PENENTUAN NILAI Fo GUDEG KALENG (UKURAN 301X205) DENGAN PERBEDAAN LETAK KALENG PADA TAHAP STERILISASI

dokumen-dokumen yang mirip
Teknologi dan Pangan ISBN :

PENGARUH POSISI KALENG PADA RETORT TERHADAP NILAI Fo TUNA DAN UDANG

PENGARUH SUHU DAN WAKTU STERILISASI TERHADAP NILAI F DAN KONDISI FISIK KALENG KEMASAN PADA PENGALENGAN GUDEG

THERMOBAKTERIOLOGI PROF. DR. KRISHNA PURNAWAN CANDRA, M.S. JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan

Pengolahan dengan Suhu Tinggi

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGARUH WAKTU DAN JENIS WADAH PEMASAKAN TERHADAP KOMPONEN MAKANAN DALAM GUDEG

MENERAPKAN TEKNIK PENGOLAHAN SUHU TINGGI KD 1 PRINSIP-PRINSIP PENGAWETAN DENGAN PENGOLAHAN

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

BAB II LANDASAN TEORI

PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. santan dan gula kelapa. Dalam bidang pariwisata gudeg menjadi aset yang

Pengolahan, Pengemasan dan Penyimpanan Hasil Pertanian

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat. digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pengolahan dengan suhu tinggi

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

KULIAH KE-10 THERMOBAKTERIOLOGI PROF. DR. KRISHNA PURNAWAN CANDRA, M.S. JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. nangka muda, berwarna cokelat dan memiliki rasa manis secara dominan.

I. PENDAHULUAN. memiliki cara pandang yang berbeda, beragam dan khas terhadap makanan

PENGAWETAN. Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan Non Thermal 1. Pengolahan Non Thermal

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2

KECUKUPAN PROSES STERILISASI KOMERSIAL: Pemahaman dan perhitungannya 2. METODA FORMULA

BAB I PENDAHULUAN. tersusun oleh aneka macam bahan baku dan bahan tambahan (Hariyadi, 2014).

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Keywords : fermentation time, pomacea canaliculata sauce, consumer test

MATA PELAJARAN : PRAKARYA SEMESTER : II Tema : Pengolahan

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi

LAPORAN AKHIR PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN 2009

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

Optimasi Proses Sterilisasi Rendang Daging dengan menggunakan Kemasan Retort Pouch

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

A. Penggunaan. B. Alat dan Bahan. Berikut ini alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan selai. 1. Alat

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BABI PENDAHULUAN. Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Prosedur pelaksanaan dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap preparasi dan

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

STERILISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

1. mutu berkecambah biji sangat baik 2. dihasilkan flavour yang lebih baik 3. lebih awet selama penyimpanan

BAB III METODE PENELITIAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perancangan dan Uji Kinerja Pasteurizer Tahu ABSTRAK

ANEKA RUJAK DAN ASINAN NAN SEGAR

PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

BAB I PENDAHULUAN. Sale pisang merupakan salah satu produk olahan pisang masak konsumsi

Pendahuluan, Telur Cair, Telur Asin

Prinsip-prinsip Pengoperasian Retort

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Pengeringan Untuk Pengawetan

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada:

tekanan tinggi. Akibatnya, dibutuhkan temperatur yang lebih tinggi C atau

Sterilisasi Alat dan Bahan untuk Pengujian Kesehatan Benih

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

STERILISASI COCKTAIL NENAS DALAM CUP PLASTIK. Fachraniah, Elfiana, dan Elwina *) ABSTRAK

PENGENDALIAN HACCP PADA PENGALENGAN IKAN

PERUBAHAN KANDUNGAN PROTEIN IKAN TUNA SELAMA PROSES PENGALENGAN GULAI TUNA KALENG

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI SITI AMINAH FIKKES - UNIMUS

Homogenisasi, Separasi, Susu Steril

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

BAB I PENDAHULUAN. panjang cm dan garis tengah cm. Buah nangka terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. komposisi senyawanya terdiri dari 40% protein, 18% lemak, dan 17%

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

Parameter Kecukupan Proses Termal

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Asia (Adair, 1972 dalam Maroudi, 1984). Di Indonesia, beras

