BAB VI SISTEM LANGGAN DAN PERUBAHANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V LANGGAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

BAB VII FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN PADA LANGGAN

BAB VIII PENUTUP. I dan desa Muara II. Desa Muara I masuk kedalam areal kawasan kabupaten

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

VII KESIMPULAN DAN SARAN

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG

Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 20 TAHUN 2010 SERI : C NOMOR : 1

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dirubah yakni dari ikan yang dijual sendiri-sendiri menjadi ikan dijual secara lelang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN TAHUNAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI PATI PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. sebagai nelayan. Masyarakat nelayan memiliki tradisi yang berbeda. setempat sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 5 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN PANTAI

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

Salinan NO: 5/LD/2009

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2011 NOMOR : 12 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BATANG. Tahun 2009 Nomor 4 Seri CA Nomor 13 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BATANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTANN TENGAH

1. Dr. Dra. Zuzy Anna, M.Si 1. Ine Maulina, S.Pi,. M.T 2. Ir. Hj. Nia Kurniawati, M.Si

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PEMERINTAH KABUPATEN BURU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PP 4/1998, TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PETA LOKASI PENELITIAN 105

BAB III PELAKSANAAN JUAL BELI NGNGREYENG DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) MINA UTAMA KECAMATAN BONANG KABUPATEN DEMAK

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 8 TAHUN 2009 SERI C.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2012 Seri : C

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG

TENTANG BUPATI PATI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. I. Implementasi Sistem Informasi atas Pembelian dan Penjualan pada CV.

Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan perikanan tangkap di Desa Majakerta, Indramayu, Jawa Barat

BAB IV PEMBAHASAN. Realisasi Tunggakan Pajak yang Lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB II LANDASAN TEORI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL

BAB VII KETERKAITAN ANTARA SEKTOR PERTANIAN DAN LUAR PERTANIAN DI PULAU PRAMUKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 4/1998, TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sampailah pada hasil kesimpulan dari penulisan Tugas Akhir ini dengan

AKUNTANSI KEWAJIBAN LANCAR DAN PENGGAJIAN

LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masyarakat nelayan desa pesisir identik dengan kemiskinan,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 07 TAHUN 2009

VI. AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA

Transkripsi:

BAB VI SISTEM LANGGAN DAN PERUBAHANNYA 6.1. Mekanisme Sistem Di Desa Muara-Binuangeun Proses kerjasama antara nelayan dengan ditandai dengan adanya serangkaian mekanisme yang terstruktur yang dimulai dengan adanya suatu perjanjian mengenai modal yang akan dipinjam oleh nelayan pada sampai dengan kesepakatan bunga yang harus dibayar oleh nelayan sesuai dengan modal yang dipinjam oleh nelayan setelah selesai melaut atau di hari kemudian (jika utang tersebut belum dapat dilunasi pada hari itu). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa nelayan banyak dirugikan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam sistem yang diterapkan oleh. Nelayan desa Muara mah, apong daek dibere harga murah ku, nu akhirna maranehna dirugiken. Terus kudu mayar bunga modal nu gede, sampe ka teu bisa di lunasan. Perjanjiana geh nguntungken dei (HDI). (Nelayan di desa Muara mudah dirayu oleh dan hasil tangkapan nelayan dilaut dihargai murah oleh, yang pada akhirnya nelayan tersebut dirugikan. Kemudian, nelayan tadi harus membayar bunga dari modal yang dipinjamnya dengan jumlah yang sangat besar, sampai akhirnya nelayan tadi tidak dapat melunasinya. Perjanjiannya pun sangat menguntungkan ). Setelah adanya kesepakatan antara dengan nelayan dalam hal peminjaman modal, nelayan kemudian melaksanakan aktivitasnya dalam mencari ikan di laut. Kegiatan mencari ikan ini dilakukan pada pagi hari (subuh). Kemudian pulang pada siang hari dengan membawa hasil tangkapan. Ada juga nelayan yang berangkat pada sore hari dan baru pulang pagi hari. Seluruh hasil tersebut kemudian disetorkan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk di data hasilnya (umumnya di data jumlah hasil tangkapan, jenis ikan yang ditangkap, 121

