PEMETAAN DISTRIBUSI TERNAK DOMBA BERDASARKAN RUMPUN DAN AGROEKOSISTEM DI KABUPATEN CIANJUR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur

BUKU STATISTIK PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN. Pemerintah Kabupaten Cianjur 1 Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah sebesar km 2 dengan

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton)

KEPUTUSAN BUPATI CIANJUR

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

VI. PUSAT PERTUMBUHAN DAN PENYEBARAN FASILITAS PELAYANAN WILAYAH CIANJUR SELATAN

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

SASARAN PROGRAM BIDANG SOSIAL

Lampiran 1. Penyebaran Fasilitas Pelayanan (Skalogram) di Kabupaten Cianjur

V. KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI CIANJUR

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

BUKU STATISTIK KELAUTAN, PERIKANAN DAN PETERNAKAN. Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Cianjur Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

KARAKTERISTIK MORFOLOGI KAMBING PE DI DUA LOKASI SUMBER BIBIT

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Nomor : 800/ 571 / BKPPD/2015 Cianjur, 21 Agustus 2015 Lampiran : 1 (satu) berkas Kepada Periahal : Pemberitahuan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

KARAKTERISASI SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KOSTA JANTAN DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Di Ex Upt Pir Nak Barumun Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas. Aisyah Nurmi

BAB III METODE PENELITIAN. bahwa Kabupaten Kendal merupakan salah satu kabupaten yang memiliki

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak bawah pengawasan pemiliknya. Peran ternak domba di lokasi tersebut

PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

KETIMPANGAN WILAYAH DAN KEDUDUKAN KECAMATAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH. ( Studi Kasus : Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat )

II. TINJAUAN PUSTAKA

ADOPSI PAKET TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA DI DESA TEGALSARI KABUPATEN PURWAKARTA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

Produktivitas Domba Komposit Sumatera dan Barbados Cross pada Kondisi Lapang

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

PRODUKTIVITAS DAN DAMPAK INTEGRASI TERNAK DOMBA EKOR GEMUK TERHADAP PENDAPATAN PETANI DALAM SISTEM USAHA SAYURAN DI LAHAN MARJINAL

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA MELALUI PERBAIKAN MUTU PAKAN DAN PENINGKATAN PERAN KELOMPOKTANI DI KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH UMUR DAN PANJANG CACAHAN RUMPUT RAJA TERHADAPEFISIENSI BAGIANYANGTERMAI{AN DOMBA DEWASA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I PENDAHULUAN. terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Kebutuhan protein hewani dari

Transkripsi:

PEMETAAN DISTRIBUSI TERNAK DOMBA BERDASARKAN RUMPUN DAN AGROEKOSISTEM DI KABUPATEN CIANJUR (Sheep Distribution Based on Breed and Agroecosystem in Cianjur Regency) E. JUARINI 1, SUMANTO 1, B.WIBOWO 1 dan SURATMAN 2 1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor ABSTRACT Research on sheep distribution was conducted in Cianjur Regency of West Java Province. Mapping of sheep breeds were done on village bases. Grouping of commodities of animal were madem corresponding to the agroecosystems condition for continous development. Result showed that there are 3 breeds of Sheep in Cianjur district : Garut (4%), local (83%) and Garut cross bred (13%). Among 30 subdistrict, 10 Subdistricts have a criteria of high density of Sheep (Cugenang, Sukanagara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campaka mulya, Gekbrong, Leles and Kadupandak). Generally, sheep management is still under traditional condition, only Garut Sheep farmers have a good management. The average of body weight of Garut breed was higher than crossbred or local breed (45 vs 35 vs 20 kg). It was concluded that the mapping of sheep distribution and economic index showed that sheep husbandry can be improved under local resources although the productivity of sheep under villages condition was generally still inferior Key Words: Sheep, Mapping, Distribution ABSTRAK Dalam upaya untuk membantu pemerintah menyusun program pembangunan peternakan yang berkelanjutan, Balai Penelitian Ternak melaksanakan penyusunan peta distribusi menurut spesies ternak. Pengamatan pola penyebaran domba dilakukan di wilayah kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan dengan membuat peta potensi dan distribusi domba di seluruh kabupaten Cianjur dengan basis desa, serta melaksanakan observasi lapang untuk mengetahui rataan sifat biologik domba menurut jenis/rumpun domba. Pewilayahan komoditas dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi agroekosistem untuk pengelolaan plasma nutfah domba yang berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada 3 rumpun domba di Kabupaten : Cianjur : Garut 4%, lokal 83% dan persilangan lokal 13% dari 30 kecamatan di kabupaten Cianjur; wilayah dengan kriteria padat domba terdapat di 10 kecamatan berturut-turut di kecamatan Cugenang, Sukanagara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campaka mulya, Gekbrong, Leles dan Kadupandak. Pola pemeliharaan masih bersifat tradisional, hanya pada peternak domba Garut pola pemeliharaan sudah memperhatikan manajemen pemeliharaan yang lebih baik. Rataan bobot badan dewasa domba Garut lebih tinggi dibanding domba persilangannya maupun domba lokal (45 vs 35 vs 20 kg). Warna dominan domba Garut yang dipelihara peternak adalah tersebar antara putih dan hitam (45 vs 50 %), domba persilangan dan domba lokal lebih banyak putih (57 dan 82%). Kata Kunci: Distribusi, Domba, Pemetaan PENDAHULUAN Meningkatnya komersialisasi usahatani dan program pemuliaan serta komunikasi global akan mendorong dominansi populasi spesies/ rumpun/galur ternak unggul/impor yang lambat laun dapat menekan populasi bangsa ternak lokal yang dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis tinggi saat ini. Pengurasan sumberdaya ternak lokal perlu diwaspadai karena bibit (unggul) ternak masa kini yang dibentuk melalui program pemuliaan dan atau bioteknologi merupakan rakitan plasma nutfah yang merupakan bibit unggul masa lalu. 546

Bahwa bibit unggul ternak yang ada sekarang pada dasarnya dibentuk melalui perakitan dari bahan baku (plasma nutfah) yang merupakan bibit unggul masa lalu. Apabila suatu plasma nutfah punah, kita tidak dapat membentuknya kembali, padahal, kita belum menguasai sepenuhnya potensi genetik yang dikandungnya. Oleh karena itu pemahaman pelestarian sumberdaya ternak harus dihubungkan dengan pemahaman alam dan kemungkinan perubahan di masa mendatang yang diyakini bahwa sumberdaya tersebut akan mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Pelestarian keanekaragaman sumberdaya ternak akan selalu diperlukan dalam pelestarian sumberdaya ternak dimasa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta penyebaran sumberdaya genetik domba menurut agroekosistem dan wilayah administrasi sebagai salah satu masukan untuk mengelola sumberdaya ternak secara berkelanjutan. Pada umumnya reproduktivitas domba Indonesia tidak dipengaruhi oleh musim, sebab perbedaan siang dan malam hari sangat kecil sekali. Dengan demikian maka peternak mempunyai kesempatan untuk mengawinkan ternaknya sepanjang tahun dan selang beranak yang pendek. Hasil penelitian INIGUEZ et al. (1991c) menunjukkan bahwa kisaran selang beranak domba ekor tipis Sumatera adalah 160 260 hari, dengan rataan 201 ± 30 hari atau beranak 1,82 kali per tahun. MATERI DAN METODE Penyusunan peta distribusi sumber daya genetik domba dilaksanakan di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kegiatan dilaksanakan dengan melakukan desk study dan pengamatan lapang dengan melalui penelusuran kinerja plasma nutfah domba di kabupaten Cianjur. Identifikasi dan karakterisasi biologik dilakukan melalui penelusuran informasi pustaka maupun lapangan melalui kerjasama dengan dinas peternakan setempat. Informasi yang dikumpulkan meliputi populasi, tatalaksana pemeliharaan, kondisi agroekosistem, dan penyebaran di daerah yang digambarkan dalam peta wilayah setempat. Kegiatan penelitian diawali dengan persiapan yang meliputi pembuatan daftar pertanyaan dan daftar isian terkait dengan ukuran morphologik dan distribusi domba menurut wilayah (kecamatan). Kumpulan informasi sumberdaya ternak-ternak yang diperoleh dirangkum dalam suatu peta menurut wilayah administrasi yang terbuka untuk updating sesuai perubahan populasi, distribusi dan sifat-sifat unik (ASHARI et al., 1996). Sedang kondisi agroekosistem menggambarkan potensi sumberdaya. Oleh karena keberadaan ternak domba di suatu wilayah tidak terlepas dengan subsektor lainnya dalam suatu ekosistem, maka pendekatan analisis agroekosistem akan berguna untuk membantu kelestarian populasi ternak di wilayah yang bersangkutan. Agroekosistem didefnisikan sebagai ekosistem yang terbentuk oleh adanya kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat-seratan melalui kegiatan pertanian. HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah administrasi, sebaran domba dan agroekosistem Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur terdiri dari 30 kecamatan dan sebagian besar wilayahnya merupakan lahan kering dengan peruntukan tegalan, perkebunan dan kehutanan. Kabupaten Cianjur dibatasi oleh Kabupaten Bogor dan Purwakarta disebelah Utara; Kabupaten Bandung dan Garut di sebelah Timur; Kabupaten Sukabumi di sebelah Barat. Hasil pemetaan (Gambar 1) menunjukkan bahwa wilayah persawahan terletak Cianjur bagian utara, wilayah kehutanan terletak di bagian Timur Selatan, wilayah kebun dan tegalan menyebar secara spot-spot di seluruh kecamatan (KAB. CIANJUR DALAM ANGKA, 2006). Tabel 1 menyajikan presentase bangsa-bangsa domba di masingmasing kecamatan di Kabupaten Cianjur. 547