IV. GAMBARAN UMUM. DIY adalah salah satu Provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau

Pengawetan bahan pangan

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. baik disebabkan oleh pengaruh cuaca, serangan serangga maupun mikroba

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pot III : Pot plastik tertutup tanpa diberi silika gel. Pot IV : Pot plastik tertutup dengan diberi silika gel

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Transkripsi:

PENENTUAN NILAI Fo GUDEG KALENG (UKURAN 31X25) DENGAN PERBEDAAN LETAK KALENG PADA TAHAP STERILISASI Asep Nurhikmat, Agus Susanto & Ervika rahayu NH UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia - LIPI Jln Jogjakarta Wonosari Km 3, Gading, Playen, Gunungkidul, Jogjakarta PO BOX 174 WNO Tel/fax 274 39257 E-mail : asepnurhikmat@yahoo.com ABSTRAK Gudeg adalah makanan khas jogjakarta dengan bahan utama nangka muda, tempe, krecek dan areh. Gudeg tidak tahan disimpan lama untuk itu dilakukan pengawetan gudeg dengan teknologi pengalengan. Salah satu proses dalam pengalengan adalah sterilisasi. Sukses tidaknya proses sterilisasi adalah dengan menghitung Fo bahan yang dikalengkan. Telah dilakukan penelitian penentuan Fo gudeg kaleng untuk ukuran kaleng 31 x 25 dan letak kaleng berbeda. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui nilai Fo gudeg untuk ukuran kaleng 31 x 25 pada letak kaleng berbeda. Letak kaleng dalam autoclave adalah dan 22 cm dari dasar autoclave. Suhu dan waktu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121 o C dan 15 menit. Penelitian menghasilkan nilai Fo gudeg untuk ukuran kaleng 31 x 25 pada posisi cm adalah 6,42 menit dan pada posisi 22 cm adalah 5,43 menit. Kata Kunci : Gudeg kaleng, Letak kaleng, Nilai Fo, Ukuran kaleng, Sterilisasi PENDAHULUAN Gudeg (bahasa Jawagudheg) adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan dibumbui dengan kluwek. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Bahan baku gudeg juga bervariasi. Umumnya gudeg Jogja dibuat dari bahan baku nangka muda. Bahan baku lain adalah rebung (bambu muda) dan manggar (bunga pohon kelapa). Namun jarang orang Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 63

ISBN : 979-498-467-1 membuat gudeg dari dua bahan baku ini, karena sulit didapat.ada berbagai varian gudeg, antara lain: Berdasarkan rasa terdapat dua macam gudeg, yaitu gudeg yang manis dan gudeg gurih. Tidak banyak perbedaan mendasar diantara keduanya, hanya versi pertama lebih manis dan tersaji lebih kering. Untuk memasaknya kita harus memisahkan antara memasak gudeg (nangka muda), memasak ayam (opor biasanya tapi agak manis), telur dan areh (terbuat dari santan kental). Memasak nangka muda dan ayam dilakukan secara terpisah, nangka muda dimasak dalam waktu lama dicampur dengan daun jati sebagai bahan pewarna kecoklat-coklatan. Selain daun jati bisa juga dipakai daun jambu batu atau daun pisang. Daun jambu batu agak riskan karena kadang menghasilkan rasa 'sepet' kata orang jawa. Nangka muda dimasak dalam waktu yang lama. Jika nangka muda dan ayam dicampur untuk dimasak bersamaan, maka ayam akan hancur. Itulah sebabnya telur dan ayam biasanya tidak dimasak bersamaan dengan gudeg. warna kecoklat-coklatan dari telur disebabkan oleh penggunaan kecap. Kalau disimak lebih lanjut, semua gudeg (nangka muda) disajikan dalam bentuk yang relatif kering dan terpisah dari ayam. Nangka muda dimasak hingga airnya habis. Biasanya ayam dimasak opor. Meski seringkali rasa opor bervariasi dari yang gurih hingga yang agak manis. Sedangkan berdasarkan komposisi air, masakan gudeg ada 2 macam, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah, hanya satu kali dimasak dengan direbus hingga habis airnya, Sedangkan gudeg kering, minimal 2 kali memasak hingga benar-benar kering. Gudeg kering mempunyai daya tahan lebih lama (bisa sampai 4-5 hari) daripada gudeg basah, karena air di dalamnya benar-benar sudah habis. Gudeg biasanya disajikan dengan sayur daun singkong, ayam, telur, dan krecek pedas (dari bahan kulit sapi). Untuk gudeg basah biasanya ditambahkan dengan areh. Sebagai makanan tradisional gudeg tidak memiliki masa simpan yang lama, sehingga diperlukan suatu teknologi agar selain dapat disimpan tahan lama juga kenampakan dari makanan tradisional menjadi lebih modern. 64 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

