ANALISIS PENGARUH FREKUENSI MENONTON BLUE FILM TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PORNOGRAFI PADA SISWA KELAS VIII DI SMPN 5 LEMBANG

DAMPAK PORNOGRAFI TERHADAP PERILAKU SISWA DAN UPAYA GURU PEMBIMBING UNTUK MENGATASINYA

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

SEMINAR BAHAYA PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB V HASIL PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. Penyebaran pornografi saat ini erat hubunganya dengan perkembangan teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa,

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyebaran arus informasi yang tidak terbatas dan dibatasi menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

Ringkasan Putusan.

BAB III PENYAJIAN DATA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Perguruan tinggi II. Pertanyaan tentang Pengetahuan 1. Menurut anda apakah yang dimaksud dengan internet?

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

Rina Indah Agustina ABSTRAK

PERSEPSI REMAJA TENTANG FILM PORNO STUDI KASUS DI SMK NURI SAMARINDA. Perception of Teenagers about Porn Movies: A Case Study in SMK Nuri Samarinda

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB VI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN TINGKAT KETERDEDAHAN

BAB I PENDAHULUAN. terlanjur jauh sehingga anak mencari sumber-sumber lain yang tidak akurat,

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Website Perwalian Stikom Surabaya merupakan website yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BUPATI BLITAR. PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BAB 1: PENDAHULUAN. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan tubuh.

HUBUNGAN PAPARAN PORNOGRAFI MELALUI ELEKTRONIK TERHADAP PERILAKU SEKSUAL REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu teknologi yang popular digunakan saat ini adalah internet, yaitu

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR: 27 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA WARUNG INTERNET DAN GAME ONLINE DI KABUPATEN SRAGEN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun Children s Television Act of 1990 telah membatasi program televisi

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran media massa sangat membantu masyarakat dalam memperoleh

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada masa remaja umumnya anak telah mulai menemukan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. dari kehidupan sehari-hari baik dari orang tua maupun anak-anak sekalipun.

BAB I PENDAHULUAN. muatan ilmu pengetahuan, tetapi secara negatif juga bermuatan materi pornografi

BAB 1 PENDAHULUAN. penerus perjuangan bangsa saat ini dan pemimpin masa depan. Karena remaja adalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa atau 60 %.

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari aspek fisik

BAB V TERPAAN TAYANGAN JIKA AKU MENJADI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB IV HASIL PENELITIAN. 1. Karakteristik Responden Menurut Usia. responden adalah 9 tahun dan tertinggi 15 tahun. Selanjutnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).

PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Media Informasi Cenderung Meningkatkan perilaku seks Pada Remaja SMP di Jakarta Selatan

Efek Tayangan Pornografi di Internet Pada Perilaku Remaja di Desa Suka Maju Kecamatan Tenggarong Seberang. Nur Anisah 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN MENONTON ACARA TELEVISI DENGAN PELANGGARAN KEDISIPLINAN BELAJAR SISWA KELAS XSMK PGRI 4 KOTA KEDIRI SKRIPSI

PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP GAYA HIDUP SISWA SMA NEGERI 5 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi,

DAFTAR ISI. Halaman Persetujuan Skripsi... Halaman Pengesahan... Halaman Pernyataan Etika Akademik... Halaman Motto... Kata Pengantar... Daftar Isi...

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. tradisi baru dalam pola hidup masyarakat kita. televisi yang menghasilkan audio (suara) dan visualisasi (gambar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

KEEFEKTIFAN BIMBINGAN KLASIKAL BERBANTUAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERNIKAHAN USIA DINI. Muhammad Arif Budiman S

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner akan. dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengamhi penyerapan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat modernisasi di segala

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET

Main. Course Title This is the slide title PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK. Disampaikan di BP3AKKB Jawa Barat 12 Februari 2014

2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

BAB III METODE PENELITIAN. ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. hanya terjadi di Barat saja yang kehidupannya memang serba bebas,

Nanda Agus Budiono/ Bonaventura Satya Bharata, SIP., M.Si

1. Pada pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi UU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku seksual di kalangan remaja cukup menjadi sorotan akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. dan film terhadap masyarakat, hubungan antara televisi, film dan masyarakat

Pendahuluan. Bab I. A. Latar Belakang. Kebutuhan manusia akan komunikasi dan informasi pada zaman modern ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB III PENYAJAN DATA