Gambar 1. Peta sebaran rumpun domba di Kabupaten Cianjur 548

Tabel 1. Persentase populasi bangsa domba per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan Garut Silangan Lokal Cianjur 13,8-56,1 Warungkondang 13,1 17,9 69,0 Cibeber 0,6 20,9 78,5 Mande - 1,1 98,9 Pacet 20,7 46,5 32,8 Cugenang 13,9 26,3 59,8 Sukaresmi 9,1 10,5 80,4 Gekbrong 26,6 38,8 34,6 Cipanas 17,0 43,3 39,7 Cijati - 17,2 82,8 Kecamatan lain 100 Daerah persawahan di dominasi oleh tanaman padi dan palawija, daerah tegalan dan kebun di dominasi tanaman palawija, sayuran, dan hortikultura. Sedang daerah kehutanan, merupakan tanaman campuran. Tataguna lahan tersebut juga menggambarkan ketersediaan pakan utama untuk usaha ternak domba. Daerah persawahan yang utamanya menghasilkan jerami padi dapat pula dijadikan sebagai sumber pakan asal sudah melalui teknologi pengkayaan nilai nutrisinya. Sedang daerah tegalan merupakan daerah sumber pakan domba. Dari populasi domba sekitar 220. 649 ekor (DINAS PETERNAKAN KAB. CIANJUR, 2007, STATISTIK PETERNAKAN KABUPATEN CIANJUR, 2007). Di Kabupaten Cianjur, 83,49% merupakan rumpun domba lokal. 3,9% domba Garut dan 12,6% domba persilangan. Pada umumnya domba ini dibudidayakan peternak dengan skala usaha 4 8 ekor per rumah tangga. Berdasarkan kepadatan (indek) ekonomi (jumlah domba per 1000 orang), hasil perhitungan menunjukkan bahwa di daerah Selatan, indek ekonomi sebesar >5 ekor domba per 1000 penduduk dan makin ke Utara makin rendah indeknya (<3 ekor domba per 1000 penduduk). Apabila dihubungkan dengan tataguna lahan, menunjukkan daerah persawahan indek ekonominya makin rendah. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan pakan dan ketersediaan tenaga kerja. Alokasi tenaga kerja penduduk di daerah persawahan untuk usahaternak domba relatif kecil karena sudah termanfaatkan untuk usahatani sawah. Terkait dengan ketersediaan tenaga kerja dan pakan alami, program pengembangan domba memang sebaiknya diarahkan untuk wilayah Cianjur Selatan. Makin tinggi indek ekonomi (kepadatan ekonomi) relatif juga menunjukkan makin tinggi pula kepadatan ternak per satuan wilayah.. Tetapi yang jelas bahwa populasi terkait dengan jumlah penduduk, atau skala usaha tetap kecil. Secara rinci sebaran populasi domba menurut indek ekonomi tertera dalam (Tabel 2). Sistem pemeliharaan pada umumnya dikandangkan dengan sistem pemberian pakan secara potong angkut (cut and carry) dan sebagian lagi di lepas pada siang hari. Kandang domba pada umumnya kandang panggung. Jenis pakan hijauan yang umum diberikan adalah rerumputan dan sebagian kecil berupa dedaunan. Kadang-kadang diberi pakan konsentrat yang berupa dedak padi. Beberapa program pemerintah yang terkait dengan pengembangan domba di Kabupaten Cianjur diantaranya program perbibitan melalui teknologi inseminasi buatan, introduksi domba Garut melalui program bagi hasil dan persilangan dengan domba lokal (antara domba Garut dengan domba lokal serta antara domba Komposit dengan domba lokal). Program ini dikaitkan dengan pemberdayaan kelompok peternak. Berdasarkan