dan kualitas ikan) dengan diawasi oleh yang memberi modal pada nelayan tersebut. Pendataan ini biasanya disebut dengan nota. Untuk nelayan yang menggunakan jaring rampus, penyetoran hasil tangkapan dilakukan setiap hari pada saat selesai melaut. Sedangkan untuk nelayan yang menggunakan jaring nilon, menyetorkan hasil tangkapan yang dilakukan setiap 7 sampai 10 hari sekali. Hal ini disebabkan karena nelayan yang menggunakan jaring nilon memerlukan waktu berhari-hari dalam menangkap ikan di laut. Sedangkan nelayan Kursin, Bagang dan Payang bisa menyetorkan ikan setiap hari. Gambar A. Gambar B. Gambar 6.1. Gambar ikan yang di tangkap dengan jaring rampus (Gambar A), dan gambar ikan yang di tangkap dengan jaring nilon (Gambar B). Setelah proses pencatatan hasil tangkapan nelayan selesai oleh petugas TPI, maka berikutnya petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 8%. Potongan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, 5% di bebankan pada nelayan sebagai simpanan nelayan yang akan dikembalikan pada nelayan sewaktu-waktu. Sedangkan 3% dibebankan pada pembeli di lelang sebagai pajak pembelian. Pendapatan kotor sebelum dibagi-bagi oleh pihak TPI, dalam setiap bulannya dapat mencapai satu milyar sampai dua milayar rupiah (YGI. (32 Th), seorang pekerja di TPI). Berikut ini adalah rincian dari potongan sebesar 8% tersebut oleh petugas TPI. 122

1. Sebesar 20% untuk acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh nelayan atau keluarga nelayan seperti acara pernikahan, dan untuk keperluan administrasi TPI. 2. Sebesar 20% akan dikembalikan pada saat musim paceklik ketika nelayan sangat membutuhkan uang. Saat musim paceklik / paila tiba, maka nelayan dapat mengambil simpanannya ini. 3. Sebesar 20% lagi merupakan simpanan untuk dana keamanan nelayan saat melaut atau sejenis asuransi untuk para nelayan. Simpanan ini digunakan untuk membantu nelayan pada saat mengalami kecelakaan ketika beraktivitas di laut. 4. Sebesar 20% akan dialokasikan untuk gaji kariyawan TPI. 5. Sebesar 20% akan dialokasikan untuk pendapatan daerah yang akan disetorkan kepada Pemda kabupaten Lebak, Banten. Selanjutnya setelah proses pemotongan selesai dilakukan oleh petugas TPI, maka hasil tangkapan nelayan tersebut dijual oleh pada Bakul- Bakul yang ada di TPI untuk kemudian dijual pada konsumen. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah sebelumnya di potong harga oleh berdasarkan kesepakatan di awal. Pemotongan yang dilakukan oleh sebesar 5% sampai 10% bahkan lebih berdasarkan kesepakatan di awal dengan tersebut. Sebelum proses pemotongan dilakukan oleh, terlebih dahulu dihitung berapa jumlah pendapatan nelayan dari hasil penjualannya ke Bakul-Bakul. Jika hasil penjualannya mencapai Rp. 500.000,- maka akan dilakukan pemotongan bunga. Tetapi apabila penghasilan nelayan tidak mencapai Rp. 500.000,- maka tidak dilakukan pemotongan, namun nelayan 123

dikatakan nendo. Nendo adalah penundaan pembayaran bunga pada dikarenakan hasil tangkapan sedikit sehingga nelayan dikatakan belum mampu untuk membayar bunga pinjaman dan harus dibayar di lain waktu pada saat hasil tangkapan lebih dari Rp. 500.000,-. Pemotongan yang dilakukan oleh tersebut, bukan sebagai pembayaran seluruh utang nelayan pada. akan tetapi sebagai pembayaran utang pokok atau gantung yang biasanya disebut sebagai bunga utang. Utang pokok atau gantung ini diantaranya adalah perahu dan jaring yang dipinjamkan atau diberikan pada nelayan sebagai modal. Sedangkan utang mati adalah bahan bakar dan makanan yang dibutuhkan pada saat melaut serta modal berupa uang yang harus dibayar kapan saja pada saat nelayan memiliki uang untuk membayar utang tersebut baik dengan cara tunai atau pun di cicil. 6.2. Mekanisme Alur Pemasaran dalam Jenis-jenis berdasarkan pengelolaan hasil tangkapan nelayan, ternyata menentukan mekanisme alur pemasaran dalam. Dengan merujuk pada jenis-jenis dan berdasarkan data hasil penelusuran di lapangan, ada lima jenis alur pemasaran dalam. Kelima jenis alur pemasaran tersebut di antaranya adalah : 6.2.1. Alur pemasaran dari ke Bakul dan Taweu Hasil tangkapan nelayan yang dipimpin oleh Tekong, disetorkan pada Taweu yang memiliki kapal atau juragan kapal. Taweu yang memperoleh modal / pinjaman perlengkapan dan peralatan melaut dari kemudian 124

