat penting peranannya terhadap perkembangan populasi. sehingga kelesatrian populasi dapat dijaga dengan baik. Yang dimaksud pemotongan sapi-sapi betina ini adalah sapi-sapi betina dalam strata umur produktif yaitu umur 1 tahun sampai dengan umur 5 tahun, strata umur ini merupakan kondisi pencapaian laju produksi puncak [peak product] sapi betina untuk 22

menghasilkan produksi terbaik/[optimum.] Kebutuhan permintaan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, sehingsga menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai breed juga semkin meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.. Suswono [ 2009 ], konsumsi daging sapi secara nasional pada tahun 2009 adalah 32.500 ton/tahun,sedangkan produksi daging sapi secara nasional baru tercapai 250.800 ton/tahun. Untuk menutupi kekurangan tersebut Indonesia mengimpor kurang lebih 70.000 ton daging sapi dan 630.000 ekor sapi bakalan/tahun diperkirakan produksi daging sapi dalam negeri pada tahun 2014 mencapai 435.800 ton, sedangkan konsumsi mencapai 467.00 ton [Suswono, 2009]. Soejosopoetro [2008], pemotongan ternak yang tidak terkendali menjadi bumerang menurunnya populasi sapi potong dengan cepat. Faktor-faktor penyebab penurunan populasi sapi sapi yang cepat disebabkan antara lain oleh : 1. Faktor pelanggaran pemotongan sapi betina umur produkstif yang fertile masih banyak dilakukan. 2. Tidak cukup tersedia sumber bibit sapi potong yang baik dan kontinyu. 2. Sumber daya dukung lahan dan hijauan pakan ternak yang berkulaitas secara merata. 3.Faktor pendapatan peternak kecil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari menyebabkan ternak betina produktif yang dimiliki untuk dijual dan kemudian sapi tersebut dipotong oleh pemilik baru untuk daging. 4. Faktor laju pertumbuhan populasi yang lebih lambat dari kebutuhan. 5. Jumlah kelahiran anak yang rendah per tahun. Sehingga menyebabkan laju pertumbuhan populasi lebih lambat untuk memenuhi kebutuhan. Tjeppy [ 2009 ]. Jumlah kelahiran anak sapi per tahun sebesar 1,7 juta ekor, sedangkan kebutuhan sapi potong 2,1 juta ekor/tahun, saat ini populasi sapi potong 10,5 juta 11 juta ekor. Untuk Jawa Timur saja jumlah sapi yang dipotong mulai tahun 2002 2006 terus meningkat seperti berikut tahun 2002 : 332.444 ekor; tahun 2003 :333.035 ekor: tahun 2004 : 335.867 ekor: tahun 2005 : 336.595 ekor dan tahun 2006 : 338.950 ekor Pemotongan sapi potong, sapi perah dan kerbau di Jawa Timur pada tahun 2006 sebagai berikut: sapi potong 338.950 ekor; sapi perah 36.908 ekor dan kerbau 2.325 ekor. Sedangkan jumlah sapi potong di Malang pada tahun 2006 adalah 113.985 ekor. Pemerintah mengakui tingkat pemotongan sapi lokal betina produktif masih tinggi mencapai 200.000 ekor per tahun dan untuk pencegahan dibutuhkan dana Rp.2,5 triliun,- [Anonymous, 2010]. Memotong ternak ruminansia betina produktif dapat terkena sanksi pidana. Ketentuan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam Pasal 87 RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan disebutkan, bahwa setiap orang yang menyembelih ternak ruminansia yang masih produktif sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat [1] dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 [enam] bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 50 juta,- Materi yang tertuang dalam RUU J. Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011 23

tersebut untuk mencegah senakin berkurangnya ternak ruminansia di dalam negeri. Meskipun ada sanksi pidana atau denda bersifat spektajuker yang bisa menimbulkan ketakutan orang untk beternak sapi, sanksinya wajar [ Tjeppy, 2009]. RPH selain untuk kendali penyakit hewan yang bersifat zoonosis, memudahkan distribusi daging hasil pemotongan dan kendali lingkungan yang baik dari limbah pemotongan, sebenarnya juga merupakan tempat pengendali tidak dipotongnya sapi-sapi betina produktif. Tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi kasus pemotongan sapi-sapi betina produktif. Sapi potong pada umur produktif boleh dipotong dengan syarat antara lain, cacat fisik dan tidap dapat difungsikan dengan baik seperti patah tulang kaki dan disfunsional organ reproduksi [Soejosopoetro [2008.]. Pelanggaran pemotongan sapi betinan produktif adalah pelanggaran peraturan-peraturan yang telah digariskan, hal ini disebabkan etor kera yang kurang benar, baik oleh petugas pemegang hak dan pemilik ternak. METODA PENELITIAN Metoda peneltian dengan menggunakan case study, dilakukan di RPH Singosari dan Gadang.. Sampel yang diperoleh dan diamati meliputi 2 bangsa sapi betina PO dan PFH. Untuk mendapatkan data primer sesuai dengan fakta dilapangan selama pengamatan menggunakan Secret tecnical sampling artinya data primer yang diambil selain merupakan betina nonproduktif, adalah betina ketegori produktif dicatat tanpa sepengetahuan otorita di RPH sehinga data yang diperoleh lebih valid.. Analisa data menggunakan diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian diperoleh data dengan jumlah pemotongan sapi betina PO dan PFH 199 ekor. Jumlah pemotongan sapi betina di masingmasing lokasi sesuai dengan umur PI dan bangsa seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil data pemotongan sapi betina sesuai dengan breed dan umur No Umur [PI] RPH Singosari RPH Gadang PO [ekor] PFH [ekor] PO [ekor] PFH [ekor] 1 PI 2 4-7 - 2 PI 3 8-25 - 3 PI 4 14 50 35 56 JUMLAH : 76 123 TOTAL KESELURUHAN : 199 Dalam pengamatan fisik menunjukkan bahwa betina produktif yang dipotong masih dalam kondisi baik, baik pada pemeriksaan organ reproduksi [premartum dan post martum] maupun kesehatan fisik secara visual. Pada Tabel terlihat jumlah pemotongan sapi betina dari ke dua bangsa pada 2 lokasi RPH yang berbeda masing-masing dengan total pemotongan PO betina di RPH Singosari 26 ekor dengan umur produktif yang dipotong 12 ekor [46%] dari jumlah betina yang dipotong atau 24