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar)

Lina Afiyanti 2, Retno Mawarti 3 INTISARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ABSTRACT ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR TENTANG IZIN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

Transkripsi:

Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 ANALISIS PENGARUH FREKUENSI MENONTON BLUE FILM TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA Andi Nurhayati 1, Laras Wangi 2, Bobby Poerwanto 3 Mahasiswa Teknik Informatika FTKOM UNCP 1,2,Teknik Informatika FTKOM UNCP 3 andinurhayati991@gmail.com 1, lharaswangi26@yahoo.co.id 2, bobbypoerwanto@uncp.ac.id 3 Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi/ pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Blue film dapat mempengaruhi sikap dan perilaku remaja/siswa dimana sikap dan perilaku tersebut dapat terjadi apabila terdapat dorongan dalam diri remaja untuk menyaksikan tayangan dan mengitimasi hal-hal yang terdapat dalam blue film. Sebenarnya film merupakan hiburan yang murah dan praktis. Akan tetapi dengan semakin banyaknya blue film, seperti kecenderungan remaja/siswa menonton blue film akan mengakibatkan siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar, sehingga hasil belajarnya rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frukensi menonton blue film terhadap hasil belajar. Dari 38 responden laki-laki didapatkan hasil koefisien korelasi sebesar -0.675 berarti pengaruhnya dalam kategori kuat/tinggi. Model regresi yang didapatkan adalah y= 3.78-0.173x. Hal ini berarti frekuensi menonton film porno memberikan kontribusi sebesar 0.173 terhadap penurunan nilai IPK. Sedangkan untuk perempuan terdapat 85 responden dan didapatkan hasil koefisien korelasi sebesar -0,878. Hal ini berarti frekuensi menonton blue film mempunyai pengaruh yang sangat tinggi/sangat kuat terhadap hasil belajar. Untuk analisis regresi didapatkan model y= 3,91-0,376x, yang berarti bahwa frekuensi menonton blue film berkontribusi sebesar 0,376 terhadap penurunan hasil belajar. Kata Kunci: Blue film, analisis korelasi, analisis regresi 1. Pendahuluan Dewasa ini teknologi telah berkembang dengan pesat. Hampir setiap orang di seluruh dunia telah merasakan dampak dari pesatnya perkembangan teknologi yang ada. Namun, kemajuan teknologi ibarat dua sisi pisau, disatu sisi dapat menguntungkan dan disatu sisi dapat merugikan. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari pesatnya perkembangan teknologi adalah mudahnya mengakses pornografi. Menurut UU No. 44 Tahun 2008 Pasal 1, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi/ pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat [1]. Di Indonesia, pornografi sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia di berbagai kalangan usia, utamanya di kalangan remaja atau bahkan anak-anak. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak menegaskan bahwa Indonesia adalah negara pembuat dan pengguna situs porno terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Turki. Sejak tahun 2005, Indonesia dalam 10 negara yang paling banyak mengakses situs Halaman 218 dari 896