menyetorkan hasil tangkapan nelayan tadi pada. Dari tangan ini kemudian dijual pada Bakul atau Pelele untuk kemudian di pasarkan pada. Hasil tangkapan nelayan yang dijual pada Bakul ada yang langsung dijual pada, ada juga yang dijual pada Pelele. Sedangkan hasil tangkapan yang dijual pada Pelele langsung di pasarkan pada. Alur pemasaran ini dapat di gambarkan sebagai berikut Pelele Bakul Tekong Taweu Pelele Gambar 6.2. Alur pemasaran dari ke Bakul dan Taweu 6.2.2. Alur pemasaran dari Taweu ke dan Pelele Alur pemasaran yang terjadi sebenarnya sama dengan yang pertama, hanya saja ada perbedaan penjualan dari tangan Taweu ke dan Pelele. Pada tipe alur pemasaran kedua ini, Pelele memperoleh hasil tangkapan langsung dari Taweu / pemilik kapal dan dapat pula memperolehnya dari Bakul. Pada tipe yang kedua ini Pelele dapat berposisi sebagai karena memberi modal pada nelayan atau bisa juga harga yang di tawarkan oleh Pelele lebih tinggi dari pada harga yang di tawarkan oleh sehingga nelayan langsung menjual hasil tangkapannya pada Pelele. Implikasinya timbul kecurangan dari nelayan dengan cara menjual separuh hasil tangkapannya pada Pelele. Pelele juga dapat memperoleh hasil tangkapan dari. Apabila digambarkan maka gambar alur pemasarannya adalah sebagai berikut : 125

Pelele Tekong Tawen Pelele Pelele Bakul Gambar 6.3. Alur pemasaran dari Taweu ke dan Pelele. 6.2.3. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele Mekanisme alur pemasaran yang ketiga ini pada dasarnya menunjukan adanya peran ganda dari Taweu yaitu selain sebagai Taweu, juga berperan sebagai. Dengan demikian Taweu memperoleh keuntungan ganda (keuntungan sebagai Taweu dan sebagai ). Sementara Pelele dapat memperoleh / membeli hasil tangkapan nelayan dari Taweu dan dari Bakul. Berikut ini adalah gambar yang menunjukan alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele. Pelele Tekong Tawen Pelele Bakul Gambar 6.4. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele. 6.2.4. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele Mekanisme alur pemasaran ini menunjukan posisi Taweu sebagai Taweu itu sendiri, sebagai, atau merangkap keduanya seperti tipe alur pemasaran yang ketiga. Pada tipe yang keempat ini Pelele dapat memperoleh / membeli ikan pada Taweu, atau membelinya langsung pada Tekong. Penjualan yang terjadi dari Tekong pada Pelele ini kasusnya sama pada tipe dua maupun tipe ketiga dimana Pelele menawarkan harga yang lebih baik dari pada 126

. Sehingga Tekong menjual separuh hasil tangkapannya pada Pelele secara diam-diam. Dibawah ini adalah gambar yang menunjukan mekanisme alur pemasaran dari Tekong pada Taweu dan Pelele. Tekong Taweu Pelele Bakul Pelele Bakul Pelele Pelele Pelele Gambar 6.5. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele. 6.2.5. Alur pemasaran monopoli oleh Mekanisme alur pemasaran yang terakhir adalah alur pemasaran yang menunjukan adanya monopoli oleh. Pada alur pemasaran yang kelima ini hasil tangkapan yang di peroleh nelayan yang dipimpin oleh Tekong langsung dijual pada. berperan sebagai itu sendiri, Taweu dan Bakul. Sementara untuk memperluas pemasaran maka hasil tangkapan dijual / ada yang dijual pada Pelele. Pelele menjual hasil tangkapan pada diluar TPI. Alur pemasaran yang kelima ini sangat jarang. Biasanya terjadi pada yang bermodal kecil. Ini merupakan salah satu cara dalam memonopoli hasil tangkapan yang di peroleh nelayan. Berikut ini gambar alur pemasarannya. 127