Salah satu teknologi yang dipakai adalah dengan proses pengalengan dengan menggunakan ukuran kaleng 31 x 25. Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermentis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang memiliki beberapa tujuan, diantaranya : 1. Untuk menampung dan merapikan produk sehingga bahan pangan atau produk tersebut dapat disimpan dan ditransfer lebih mudah (Sukmadji,1988 dalam suharwadji, 29). 2. Mengawetkan bahan pangan dengan mencegah terjadinya kerusakan kimiawi maupun kerusakan mikrobiologis. 3. Bahan pangan yang enzimnya telah inaktif dapat terisolir dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak bahan pangan selama masa simpan. 4. Tidak transparan sehingga jika terkena cahaya tidak akan mempengaruhi kondisi produk. 5. Meningkatkan nilai ekonomis produk, karena pada saat pemasaran kemasan ini mudah diatur dan dipanjangkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan rasa tertarik pada konsumen. Pengalengan dapat pula didefinsikan sebagai suatu metode pengawetan bahan pangan dalam suatu wadah tertutup dan kedap terhadap udara, yang dipanaskan sedemikian rupa, sehingga bahan pangan tersebut tahan lama dan tidak mengalami kerusakan secara fisik, kimia, maupun biologis (Sukmadji, 1988 dalam suharwadji, 29). Penggunaan panas dalam pengalengan dapat ditujukan untuk aktifitas enzim maupun mikroba. Tetapi yang paling penting dalam hal ini adalah banyaknya panas yang diterima oleh bahan pangan dan laju penetrasi panas tersebut. Oleh sebab itu proses pemanasan untuk pengawetan harus cukup mematikan mikroba dan menginaktifkan enzim. Selain itu panas yang diberikan tidak boleh terlalu banyak agar tidak menurunkan kandungan nutrisi dan organoleptik bahan pangan. (Priyanto, 1988 dalam suharwadji, 29). Bahan pangan akan diharapkan benar-benar awet melalui proses pemanasan akhir yaitu sterilisasi. Pemanasan yang cukup tinggi ini, yaitu 121 C dan dengan waktu 2 menit, cukup untuk mematikan Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 65

ISBN : 979-498-467-1 mikroorganisme dan sporanya. salah satu contoh jenis mikroba yang sering terdapat dalam makanan kaleng adalah Clostridium botulinum. Proses termal seperti sterilisasi melibatkan transfer panas secara konduksi dan konveksi. Secara konduksi transfer panas terjadi secara langsung dari partikel-partikel tanpa melalui medium lain selain produk itu sendiri. Sedangkan konveksi, transfer panas terjadi melalui medium cairan disekitar ikan. Resistensi atau ketahan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda diantara mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme lebih tahan terhadap pemanasan pada ph netral atau mendekati netral. Peningkatan keasaman atau kebasaan akan mempercepat kematian mikroorganisme oleh panas. Peningkatan keasaman daripada peningkatan kebasaan dalam merusak miroorganisme oleh panas (Judge dkk,1989). Jumlah waktu (dalam menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menghancurkan semua mikroba dinyatakan dalam nilai F. Nilai F sangat spesifik, artinya, nilai tersebut bergantung pada suhu proses dan nilai Z dari mikroba. Nilai Fo adalah waktu (dalam menit) pada 25 F yang diperlukan untuk menghancurkan sejumlah mikroba tertentu yang memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Resistensi panas mikroorganisme dinyatakan sebagai waktu kematian termal atau Thermal Death Time (TDT) yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel atau spora tertentu pada kondisi fisik tertentu (temperatur, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta karakteristik medium pemanas). TDT pada temperatur 121 o C telah digunakan sebagai refernsi sterilitasasi dan dinyatakan sebagai Fo. Untuk Clostridium botulinum nilai Fo-nya 2.45-2,8 menit. (Urbain, 1971 dalam Soeparno (25); Lewis (1987); Stumbo (1973); dan Lawrie (1979). Untuk mengetahui TDT atau Fo dipergunakan persamaan yang disampaikan Lewis (1987); Richardson (21), 121 log L = T (1) 1 atau {( T 1) } L = 1 121 / (2) 66 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