kepadatan ternak, daerah padat domba terdistribusi di 10 kecamatan, berturut turut di kecamatan Ciranjang, Cugenang, Sukanegara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campakamulya, Gekbrong, dan kecamatan Leles.Tabel 3 menyajikan rentang jumlah populasi dan kepadatan ekonomi masingmasing jenis domba per desa di Kabupaten Cianjur. Rumpun domba di Kabupaten Cianjur Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa domba-domba yang terdapat di kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan menjadi tiga rumpun yakni domba Garut, domba persilangan, dan domba lokal ekor tipis. Domba Garut dicirikan dengan bentuk tubuh, tanduk, muka, telinga, dan ekor. Domba Garut biasanya mempunyai bentuk tubuh yang gagah (bagian depan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian belakang), tanduk 549

Tabel 2. Sebaran populasi domba pada setiap Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan Luas wilayah (ha) Jumlah penduduk (jiwa) Populasi domba (ekor) Cianjur 2.377.451,00 143.504 860 Warungkondang 4.893.946,00 58.936 2.750 Cibeber 4.262.613,31 116.619 6.319 Cilaku 2.737,01 87.868 2.096 Ciranjang 1.777.801,84 84.581 3.666 Bojong Picung 12.531,00 106.085 4.730 Karang Tengah 6.190.222,00 131.704 4.333 Mande 3.332.468,00 63.271 4.719 Sukaluyu 1.023.594,04 65.841 2.975 Pacet 4.604,00 86.751 1.248 Cugenang 6.696,00 89.708 9.692 Cikalong Kulon 8.182.163,11 86.418 2.036 Sukaresmi 9.339,86 73.437 3.013 Sukanagara 16.567,00 45.562 17.862 Campaka 14.406,00 46.842 12.869 Takokak 1.690,00 24.366 13.100 Kadupandak 9.661,00 48.953 7.723 Pagelaran 12.821,00 25.478 2.912 Tanggeung 12.064,00 62.896 4.932 Cibinong 24.716,00 60.435 5.681 Sindang barang 154.040,00 48.905 11.781 Agrabinta 18.552,00 39.468 19.069 Cidaun 19.625,00 62.618 3.245 Naringgul 22.890,00 40.286 35.450 Campaka mulya 5.611,00 25.336 6.800 Cikadu 22.469,00 35.284 6.717 Gekbrong 6.903,00 48.054 9.504 Cipanas 4.826,60 97.987 1.086 Cijati 4.042,00 31.020 333 Leles 9.585,30 34.809 15.221 Total 324.222,07 1.973.022 220.649 (pada yang jantan) melingkar dan relatif besar, muka agak cembung, telinga kecil, dan pangkal ekor lebih lebar (INIQUEZ et al.., 1991; DEVENDRA dan MCLEROY, 1992). Sedang domba lokal ditandai dengan tipe telinga sedang sampai panjang, tubuh relatif kecil, punggung rata, muka rata, dan bulu penutup tubuh campuran antara rambut dan wool kasar. Salah satu ciri yang membedakan dengan domba Garut adalah bentuk ekornya. Pada umumnya domba lokal berekor pipih sedang domba Garut mempunyai pangkal ekor yang agak tebal dengan ujung runcing. Bentuk ekor ini terkait dengan sejarah bahwa domba Garut merupakan persilangan antara domba lokal dengan domba ekor gemuk dan domba Merino yang terjadi pada jaman pendudukan Belanda. Sedang yang dimaksud dengan persilangan adalah persilangan antara domba lokal dengan domba Garut atau domba lainnya yang diintroduksikan di lokasi pengamatan. Balai Penelitian Ternak telah melaksanakan introduksi domba Komposit di Kabupaten Cianjur melalui teknologi inseminasi buatan. 550