15,10% dari jumlah betina ke dua bangsa yang dipotong.. Sedangkan di RPH Gadang PO betina yang dipotong 67 ekor dengan betina umur produktif yang dipotong 32 ekor [48 % dari jumlah PO betina yang dipotong] atau 26% dari jumlah betina ke dua bangsa yang dipotong. Kalau dihitung total PO betina umur produktif yang dipotong di dua RPH adalah 44 ekor atau 22,11% dari seluruh betina ke dua bangsa yang dipotong selama 2 bulan. Dari hasil ini masih menunjukkan pelanggaran pemotongan betina produktif cukup tinggi. Sedangkan hasil penelitian dari Sukotjo, Soejosopoetro dan Surjowardojo [ 1997] sapi umur produktif yang dipotong di RPH Tulungagung 23,69 %. Jadi dari ke dua penelitian tetap menujukkan bahwa pemotongan sapi betina umur produktif masih tinggi. Dengan tingginya pemotongan betina produktif menyebabkan laju pertambahan populasi menjadi lambat. Rendahnya tingkat kelahiran yang tidak mampu mengimbangi tingkat pemotongan dan kematian dan faktor lain menyebabkan populasi ternak sapi semakin cepat menurun. Kemungkinan lain terjadinya pemotongan betina produktif adalah faktor-faktor 1. atas dasar permintaan pemotongan sapi betina yang lebih muda. 2. Penjualan sapi betina produktif oleh peternak di pedesaan karena untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya karena tidak mempunyai uang cash. Atmadilaga [1983], bahwa kurangnya efektivitas dan efisiensi reproduksi di satu pihak dan arus permintaan yang tinggi dipihak lain mempunyai implikasi terhadap populasi sapi dan kerbau pada golongan usia produktif. Agung, Djojowidagdo, Arito dan Sunardi. [1981].bahwa imbangan jumlah pemotongan dengan populasi tidak melampau batas toleransi yaitu sebesar 12%. Apabila persentase pemotongan melebih batas toleransi, maka akan mengganggu suplai sapi potong dan upaya peningkatan populasi sapi potong. Dari hasil analisa penelitian juga menunjukkan bahwa pemotong di RPH dapat menggambarkan subpopulasi pemotongan betina produktif telah malampaui ambang batas toleransi 12%. Dengan adanya penelitian di dua tempat Malang dan Tulungagung dengan /tahun dan waktu yang berbeda jauh, jumlah pemotongn betina produktif masih menunjukkan tren naik dengan jumlah pemotongan melampaui ambang batas toleransi. Dengan adanyau RUU tidak diperbolehkan pemotongan betina produktif bagi pelaku hanyalah suatu wacana saja. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Masih terjadi pelanggaran/pengabaian peraturan pemotongan sapi/ternak betina umur produktif yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 2. Jumlah pemotongan sapi betina produktif seperti PO masih tinggi dengan melampaui mbang batas keamanan dalam kelestarian dan pengembangan populasinya [jauh di atas 12 %] Saran 1.Memperbaiki peraturan dalam pemotongan ternak sehingga peluang pemotongan sapi umur produktif minimal dapat dikurangi. J. Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011 25

2. Memberikan sanksi yang lebih berat kepada semua pelaku pelanggaran peraturan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1979. Instruksi menteri dalam negeri dan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.18 th.1978, No.05/Ins/Um/3/1979. Jakarta.,2007. http://www.disnakjatim.go/data/pemotongan-hewanternak.htm. Laporan tahunan Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur 2003-2007. Anonymous. 2010 Data pemotongan hewan betina produktif. Pemptec. Jakarta. Agung K., Djojowidagdo, S., Arito dan Sunardi. 1981.Inventarisasi polusi supply ternak potong. Kerjasama Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Atmadilaga, D. 1983. Ruminansia besar dalam perspektif sistem pembangunan di Indonesia. Proceedings. Pertemuan ilmiah ruminansia besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor. Soejosopoetro.2008. Produksi ternak potong. Lab. Ternak Potong. Fapet Unibraw. Malang Sukotjo, Soejosopoetro dan Surjowardojo. 1997. Studi pemotongan sapi betina dan persentase karkas di RPH Kabupaten Tulungagung.Fapet UB.Malang. Suswono. 2009. Pemotongan sapi lokal produktif. Departemen Pertanian. Jakarta. Tjeppy D. Soedjana. 2009. RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktur Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta 26