Tekong Pelele Gambar 6.6. Alur pemasaran monopoli oleh. 6.3. Praktek : Dulu dan Sekarang serta Perubahan yang Menyertainya Perbedaan pola aplikasi dahulu dengan saat ini dibedakan berdasarkan keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mekanisme sistem pembagian hasil nelayan dalam melaut. Sedangkan peran, fungsi, karakteristik dan bentuk dari itu sendiri relatif tidak menunjukan adanya perubahan. Hal ini dikarenakan selain jaringan sistem dipelihara dengan baik sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi, juga yang merupakan hasil inisiasi setempat menjadi kuat karena aturan yang dibuat berlandaskankan modal sosial yang ada dan berkembang pada nelayan setempat. Kuatnya sistem yang di bangun oleh, di sebabkan oleh yang menggunakan modal sosial sebagai pondasi terbentuknya sistem tersebut. Dengan modal sosial ini, maka hubungan yang terjalin antara dengan nelayan menjadi kuat, (RSP, pengamat ). Di masa lalu, sebelum adanya TPI di Desa Muara, mekanisme hubungan yang diterapkan oleh pada nelayan cenderung sangat merugikan nelayan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengawasan dan pendataan hasil tangkapan nelayan, sehingga hasil melaut yang diperoleh nelayan dihargai dengan harga yang sangat murah oleh. Praktek ini menjadi mudah karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah setempat tentang mekanisme yang diterapkan 128

oleh. menjadi penguasa yang dapat menentukan harga dengan mudah dan berdasarkan kemauannya sendiri. Sementara nelayan hanya dapat menerimanya tanpa bisa protes ataupun mengeluh karena mekanisme yang diterapkan oleh. Disamping itu, aplikasi dimasa lalu melalui sistem bagi hasil yang dinilai sangat merugikan nelayan ternyata membuat nelayan semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembagian hasil nelayan di masa lalu dibagi berdasarkan alat tangkap, perahu, tenaga yang mengoperasikannya (nelayan), dan itu sendiri sebagai pemilik modal. memperoleh tiga bagian (bagian untuk alat tangkap, bagian untuk perahu, dan bagian untuk itu sendiri). Sementara nelayan hanya menerima satu bagian saja. Kemudian sistem bagi hasil ini berkembang menjadi sistem persentase, dimana menuntut keuntungan dari modal yang dipinjamkan pada nelayan sebesar 5% sampai 10% dari hasil tangkapan nelayan setiap melaut serta hasil tangkapan nelayan harus dijual pada dengan harga yang lebih murah, (YGI). Mekanisme yang diterapkan oleh dahulu adalah, setelah adanya kesepakatan dalam peminjaman modal, nelayan pergi melaut. Hasil tangkapan langsung disetorkan pada. kemudian menjual hasil tangkapannya pada Bakul-Bakul yang ada di pasaran lokal. Hasil penjualan tersebut kemudian dikembalikan pada nelayan setelah dipotong terlebih dahulu oleh. Mekanisme pemotongan sama dengan yang dijelaskan sebelumnya yaitu dibagi menjadi empat bagian (satu bagian untuk nelayan dan tiga bagian untuk ). 129

Sedangkan praktek di masa sekarang lebih terlihat baik dan tidak terlalu merugikan nelayan. Dengan adanya TPI ternyata telah sedikit membantu nelayan untuk keluar dari belenggu sistem yang diterapkan oleh. Tempat Pelelangan Ikan / TPI berperan dalam pendataan hasil tangkapan nelayan sebelum disetorkan pada, sehingga nelayan dapat mengetahui berapa jumlah tangkapan yang diperolehnya dan harga yang seharusnya diterima oleh nelayan. Dengan kata lain, TPI membantu dalam menentukan standarisasi harga dan pendataan berapa jumlah yang harus diterima oleh nelayan berdasarkan hasil tangkapan yang diperolehnya. Sebelum hasil tangkapan tersebut disetorkan pada, terlebih dahulu petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 5% dari hasil tangkapan ikan oleh nelayan sebagai tabungan nelayan yang dapat di ambil dikemudian hari dan 3% dari pembeli yang membeli ikan di lelang. Mekanisme selanjutnya sama dengan masa lalu, hanya saja sekarang nelayan tahu berapa penghasilan yang harus diterimanya dari. pun tidak dapat melakukan kecurangan dalam penjualan hasil tangkapan. Akan tetapi kecurangan itu tetap terjadi di luar penjualan hasil tangkapan seperti kecurangan dalam menjual bahan bakar untuk melaut pada nelayan, kecurangan dalam kesepakatan bunga yang harus dibayar nelayan dan sebagainya. Apabila di gambarkan, maka mekanisme yang diterapkan oleh antara dulu dan sekarang adalah sebagai berikut. 130

Bakul /Pelele Nelayan Perjanjian peminjaman modal Keterangan : = Hubungan kerjasama = Hubungan koordinasi/perjalanan proses Gambar 6.7. Mekanisme sistem di masa lalu. Bakul /Pelele Nelayan Perjanjian peminjaman modal TPI Keterangan : = Hubungan kerjasama = Hubungan koordinasi/perjalanan proses Gambar 6.8. Mekanisme sistem saat ini. 131