Tabel 3. Populasi dan Jenis bangsa domba per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan Selang populasi per desa (ekor) Bangsa domba Rataan skala usaha (ekor) Jumlah desa Rataan kepadatan ekonomi Cianjur 28-212 3 3 11 5,9 Warungkondang 97-328 3 3 5 11 46,6 Cibeber 121-742 3 3 5 11 54,2 Cilaku Local 3 5 9 23,8 Ciranjang > 500 lokal > 5 11 43,3 Bojong Picung tad 3 5 16 44,5 Karang Tengah tad lokal 3 5 16 32,9 Mande tad 2 3 5 11 74,5 Sukaluyu tad lokal > 3 10 45,2 Pacet tad 3 > 33 7 14,4 Cugenang tad 3 3 5 16 108,0 Cikalong Kulon tad lokal tad 15 23,5 Sukaresmi tad 3 3 5 11 41,0 Sukanagara 844 2369 Lokal > 5 10 391,7 Campaka 844 1682 lokal 3 5 11 274,7 Takokak 844 2247 lokal 3 > 5 9 537,7 Kadupandak 251 840 lokal 3 > 5 11 157,8 Pagelaran 75 186 Lokal > 3 13 114,3 Tanggeung 251 353 Local 3 5 16 78,4 Cibinong 341 641 lokal 3 5 11 94,0 Sindangbarang 615 2108 lokal < 3 9 240,9 Agrabinta 1143 1934 Lokal > 3 8 483,1 Cidaun 115 478 Lokal > 3 13 51,8 Naringgul 1480 3950 Lokal > 5 10 879,9 Campaka Mulya 967 1784 Lokal > 5 5 268,4 Cikadu 569 067 lokal 3 5 9 190,4 Gekbrong 4578 6512 3 > 5 8 197,6 Cipanas 84 239 3 > 3 7 11,1 Cijati 352 1025 2 3 5 9 10,7 Leles 701 1975 lokal 3 5 10 437,4 Alternatif pengembangan domba di Kabupaten Cianjur Skala Usaha. Didalam mencapai tujuan produksi yang jelas, maka skala usaha menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan berdasarkan sumber daya petani. Skala usaha peternakan domba hanya mencapai rataan 3 4 ekor dalam suatu keluarga usahatani dan sering dianggap bahwa skala usaha ini sulit diubah untuk mencapai tingkat produksi yang optimum (DJAJANEGARA, 1991; LEVINE et al., 1988; SETIADI et al., 1995). Pada skala usaha ini sebetulnya para petani belum mengoptimalkan alokasi waktu dari tenaga kerja keluarga yang terlibat, sehingga penerimaan yang diperoleh relatif sedikit dan hanya merupakan usaha dengan tujuan untuk tabungan. 551