Andi Nurhayati, Laras Wangi, Bobby Poerwanto porno. Pada tahun 2006, Indonesia berada pada posisi ke-7, tahun 2007 di posisi ke- 5, dan tahun 2009 di posisi ke-3. Data tahun 2011 peringkat Indonesia cenderung meningkat seiring dengan pesatnya pengguna internet yang mencapai 55,2 juta orang yang kebanyakan remaja [2]. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suyatno [3] didapatkan bahwa 96% siswa Sekolah Menengah pernah menonton blue film. Hal ini juga hampir serupa dengan survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010 bahwa 97% remaja pernah menonton atau mengakses materi pornografi, 93% remaja pernah berciuman, 62,7% remaja pernah berhubungan badan dan 21% remaja Indonesia telah melakukan aborsi. Sementara itu, hasil survei dari Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 anak SD usia 9-12 tahun di Jabodetabek, diperoleh data bahwa 80% dari mereka sudah mengakses materi pornografi dari berbagai sumber, seperti komik, VCD/DVD dan situs-situs porno [4]. Kebanyakan remaja mengakses blue film melalui berbagai media, seperti internet, smartphone, DVD, dan media lainnya dimana kesemua media tersebut tidak bisa terlepas dari kalangan remaja sekarang. Sebagai akibatnya, ada berbagai dampak yang akan ditimbulkan akibat menonton blue film pada remaja. Salah satu efek menonton blue film yang akan ditimbulkan adalah menurunnya prestasi belajar siswa itu sendiri. Menurut RP Borrong dalam Mudjiran dan Syukur, Yarmis [5] film porno dapat mempengaruhi sikap dan perilaku remaja/siswa dimana sikap dan perilaku tersebut dapat terjadi apabila terdapat dorongan dalam diri remaja untuk menyaksikan tayangan dan mengitimasi hal-hal yang terdapat dalam film porno. Sebenarnya film merupakan hiburan yang murah dan praktis. Akan tetapi dengan semakin banyaknya film porno, seperti kecenderungan remaja/siswa menonton film porno akan mengakibatkan siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar, sehingga hasil belajarnya rendah. Pada remaja yang memiliki IQ tinggi, pornografi bisa mengakibatkan mereka kesulitan untuk membangkitkan konsentrasi belajar dan beraktivitasnya, karena hariharinya didominasi oleh kegelisahan dan sedikit sekali produktivitasnya. Parahnya lagi jika hal ini terjadi pada remaja yang memiliki IQ yang rendah, pengaruhnya bisa lebih besar lagi, mereka tidak bisa sama sekali untuk berkonsentrasi karena hariharinya total dikuasai oleh kegelisahan. Pornografi yang ditonton remaja merupakan sensasi seksual yang diterima sebelum waktunya, sehingga yang terjadi adalah mengendapnya kesan mendalam di bawah otak sadar yang bisa membuat mereka sulit Halaman 219 dari 896

Analisis Pengaruh Frekuensi Menonton Blue Film Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa berkonsentrasi, tidak fokus, malas belajar, tidak bergairah melakukan aktivitas yang semestinya, hingga mengalami shock dan diseorientasi [5]. Dari penjelasan yang telah dipaparkan, hal tersebut yang menjadi latar belakang penelitian ini, yakni untuk mengetahui pengaruh frekuensi menonton blue film terhadap prestasi belajar siswa. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada pengaruh frekuensi menonton blue film terhadap prestasi belajar mahasiswa. 2. Metode Penelitian Terdapat tiga rancangan kegiatan pada penelitian ini, yaitu: Input, Proses, dan Outcomes, yang dapat digambarkan sebagai berikut: Input Teori Pendukung Data Lapangan Proses Aplikasi Teori Analisis Data Outcomes Hasil Penelitian Analisis Pembahasan Input dari penelitian ini adalah teori pendukung yang diperoleh dari hasil studi literatur yang relevan serta data lapangan yang dikumpulkan dengan membagikan kuisioner terkait dengan masalah yang diteliti. Prosesnya ialah aplikasi teori serta analisis data dari kuisioner yang telah dibagikan ke responden. Adapun output dari penelitian ini ialah hasil penelitian yang didapatkan dari kuisioner dan analisis data serta analisis pembahasan dari hasil penelitian yang ada. Dalam penelitian yang dilakukan pada Senin, 02 Mei 2016 dan bertempat di Universitas Cokroaminoto Palopo, yang menjadi objek penelitian penelitian ialah mahasiswa(i) Fakultas Teknik Komputer UNCP. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan kuisioner. Dalam penelitian ini, kuisioner dibuat untuk mengetahui apakah mahasiswa pernah menonton blue film, frekuensi melihat blue film dalam seminggu, media yang digunakan, yang kemudian akan dihubungkan dengan hasil belajar, berupa IPK. Ada dua variabel yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya: Frekuensi menonton blue film (X) yang didefinisikan sebagai lama seseorang menonton blue film dalam satuan jam/minggu serta hasil belajar (Y) yang didefinisikan sebagai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Adapun teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini ada dua. Pertama, teknik analisis data korelasi, dimana teknik analisis data ini digunakan untuk mengetahui hubungan frekuensi menonton blue film dengan prestasi belajar Halaman 220 dari 896