dimana Fo yang merupakan penjumlahan dari kematian bakteri selama periode waktu pemanasan dapat dihitung dengan persamaan : Fo = Ldt (3) Agar mendapat gambaran lebih jelas, perlu dibandingkan dengan proses lain, yaitu pada suhu yang berbeda dengan 25 F. Contohnya proses yang memerlukan waktu 1 menit pada 232 F memiliki efek pembunuhan yang sama dengan 1 menit pada suhu 25 F, bila mikroba memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Tujuan : Mengetahui pengaruh perbedaan letak kaleng terhadap Fo gudeg kaleng, dan Menentukan nilai Fo gudeg kaleng yang paling efektif dan optimal. METODOLOGI Bahan utama yang digunakan adalah gudeg, sedangkan bahan pembantu adalah cairan bumbu. Alat yang digunakan antara lain alat memasak, alat gelas, canning line, Fo meter, sepengangkat komputer. Letak kaleng dalam autoclave mulai cm dan 22 cm dari dasar autoclave, dengan dimensi bagian dalam autoclave adalah 36 x 6 cm. Ukuran kaleng yang digunakan adalah 31 x 25 (spesifikasi lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1). Kaleng yang diukur Fo-nya diletakkan dibagian tengah dan 22 cm (lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1), sehingga masing-masing kaleng mewakili panas yang dapat diterima oleh kaleng pada posisi tersebut. Kemudian data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus dianalisa secara grafik untuk mengetahui perbedaan masing-masing Fo yang terjadi antara perlakuan. Tabel 1. Spesifikasi kaleng ukuran 31 x 25 Jenis Barang Warna : Kaleng bundar (can) : Polos Ukuran : Ø 31 X 25 Disain kaleng Badan kaleng Bagian atas Bagian dasar peruntukan Kapasitas : GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Meat, Fish, cream, vegetables : 18 ml Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 67

ISBN : 979-498-467-1 Termokople Termometer Barometer Posisi 22 cm Posisi Fo Meter Air Gambar 1. Skema posisi kaleng pada autoclave HASIL DAN PEMBAHASAN Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng atau botol diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan tes penetrasi panas, harus dilakukan terlebih dahulu proses distribusi panas, untuk mengetahui apakah retort yang akan digunakan memiliki distribusi panas yang merata, dan bagian retort mana yang paling lambat kenaikan suhunya. Uji tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat termokopel. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan ujung termokopel pada bagian terdingin (cloudest spot) atau daerah yang paling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut sering juga disebut cold spot. Letakcoldest spottergantung pada jenis perambatan panasnya, yaitu apakah secara konduksi, konveksi, atau broken heating. Produk yang perambatan panasnya dengan konduksi, cold spot-nya berada dititik tengah geometric dari kaleng. Segera setelah cairan mendapat panas, aliran panas akan bergerak berputar keseluruh bagian kaleng. Perambatan panas dalam cairan bergerak lebih cepat dan seragam. Coldest 68 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