Didalam menghadapi sistem pendekatan usahatani yang berorientasi agribisnis, skala usaha tersebut perlu diubah karena hal ini tidak dapat menjamin kontinuitas penawaran dalam memenuhi permintaan, disamping tuntutan kualitas yang baik. Strategi pengembangan usaha yang diperlukan bagi para petani untuk menghasilkan produk yang optimal adalah melalui penerapan teknologi seperti mengeksploatasi kemampuan reproduksi ternak domba yang tidak ditentukan oleh musim (non seasonal breeder), sehingga dapat menjamin selang beranak ternak hanya sebesar 7 8 bulan (SETIADI, 2000). Skala usaha minimal yang diusulkan terdiri dari 8 ekor induk dengan satu ekor pejantan, dimana induk harus dapat segera dikawinkan kembali setelah melahirkan. Target utama yang ingin dicapai pada skala usaha ini adalah efisiensi usaha peternakan domba dimana kelompok petani harus dapat memasarkan ternak dombanya secara teratur dalam selang waktu tertentu, sehingga dapat menjamin keteraturan pendapatan yang layak dan dapat diterima secara rutin. Sudah jelas bahwa hal ini memerlukan perbaikan teknologi seperti tatalaksana pemberian pakan, pencegahan penyakit, tatalaksana perkandangan dan penggunaan bibit domba yang unggul. Alternatif skala usaha lainnya yang diusulkan pada model pengembangan usaha peternakan domba ini adalah pemeliharaan dengan 12 ekor induk dengan satu ekor pejantan (DJAJANEGARA, 1992). Peningkatan jumlah ternak yang dipelihara diharapkan secara nyata akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Disamping itu, dengan skala usaha yang optimum sesuai dengan daya dukung alam dan kemampuan petani diharapkan dapat merubah sikap petani terhadap tipologi usahatani dari yang hanya usaha sambilan menjadi suatu cabang usaha maupun usaha pokok. Pada skala usaha seperti tersebut diatas diperlukan sejumlah petani seperti di bawah ini: a. skala usaha 8 ekor induk (+1 ekor pejantan) melibatkan 56 orang petani, atau b. skala usaha 12 ekor induk (+1 ekor pejantan) melibatkan 37 orang petani. Petani-petani yang terlibat di dalam pengembangan usaha peternakan domba ini sebaiknya bergabung dalam kelompok petani. Kelompok peternak mutlak diperlukan untuk mengatasi kesulitan dalam pengelolaan ternak. Sebagai contoh misalnya satu kelompok peternak yang terdiri dari 8 orang dan memiliki 30 40 ekor ternak betina diberikan 2 ekor pejantan unggul, dengan sistem rotasi yang teratur setiap peternak mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan pejantan tersebut selama 3 bulan. Sarana kelompok petani senantiasa dapat dipergunakan sebagai suatu wadah organisasi kelembagaan yang dapat memacu kerjasama efektif baik secara hubungan horizontal maupun vertikal. Berdasarkan standar pasokan dua ekor ternak siap jual (umur 8 bulan), efisiensi reproduksi dan ternak pengganti (replacement) maka induk yang dibutuhkan per paket adalah sebanyak 444 ekor. 444 domba induk dan 30 pejantan per paket pola pengembangan, kemudian didistribusikan ke peternak kooperator dengan skala usaha (jumlah induk) masing-masing 8 dan 12 induk. Pengelompokan jumlah induk didasarkan pada ketersediaan sumberdaya yang dimiliki peternak. Ketersediaan sumberdaya (lahan) sebagai basis penyediaan pakan berhubungan dengan kondisi agroekositem wilayah. Di Kabupaten Cianjur pengelompokan kondisi agroekosistem menurut hierarki-nya diantaranya terdiri lahan tegalan, lahan sawah, perkebunan maupun berdasarkan ketinggian tempat. Pada lahan sawah dengan pola tanam intensif, skala usaha 8 ekor induk/peternak cukup memadai, meningkatnya skala usaha akan menyebabkan rendahnya produktivitas ternak. Hal ini disebabkan kemampuan peternak menyediakan hijauan akan sangat terbatas. Pada wilayah dengan basis agroekosistem lahan tegalan dataran sedang/tinggi skala usaha yang diintroduksikan dapat berkisar 12 ekor/ peternak. Pertimbangan ini didasarkan pada "peluang" pemanfaatan lahan untuk budidaya hijauan pakan ternak. Bahkan dengan pemanfataan lahan untuk tanaman pakan ternak mempunyai nilai tambah terhadap konservasi lahan. Skala usaha sekitar 12 ekor induk/peternak dapat pula diintroduksikan pada wilayah perkebunan (karet, kelapa) Didasarkan pada rataan selang beranak delapan bulan maka penerimaan peternak per bulan yang memelihara 8 ekor induk berkisar 1 1,5 ekor per bulan. Berdasarkan perhitungan 2,0 ekor anak sapih/induk/tahun maka selama 552