Andi Nurhayati, Laras Wangi, Bobby Poerwanto mahasiswa. Setelah diketahui hubungan frekuensi menonton blue film dengan prestasi belajar mahasiswa, maka teknik analisis data kedua yang digunakan ialah teknik analisis regresi linear sederhana, dimana teknik analisis data ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh frekuensi seseorang menonton blue film dengan prestasi belajar mahasiswa. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh frekuensi menonton blue film terhadap hasil belajar mahasiswa, secara umum ada 123 responden mahasiswa semester II, IV, VI, dan VIII yang terdiri dari 38 responden laki-laki dan 85 responden perempuan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan melalui kuisioner, ditemukan 74 mahasiswa(i) yang mengaku pernah menonton blue film dengan persentase sebesar 60,97%. Persentase Mahasiswa ( i ) yang Pernah /Tidak Pernah Menonton Blue Film 39.03 % 60.97 % Pernah Tidak Pernah Gambar 1. Grafik Persentase Mahasiswa(i) yang Pernah/Tidak Pernah Menonton Blue Film Dari 74 mahasiswa tersebut, mereka kebanyakan menonton blue film dari berbagai media, dengan rincian 52,70% orang menonton blue film melalui internet, 39,12% orang yang mengakses melalui media smartphone, dan 2,70% orang yang mengakses melalui media lain. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi memberikan distribusi terhadap penyebaran pornografi yang ada. Sehingga makin tinggi tingkat kecanggihan dari suatu teknologi maka semakin tinggi pula media tersebut digunakan untuk mengakses pornografi. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Wati, Fenny Agustina [6] bahwa beberapa informan mengaku sering melihat temannya menonton blue film di internet sehingga timbul rasa Halaman 221 dari 896

Analisis Pengaruh Frekuensi Menonton Blue Film Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa ketertarikan untuk menonton blue film juga melalui jaringan internet, salah satunya situs Youtube. Mereka juga mengaku bahwa saat ini film porno lebih mudah didapat dengan cara mendownload maupun menonton blue film melalui smartphone. Sehingga hal inilah yang menyebabkan seseorang cenderung menonton blue film melalui media yang canggih karena aksesnya yang mudah didapatkan. Media yang Digunakan untuk Menonton Blue Film 2.70 % 39.12 % 52.70 % Internet Smartphone Lainnya Gambar 2. Grafik Media yang Digunak an untuk Menonton Blue Film Dalam penelitian ini, dilakukan pemisahan antara responden laki-laki dan responden perempuan dalam melakukan penganalisisan data. Hal ini dikarenakan tingkat kecenderungan antara laki-laki dan perempuan dalam menonton blue film berbeda. Adapun aplikasi yang digunakan dalam menganalisis data yang ada adalah dengan menggunakan minitab. Dari 38 responden laki-laki, ada sekitar 89,47% yang pernah menonton blue film dan sisanya, 10,53% yang sama sekali tidak pernah menonton blue film. Halaman 222 dari 896

Andi Nurhayati, Laras Wangi, Bobby Poerwanto Persentase Mahasiswa yang Pernah/Tidak Pernah Menonton Blue Film 10.53 % 89.47 % Pernah Tidak Pernah Gambar 3. Grafik Persentase Mahasiswa yang Pernah/Tidak Pernah Menonton Blue Film Dari 34 mahasiswa yang mengaku pernah menonton blue film, ada 20 orang yang mengakses lewat internet, 9 orang yang mengakses lewat smartphone, dan 1 orang yang mengakses lewat media lain. Tabel 1. Tabel Analisis Data untuk Responden Laki-Laki Pengukuran Nilai Koefisien Korelasi (R) -0,675 Model Regresi y= 3,78 0,173X Koefisien Determinasi R 2 = 45,5 % Berdasarkan data yang telah didapatkan, maka untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara lama seseorang menonton blue film dengan hasil belajar mahasiswa, maka digunakan analisis korelasi. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa tingkat korelasinya berbanding terbalik. Sehingga, makin lama seseorang menonton blue film, maka hasil belajar mahasiswa akan semakin menurun. Berdasarkan nilai interval korelasi yang ada, nilai -0,675 ini berada pada interval yang menunjukkan bahwa korelasi antara lama seseorang menonton blue film dengan hasil belajar siswa memiliki hubungan yang tinggi/kuat [7]. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh lama seseorang menonton blue film dengan hasil belajar mahasiswa, maka digunakan analisis regresi linear sederhana. Hasil analisis menunjukkan bahwa model regresi pada responden lakilaki adalah y=3,78-0,173x. Hal ini menunjukkan bahwa jika lama seseorang menonton bertambah selama satu jam, maka hal ini juga akan berdampak pada menurunnya hasil belajar mahasiswa sebesar 0,173. Sementara itu, untuk mengetahui seberapa besar Halaman 223 dari 896