spotdengan perambatan panas secara konveksi terletak dibagian dekat dasar pada pusat kaleng. Jumlah waktu (dalam menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menghancurkan semua mikroba dinyatakan dalam nilai F. Nilai F sangat spesifik, artinya, nilai tersebut bergantung pada suhu proses dan nilai Z dari mikroba. Nilai Fo adalah waktu (dalam menit) pada 25 F yang diperlukan untuk menghancurkan sejumlah mikroba tertentu yang memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Agar mendapat gambaran lebih jelas, perlu dibandingkan dengan proses lain, yaitu pada suhu yang berbeda dengan 25 F. Contohnya proses yang memerlukan waktu 1 menit pada 232 F memiliki efek pembunuhan yang sama dengan 1 menit pada suhu 25 F, bila mikroba memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Resistensi atau ketahanan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda diantara mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme lebih tahan terhadap pemanasan pada ph netral atau mendekati netral. Peningkatan keasaman dari pada peningkatan kebasaan dalam merusak mikroorganisme oleh panas (Judge dkk, 1989) resistensi panas mikroorganisme dinyatakan sebagai waktu kematian thermal atau Thermal Death Time (TDT) yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel atau spora tertentu pada kondisi fisik tertentu (temperature, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta karakteristik medium pemanasan). Gudeg yang dikalengkan termasuk kedalam jenis kering, karena kandungan air bumbu tidak terllau banyak. Produk yang mengalami perambatan panas secara konduksi, misalnya tuna dan cream soup biasanya tidak mengandung atau hanya sedikit saja mengandung cairan bebas (Suharwadji, 29). Dari hasil perhitungan data-data pengukuran Fo untuk masingmasing letak kaleng didapatkan untuk letak I ( cm dari dasar autoclave) adalah 6,42 menit dan letak II (22 cm dari dasar autoclave) adalah 5,43 menit. Masing-masing grafik dapat dilihat pada gambar 2 dan 3. Terlihat dari kedua grafik tersebut diatas apabila dibandingkan, maka semakin jauh letak kaleng dengan sumber panas maka terjadi pergeseran grafik kematian mikroba, dimana nilai Fo-nya semakin kecil. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 69

ISBN : 979-498-467-1 Hal ini disebabkan karena pada kaleng pertama selain cepat rambat panas terhadap kaleng lebih cepat, juga kaleng lebih dekat dengan sumber panas dibandingkan dengan kaleng kedua. 14.16 12.14 Temperature (ºC) 1 8 6 4 2 T ref T Can 1 L.12.1.8.6.4.2 Lethality 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 Time (minutes) Gambar 2. Fo gudeg pada posisi cm adalah 6,42 menit 14.35 12.3 Temperature (ºC) 1 8 6 4 2 T ref T can 3 L.25.2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15.15.1.5 Lethality Time (minutes) Gambar 3. Fo gudeg pada posisi 22 cm adalah 5,43 menit Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa faktor, sebagai berikut : 1. Ukuran kaleng dan keadaan isinya Panas kaleng memerlukan waktu lebih lama untuk menerobos masuk kedalam kaleng yang besar. Demikian juga penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi, seperti sup, daripada medium konduksi, seperti corned beef 2. ph Bahan makanan Proses sterilisasi dirancang untuk mematikan clostridium botulinum dan sporanya, sebab mikroorganisme ini paling berbahaya 61 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

dan sporanya paling tahan terhadap pemanasan, yang biasanya mengkontaminasi makanan kaleng. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain : 1. Proses pengalengan dapat memberikan daya simpan yang lama terhadap masakan gudeg. 2. Nilai Fo gudeg kalengan untuk kaleng pertama ( cm dari dasar) dan kedua (22 cm dari dasar) adalah masing-masing 6,42 dan 5,43 menit. 3. Proses cepat rambat panas sangat dipengaruhi oleh kandungan air masakan, ukuran kaleng dan ph makanan. DAFTAR PUSTAKA, 28, Gudeg, http://id.wikipedia.org/wiki/gudeg, 28, Gudeg, http://media.isnet.org/islam/etc/tanggap- Gudeg.html,28,Gudeg, http://angkringanjogja.blogspot.com/28/8/ -gudeg.html Judge, M.D., E.D. Arbele., J.C., Forrest., H.B. Hendrick., dan R.A. Merkel., 1989, Principle of Meat Science. 2 nd ed, Kendall/Hunt Publishing Co, Dubuque, Iowa. Lewis, M.J., 1987, Physical Properties of Foods and Food Processing System, Ellis Horwoods Ltd, Chichester, England. Lawrie, R.A.,1979, Meat Science. 3 rd ed. Pergamon Press. Richardson, P., 21, Thermal Technologies in Food Processing, Woodhead Publishing Ltd, Cambridge, England. Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Ikan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stumbo, C.R., 1973, Thermobacteriology in Food Processing, Academic Press, New York. Suharwadji. 29. Pengalengan Makanan Tradisional. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 611