satu tahun dihasilkan 16 ekor anak sapih. Kemudian diasumsikan laju mortalitas pasca sapih sebesar 5% maka dalam waktu satu tahun dapat dipasarkan sebanyak 15 ekor. Peternak yang memelihara 12 ekor induk dapat memasarkan sebanyak 22 23 ekor/tahun. Pakan ternak. Penyediaan pakan yang memenuhi standar produksi merupakan faktor pembatas yang cukup penting bagi kelangsungan usaha peternakan domba. Oleh karena itu disyaratkan bagi peternak penerima "bantuan" ternak domba untuk membudidayakan tanaman pakan ternak introduksi yang terdiri dari jenis rerumputan dan leguminosa (pohon). Pada wilayah dengan dominansi lahan tegalan/perkebunan/kehutanan, anjuran penanaman hijauan pakan ternak berpeluang besar dapat dilaksanakan. Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa ternak domba dapat berproduksi pada keterbatasan sumberdaya, namun untuk tujuan usaha (manfaat ekonomik), perlu diupayakan suatu input teknologi yang dapat meningkatkan keuntungan. Dari beberapa zat makanan yang terkandung dalam bahan pakan, energi dan protein merupakan unsur penting untuk diperhatikan dalam ransum yang akan diberikan pada ternak domba dan cara pemberiannya untuk ternak domba, perlu mendapat tekanan pada energi dan protein ransum. Telah banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan berenergi rendah dapat menimbulkan akibat yang merugikan ternak seperti kemunduran pertumbuhan dan penurunan produksi. Dari gambaran tatalaksana pemberian pakan, efisiensi produksi sebagian besar tergantung pada cara pemberian pakan, tingkat tatalaksana pemberian pakan dan ketersediaan gizi untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi tatalaksana pemberian pakan adalah dengan mempelajari tabiat makan, fungsi saluran pencernaan dan pemanfaatan zat-zat makanan. Tabel 4 menyajikan perbandingan tingkah laku makan dan fisiologi saluran pencernaan ternak kambing dan domba. Tabel 4. Perbandingan tingkah laku makan domba dan kambing Karakter Kambing Domba Aktivitas Berdiri dengan dua kaki dan berjalan Berjalan dengan jarak lebih dengan jarak lebih jauh dekat Cara makan Pemakan semak dan lebih memilih Pemakan rumput dan kurang memilih Daun semak dan pohon Sangat suka Kurang suka Pakan yg terdiri dari berbagai jenis Suka memilih Kurang memilih Kemampuan merasa Lebih tajam Kurang tajam Tingkat sekresi ludah Lebih besar Sedang Konsumsi bahan kering Untuk pedaging 3% dari bobot badan 3% dari bobot badan Untuk menyusui 4 6% dari bobot badan 3% dari bobot badan Efisiensi pencernaan hijauan kasar Lebih efisien Kurang efisien Waktu penyimpanan pakan dalam Lebih lama Lebih pendek pencernaan Konsumsi air/satuan konsumsi Lebih rendah Lebih tinggi pakan (bahan kering) Efisiensi pemakaian air lebih efisien Kurang efisien Kecepatan penggunaan lemak Lebih nyata Kurang nyata selama waktu kekuranganpakan Dehidrasi Sedikit air yang hilang Relatif banyak air yang hilang Kotoran Lebih pekat Kurang pekat Air kencing Lebih tahan Kurang tahan Tanin 553