Analisis Pengaruh Frekuensi Menonton Blue Film Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa variabel yang bisa dijelaskan oleh model regresi, maka digunakan koefisien determinasi (R 2 ). Untuk responden laki-laki, didapatkan nilai R 2 sebesar 45,5%. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi menjelaskan variabel independent sebesar 45,5%. Sementara itu, dari 85 responden perempuan, ada 48,23% yang mengaku pernah menonton blue film. Kebanyakan dari mereka juga menonton blue film dengan menggunakan media yang sama, yakni berupa internet, smartphone, dan media lainnya. Dari media tersebut, ada 19 orang yang menonton blue film melalui internet, 20 orang menonton melalui smartphone, dan 1 orang menggunakan media lain untuk menonton blue film. Persentase Mahasiswi yang Pernah/Tidak Pernah Menonton Blue Film 51.77 % 48.23 % Pernah Tidak Pernah Gambar 4. Grafik Persentase Mahasisw i yang Pernah/Tidak Pernah Menonton Blue Film Sama halnya pada responden laki-laki, tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat koefisien korelasinya juga berbanding terbalik, sehingga makin lama seseorang menonton blue film maka hal tersebut juga akan mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,878 dapat menunjukkan bahwa korelasi antara lama seseorang menonton blue film dengan hasil belajar mahasiswa berada pada interval yang sangat kuat/sangat tinggi [7]. Model analisis regresi juga menunjukkan bahwa jika seseorang menonton blue film bertambah satu jam, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya hasil belajar mahasiswa sebesar 0,376. Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar model regresi dapat menjelaskan variabel independent, maka digunakan koefisien determinasi, dimana koefisien determinasi untuk responden perempuan memiliki nilai sebesar 76,4%. Halaman 224 dari 896

Andi Nurhayati, Laras Wangi, Bobby Poerwanto 4. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh frekuensi menonton blue film terhadap hasil belajar mahasiswa, dimana dari 123 responden yang ada, 74 diantaranya pernah menonton blue film. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang tengah berkembang pesat saat ini, seperti internet dan smartphone. Dari hasil analisis data didapatkan bahwa kedua tingkat korelasinya berbanding terbalik, yang berarti bahwa semakin lama seseorang menonton blue film, maka hasil belajarnya juga akan semakin menurun. Untuk itu, dalam rangka mengurangi dampak dari menonton blue film ini, ada beberapa saran yang dapat dilakukan, seperti berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuka blue film dengan menyadari bahwa dengan menonton blue film, maka hal tersebut juga akan berdampak pada hasil belajar. Selain itu, pada penelitian ini total responden masih dalam skala yang kecil sehingga akan lebih baik jika responden diperbanyak lagi pada penelitian selanjutnya agar hasil penelitian bisa menunjukkan hasil yang lebih signifikan lagi, sehingga bisa dilihat perbedaannya. Daftar Pustaka [1] [RI] Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sekretariat Negara. Jakarta [2] Kompas. 2012. Situs Porno Makin Mengkhawatirkan. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/16/02354152/situs.porno.k ian.mengkhawatirkan. Diakses pada Rabu, 4 Mei 2016 [3] Suyatno, Tri. 2011. Pengaruh Pornografi terhadap Perilaku Belajar Siswa (Studi Kasus: Sekolah Menengah X).Jurnal Pendidikan: Dompet Dhuafa Edisi I. Hal 1-12. [4] Misrawati, Yutifa, Hasli, dan Dewi, Ari Pristiana. 2015. Hubungan Paparan Pornografi melalui Elektronik Terhadap Perilaku Seksual Remaja.Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau JurnalJOM Vol 2 No 2.Hal 1141-1148 [5] Mudjiran, Syukur, Yarmis dan Haryani, Mulya. 2012. Dampak Pornografi Terhadap Perilaku Siswa dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya.Universitas Negeri Padang Jurnal Ilmiah Konseling Volume 1 No.1. Hal 1-8 [6] Wati, Fenny Agustina. 2013. Persepsi Remaja Tentang Film Porno Studi Kasus di SMK Nuri Samarinda. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Mulawarman. ejurnal Sosiatri-Sosiologi Volume 1 No 3. Hal 110 [7] Purnomo, Singgih. 2014. Koefisien Korelasi Cramer dan Koefisien Korelasi PHI serta Penerapannya. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi Halaman 225 dari 896