Tatalaksana pemeliharaan. Sistem perkawinan memperhatikan faktor efisiensi usaha adalah dengan sistem all-in all-out. Pada sistem ini induk-induk (untuk 8 induk per peternak) dicampur dengan pejantan selama 2-3 periode berahi (1 2 bulan). Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi disarankan apabila selama 2-3 periode berahi, induk yang tidak menunjukkan tanda-tanda bunting agar segera diganti. Dianjurkan pola perkawinan serentak untuk mengatur pola kelahiran dan memudahkan tatalaksana pemeliharaan. Sistim pemeliharaan (dikandangkan/dilepas) sebaiknya disesuaikan dengan kondisi wilayah (agroekosistem). Pada wilayah yang didominansi areal perkebunan (karet/kelapa), sistim pemeliharaan dengan cara melepas dan diaritkan adalah cukup efisien. Program pengendalian penyakit perlu dilaksanakan secara teratur. Kenyataan menunjukkan bahwa pemberian obat cacing secara teratur setiap tiga bulan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. KESIMPULAN Hasil pengamatan lapang yang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dapat disimpulkan sebagai berikut: Di Kabupaten Cianjur trerdapat 3 bangsa domba: yaitu Garut (4%), persilangan (13%) dan lokal (83%). Peta sebaran populasi dan kepadatan (indek) ekonomik ternak domba menunjukkan bahwa usahaternak domba masih dapat dikembangkan sesuai ketersediaan sumberdaya yang ada dengan memperhatikan keberlanjutannya. DAFTAR PUSTAKA ASHARI, E. JUARINI, SUMANTO, B. WIBOWO, SURATMAN dan K. DIWYANTO. 1996. Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. 5. Karakteristik Kriteria Nilai Potensi dan Penyusunan Peta Potensi Pengembangan. Balai Penelitian Ternak, Bogor. BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Kabupaten Cianjur Dalam Angka Tahun 2006. BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Statistik Peternakan Kabupaten Cianjur Tahun 2006. DINAS PETERNAKAN KABUPATEN CIANJUR. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur 2007. DJAYANEGARA, A. 1991. Produktivitas ternak kambing skala ekonomi. Pros. Seminar Pengembangan Peternakan dalam menunjang ekonomi Nasional. Fak, Peternakan UNSUD. Purwokerto. DJAYANEGARA, A. 1992. Industrialisasi Usaha Ternak Domba dan Kambing dalam Domba dan kambing untuk kesejahteraan masyarakat ISPI, HPDKI, Bogor HEYWOOD, V.H. dan R.T. WATSON. 1995. dalam Untung, K. 1998. Perkembangan implementasi CBD di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Sarasehan dan Studium Generale di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Komisi Nasional Plasma Nutfah, 2 3 September 1998. INIGUEZ, L.C., M. SANCHEZ and S. GINTING. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a System Integrated with Rubber Plantation. Small Ruminant Research 5: 303 317. LEVINE, J., U. KUSNADI, SUBIHART, WILUTO dan dan D. PRAMONO. 1988. Sistem Produksi Ruminansia di daerah hulu Das, Jratun Seluna jawa Tengah. Proc. Workshop Pengembangan Peternakan di Jawa Tengah. Balai Informasi Pertanian, Ungaran. SETIADI, B., SUBANDRIYO and I.C. INIQUEZ. 1995. Productive Preformance of Small Ruminant. In an Outreach Pilot Project in West Java. JITV. SETIADI, B., SUBANDRIYO, I. INOUNU, I K. SUTAMA, M. MARTAWIDJAYA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, L. PRAHARANI dan B. TIESNAMURTI. 2000. Evaluasi Peningkatan Produktivitas Kambing Persilangan. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2000. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 554